Nesa mengangguk-anggukkan kepalanya sambil terkekeh pelan, lambat laun suara kekehan itu menjadi tawa cukup kencang, dan beberapa detik setelahnya bibirnya cemberut dan meraung frustasi. Perempuan itu mengacak-acak rambutnya dengan kesal, beberapa orang yang melihat keadaan Nesa meringis ngeri, mungkin saja mereka mengira Nesa adalah orang gila.
Nesa sedang berada di jalanan trotoar hendak menuju ke unit apartemennya. Baiklah, kita ceritakan bagaimana awal mulanya Nesa pulang dengan keadaan jalan kaki seperti ini. Tadi, setelah semua pekerjaannya selesai Nesa bersiap akan pulang. Edgar awalnya mengajak Nesa untuk pulang bersama, namun tentu saja Nesa menolaknya, bahkan karena saking buru-burunya ingin pulang dan menghindari bosnya, Nesa sampai lupa membawa dompet. Nesa diturunkan oleh supir taxi karena Nesa mengaku jika dompetnya tertinggal di meja kerjanya, yang lebih parah adalah, baterai handphone Nesa habis, handphonenya mati total.Pikirannya sedang kacau karena bosnya, ditambah dengan keadaanya sekarang benar-benar membuat Nesa terlihat sangat frustasi."Copet!""Tangkap dia, lelaki itu pencopet!"Baru saja Nesa akan menengokkan wajahnya ke belakang karena mendengar suara keributan, ia dikejutkan dengan seorang lelaki yang berjalan cepat melewatinya, bahkan menarik tas milik Nesa. Kedua matanya sempat bertemu dengan manik mata lelaki itu.Melihat Nesa yang hanya diam, bahkan tidak berteriak, padahal baru saja beberapa detik yang lalu si pencopet mengambil tasnya, membuat beberapa orang di sana keheranan. "Mbak! Tasnya di copet itu!" teriak salah seorang lelaki tua yang sedari tadi mengejar si pencopet.Nesa hanya mengangkat bahunya pasrah. Kembali melangkah berjalan melewati trotoar, dengan wajah datar. Beberapa orang masih terlihat berlarian untuk mengejar si pencopet itu. Namun, Nesa—selaku salah satu korban berjalan santai melanjutkan langkahnya, masuk ke dalam gang sepi—menggunakan jalan tikus yang juga menjadi jalan alternatif agar cepat sampai apartemennya."Shh!" Nesa meringis, mencoba mengeluarkan hak heelsnya yang masuk ke dalam jalanan berlubang. Memejamkan matanya, menelan ludah, lalu menghela napasnya pelan. Yang paling menyebalkan adalah; jalanan berlubang itu terdapat genangan air kotor, bisa dibayangkan heelsnya bagaimana sekarang, 'kan? Perempuan itu kembali melangkah dengan menghentak-hentakkan kakinya karena sudah mulai kesal. Namun, lagi-lagi kesialan menimpa dirinya, sepatu heelsnya terkantuk batu—membuat Nesa kehilangan keseimbangan dan langsung terduduk di jalanan. "Arghh! Sepatu sialan!" teriak Nesa frustasi, ia menyelonjorkan kakinya sambil meraung kesal. "Tidakkah bisa hari ini berjalan dengan lancar!" jerit Nesa lagi, yang sudah menangis. Dengan cepat tangannya langsung melepas sepasang sepatu heels yang dipakainya, lalu melemparkannya ke sembarang arah."Bangsat!" Tidak! umpatan itu bukan berasal dari mulut Nesa, tapi dari seorang lelaki yang mendapat timpukkan sepatu heels dari Nesa. Nesa menghentikan acara menangisnya, mengedipkan matanya beberapa kali, dengan tujuan untuk menormalkan penglihatannya karena menangis sehingga matanya berkabut. Seorang lelaki dengan perawakan tinggi berjalan menghampirinya, memegang salah