“Nes, kemana aja sih?”
Nesa berjalan memasuki unit apartemennya, matanya menatap dua orang perempuan yang sedang duduk di sofa, sebuah tayangan televisi yang menyiarkan berita gosip menjadi tontonan keduanya.“Bagus ya pagi-pagi sudah menjarah di unit apartemen saya!” cibir Nesa karena melihat banyak sekali makanan dan minuam yang ada di meja, bahkan kedua perempuan itu sedang memegang cup mie instan. Semua makanan dan minuman itu tentu saja milik Nesa.“Ibu sekretaris biasa aja kali, bicaranya formal banget,” sindir Risa.Nesa hanya memutar bola matanya jengah, ia melempar tasnya ke sembarang arah, dan ikut duduk di samping Risa sambil mengambil kue sus yang ada di meja, lalu melahapnya.“Kemana aja sih?” tanya Seruni mengulang pertanyaan yang belum Nesa jawab.“Biasa habis ngurus bayi besar,” jawab Nesa memegang remot televisi sambil mengganti channel televisi.“Bohong dia, semaleman habis sama Erwin,” celetuk Risa.Mendengar celetukan Risa membuat Nesa kembali mengingat kejadian di resto, perasaan kesal kembali ia rasakan. “Dia naksir sama Nadya bukan sama aku,” ucapnya tanpa mengalihkan pandangan dari layar televisi.“Masa sih? Erwin nanyain kamu sama aku, bukan nanyain Nadya.”“Udahlah, lagian bukan tipeku juga dia.”“Tipemu yang kaya gimana memang?” tanya Seruni, sembari meneguk minuman kaleng yang ada di atas meja.“Seperti Lee Dong-wook, misalnya.”Bugh!Rasa melempar kepala Nesa dengan bantal sofa yang berada di belakang tempatnya duduk. “Halu terus!”“Biarin!” Nesa menjulurkan lidahnya.“Serius Nes, kamu mau cari calon yang kaya gimana?” tanya Risa, kali ini tatapannya benar-benar serius.Nesa mengulum bibirnya, ia paling malas jika membahas tentang ini.“Ibu kamu selalu nanyain sama aku, Seruni, bahkan Nadya. Oke kalau belum mau nikah tahun ini, minimal nanti waktu acara pernikahan aku, ataupun ke pernikahan Seruni kamu bawa gandengan lah,” lanjutnya.“Siap!” Nesa mengacungkan dua jempolnya, lalu ia mengambil tas dan berdiri dari duduknya. “Udah ah aku ke kamar ya, mau tidur!” lanjutnya, baru saja ia akan berjalan, namun tangan Risa dengan cepat memegangnya. Nesa menatap Risa dengan tatapan bertanya.“Kamu menginap di rumah bosmu itu? Semalaman tidak tidur karena ngelonin dia?” tanya Risa menatap wajah Nesa tengil.“Astaga, Risa!” Nesa mencubit pinggang Risa, dan yang di cubit malah tertawa terbahak-bahak sambil mencoba menyingkirkan tangan Nesa yang masih mencubit pinggangnya.“Kita tidur di sini semalam, niatnya mau nemenin kamu malam Mingguan, eh kamunya yang malah ngga ada di apartemen,” tutur Seruni.Sudah biasa memang sahabat Nesa berdiam diri di apartemennya, bahkan sampai menginap. Nesa memang tidak tinggal dengan ibu dan adik lelakinya karena jarak tempat tinggalnya cukup jauh dengan tempat kerja Nesa. Itulah alasan kenapa Nesa memilih tinggal di apartemen, sebenarnya apartemen ini juga bukan milik Nesa, melainkan fasilitas yang diberikan oleh Edgar.“Teman dekatnya Pak Edgar ngadain pesta buck’s night, aku harus jemput dia karena dia hangover, gak mungkin kan ngebiarin dia nyetir sendirian?” jelas Nesa.Seruni dan Risa saling menatap satu sama lain, lalu menatap Nesa penuh selidik. Nesa menghembuskan napasnya. “Terserah deh mau percaya atau ngga,” rengek Nesa sambil memanyunkan bibirnya.“Kamu naksir sama Pak Edgar?”“Astaga Risa! Kenapa sih mulutmu itu!” kesal Nesa kembali mencubit pinggang sahabatnya, bukan hanya mencubit tapi sesekali juga Nesa menggelitiknya.Risa tertawa sambil mencoba menyingkirkan tangan Nesa. “Ahaha … Nes, udah geli ih!”