Setiap orang punya perjalanan hidupnya masing-masing. Yang takut akan pernikahan, maka melihat sebuah hubungan serius itu bak sebuah kekangan. Tali jerat yanb mematikan dan menguras air mata. Yang hubungannya hancur karena orang ketiga, maka melihat pelaku perebut suami atau istrinya layaknya orang berpenyakitan. Hidup masing-masing orang unik. Kisahnya pun tak bisa di samakan. Rasa sakitnya tak bisa di pukul rata.Leora Anggoro memandang sebuah pernikahan hal yang lumrah. Di matanya, selain sebuah perintah agama–di kepercayaan yang Leora anut–pun dengan usia yang matang, pernikahan pasti akan terjadi. Banyak di antara mereka pelaku pernikahan dengan usia yang sudah cukup namun belum matang sempurna. Misalnya, muda mudi yang baru selesai mengenyam pendidikan SMA.Mereka memutuskan menikah muda dengan alasan menghindari zina. Kalau di pikir-pikir, benar juga, sih. Ketimbang bikin malu keluarga dengan hamil duluan, lebih baik jujur dan minta di nikahkan segera. "Mikirin apa?" Raja dat
Begitu sampai Malang, Raja ajak Leora ke hotel. Pertanyaan mengherankan yang hanya Leora pendam adalah: kenapa tidak ke apartemen Langit? Tapi hanyalah bersarang di kepalanya. Leora tidak mau merusak kesenangan Raja dan hotel bukan sesuatu yang buruk saat kamar suite menjadi pilihan Raja. Lelaki dingin itu selalu tahu cara menyenangkan istrinya. Leora cekikikan sendiri."Ada yang salah?" Leora gelengkan kepalanya langsung.Ini sudah malam–menjelang pagi–jangan buat Raja dan moodnya berantakan. Bisa jadi reog nanti."Baju tidur kamu tapi jangan mandi." Raja terima baju tidur dari Leora dan bergegas mengenakannya. Usai dengan baju tidurnya, Raja langsung memejamkan matanya dan mendekap Leora."Kamu pasti capek," ujar Raja yang di balas gelengan oleh Leora. "Harusnya naik pesawat aja.""Sesekali doang. Lagian seru juga naik kereta. Sayangnya, karena kita ambil perjalanan yang malam, jadi nggak bisa lihat kondisi sekitar kayak dari Jakarta ke Semarang kemarin.""Jangan bilang pulang ke J
Langit kaget bukan main. Di jam kerja, Raja dan Leora datang tanpa memberi kabar. Maksudnya, ini sejak kapan ada di Malang sedangkan Mami bilang, Raja dan Leora sedang bulan madu di Semarang. Kenapa sekarang sudah di Malang saja?Raja memang menggemaskan. Selalu memberi kejutan kepada Langit yang jantungnya hampir merosot ke lambung. "Abang nggak ngasih kabar!" Dengkus Langit keras-keras dan menyalami tangan Raja dan Leora secara bergantian. "Kan aku bisa jemput, bisa siapin kamar dan yang Abang butuhin. Mbak apa kabar?" tanya Langit kepada Leora yang tersenyum kecil."Baik. Ponakan kamu juga semuanya baik." Leora lungsurkan oleh-oleh yang di bawanya dari Semarang. "Lumpia Mbak Lim, kesukaan kamu. Abang yang beliin.""Wah …" Awalnya semringah dan kembali mode biasa saja setelah tahu siapa yang membelikan itu. "Makasih, Abang." Tetap wajib dilakukan. Mengucapkan terima kasih adalah ajaran dari Maminya yang paling lumrah. Jadi tidak boleh di lupakan begitu saja. "Terus nginap di mana?"
