Sandi mencubit lengannya sendiri dengan kuat, berharap rasa sakitnya akan membuat tawanya terhenti. Tubuhnya sudah terbaring lemas di atas sofa dengan tangan yang mengusap-usap perutnya. "Haha... saya ngga bisa berhenti ketawa, Pak," kata Sandi dengan wajah memerah karena lama sekali tertawa, mengulum bibirnya dengan kuat agar dia bisa mengontrol tawanya, namun semua usahanya nihil.Tawa Sandi tidak juga mereda, membuat Edgar yang sedang duduk di single sofa menatapnya dengan jengkel. "Kau tahu! Kemarin ada orang yang tertawa berlebihan sepertimu, dan dia langsung meninggal di tempat!"Sandi terllihat menarik napas panjang, lalu membuang napasnya perlahan, berharap dengan cara seperti itu tawanya bisa reda. Terbukti sih, walaupun masih diselingi tawa kecilnya, namun tidak separah tadi."Sudah puas?" gerutu Edgar masih menatap Sandi jengkel."Ya... ya, sorry! Siapa yang ngga ketawa coba kalau denger omanganmu itu! Tapi, ini serius Nesa berpikir kau gay?!" Sandi berjalan menuju dapur, de
"Saya tunggu! Cepatlah!"Sambungan telepon diputus secara sepihak oleh Edgar, lelaki itu menggeletakan ponselnya di meja. Kembali meneguk wine hingga habis, setelahnya menghembuskan napas kasar."Sudah ada di parkiran?" tanya Sandi menatap Edgar dengan tatapan berbinar yang dibalas anggukkan oleh Edgar."Gotcha! Semoga beruntung!" Sandi menepuk bahu Edgar, lalu ia langsung merangkul salah satu perempuan dan mengajaknya keluar dari ruangan itu, meninggalkan Edgar dan seorang perempuan yang juga duduk santai di samping Edgar sambil menikmati minuman di tangannya."Sesuai perjanjian awal, don't kiss my lips!" tegas Edgar kembali memperingati yang dibalas senyuman miring dari perempuan di sampingnya.Perempuan cantik itu menyimpan gelasnya di meja, dan segera duduk di pangkuan Edgar. "Kalau mencium yang lainnya, boleh?" tanyanya berbisik tepat di samping telinga Edgar. Tangan kiri perempuan itu menelusup di balik leher Edgar, sedangkan tangan yang lainnya mulai menjelajah, mengelus tubuh E
Nesa meringis ngeri menatap wajah Edgar, pipinya lebam, bahkan bibirnya berdarah karena sedikit sobek. Semua itu terjadi karena ulahnya."Maaf, saya pikir Pak Edgar ada di kamar," kata Nesa masih mencoba membela diri, dengan tangan yang masih sibuk mengobati luka Edgar. "Lagian ngapain Pak Edgar renang di jam segini?" lanjut Nesa.Lelaki itu hanya diam, namun tidak bisa bohong wajahnya menyiratkan kekesalan.Berawal dari Nesa yang pada akhirnya lagi-lagi menurut dengan perkataan Edgar yang menyuruhnya untuk menginap di kediamannya untuk malam ini.Bohong jika tidak terjadi perdebatan setelah Edgar mengatakan hal itu. Nesa sebenarnya tidak enak hati karena ragu dengan orientasi seksual Edgar, namun mau bagiamana lagi? Bahkan Mia selaku Mama dari Edgar saja ragu, apalagi Nesa 'kan? Terlebih dengan beberapa fakta yang Nesa sendiri lihat, contohnya tentang bosnya yang tidak tergoda dengan perempuan-perempuan yang menggodanya. Jadi... Nesa tidak sepenuhnya salah 'kan?Jujur saja Nesa sebena
Kedua matanya fokus menatap pantulan dirinya di cermin, menatap bagian leher hingga dadanya yang terdapat banyak bercak merah gelap, bahkan sedikit berwarna keunguan.Tidak bisa menghentikan kepalanya untuk kembali mengingat kejadian beberapa jam yang lalu. Nafsu benar-benar sudah menguasi, keduanya berjalan masuk ke dalam rumah dengan posisi Edgar yang menggendong Nesa seperti koala, mereka terus berpangutan mesra saat berjalan untuk menuju ke kamar Edgar. Tanpa rasa ragu Edgar membaringkan tubuh Nesa di atas kasurnya, kembali menciumi wajah, bibir, dagu, leher, hingga menelusupkan wajahnya ke dada perempuan yang sudah menutup matanya dengan bibir yang sedikit terbuka karena mengeluarkan suara-suara kenikmatan."Mm—mm... ngghh... Pa—pak Edgar...."Suara Nesa benar-benar membuat Edgar semakin tersulut akan nafsunya, dengan lancang bibir Edgar sudah bermain-main di tubuh bagian atas Nesa. Edgar jelas-jelas sedang dalam keadaan sadar, dan rasanya sangat luar biasa apalagi ketika tangan N