sepatu heels Nesa yang beberapa detik lalu baru saja mengenai wajahnya. Nesa menatap lelaki itu dengan tatapan sendu, bibirnya bergetar, dan beberapa detik setelahnya suara tangisan kembali terdengar, kali ini bahkan suaranya lebih keras dari sebelumnya.Lelaki itu memperhatikan sekitar, lalu berdecak malas. "Gue bahkan belum nyentuh lo, tapi lo udah nangis kejer gitu, sinting! Lo yang salah karena nimpuk gue pake sepatu sialan ini kan, trus kenapa lo yang nangis, hah?!" bentaknya."Punya bos nyebelin, aku minta resign hari ini... tapi ... dia malah ngasih syarat gila sebelum aku resign. Trus tadi, mau pulang dompet aku ketinggalan di kantor... trus—" Nesa menjeda ucapannya karena perempuan itu sedang mengelap ingusnya. "Baterai handphone aku habis, mati total. Akhirnya aku di turunin sama supir taksinya di pinggir jalan... yang lebih parahnya lagi, tas aku dicopet, huaa...." Nesa benar-benar kacau sekarang.Lelaki yang masih berdiri di dekat Nesa kembali mendelik malas. "Kayanya syarat resign lo udah terpenuhi, lo udah kaya orang gila sekarang!" katanya, lalu berjalan melewati Nesa yang masih terduduk di tanah begitu saja setelah melempar sepatu heels Nesa di sampingnya.Nesa meredakan suara isak tangisnya, walaupun masih sesenggukkan ia kembali mencerna ucapan lelaki itu. "Gila... Gila?!" lirih Nesa dengan sangat pelan. Matanya langsung membelalak, menengokkan wajahnya, menatap lelaki itu yang sudah berjalan menjauh dengan tatapan sengit. "Ya! tarik kata-katamu itu! Siapa yang kamu sebut gila!" teriak Nesa kembali melemparkan sepatu heelsnya. Namun, sepatu itu meleset tidak mengenainya.Nesa menghela napas, mengusap air matanya dengan cepat, lalu berdiri. Melangkah untuk mengambil heelsnya yang tergeletak di tanah, belum juga menyentuh heels itu, terdengar suara dari seseorang yang membuat Nesa mengurungkan niatnya. "Wah! Ada cewek nih."Nesa perlahan memutar kepalanya untuk melihat siapa yang memanggil. Wajahnya mendadak pucat pasi, tiga orang lelaki sedang berjalan menghampiri tempatnya berpijak sekarang, dengan masih-masing satu lengan mereka memegang sebuah botol yang sudah pasti isi di dalamnya adalah minuman keras. Dengan perasaan takut, bahkan jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya, Nesa melangkah mundur dengan perlahan."Hei, mau kemana manis. Malem-malem lewat gang sepi, nggak takut ketemu orang jahat emang?" kata salah satu dari mereka yang mempunyai tubuh gempal dengan nada centilnya.Hari ini benar-benar sial!"Jangan macem-macem, saya teriak nih!" ancam Nesa dengan tubuh yang sudah bergetar takut. Bukannya menakuti para lelaki itu, justru Nesa yang terlihat ketakutan, membuat ketiga lelaki itu mengeluarkan suara gelak tawanya."Silahkan teriak nona manis...." goda lelaki bertubuh kurus."Najis!" setelah mengatakan itu, Nesa bisa melihat perubahan raut wajah dari ketiga lelaki di depannya. Celaka, ketiganya mempercepat langkanya, begitu juga Nesa yang bersiap akan berlari, namun seorang lelaki dari belakang merangkul bahunya. "Ipeh, gue bilang ikutin gue, lo malah tetep di sini!" Nesa cengo, lelaki yang beberapa menit lalu menyebut dirinya gila kembali, dan kali ini bahkan dia sudah merangkul bahu Nesa.Merangkul?!Nesa