Dinda syok berat. Kalau tidak sadar, bisa-bisa limbung itu tubuhnya. Raja memberondong, bukan memberondong, sih, lebih tepatnya apa, ya? Ah, pokoknya mah itu dan Dinda masih terkaget-kaget hingga di menit-menit berikutnya. Rasanya masih tidak percaya tapi ini memang terjadi. Dan ketiga orang yang duduk di hadapannya menampilkan ekspresi yang berbeda-beda.Langit tegang, Raja tenang sedangkan istri dari pimpinan, Leora kalau tidak salah namanya, tersenyum dengan anggun, khas Ibu-ibu sosialita. "Udah kamu di sini aja, ya, Din," kata Langit penuh permohonan. "Kalau kamu pindah, nggak ada yang bantuin aku tahu!""Jadi babu kamu maksudnya?" Langit berdecak, Dinda mendengkus. Sedangkan Raja dan Leora saling bertatapan. "Di Jakarta mana enak sih, Din." Kembali Langit menggerecoki isi kepala Dinda yang tampak bimbang, bingung dan penuh pertimbangan. "Abang sekalinya datang ke sini kalau bikin kacau. Di mana-mana kalau nggak bikin gaduh bukan Abang kayaknya.""Ya gimana, dong. Udah ciri kha
"Namanya Era, Erlangga."Radit Anggoro menerima informasi dari orang kepercayaannya. Teror di depan rumah Raja, Radit anggap sebagai sesuatu yang meresahkan. Mobil hitam yang terus datang mengawasi membuat Radit khawatir. "Lanjutkan," perintah Radit dengan tegas.Orang yang berdiri di hadapannya menyerahkan sebuah amplop cokelat. Radit menerima dan membukanya."Catatan yang saya dapatkan sejauh itu tentang hubungan mereka."Ada surat nikah di dalamnya dan Radit terkejut karena Raja tidak pernah berbuat sejauh itu tanpa persetujuan darinya. Tapi menikah? Anehnya bukan nama Leora Yudantha yang tertulis di sana melainkan perempuan bernama Erlangga ini. Dan foto yang tercetak juga bukan Leora, namun Raja bersama Erlangga. Jangan katakan jika Raja telah menipunya selama ini?"Katakan semuanya secara rinci."Radit meminta sekali lagi dengan lebih tegas. Semua yang ada di tangannya terasa bahwa itu adalah bohong. Raja tidak mungkin seperti itu, 'kan? Raja tidak mungkin mencoreng nama baikny
Kehidupan yang tiap-tiap orang jalani itu berbeda-beda. Ada yang lahir maka ada yang mati. Ada pertemuan berarti ada perpisahan. Semua yang ada di dunia ini, baik yang sudah terjadi mau pun akan terjadi, punya takarannya masing-masing. Kita sebagai manusia tidak bisa memprediksi bahkan membuat rencana yang terlalu mulus. Tidak bisa! Kita bukan tangan kanan Tuhan yang akan dengan mudah mendapatkan apa yang kita mau. Kita hanyalah bidak-bidak di papan catur yang Tuhan mainkan.Dari kalimat ini saja seharusnya Era sadar jika perpisahannya dengan Raja juga bagian dari rencana Tuhan. Semuanya telah tertulis walau tidak adil. Namun sekali lagi jika menyadari, kesalahan itu bukankah lahir dari Era sendiri? Era yang mendorong Raja untuk pergi di saat lelaki itu dengan setia menemaninya. Jadi kalau di pikir-pikir lagi, bukan sepenuhnya salah Raja. Di samping garis takdir yang tidak mengizinkan mereka bersama, perilaku Era sendiri yang telah membuat dirinya kehilangan cintanya.Cih, cinta? Era