“Aku sama Seruni juga mikir yang sama soal kamu sama bosmu itu,” lanjut Risa.Nesa yang sudah kembali duduk di samping Risa langsung menatap Seruni dengan tatapan tidak terima. “Ni, aku gak gitu ya!”Seruni terkekeh lalu berkata, “Kamu gak pernah pacaran, mantanmu juga cuman satu, itupun waktu kuliah. Kita mikirnya mungkin kamu suka sama bosmu, makannya gak pernah pacaran. Secara kan kamu jadi sekretarisnya udah hampir mau tujuh tahun.”Kenapa kesendiriannya harus di sangkut pautkan dengan bosnya?“Pemikiran kalian tuh terlalu jauh,” gerutu Nesa.“Kamu juga suka ngehalu punya suami kaya Lee Dong-wook, itu juga halu kamu terlalu jauh,” celetuk Risa mendorong bahu Nesa pelan.“Ganti topik!”Nesa menyenggol bahu Nesa sambil terkekeh, “Beneran kamu suka sama bosmu?” Nada suaranya terdengar sangat menyebalkan di telinga Nesa.“Aku cuman kerja sama dia, bahkan terlintas di benak aku buat suka sama dia pun enggak pernah. Aku sudah pernah cerita semua tentang dia kan, betapa sangat menyebalkannya dia, kalau disebutin satu-satu pun pasti bakalan ratusan, bahkan mungkin ribuan episode,” tutur Nesa dengan menggebu-gebu, entahlah membicarakan tentang bosnya membuatnya sangat kesal.“Napas dulu, Nes,” titah Risa mengelus punggung Nesa pelan sambil terkekeh pelan.Tangan kanan Nesa langsung menyambar minuman kaleng yang ada di meja, lalu meneguknya sampai setengah. Ia menarik napas dalam, lalu menghembuskannya dengan perlahan.“Gak ada niatan mau resign, Nes?”Pandangannya langsung beralih menatap Seruni yang menanyakan hal itu“Aku cuman nanya aja sih. Mungkin kamu selama ini sibuk sama karier, jadi gak ada waktu untuk punya hubungan sama laki-laki, bisa aja kan kaya gitu?” tutur Seruni.Nesa hanya terdiam, mulutnya tidak tahu mau mejawab apa atas pertanyaan yang dilontarkan Seruni.“Ah! Lupain aja, aku cuman asal bicara aja tadi,” ujar Seruni, menatap wajah Nesa sungkan.Keheningan langsung tercipta di ruang tengah ini, hingga suara seseorang yang sedang menekan tombol angka agar kunci apartemen terbuka, mengalihkan perhatian mereka, bahkan pandangan mereka tertuju pada pintu, menunggu siapa gerangan yang akan masuk ke dalam.“Hai!”Perempuan yang baru saja membuka pintu langsung berlari untuk bergabung dengan mereka. Seperti biasa, keceriaan yang terpancar dari wajahnya sampai berhasil membuat suasana ruangan ini ikut ceria dan hangat.Anadya Azalea, nama lengkap perempuan itu. Wajahnya cantik, punya sifat periang dan sangat baik. Nesa mengakui itu semua, namun terkadang perasaan iri muncul di hati Nesa. Keluarga Naya harmonis, kedua orang tuanya sangat menyayanginya, banyak yang menyukainya baik itu perempuan apalagi lelaki.“Astaga! Apartemen kamu jauh banget Nes!” gerutu Nadya yang langsung duduk lesehan di karpet berbulu lalu mengambil minuman kaleng yang dipegang oleh Nesa lalu meneguknya hingga habis.“Lagian kalian kenapa tiba-tiba datang ke sini sih?” tanya Nesa mengedarkan pandangannya menatap satu-persatu sahabatnya.“Makannya baca chat grup, Nes,” jawab Naya.“Mau apa emang?”“Fitting baju.”“Katanya nanti lusa, kenapa jadi sekarang?”“Ssstt! … ayo buruan siap-siap! Atau mau pakai baju itu aja?” titah Risa.Nesa menghembuskan napas berat.Risa, sebentar lagi dia akan melangsungkan pernikahan. Tentu saja Nesa, Nadya, dan Seruni yang akan menjadi bridesmaid di pernikahannya, dan sesuai apa yang dikatakana oleh Risa, fitting baju yang katanya akan dilakukan lusa, ternyata menjadi hari ini. Risa benar-benar membuat rencana tidurnya di hari weekend terakhir minggu ini gagal total!