Era tahu jika hidup selalu punya sisi menderitanya. Setiap orang juga punya garis yang tidak bisa disamakan dengan orang lainnya. Cinta, sakit dan penderitaan menjadi hal yang lumrah terjadi. Setelah mengenal Raja, Era tidak mempermasalahkan hidupnya jika harus menderita. Apa pun itu asal Raja, Era tidak akan mempedulikan dirinya sendiri. Asalkan Raja, semuanya rela Era lakukan. Terdengar bodoh, tapi Era tidak bisa melakukan apa pun selain menginginkan Raja."Bodoh! Padahal banyak pekerjaan yang harus dilakukan daripada meratap nasib. Jangan lemah cuma karena cinta, please. Itu menjijikkan."Cibiran dari Rea, jika rungu orang lain yang mendengarnya akan sakit hati. Namun karena Era sudah biasa, mengabaikan perempuan yang ada di hadapannya adalah jalannya. Mulutnya memang setajam silet. "Yang kamu cintai Raja atau hartanya? Nggak tanggung-tanggung, aset yang Raja punya itu banyak. Mana tahu kamu goyah, 'kan?"Era berdecak. Rea bak kompor meletup di pagi hari saat sumbunya berjumpa de
Obrolan Ratu dengan Leora pagi ini Raja dengar semuanya. Selain kesal pindah paksa yang Raja lakukan pada Ratu, ada kesalahan lainnya yang Raja perbuat–menurut Ratu begitu. Sedang Raja sendiri, dirinya tidak punya salah sehingga tidak harus mengakui perihal perlakuannya. Menikah tidak semudah ucapannya yang meluncur, itu kesimpulan yang Raja miliki untuk Ratu. Ngomong nikah kayak mau beli permen di warung aja.Sekarang di siang hari yang tidak terik, mataharinya pelit untuk berjumpa dengan penduduk bumi, Raja panggil Ratu untuk duduk di ruang keluarga sembari menunggu Leora yang tengah bersiap-siap.Ratu masih diam dan tidak mau memandangi Raja. Yang dilakukan Raja justru menatap lekat-lekat kembarannya dengan ekspresi wajah yang tak terbaca."Kalau mau menikah, ya aku setuju." Ratu angkat kepalanya, menghentikan jarinya yang bermain di atas keyboard ponsel dan wajahnya semringah maksimal. "Serius? Abang beneran? Nggak lagi bercanda, 'kan?" Raja angguki jika dirinya benar-benar seri
Langit mendapat telepon di pagi hari seusia salat subuh. Kedua matanya masih mengantuk namun mengabaikan Maminya bukan spesialis mudah yang bisa Langit lakukan. Maka suara riangnya menjawab sambutan Maminya yang sama bahagianya."Mami apa kabar?" tanya Langit lebih dulu. "Malang baik dan sekarang lagi hujan.""Jangan bilang kamu mau tidur lagi?" Ya, begitulah Senja yang selalu mengetahui apa pun yang aka ketiga anaknya lakukan tanpa di beri tahu."Mami tahu aja. Kan mumpung libur juga, Mi." Tanggal merah di hari kerja memang surga dunia sekali. Setelah kemarin menguras tenaga Langit, semalam tidur nyenyaknya tidak ada gangguan mau pun hambatan. "Mami lagi apa? Papi apa kabar?""Sehat semua. Lagi duduk santai. Kemala? Nanya doang tapi nggak pernah pulang.""Kan kerja, Mi. Liburnya aja cuma sehari doang." Langit membela diri. Maminya sejak dulu kala selalu memperlakukan dirinya berbeda ketimbang Raja dan Ratu. "Abang ke Semarang katanya, Mi.""Nggak katanya lagi, emang iya lagi bulan m