Arra tidak bisa berbuat banyak. Hasratnya menghilang begitu saja entah ke mana. Ucapan Langit cukup meremas jantungnya dan meninggalkan rasa sakit yang tak berkesudahan. Ya, memang Arra bukan perempuan baik-baik seperti yang Langit mau. Tapi setidaknya Langit tahu siapa yang telah membuatnya menjadi seperti ini. Andai Langit mau menerima dirinya dan menjalin hubungan yang lebih serius daripada yang mereka bayangkan, mungkin Arra tidak akan sesakit ini. Lebih lagi, rasa sakit itu di barengi dengan fakta baru jika Langit sedang merajut tali kasih bersama perempuan lain. Kenapa Langit tidak bisa bersama dengan dirinya namun bisa dengan orang lain? Kenapa fakta ini tidak adil sekali untuk Arra ketahui? Kenapa hanya Arra yang mencintai saat keduanya sudah begitu dekat? Kenakan hanya Arra saja?"Beberapa hal bisa dilihat bahkan saat mereka tidak terlihat." Suara Langit kembali terdengar. Arra belum beranjak dari ruangan Langit meski harga dirinya baru saja di injak-injak. "Beberapa orang t
Ratu tahu, Dewa sedang melamarnya. Meski caranya tidak romantis seperti kebanyakan pasangan lainnya, Ratu senang saja dan tidak merasa terbebani. Toh Ratu tidak berharap yang muluk-muluk tentang lamaran dari Dewa. "Raja tahu?" tanya Ratu saat telah tiba di kafe yang menurut Dewa masuk ke dalam jajaran rekomendasi.Tempatnya lumayan jauh. Jarak tempuhnya sekitar satu jam. Namun semuanya terbayarkan dengan keindahan yang di suguhkan. Berada di tempat atas, Ratu bisa melihat pemandangan kota Semarang dengan kerlap-kerlip lampu. Jalanan kota Semarang terpampang dengan indahnya."Tahu tapi nggak tahu kalau secepat ini. Katakanlah aku terburu tapi kalau nggak dari sekarang aku ngomong ke kamu, takut kamu di ambil orang."Ratu tertawa kecil. Jenis tawa biasa yang tidak berunsur mengejek atau hinaan di dalamnya. Pure tawa yang tidak pernah Ratu perlihatkan kepada orang asing. Dewa yang Ratu pikir sempurna, tenyata sama saja seperti kebanyakan manusia pada umumnya."Emangnya aku mau ke mana?"
Langit tiba di Jakarta. Membawa Dinda dan anaknya. Meski Dinda terlihat ragu dan takut dalam langkahnya meninggalkan pelataran bandara, tapi Langit meyakinkan bahwa semuanya akan baik-baik saja. Dinda percaya Langit, sepenuhnya tanpa rasa ragu.Yang jadi masalah adalah diri Dinda sendiri. Apakah Dinda orang yang tepat untuk Langit? Apakah semesta mau menerima hubungan mereka sedangkan Dinda banyak luka di masa lalu. Apakah mereka pantas untuk bersama? Semua pertanyaan itu terus berputar di kepala Dinda dan belum ditemukan jawaban yang tepat."Kalau kamu ragu sama diri kamu sendiri, seenggaknya kamu lihat aku, Din." Langit genggam tangan Dinda saat masuk ke dalam mobil. "Ada aku yang mau sama kamu dan cukup kuatkan aku kalau kamu bakal selalu ada di samping aku. Kalau kamu ragu tapi pergi yang kesusahan itu aku, Din. Jadi, bisa, 'kan jangan ragukan perasaanku buat kamu?"Setulus itu Langit dalam mencintai Dinda dan nggak ada yang bisa Langit lakukan kalau Dinda nggak ada di sampingnya.
Kalau di kasih pilihan, semua orang di muka bumi ini maunya punya kisah yang bagus. Nggak ada satu pun di antara mereka yang mau kisahnya berakhir tragis. Jangankan tragis, putus dan berpisah dari orang yang selalu ada bareng kita di setiap harinya aja dunia udah runtuh. Apalagi dipisahkan dengan maut. Jadi kalau ada pilihan bagus buat berakhir indah maka jawabannya adalah ya.Tapi yang namanya takdir siapa yang tahu, sih? Jalannya aja udah nggak ketebak. Itu rahasia Tuhan dan selalu jadi misteri. Manusia itu cuma bidak-bidak dalam permainan catur. Dari awal bermain sampai akhirnya di mana Tuhan yang jadi penentunya. Jadi jangan terlalu sombong ketika mendapatkan sesuatu yang lebih."Kok ada, sih orang kayak gitu?" tanya Ratu kepada Ratu yang baru selesai bercerita. "Padahal mbak udah sebaik ini dan ngasih banyak fasilitas buat dia. Tapi kenapa balesannya bikin geleng-geleng kepala, sih?"Leora nggak mau ambil pusing soal karyawan yang membawa kabur uangnya. Leora cuma kecewa kenapa n