***Nesa menampilkan senyumnya. Agus—security yang hari ini sedang bertugas di depan lift, menyimpan benda pipih persegi atau cardlock pada kotak sensor untuk membuka pintu lift. Tidak lama pintu lift terbuka, Edgar masuk terlebih dahulu, lalu setelahnya baru Nesa.“Makasih Pak Agus,” ucap Nesa, tidak bersuara namun gerak bibirnya terbaca oleh Agus. Security itu hanya mengangguk lalu tersenyum, hingga pintu lift tertutup kembali dan bergerak naik ke atas.Tidak ada yang salah dari heals hitam yang dipakainya, hanya saja situasinya yang sangat hening di dalam lift ini membuat Nesa bingung harus menatap ke arah mana dan memutuskan untuk menatap sepasang healsnya saja.“Dina tidak menghubungimu?”Nesa mendongakkan kepalanya, lalu ia menatap ke arah Edgar. “Tidak Pak, kenapa memang?” tanya Nesa, ia bingung, kenapa pertanyaannya sama seperti kemarin? Kenapa Dina—calon istri Doni harus menghubunginya? Maksudanya untuk apa?Lagi dan lagi Edgar hanya diam, hingga pintu lift terbuka, lalu dia kelua
"Umur Edgar sudah berapa tahun?"Mia menatap perempuan yang duduk disebrangnya."Tahun ini 35."Evi—perempuan yang tadi bertanya langsung menatap Mia dengan tampang terkejut. "Ah! Edgar dan Fajar tahun kelahirannya sama, ya?"Mia mengangguk."Kamu ngga mau apa gendong cucu, Mia? Fajar saja sudah menikah dan sudah punya anak, bahkan sudah mau punya anak ke-2. Edgar kerja terus tapi ngga nikah-nikah."Mia menghela napasnya lesu. "Aku sudah bilang sama Edgar, duh rasanya mulutku udah sampai berbusa, nggak kehitung lagi pokonya berapa kali aku nanya tentang ini sama Edgar, tapi Edgar—" Mia sampai tidak bisa berkata-kata lagi, kepalanya menggeleng-geleng, tidak tahu harus bagaimana dengan pembahasan menikah ini."Masa dia belum pernah bawa perempuan ke rumah?" tanya Wita ikut bertanya.Mia hanya menggeleng.Evi salah satu dari Tante Edgar meringis prihatin menatap adik iparnya. "Atau aku kenalkan sama salah satu putri temanku?""Percuma, Mbak. Udah aku coba kenalin perempuan sama dia, tapi
"Perfect!" sekali lagi ucapan itu keluar dari mulut lelaki kemayu yang baru saja selesai memoles wajah Nesa dengan make-up yang membuat penampilan Nesa terlihat lebih cantik."Thankyou, Bep," ucap Nesa menampilkan senyumnya."Iya Bep! Cakep kan make-upnya? Bisa dibacok gue sama Pak Bos kalau make-upnya cacat."Nesa kembali menatap penampilannya di cermin, lalu mengangguk pelan. "Udah oke kok, tenang aja!""Lo tahu nggak, kalau make-up lo Pak Bos suka nih, bisa dibayar dua kali lipet gue, cucok 'kan?" Lelaki itu menampilkan cengiran khasnya menatap Nesa melalui pantulan cermin."Iya! Tahu gue... kalau make-up gue jelek udah pasti bikin malu Pak Bos di acara nikahan sahabatnya."Bukan hal baru memang, jika ada sebuah acara penting yang mengharuskan Nesa memoles wajahnya dengan make-up, maka Edgar akan menghadirkan MUA. Nesa tahu alasan mengapa harus memakai jasa MUA walaupun sebenarnya Nesa bisa memakai make-up sendiri, tentu saja agar Nesa tidak terlihat memalukan jika bersanding dengan