sudah akan protes, hendak menyingkirkan lengan lelaki itu. Namun, rangkulan lelaki itu malah semakin kencang. "Siapa nih? Cewek lo?" si lelaki berbadan gempal bertanya, membuat Nesa dengan cepat langsung menggelengkan kepalanya kuat."Hm." Lelaki itu hanya berdehem, membuat Nesa kembali merengut tidak suka. "Lagi ribut, dia suka nggak ngaku kalo gue pacarnya," lanjut lelaki itu enteng, lalu mengajak Nesa untuk berjalan meninggalkan tempat itu."Lepas!" ketus Nesa mendongak menatap lelaki di sampingnya dengan tatapan galak, dengan masih mencoba melepaskan diri dari rangkulannya."Gue lepasin lo!Tapi, jangan nyalahin gue kalau mereka ngapa-ngapain lo!" tekan si lelaki berhasil membuat Nesa yang sudah beberapa langkah menjauh, kini kembali menempel kepada lelaki itu.Nesa merutuki dirinya sendiri, harusnya ia memang tidak usah mengambil jalan tikus sebagai jalan alternatif untuk menuju ke apartemennya, iya sih akan lebih cepat sampai, tapi ingatkan Nesa kembali jika sudah pasti jalan itu digunakan untuk beberapa orang jahat berkumpul.Sebentar! Orang jahat?!Nesa menghentikkan langkahnya, begitu juga dengan lelaki itu. Nesa perlahan mendongak menatap si lelaki, wajahnya terlihat seperti seorang preman, dengan kaos hitam melar, dipadukan dengan celana jeans sobek-sobek berwarna senada, juga gambar tato dengan berbagai bentuk yang Nesa tidak tahu pasti gambar apa itu tertempel di sebagian lengan kanan si lelaki.Sebuah senyuman menyeringai menghiasi wajah si lelaki, detik itu juga jantung Nesa terasa berhenti berdetak. Lelaki itu bukan menyelematkannya... Nesa rasanya ingin kembali menangis. Bagaimana sekarang?***
"Jangan bikin orang mabok kesel! Nanti lo tahu sendiri akibatnya!" Benar, tadi setelah Nesa mengeluarkan kata umpatan, ketiga lelaki yang sedang dalam kondisi mabuk itu terlihat jelas perbedaan raut wajahnya. Terlihat lebih menakutkan. "Iya, makasih sudah nolongin aku dari mereka," kata Nesa walaupun dengan nada yang terdengar seperti tidak sungguh-sungguh berterima kasih. "Sana balik!" usirnya. Lelaki itu segera duduk di kursi kayu panjang lalu mengeluarkan pemantik rokok dari saku celananya, asap mengepul ke udara ketika lelaki itu selesai menghisap rokoknya. "Makasih ya Bu, saya pamit," kata Nesa tersenyum menatap Ibu penjaga warung. "Sama-sama, Neng." Perempuan paruh baya itu membalas senyuman Nesa. "Bian, anterin dulu atuh si Neng, sampe ke apartemennya," lanjut Tati—Ibu penjaga warung yang kini sudah beralih menatap lelaki yang sedang merokok di depannya. Bian—lelaki itu menatap Nesa dengan tatapan dingin. "Dari sini lo tinggal lurus aja, nanti keliatan tuh jalan gede, lo t
Kedua matanya perlahan mengerjap, kembali menajamkan pendengarannya karena mendengar suara bel pintu apartemennya berbunyi. Nesa perlahan menyibakkan selimut yang menutupi tubuhnya, keningnya mengeryit ketika melihat pakaian yang dipakainya—baju kerjanya kemarin masih melekat di tubuhnya. Nesa menginjakkan kakinya ke lantai sambil meregangkan otot-ototnya, mulutnya menguap lebar sampai kedua matanya terpejam. Perempuan itu terdiam beberapa detik saat matanya melihat sepasang sendal jepit berwarna hitam yang dipakainya semalam. Ting! Suara bel itu kembali menyadarkan Nesa, perempuan itu langsung berjalan keluar dari kamar. "Jam tujuh? Yang benar saja?!" Kedua mata Nesa membola sempurna ketika melihat jam dinding yang menggantung di ruang tengah. "Sial! Aku kesiangan!" Ting! Lagi, bunyi bel itu mengalihkan perhatian Nesa. Ia langsung berjalan menuju pintu tentu saja sambil mendumel karena orang di luar terus memencet bel dengan tidak sabaran. "Tidak bisakkah sabar sedikit...." Nesa