Mau tidak mau Langit mempersilakan Arra masuk. Perempuan itu dengan semangat dan senyum lebarnya langsung duduk di ruang tamu apartemen. Kedua mata Arra terus mengeksplorasi ruangan Langit yang kecil namun cukup mewah. Beberapa potret foto keluarganya sengaja Langit letakkan di sana. Sengaja, begitu masuk akan langsung bisa melihat foto tersebut dan semangat Langit membuncah."Aku cuma punya ini." Langit letakkan minuman soda kalengan di hadapan Arra yang masih serius menatapi potret demi potret keluarganya. "Mami baru nelepon dan bilang kalau kamu di sini."Barulah kepala Arra menatap Langit dengan senyuman kecil menawan. "Udah seminggu aku di sini." Dan baru menemui Langit di hari libur kerja setelah beberapa waktu lalu gagal. "Aku waktu itu ke sini tapi kamu nggak ada di apartemen.""Kerja," jawaban Langit singkat, jelas dan padat."Malam tapi kamu nggak ada di rumah.""Mungkin lembur. Menjelang akhir bulan selalu lembur karena ada data-data yang harus di cocokkan. Lagian kamu ngg
Ratu tidak mau memaafkan. Sedangkan kata Leora, kenyataan dari memaafkan tidak serta merta membuat kita melupakan kejadian yang telah menimpa bukan juga untuk membenarkan perilakunya. Apa lagi sampai membebaskan orang tersebut dari konsekuensi dan menerimanya kembali. Faktanya, memaafkan itu soal keputusan. Keputusan untuk menerima realita dan membebaskan beban emosional yang mengikat kita dan keputusan untuk tidak membalas dan menghukum orang tersebut. Siapa bilang memaafkan semudah membalikkan tangan? Memaafkan juga butuh waktu. Karena semakin sering kita tersakiti, semakin dalam emosional kita, semakin dalam luka yang kita rasakan akan semakin sulit untuk kita memaafkan. "Nggak apa-apa. Kamu nggak perlu buru-buru." Itu pesan yang Leora sampaikan untuk Ratu dan masalahnya semalam. Leora memahami karena pernah berada di posisi yang Ratu rasakan meski beda konteks. "Tapi kalau kamu nggak mau memaafkan, itu bakalan lebih sulit buat sembuh. Karena kita bukan memaafkan untuk orang lai
Adakalanya rasa takut itu datang menyelimuti. Seolah-olah terjebak di dalam air dan sulit untuk bernapas. Bingung dan pikiran mulai mensugesti jika akan tercekik. Jika tidak segera bertindak, maka akan hancur. Itu yang ada di dalam pikiran Ratu saat ini. Dia benar-benar tidak tahu harus bertindak apa untuk menghadapi Bala. Bukan karena cinta apa lagi sayang m tapi Ratu serius tidak tahu harus bagaimana. Di temui, ah untuk apa? Wong Ratu sudah malas kok. Tidak di temui, Bala terus merengek meminta bertemu. Alasannya yang rindulah, inilah, itulah padahal sudah jelas-jelas Ratu mengabaikan. Laki-laki memang begitu saat menyukai seorang perempuan. Akan gigih dalam mendapatkan lalu membuangnya usai di rasa puas telah menggunakannya. Jahanam!"Masih belum nemuin jalannya?" tanya Leora yang datang membawa pisang keju.Liburannya di Semarang bersama Raja punya banyak kesan meski secara mendadak Raja harus mengurus pekerjaan juga. Suaminya yang gila kerja, di mana pun tubuhnya berada, bekerja
Setelah Rea pergi, banyak hal yang terjadi dalam hidup Raja. Perubahan-perubahan kecil yang meningkat secara signifikan dari sulung keluarga Anggoro ini terbilang cepat. Banyak orang yang kagum dan memujanya. Para perempuan yang melihatnya ingin setidaknya satu kali dalam seumur hidup mereka bisa bersama dengan Raja. Dan perubahan lain yang tidak pernah orang lain ketahui selain dirinya sendiri adalah kepribadiannya.Karena di beri trauma yang sangat besar dalam hidupnya, Raja menyimpan