"Kamu sudah cukup lama menjadi sekretaris Edgar. Kamu pasti mengetahui banyak tentang kehidupan anak saya, apa kamu tahu tentang urusan percintaannya—maksudnya, apa kamu tahu Edgar sedang menjalin hubungan dengan seorang perempuan?" Mia menatap Nesa dengan tatapan penuh harap.Nesa menggeleng sebagai jawaban. Walaupun ia sudah cukup lama menjadi sekretaris Edgar, tapi ia tidak pernah tahu urusan percintaan bosnya. "Maaf, tapi saya tidak mengetahui urusan percintaan Pak Edgar, sepertrinya itu juga terlalu privacy.""Kamu tidak tahu ya... baiklah." Mia menjeda ucapannya beberapa detik, lalu kembali menatap Nesa. "Tapi, apa kamu pernah melihat Edgar tertarik dengan seorang perempuan, maksudnya pergi berkencan, atau menyuruh kamu untuk mencari tahu kehidupan salah seorang perempuan karena Edgar tertarik kepada perempuan itu?" Mia kembali melanjutkan pertanyaannya.Lagi-lagi Nesa menggeleng. Edgar tidak pernah membahas tentang perempuan kepadanya.Melihat Nesa menggeleng, membuat Mia mendad
Kedua bola matanya membola sempura, jantungnya berhenti berdetak untuk beberapa detik, jika saja tidak ada pintu di sampingnya, mungkin Nesa akan duduk terjatuh saking ia merasakan lemas di kakinya."Bu Nesa, selamat pagi," sapa Sandi yang baru menyadari kehadiran Nesa. Lelaki itu langsung berdiri dari duduknya dengan wajah yang sedikit terkejut karena kehadiran Nesa, namun dia berhasil menyembunyikan wajah terkejutnya dengan menampilkan sebuah senyuman. Karena sapaan Sandi, Edgar, lelaki yang sedang duduk di sun lounger ikut menatap Nesa."Pa—pagi... " Nesa merutuki dirinya sendiri karena suaranya terdengar sangat gugup. Ia berdehem, lalu tersenyum. "Pagi, Pak," ulang Nesa."Saya tunggu di luar kalau begitu." Sandi membungkukkan sedikit kepalanya untuk berpamitan, lalu dia berjalan meninggalkan area kolam renang, meninggalkan Edgar dan Nesa yang masih berdiri mematung di dekat sliding door.Edgar bangun dari duduknya, membenarkan lilitan handuk dipinggangnya lalu mengambil segelas min
Nesa mengangguk-anggukkan kepalanya sambil terkekeh pelan, lambat laun suara kekehan itu menjadi tawa cukup kencang, dan beberapa detik setelahnya bibirnya cemberut dan meraung frustasi. Perempuan itu mengacak-acak rambutnya dengan kesal, beberapa orang yang melihat keadaan Nesa meringis ngeri, mungkin saja mereka mengira Nesa adalah orang gila.Nesa sedang berada di jalanan trotoar hendak menuju ke unit apartemennya. Baiklah, kita ceritakan bagaimana awal mulanya Nesa pulang dengan keadaan jalan kaki seperti ini. Tadi, setelah semua pekerjaannya selesai Nesa bersiap akan pulang. Edgar awalnya mengajak Nesa untuk pulang bersama, namun tentu saja Nesa menolaknya, bahkan karena saking buru-burunya ingin pulang dan menghindari bosnya, Nesa sampai lupa membawa dompet. Nesa diturunkan oleh supir taxi karena Nesa mengaku jika dompetnya tertinggal di meja kerjanya, yang lebih parah adalah, baterai handphone Nesa habis, handphonenya mati total.Pikirannya sedang kacau karena bosnya, ditambah
"Jangan bikin orang mabok kesel! Nanti lo tahu sendiri akibatnya!" Benar, tadi setelah Nesa mengeluarkan kata umpatan, ketiga lelaki yang sedang dalam kondisi mabuk itu terlihat jelas perbedaan raut wajahnya. Terlihat lebih menakutkan. "Iya, makasih sudah nolongin aku dari mereka," kata Nesa walaupun dengan nada yang terdengar seperti tidak sungguh-sungguh berterima kasih. "Sana balik!" usirnya. Lelaki itu segera duduk di kursi kayu panjang lalu mengeluarkan pemantik rokok dari saku celananya, asap mengepul ke udara ketika lelaki itu selesai menghisap rokoknya. "Makasih ya Bu, saya pamit," kata Nesa tersenyum menatap Ibu penjaga warung. "Sama-sama, Neng." Perempuan paruh baya itu membalas senyuman Nesa. "Bian, anterin dulu atuh si Neng, sampe ke apartemennya," lanjut Tati—Ibu penjaga warung yang kini sudah beralih menatap lelaki yang sedang merokok di depannya. Bian—lelaki itu menatap Nesa dengan tatapan dingin. "Dari sini lo tinggal lurus aja, nanti keliatan tuh jalan gede, lo t