"Kakak kemana aja sih? Pagi-pagi banget keluar rumah? handphone-nya juga ngga bisa dihubungin?" Nisa menghampiri putri sulungnya yang baru saja datang."Bu... a—aku... aku dari rumah—" Nesa masih mencoba berpikir keras tentang alasan apa yang akan ia buat untuk pertanyaan ibunya."Permisi....""Bian! Ke rumah Bian, dia sakit, Bu. Pagi-pagi Bian telepon aku suruh ke rumahnya," jawab Nesa cepat.Bian—lelaki yang baru datang tentu saja langsung kebingungan mendengar perkataan Nesa. Dia saja baru datang, tidak tahu apa-apa, kenapa Nesa menyebutkan nama dirinya?"'Nak Bian sakit?" Nisa menatap Bian dengan raut khawatir.Baru saja Bian membuka mulutnya untuk berbicara, dengan gerakan cepat Nesa langsung melingkarkan tangannya memeluk lengan Bian. "Iya, tadi pagi katanya mual-mual gitu, Bu. Makan sembarangan kali ya. Tapi tadi aku udah beliin Bian obat, kok. Sekarang udah baikan kayanya, dia maksa mau anterin aku pulang, jadi ya... gini." Nesa menampilkan senyunya berbicara sangat lancar, dan
Sudah seminggu sejak kejadian dini hari di kediaman Edgar. Nesa tidak mungkin melupakannya, bahkan tidak mungkin akan melupakannya seumur hidup.Sangat sering Edgar menghubunginya, atau sampai datang ke rumah beberapa kali hanya untuk mengobrol dengan Nesa katanya. Tentu saja Nesa tahu kearah mana obrolan mereka nantinya. Nesa sangat malu, dan rasanya ia tidak mau bertemu dengan Edgar lagi, perempuan itu tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi nantinya.'Saya tahu ke mana arah obrolan Pak Edgar nantinya. Tapi, bisakah kita tidak membahasnya? Bagaimana kalau kita anggap itu angin lalu saja? Anggap saja kita melakukannya dengan tidak sadar, saya tidak papa. Lagipula kita sudah tidak ada hubungan apa-apa lagi, saya harap kita tidak pernah bertemu ataupun saling menghubungi lagi.'Nesa memberi pesan kepada Edgar tepat pagi ini. Bahkan ia sudah memblokir nomor mantan bosnya itu. Selama sepekan ini, mungkin sudah puluhan kali chat, dan telepon dari Edgar, Nesa abaikan begitu saja, bah
"Bian mau itu!""Bian mainan itu lucu ya! Ayo beli!""Arum manis! Bian ayo beli itu!""Lihat tuh dia dapet boneka-boneka lucu dari permainan panahan. Ayo kita main!""Bian... es krim!""Bian...."Bisa bayangkan bagaimana pusingnya kepala Bian mendengar rengekan dari perempuan yang sudah hampir menginjak umur 29 itu, kan? Walaupun terlihat ogah-ogahan Bian tetap menuruti perkataan Nesa, dan mengikuti kemanapun langkah perempuan itu."Enak banget!" komentar Nesa yang sedang memakan es krim dengan lahap, kedua kakinya digerakkan naik turun dengan perasaan senang."Beberapa jam lalu lo habis makan mie goreng dua bungkus lengkap sama dua telur kalau lo lupa!" kata Bian mengingatkan sembari menatap Nesa dengan mendelikkan matanya."Satu setengah bungkus, sama satu setengah telor! Koreksi ya!"Bian memutar bola matanya jengah mendengar jawaban Nesa. "Dan itu belum bikin lo kenyang?"Nesa hanya menampilkan cengiran tanpa dosanya.Keduanya sedang berada di sebuah pasar malam yang memang selalu
Nesa menatap perempuan yang duduk di depannya dengan tampang memelas, bahkan Nesa memanyunkan bibirnya, berharap perempuan itu akan berhenti menatapnya dengan tatapan mengintimidasi. Itu tidak berguna, Seruni—perempuan yang duduk di depan Nesa menghembuskan napasnya kasar. "Trus gimana?" tanyanya.Nesa mengernyitkan keningnya. "Gimana apanya?""Kalau kamu dipaksa sama dia? Kamu bisa ngelaporin dia ke pihak yang berwajib karena kasus pelecehan, tapi kamu—" Seruni sampai tidak bisa melanjutkan ucapannya. Karena tidak habis pikir dengan kelakuan Nesa."Aku ngga tau, aku ngga sadar waktu ngelakuinnya, Ni." Nesa masih mencoba menjelaskan, membela dirinya, walaupun sebenarnya itu percuma saja."Bian udah tahu?"Nesa semakin menundukkan kepalanya, ia tidak ingin menjawab semua pertanyaan Seruni lagi rasanya."Kamu ngga hamil kan, Nes?"Nesa langsung mengangkat wajahnya, menatap Seruni dengan membelalakan mata protes. "Ni, kok kamu ngomong gitu sih?" gerutunya.Seruni menghela napasnya jengah