"Kak, bangun! Makan dulu, " Perempuan paruh baya itu membuka gorden yang masih menutupi jendela kamar putrinya, padahal jam sudah menunjukkan pukul dua siang, namun anak itu masih bergelung dengan selimutnya.Nesa membuka matanya perlahan, menatap Ibunya sambil menampilkan senyum. "Aku seneng bisa tidur sampai jam segini, Bu," lirihnya.Nisa mengangguk-anggukkan kepalanya sembari berjalan menghampiri putrinya. "Iya, makan dulu. Habis itu boleh deh kalau Kakak mau tidur lagi."Nesa terkekeh, lalu menyibakkan selimutnya, menjulurkan tangan kanannya untuk menggenggam tangan Nisa, mereka berdua akhirnya berjalan beriringan keluar dari kamar bernuansa mint itu. "Rumah makan emangnya nggak lagi rame, Bu?" tanya Nesa saat keduanya sudah duduk di kursi meja makan."Ini udah bukan jam makan siang lagi, Kak."Nesa menyunggingkan senyumnya. "Ini udah jam dua siang ya?"Nisa mengangguk. " Dan kamu baru mau makan?!" Nisa menggeleng-gelengkan kepalanya sambil kedua tangannya sibuk menuangkan nasi ju
"Mana pacar kamu, Nes?" Nesa menatap Seruni yang sedang memakan bakso malang yang memang adalah salah satu menu catering yang disediakan di acara pernikahan Risa.Perempuan yang ditanya itu menghela napasnya kasar sembari mengangkat bahunya acuh. "Nggak jadi dateng kali. Aku ke toilet dulu, ya," kata Nesa. Sebelum mendapat jawaban dari Seruni, dan Nadya, Nesa langsung berjalan menuju toilet."Sialan, harusnya dari awal emang ngga usah terlalu banyak berharap lebih sama cowok itu!" sungut Nesa menatap cermin dengan wajah yang terlihat sangat marah. Bian tidak datang. Mengabaikan perintah Nesa yang menyuruhnya untuk datang ke apartemennya jam tiga sore. Sekarang, jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam, acaranya juga beberapa menit lagi akan selesai, dan Bian sama sekali tidak tampak batang hidungnya sedikitpun. Saat jam sudah menunjukkan pukul tiga sore, dan Bian belum datang ke apartemennya, Nesa masih mencoba untuk berpikir positif, yakin jika Bian akan datang, mungkin lelaki itu
Nesa yang sedang meminum susu coklat di kursi bar langsung menengokkan wajahnya ketika mendengar suara pintu apartemennya dibuka. Melirik jarum jam yang menunjuk ke angka enam lebih lima belas menit, 'Siapa yang bertamu pagi-pagi begini?' pikir Nesa. Kakinya menyentuh lantai, melangkah keluar dari area dapur menuju ruang tengah."Selamat pagi.""Pa—pagi, Pak Edgar."Edgar—ya lelaki itu kini sudah berdiri di hadapan Nesa, dengan setelan jas rapih yang membungkus tubuh tegapnya."Ada apa?""Kamu sudah sarapan? Saya belum sempat sarapan di rumah," kata Edgar yang langsung mendudukkan bokongnya di sofa ruang tengah.Nesa mengangguk-anggukkan kepalanya. "Iya saya ambilkan sarapan, tapi hanya ada roti panggang, dan susu, Pak Edgar mau? Atau mau saya buatkan apa untuk sarapan?""Roti panggang dan segelas susu saja, walaupun saya menyuruh kamu untuk membuat sarapan yang lain pasti kamu akan sambil mengomel membuatnya."Nesa hanya tersenyum kecil, lalu berjalan kembali ke dapur. Mengambil beber