Kedua matanya perlahan mengerjap, kembali menajamkan pendengarannya karena mendengar suara bel pintu apartemennya berbunyi. Nesa perlahan menyibakkan selimut yang menutupi tubuhnya, keningnya mengeryit ketika melihat pakaian yang dipakainya—baju kerjanya kemarin masih melekat di tubuhnya. Nesa menginjakkan kakinya ke lantai sambil meregangkan otot-ototnya, mulutnya menguap lebar sampai kedua matanya terpejam. Perempuan itu terdiam beberapa detik saat matanya melihat sepasang sendal jepit berwarna hitam yang dipakainya semalam. Ting! Suara bel itu kembali menyadarkan Nesa, perempuan itu langsung berjalan keluar dari kamar. "Jam tujuh? Yang benar saja?!" Kedua mata Nesa membola sempurna ketika melihat jam dinding yang menggantung di ruang tengah. "Sial! Aku kesiangan!" Ting! Lagi, bunyi bel itu mengalihkan perhatian Nesa. Ia langsung berjalan menuju pintu tentu saja sambil mendumel karena orang di luar terus memencet bel dengan tidak sabaran. "Tidak bisakkah sabar sedikit...." Nesa
"Gue ngga perlu jelasin serinci mungkin, Nes. Suami lo jelas pasti tahu semuanya." Nesa menatap Edgar dengan kening mengernyit, seolah bertanya tentang kebenaran dari ucapan Bian. "Udah sih, gue ngga papa, ngga usah natap gue kasihan gitu!" katanya. Walaupun begitu tetap saja, ada perasaan aneh yang dirasakan oleh Nesa. Ini jelas berita besar—dan yang paling mengkhawatirkan adalah bagaimana perasaan Bian selama ini? Pasti lelaki itu sudah melalui banyak hari yang berat. "Sudah berapa bulan?" tanya Bian mempersilahkan Nesa untuk duduk. "Jalan enam bulan," jawab Nesa semangat, mencoba bersikap seperti biasanya. "Apa suami lo memperlakukan lo dengan baik?" Nesa mengangguk tanpa ragu. "Mas Edgar mencintai aku... sangat!" "Bagus! Kalau dia ngga memperlakukan lo dengan baik, mending sama gue aja." Nesa terkekeh pelan, menggeleng lalu memeluk perut Edgar yang sedari tadi masih berdiri di dekatnya. "Nanti Mas Edgar sendirian, kasian." Bian menatap Edgar dengan tatapan yang
"Mas...." Edgar terlihat menghela napas, melepaskan perlahan tangan Nesa yang melingkar di lengannya. "Mas masih marah ya?" tanya Nesa memanyunkan bibirnya, kembali mencoba melingkarkan tangannya di lengan Edgar, walaupun suaminya itu kembali melepaskannya. "Iya maaf, ngga jadi Mas. Tadi aku cuman bercanda kok," lanjutnya. "Saya berangkat," katanya terkesan jutek walaupun sebelumnya mencium kening Nesa sebagai rutinitas wajib pagi mereka sebelum Edgar berangkat kerja. "Ah Mas Edgar...." Nesa kembali merengek, menghalang langkah suaminya. "Aku minta maaf, jangan marah." "Saya ada meeting Vanesa." "Tuh kan! Panggilan sayangnya mana?" Edgar kembali menghela napas pelan, menampilkan senyum yang sebenarnya tidak sampi hati itu. "Saya berangkat kerja ya, ada meeting pagi ini sayang," kata Edgar mengulang pernyataannya. Melingkarkan tangannya memeluk pinggang Edgar, Nesa mencium pipi kanan suaminya dengan lembut. "Aku beneran cuman bercanda tadi, jangan ngambek lagi yaa... dan semoga