dendam. Semua perempuan yang menginginkan dirinya, harus berakhir di atas ranjang. Hanya di sanalah Raja melampiaskan emosinya. Rea belum tahu sisi lain Raja namun membuatnya berubah dalam waktu satu malam, menjadi kepuasan tersendiri bagi Rea. Ternyata semudah itu menghancurkan hidup seseorang. Pastinya Raja amatlah di harapkan oleh keluarganya untuk menjadi orang yang sempurna dan Rea menjadikannya cacat secara mental."Mikirin apa?"Rea terseret dari lamunannya untuk kembali ke dunia nyata. Di mana
"Abang maksudnya apa?"Langit langsung melayangkan protes tanpa salam begitu Raja mengangkat teleponnya. "Salam dulu," Balan Raja dengan halus di seberang sana. Terdengar helaan napas dari Raja yang membuat Langit mendengkus. Raja menyebalkan sekali dengan membawa Arra ke Malang bahkan bekerja di satu kantor yang sama dengannya. Langit tentu gerah. "Aku nggak bisa lagi sabar, ya! Tadi aku telepon Abang mau protes tapi sadar harus elegan di hadapan musuh.", Langit tidak bisa menunggu lebih lama lagi. Raja belum memberinya penjelasan. "Aku nggak bisa, Abang."Biasanya, jika Langit sudah merengek seperti ini, Raja akan merasa terenyuh dan mulai luluh. Tapi entah dengan yang sekarang. Karena itu licik. Langit melihatnya sendiri tadi. "Makanya Abang bilang: tunggu. Kamu nggak bisa asal buat ngambil keputusan balik atau malah kocar-kacir. Nanti kamu makin nangis misalnya Arra ngasih serangan yang tak terduga.""Maksud Abang apa? Dia punya rencana apa, sih sampai harus masuk ke perusahaa
Langit tiba di Jakarta. Membawa Dinda dan anaknya. Meski Dinda terlihat ragu dan takut dalam langkahnya meninggalkan pelataran bandara, tapi Langit meyakinkan bahwa semuanya akan baik-baik saja. Dinda percaya Langit, sepenuhnya tanpa rasa ragu.Yang jadi masalah adalah diri Dinda sendiri. Apakah Dinda orang yang tepat untuk Langit? Apakah semesta mau menerima hubungan mereka sedangkan Dinda banyak luka di masa lalu. Apakah mereka pantas untuk bersama? Semua pertanyaan itu terus berputar di kepala Dinda dan belum ditemukan jawaban yang tepat."Kalau kamu ragu sama diri kamu sendiri, seenggaknya kamu lihat aku, Din." Langit genggam tangan Dinda saat masuk ke dalam mobil. "Ada aku yang mau sama kamu dan cukup kuatkan aku kalau kamu bakal selalu ada di samping aku. Kalau kamu ragu tapi pergi yang kesusahan itu aku, Din. Jadi, bisa, 'kan jangan ragukan perasaanku buat kamu?"Setulus itu Langit dalam mencintai Dinda dan nggak ada yang bisa Langit lakukan kalau Dinda nggak ada di sampingnya.
Kalau di kasih pilihan, semua orang di muka bumi ini maunya punya kisah yang bagus. Nggak ada satu pun di antara mereka yang mau kisahnya berakhir tragis. Jangankan tragis, putus dan berpisah dari orang yang selalu ada bareng kita di setiap harinya aja dunia udah runtuh. Apalagi dipisahkan dengan maut. Jadi kalau ada pilihan bagus buat berakhir indah maka jawabannya adalah ya.Tapi yang namanya takdir siapa yang tahu, sih? Jalannya aja udah nggak ketebak. Itu rahasia Tuhan dan selalu jadi misteri. Manusia itu cuma bidak-bidak dalam permainan catur. Dari awal bermain sampai akhirnya di mana Tuhan yang jadi penentunya. Jadi jangan terlalu sombong ketika mendapatkan sesuatu yang lebih."Kok ada, sih orang kayak gitu?" tanya Ratu kepada Ratu yang baru selesai bercerita. "Padahal mbak udah sebaik ini dan ngasih banyak fasilitas buat dia. Tapi kenapa balesannya bikin geleng-geleng kepala, sih?"Leora nggak mau ambil pusing soal karyawan yang membawa kabur uangnya. Leora cuma kecewa kenapa n