Nesa semakin mengeratkan cardigan rajut yang dipakainya, cuaca malam ini sangat dingin, bayangkan saja, sedari pagi matahari tidak kunjung menampakkan sinarnya, hujan tidak berhenti turun membasahi kota sampai sore tadi.Menatap warung yang berjarak lima meter dari pandangan, bola matanya bergerak ke kanan dan ke kiri mencari keberadaan seseorang dari beberapa orang yang duduk di sana, tawa juga obrolan terdengar dari arah mereka."Permisi—" Nesa tidak melanjutkan ucapannya, jujur saja lidahnya mendadak kelu, saat semua yang sedang duduk di kursi kayu itu menatap ke arah Nesa.Perempuan itu tersenyum canggung. "Bu Tati, ada?" lirih Nesa bertanya."Eh, si Neng. Sini Neng duduk, mau nyari apa?" Tati si penjaga warung menyembulkan wajahnya menatap Nesa yang masih berdiri mematung di depan sana. Nesa berjalan menghampiri Tati. "Bu Tati, kalau boleh saya tahu Bian—" Belum sempat Nesa berbicara, terdengar suara pintu yang dibuka, lelaki itu muncul dari balik pintu rumah Bu Tati yang berada d
"Gila, capek banget! Kak Nesa oon banget sih, kenapa ngga tinggal di sini aja kalau Pak Edgar ngasih cuma-cuma apartemen ini?" dumel Nizam yang sudah merebahkan tubuhnya di sofa panjang yang berada di ruang tengah."Ya aku ngga mau tinggal di sini, mending tinggal sama kalian, bisa bantu Ibu juga, nemenin kamu—""Dih! Najis!"Nesa memanyunkan bibirnya. "Ibu, Nizam nyebelin nih, masa Nesa ngga boleh tinggal bareng kalian?!" adu Nesa berjalan meninggalkan ruang tamu untuk menuju ke dapur menghampiri Nisa.Ibu dari dua anak itu hanya menampilkan senyumnya mendengar rengekan putri sulungnya. Menyerahkan nampan yang berisi empat gelas minuman dingin kepada Nesa. "Bercanda Adikmu itu, bawa ini ke ruang tengah Kak, nanti Ibu bawa cireng."Nesa mengangguk, menerima nampan itu lalu melangkah keluar. "Bu, jangan lupa sambalnya," kata Nesa sedikit mengeraskan suaranya."Nih, minum! Lagian kamu tuh bantu-bantu di sini tapi sambil ngomel-ngomel mulu, banyak omong!" Nesa menyimpan nampan itu diatas
"Aku ngga terlalu suka belanja-belanja gini si, tapi kalau dibayarin ngga akan nolak juga," kata Nadya semangat sambil melihat-lihat paper bag yang berisi banyak sekali belanjaan miliknya dan Nesa. "Tapi tumben loh kamu mau belanjain aku gini?" perempuan itu menatap Nesa dengan kening mengernyit. "Ada apa?" lanjutnya.Nesa yang duduk dihadapan Nadya hanya menampilkan senyum kikuk. "Nad, jadi ceritanya ada yang mau ketemu kamu di sini," kata Nesa dengan sehati-hati mungkin, memperhatikan raut wajah Nadya yang perlahan berubah menjadi ekspresi datar."Nes? Berapa kali aku udah bilang kal—""Nad, kamu ngga akan selamanya nunggu mantanmu yang tukang selingkuh itu kan?" Nesa memotong cepat ucapan Nadya. Sekedar informasi saja, dulu jaman masih kuliah Nadya pernah mempunyai kekasih, lelaki itu tukang selingkuh, sudah sangat sering lelaki itu menduakan Nadya, namun ujung-ujungnya Nadya tetap memaafkan lelaki itu."Kamu harus mau, masalahnya sebentar lagi dia bakalan sampai ke sini," kata Nesa