Nesa mengerjapkan matanya perlahan, bibirnya berdecak pelan ketika telinganya masih mendengar suara notifikasi alarm dengan volume yang bukan main kencangnya.Mencoba bangun dari tidurannya untuk mengambil ponsel, tetapi tubuhnya dipeluk erat oleh sang suami.Dengan perlahan ia mencoba melepaskan tangan Edgar yang melingkar di perutnya, setelah berhasil, ia bangun lalu berjalan mengitari ranjang untuk duduk di tepi kasur, mengambil ponsel Edgar yang masih mengeluarkan suara notifikasi alarm untuk mematikannya.Disya mengernyit ketika merasakan perbedaan dengan kamar yan ditempatinya, mendongak lalu kembali memperhatikan sekitaran kamar dengan cahaya remang."Sudah bangun, sayang?" tanya Edgar, kedua tangannya kembali memeluk perutnya erat.Nesa tersenyum kecil lalu mengusap lembut lengan Edgar yang melingkar di perutnya."Sudah, tumben banget pasang alarm pagi-pagi buta begini sih?""Biar ngga kesiangan.""Mau ke mana?""Lihat sunrise.""Huh?"Nesa ingat, semalam ia dan Edgar menghadi
Edgar menghentikan kegiatanya yang sedang berkutat dengan laptop, melirik Nesa yang sepertinya sangat fokus menatap handphone dengan kedua telinga yang disumpal earphone, keduanya duduk bersebelahan, tetapi sibuk dengan kegiatannya masing-masing. Cup! Edgar mencuri satu ciuman di pipi kanan Nesa, yang jelas hal itu dilakukan untuk mendapat perhatian dari si perempuan. "Sedang menonton apa, fokus sekali?" Nesa sedikit terperanjat kaget, langsung mematikan layar handphone, menatap suaminya dengan senyum canggung sambil melepaskan earphone yang masih terpasang di telinganya. "Ngga ada apa-apa kok—aku ngga nonton apa-apa, Mas." Edgar mengernyit, reaksi Nesa terlihat berlebihan padahal dia hanya bertanya. Ditatap sebegitunya oleh Edgar jelas membuat Nesa ciut, seolah ia tidak akan pernah bisa berbohong kepada lelaki itu. "A—aku menonton video Sandi bernyanyi, aku ngga sengaja nyari, Mas, beneran. Tiba-tiba dia muncul di beranda sosial mediaku." "Mana lihat." Nesa kembali menyalakan
"Masih main?" Sandi kembali menyesap batang nikotin yang ada di sela jarinya, lalu menggeleng pelan menjawab pertanyaan Edgar. Edgar mencebikkan bibirnya tidak percaya ketika lelaki yang duduk di sampingnya menjawab tidak pada pertanyaan yang sebelumnya diajukan. "Nadya juga tidak buruk mendesah dibawah saya, dan yang paling penting saya tidak perlu repot-repot memakai pengaman ketika bercinta—wah rasanya berkali-kali lipat lebih nikmat ternyata!" "Saya pernah bilang kan, apa enaknya bercinta menggunakan karet?" Sandi menyunggingkan senyum miring, kembali mengepulkan asap rokoknya ke udara, mendongak menatap ke atas lalu menghela napas berat. "Kamu menyesal melakukannya?" Edgar bisa melihat wajah Sandi sebenarnya sedang tidak baik-baik saja. Jelas ada sesuatu yang membuatnya tidak nyaman. "Hanya tidak menyangka akan sampai di titik ini." "Nesa tidak tahu kamu lelaki seperti apa. Jika dia tahu kamu sering bercinta dengan banyak perempuan jelas ia tidak akan setuju kamu bersama
Jam dua siang mereka benar-benar baru meninggalkan kamar, itupun karena rasa lapar menghantui mereka. Jangan ditanya mereka melakukannya lagi atau tidak setelah membaca lembaran diary milik Nesa—tentu saja iya—maklum keduanya masih dimabuk cinta, kata Edgar ini adalah bentuk balas dendam karena selama hampir dua bulan resmi menikah mereka belum melakukannya. Beruntung Nesa mau melayaninya walaupun sembari merengek menangis. “Ih iya Mas aku lupa hari ini jadwal pemberangkatan Nadya lho,” kata Nesa ketika ia sedang fokus membuka handphonenya. “Jam berapa?” tanya Edgar. “Jam lima. Untung jam lima, jadi masih ada waktu buat ke sana,” kata Nesa mematikan layar handphonenya lalu menatap Edgar. “Aku ijin ketemu sama Nadya dulu ya Mas sebelum berangkat, ada Seruni juga kok, boleh?” Edgar mengangguk. “Sama saya.” “Oke!” Nesa kembali menampilkan senyum manisnya menatap Edgar, kembali melingkarkan kedua lengannya di leher Edgar—keduanya sedang menuruni tangga sekarang, hendak me