Langit sadar, yang paling mengerti tentang diri kita adalah diri sendiri. Namun begitu Langit juga tahu ada Dinda yang selalu memahami dirinya tanpa diminta dan diberi penjelasan secara gamblang. Dinda lebih dewasa dari yang Langit kira. Selain statusnya yang janda, Dinda sudah ditimpa banyak masalah dalam hidupnya. Jadi wajar kalau wanita satu anak itu telah mengambik banyak pelajaran dari perjalanan di hidupnya."Ngapain?" tanya Dinda saat melihat Langit berdiri di depan pintu masuk apartemennya. "Kamu mau bikin suasana makin kacau?"Hari masih pagi. Mentari belum sepenuhnya menyinari bumi. Udara pagi hari di Malang segar dan sejuk. Yang bisa Langit lakukan hanyalah menunduk dan menggelengkan kepalanya atas tanya yang Dinda ajukan. Baru setelah beberapa menit dan menarik napasnya dalam-dalam, Langit memberanikan diri menautkan matanya pada Dinda."Aku udah biasa," kata Langit yang dibalas kerutan dahi oleh Dinda. "Tapi kali ini aku menolak menerimanya."Dinda makin nggak ngerti ke m
"Sebenarnya aku punya banyak ketakutan," aku Leora malam itu pada Raja yang sedang membaca beberapa berkas kantor. Helaan napas Leora yang berat dan diembuskan dengan kasar membuat Raja paham jika istrinya sedang tidak baik-baik saja. Ada yang Leora rasakan dan hendak dibagi pada Raja. Maka menutup berkas dan sepenuhnya memfokuskan diri pada Leora segera Raja lakukan."Tentang apa?" balas Raja bertanya. Raja larikan jarinya ke kepala Leora dan mengusap rambutnya yang halus. "Kamu bisa memulainya dari hal yang paling ringan sampai nanti menemukan jawaban ketakutan apa yang membuatmu gelisah."Leora menoleh dengan senyum. Wajahnya ayu nan teduh. Sehingga siapa pun yang memandangnya akan suka dan terbuai. Raja tatapi dalam-dalam netra gelap Leora yang cerah."Banyak. Terlalu banyak sampai aku nggak bisa ngungkapin perasaan apa yang aku rasain. Aneh, 'kan istrimu ini?" kekeh Leora setelah menilai dirinya sendiri."Anggap aja itu kelebihanmu. Kalau kamu nggak unik, kita nggak ada terjebak
Dalam hidup apa benar-benar ada yang namanya akhir bahagia?Kalau pertanyaan itu ditujukan pada Langit, maka mulutnya akan terkunci rapat. Langit aja belum sepenuhnya mengerti tentang arti hidup kok malah ditanya soal kebahagiaan. Langit walaupun umurnya sudah terbilang matang buat nikah, ternyata nikah juga nggak segampang balikin tangan atau kayak yang orang lain lakukan. Mereka menikah setelah ketemu dan menjalani hubungan dengan orang yang menurutnya tepat. Lah Langit? Mubeng dulu kayak bianglala."Jadi kapan mau bawa Dinda ketemu mami sama papi, Lang?" Radit Anggoro semakin berumur semakin berkharisma. Aura kewibawaan bapak tiga anak itu terlihat dengan jelas. Langit yang ditanya kayak gitu cuma bisa nelen nasi dan ayamnya bulat-bulat. Untung nggak kesedak."Kalau udah di rasa siap, pi," jawaban Langit bukan jawaban tegas yang mau di dengar Radit. "Papi sendiri belum ngasih restu," lanjutannya bikin Radit diam. Langit ada benarnya juga."Kamu udah izin waktu itu. Papi izinin."