Langit sadar, yang paling mengerti tentang diri kita adalah diri sendiri. Namun begitu Langit juga tahu ada Dinda yang selalu memahami dirinya tanpa diminta dan diberi penjelasan secara gamblang. Dinda lebih dewasa dari yang Langit kira. Selain statusnya yang janda, Dinda sudah ditimpa banyak masalah dalam hidupnya. Jadi wajar kalau wanita satu anak itu telah mengambik banyak pelajaran dari perjalanan di hidupnya."Ngapain?" tanya Dinda saat melihat Langit berdiri di depan pintu masuk apartemennya. "Kamu mau bikin suasana makin kacau?"Hari masih pagi. Mentari belum sepenuhnya menyinari bumi. Udara pagi hari di Malang segar dan sejuk. Yang bisa Langit lakukan hanyalah menunduk dan menggelengkan kepalanya atas tanya yang Dinda ajukan. Baru setelah beberapa menit dan menarik napasnya dalam-dalam, Langit memberanikan diri menautkan matanya pada Dinda."Aku udah biasa," kata Langit yang dibalas kerutan dahi oleh Dinda. "Tapi kali ini aku menolak menerimanya."Dinda makin nggak ngerti ke m
"Sebenarnya aku punya banyak ketakutan," aku Leora malam itu pada Raja yang sedang membaca beberapa berkas kantor. Helaan napas Leora yang berat dan diembuskan dengan kasar membuat Raja paham jika istrinya sedang tidak baik-baik saja. Ada yang Leora rasakan dan hendak dibagi pada Raja. Maka menutup berkas dan sepenuhnya memfokuskan diri pada Leora segera Raja lakukan."Tentang apa?" balas Raja bertanya. Raja larikan jarinya ke kepala Leora dan mengusap rambutnya yang halus. "Kamu bisa memulainya dari hal yang paling ringan sampai nanti menemukan jawaban ketakutan apa yang membuatmu gelisah."Leora menoleh dengan senyum. Wajahnya ayu nan teduh. Sehingga siapa pun yang memandangnya akan suka dan terbuai. Raja tatapi dalam-dalam netra gelap Leora yang cerah."Banyak. Terlalu banyak sampai aku nggak bisa ngungkapin perasaan apa yang aku rasain. Aneh, 'kan istrimu ini?" kekeh Leora setelah menilai dirinya sendiri."Anggap aja itu kelebihanmu. Kalau kamu nggak unik, kita nggak ada terjebak
Dalam hidup apa benar-benar ada yang namanya akhir bahagia?Kalau pertanyaan itu ditujukan pada Langit, maka mulutnya akan terkunci rapat. Langit aja belum sepenuhnya mengerti tentang arti hidup kok malah ditanya soal kebahagiaan. Langit walaupun umurnya sudah terbilang matang buat nikah, ternyata nikah juga nggak segampang balikin tangan atau kayak yang orang lain lakukan. Mereka menikah setelah ketemu dan menjalani hubungan dengan orang yang menurutnya tepat. Lah Langit? Mubeng dulu kayak bianglala."Jadi kapan mau bawa Dinda ketemu mami sama papi, Lang?" Radit Anggoro semakin berumur semakin berkharisma. Aura kewibawaan bapak tiga anak itu terlihat dengan jelas. Langit yang ditanya kayak gitu cuma bisa nelen nasi dan ayamnya bulat-bulat. Untung nggak kesedak."Kalau udah di rasa siap, pi," jawaban Langit bukan jawaban tegas yang mau di dengar Radit. "Papi sendiri belum ngasih restu," lanjutannya bikin Radit diam. Langit ada benarnya juga."Kamu udah izin waktu itu. Papi izinin."