"Hah....."Baik Nesa maupun Edgar sama-sama terengah. Nesa yang berada di atas tubuh Edgar sampai tumbang, jatuh memeluk tubuh suaminya erat, menenggelamkan wajahnya tepat di dada Edgar."Saya masih belum selesai," kata Edgar menampilkan smirknya, mengusap bagian atas rambut Nesa.Masih dalam posisi yang sama, Nesa menggeleng-gelengkan kepalanya, lalu setelahnya mendongakkan wajahnya menatap manik sang suami. "Pak Edgar tadi janji hanya akan melakukannya satu kali," katanya dengan bibir yang ditekuk.Edgar mencubit pelan ujung hidung Nesa dengan gemas. "Ah! Kamu saja masih memanggil saya dengan sebutan Bapak. Bukankah sudah saya katakan akan menghukum kamu jika kembali mengatakan panggilan itu?"Nesa kembali memanyunkan bibirnya. "Justru kalau aku panggil selain itu, pasti akan terjadi ronde-ronde selanjutnya. Aku lelah—" Nesa menjeda ucapannya, kembali menenggelamkan wajahnya di permukaan dada suaminya. "Setelah melakukannya, aku ngantuk, mau tidur lagi...."Nesa dibawa berbaring di
Sesuai apa yang dikatakan oleh Nadya kemarin, mereka langsung merencenakan pertemuan dengan Seruni dan Risa, di kediaman Risa. Yang mana memang tujuan utamanya untuk memberi tahu jika Nadya akan pindah ke luar kota.Sekitar jam sepuluh Nesa pamit pada Edgar, lelaki itu tentu mengijinkan, bahkan mengantar Nesa ke kediaman Risa. Urusan mobil Nesa, masih berada di bengkel dan belum selesai diperbaiki, Edgar bahkan meminta untuk mengecek keadaan keseluruhan mobil.Sandi diminta untuk mengantarkan mobil milik Edgar yang berada di kediaman kedua orang tuanya. Hari ini memang masih hari libur, tentu saja Sandi menggerutu, ada banyak hal yang harus dibereskan untuk kepindahannya, nanti. Walaupun begitu Sandi tetap mengikuti perintah Edgar.Kemarin malam, tidak ada cara lain selain kembali ke tempat di mana mobil Nesa berada untuk mengambil kunci, kalau tidak seperti itu, bagaimana cara keduanya masuk ke dalam rumah.Edgar menyuruh Nesa untuk tetap menunggu di teras rumah, sedangkan dia sendir
Riuh tepuk tangan terdengar ketika lelaki yang menjadi pusat perhatian hampir seluruh pengunjung caffe selesai menyanyikan lau terakhirnya. Manik mata Edgar benar-benar tidak pernah lepas menatap ke arahnya, si lelaki yang ditatap juga jelas menatap ke arah Edgar—dari banyaknya pelanggan caffe, sosok Edgar tentu saja yang paling menarik perhatiannya. Bian turun dari atas panggung, setelah sebelumnya menyerahkan gitar yang tadi digunakan menjadi pengiring nyanyiannya kepada rekan bandnya, lalu melangkah menghampiri meja yang ditempati oleh Edgar. Tanpa meminta ijin, Bian langsung duduk tepat di hadapan Edgar. “Ada yang mau lo omongin sama gue?” tanya Bian to the point menatap tepat di manik matanya. Membenarkan posisi duduknya, lalu menyeruput minumam miliknya, Edgar mengangguk mengiyakan pertanyaan Bian. “Apa yang mau lo tanyain?” “Hubungan kamu dengan Vanesa.” “Apa lagi yang mau dijelasin. Nesa udah cerita sama lo kan, kalau kita udah ngga ada hubungan apa-apa.” “....” Edgar