Hidup Raja ya begitu-begitu saja. Nggak ada yang istimewa atau yang wajib dikepoi sama semua orang. Walau sebagai seorang suami bersikap hangat, Raja tetaplah Raja yang dingin dengan orang luar. Nggak pandang bulu siapa orangnya. Yang nggak Raja kenal atau terlalu akrab, Raja nggak mau terlalu banyak terlibat. Say hai saja sudah cukup. Selebihnya jalani kehidupan masing-masing tanpa saling merepotkan."Mami sama papi jadi dateng, Ra?" Raja bertanya pada Leora yang sedang menyiapkan kopinya. "Pasti rempong, deh."Raja duduk di kursinya dengan kedua tangan membuka koran paginya. Bukan asal Raja ngomong. Semua orang yang bekerja di rumahnya juga tahu gimana mami dan papinya kalau datang ke rumahnya. "Namanya juga orang tua ke anak, wajar," jawab Leora sambil meletakkan kopi dihadapan Raja. "Kamu kenapa sensi banget tiap mami sama papi ke sini? Nggak seneng orang tua kamu datang berkunjung? Kenapa nggak kamu aja yang pulang ke rumah mami papi?"Nah, salah satu keribetan yang Raja miliki
Tolok ukur kebahagiaan seseorang itu gimana, sih?Pertanyaan semacam itu kerap mampir ke benak Dewa. Termasuk hari ini saat dirinya akan menjemput Ratu untuk makan siang bersama. Dewa juga manusia biasa. Punya rasa penasaran dan keingintahuannya sering membludak. Kayak misalnya: Ratu bahagia nggak, ya sama aku? Ratu udah ngerasa cukup belum, ya sama aku? Aku ini pilihan yang Ratu mau atau cuma sekadar alat menutupi rasa cintanya kepada Langit dan masih banyak lagi. Misal diluapkan dalam sebuah obrolan, Dewa yakin sehari semalam nggak bakal kelar. Lawan bicaranya butuh waktu berhari-hari buat memecahkan masalah ini dan mencari tahu jawabannya. Belum lagi meyakinkan Dewa kalau itu cuma rasa takutnya aja yang sedang menyelimuti."Jadi orang pemikir emang nggak enak banget!" gerutu Dewa kepada dirinya sendiri yang sedang menyetir di tengah kepadatan kendaraan lain siang itu. "Udah sejauh ini kok gue bisa mikir Ratu bahagia apa enggak? Kalau orangnya denger bisa melayang ini kepala gue."
Kalau wanita bisa patah hati, pria juga bisa bahkan bisa lebih hancur berkeping-keping lebih daripada wanita. Cinta pria itu nyata tulusnya walaupun banyak mulut-mulut bajingan di luar sana yang jual omongan. Bukan berarti semua pria berengsek dan bernilai sama. Ada istilah soal high value women maka pria juga punya harga yang sama untuk dirinya sendiri. Nggak cuma wanita doang yang punya nilai. Sayangnya ketutup sama para bajingan yang demen nyakitin wanita. Langit cuma tersenyum kecil mendengar curahan hatinya sang asisten. Nggak aneh kok kalau Yudha senang ngomel sana sini soal asmaranya. Padahal Langit juga butuh di say hallo untuk hari-harinya. Tapi buat apa, sih? Langit bukan remaja yang baru jatuh cinta kok. Langit sadar soal nilai yang ada di dalam dirinya. Itu semua nggak lepas dari didikan kedua orang tuanya."Hidup kenapa harus ada plot twistnya, sih?" Yudha bertanya setelah mondar-mandir kayak setrikaan panas. "Gue mau heran tapi nggak siap juga dengar jawaban: hidup ema
"Menurut kamu Tuhan itu baik nggak?" tanya Ratu pada Dewa yang bersiap untuk terlelap. "Kadang aku pengen marah sama Tuhan," sambung Ratu tanpa berkedip menatap ke depan.Malam sudah larut. Di usir dari apartemen Langit, Ratu dan Dewa nggak gagal pesta. Mereka minum wine sendiri di rumahnya dengan alunan musik lembut dan dansa ala kadarnya. Mereka tertawa bersama dan sesekali terbahak-bahak. Sekarang waktunya bagi mereka berbagi kisah untuk hari ini. Padahal mereka satu kantor, cuma beda ruangan. Tapi beban hari ini tetap jadi topik saat mau tidur."Bagiku Tuhan itu baik. Kenapa?" Dewa pandangi wajah istrinya yang ayu natural tanpa polesan make up. Memang dasarnya Ratu ini cantik dan anggun. Bermake up atau tidak, dasarnya ayu tetaplah ayu. "Kamu pasti punya alasan kenapa marah sama Tuhan."Ratu menarik napasnya dalam-dalam. Mengembuskan perlahan dan tersenyum kecil."Aku pernah punya rencana. Konyolnya aku selalu yakin kalau setiap rencana yang aku susun bakal berhasil. Aku selalu pe