Hidup Raja ya begitu-begitu saja. Nggak ada yang istimewa atau yang wajib dikepoi sama semua orang. Walau sebagai seorang suami bersikap hangat, Raja tetaplah Raja yang dingin dengan orang luar. Nggak pandang bulu siapa orangnya. Yang nggak Raja kenal atau terlalu akrab, Raja nggak mau terlalu banyak terlibat. Say hai saja sudah cukup. Selebihnya jalani kehidupan masing-masing tanpa saling merepotkan."Mami sama papi jadi dateng, Ra?" Raja bertanya pada Leora yang sedang menyiapkan kopinya. "Pasti rempong, deh."Raja duduk di kursinya dengan kedua tangan membuka koran paginya. Bukan asal Raja ngomong. Semua orang yang bekerja di rumahnya juga tahu gimana mami dan papinya kalau datang ke rumahnya. "Namanya juga orang tua ke anak, wajar," jawab Leora sambil meletakkan kopi dihadapan Raja. "Kamu kenapa sensi banget tiap mami sama papi ke sini? Nggak seneng orang tua kamu datang berkunjung? Kenapa nggak kamu aja yang pulang ke rumah mami papi?"Nah, salah satu keribetan yang Raja miliki
Tolok ukur kebahagiaan seseorang itu gimana, sih?Pertanyaan semacam itu kerap mampir ke benak Dewa. Termasuk hari ini saat dirinya akan menjemput Ratu untuk makan siang bersama. Dewa juga manusia biasa. Punya rasa penasaran dan keingintahuannya sering membludak. Kayak misalnya: Ratu bahagia nggak, ya sama aku? Ratu udah ngerasa cukup belum, ya sama aku? Aku ini pilihan yang Ratu mau atau cuma sekadar alat menutupi rasa cintanya kepada Langit dan masih banyak lagi. Misal diluapkan dalam sebuah obrolan, Dewa yakin sehari semalam nggak bakal kelar. Lawan bicaranya butuh waktu berhari-hari buat memecahkan masalah ini dan mencari tahu jawabannya. Belum lagi meyakinkan Dewa kalau itu cuma rasa takutnya aja yang sedang menyelimuti."Jadi orang pemikir emang nggak enak banget!" gerutu Dewa kepada dirinya sendiri yang sedang menyetir di tengah kepadatan kendaraan lain siang itu. "Udah sejauh ini kok gue bisa mikir Ratu bahagia apa enggak? Kalau orangnya denger bisa melayang ini kepala gue."
Kalau wanita bisa patah hati, pria juga bisa bahkan bisa lebih hancur berkeping-keping lebih daripada wanita. Cinta pria itu nyata tulusnya walaupun banyak mulut-mulut bajingan di luar sana yang jual omongan. Bukan berarti semua pria berengsek dan bernilai sama. Ada istilah soal high value women maka pria juga punya harga yang sama untuk dirinya sendiri. Nggak cuma wanita doang yang punya nilai. Sayangnya ketutup sama para bajingan yang demen nyakitin wanita. Langit cuma tersenyum kecil mendengar curahan hatinya sang asisten. Nggak aneh kok kalau Yudha senang ngomel sana sini soal asmaranya. Padahal Langit juga butuh di say hallo untuk hari-harinya. Tapi buat apa, sih? Langit bukan remaja yang baru jatuh cinta kok. Langit sadar soal nilai yang ada di dalam dirinya. Itu semua nggak lepas dari didikan kedua orang tuanya."Hidup kenapa harus ada plot twistnya, sih?" Yudha bertanya setelah mondar-mandir kayak setrikaan panas. "Gue mau heran tapi nggak siap juga dengar jawaban: hidup ema
"Menurut kamu Tuhan itu baik nggak?" tanya Ratu pada Dewa yang bersiap untuk terlelap. "Kadang aku pengen marah sama Tuhan," sambung Ratu tanpa berkedip menatap ke depan.Malam sudah larut. Di usir dari apartemen Langit, Ratu dan Dewa nggak gagal pesta. Mereka minum wine sendiri di rumahnya dengan alunan musik lembut dan dansa ala kadarnya. Mereka tertawa bersama dan sesekali terbahak-bahak. Sekarang waktunya bagi mereka berbagi kisah untuk hari ini. Padahal mereka satu kantor, cuma beda ruangan. Tapi beban hari ini tetap jadi topik saat mau tidur."Bagiku Tuhan itu baik. Kenapa?" Dewa pandangi wajah istrinya yang ayu natural tanpa polesan make up. Memang dasarnya Ratu ini cantik dan anggun. Bermake up atau tidak, dasarnya ayu tetaplah ayu. "Kamu pasti punya alasan kenapa marah sama Tuhan."Ratu menarik napasnya dalam-dalam. Mengembuskan perlahan dan tersenyum kecil."Aku pernah punya rencana. Konyolnya aku selalu yakin kalau setiap rencana yang aku susun bakal berhasil. Aku selalu pe