"Bian mau itu!""Bian mainan itu lucu ya! Ayo beli!""Arum manis! Bian ayo beli itu!""Lihat tuh dia dapet boneka-boneka lucu dari permainan panahan. Ayo kita main!""Bian... es krim!""Bian...."Bisa bayangkan bagaimana pusingnya kepala Bian mendengar rengekan dari perempuan yang sudah hampir menginjak umur 29 itu, kan? Walaupun terlihat ogah-ogahan Bian tetap menuruti perkataan Nesa, dan mengikuti kemanapun langkah perempuan itu."Enak banget!" komentar Nesa yang sedang memakan es krim dengan lahap, kedua kakinya digerakkan naik turun dengan perasaan senang."Beberapa jam lalu lo habis makan mie goreng dua bungkus lengkap sama dua telur kalau lo lupa!" kata Bian mengingatkan sembari menatap Nesa dengan mendelikkan matanya."Satu setengah bungkus, sama satu setengah telor! Koreksi ya!"Bian memutar bola matanya jengah mendengar jawaban Nesa. "Dan itu belum bikin lo kenyang?"Nesa hanya menampilkan cengiran tanpa dosanya.Keduanya sedang berada di sebuah pasar malam yang memang selalu
Nesa menatap perempuan yang duduk di depannya dengan tampang memelas, bahkan Nesa memanyunkan bibirnya, berharap perempuan itu akan berhenti menatapnya dengan tatapan mengintimidasi. Itu tidak berguna, Seruni—perempuan yang duduk di depan Nesa menghembuskan napasnya kasar. "Trus gimana?" tanyanya.Nesa mengernyitkan keningnya. "Gimana apanya?""Kalau kamu dipaksa sama dia? Kamu bisa ngelaporin dia ke pihak yang berwajib karena kasus pelecehan, tapi kamu—" Seruni sampai tidak bisa melanjutkan ucapannya. Karena tidak habis pikir dengan kelakuan Nesa."Aku ngga tau, aku ngga sadar waktu ngelakuinnya, Ni." Nesa masih mencoba menjelaskan, membela dirinya, walaupun sebenarnya itu percuma saja."Bian udah tahu?"Nesa semakin menundukkan kepalanya, ia tidak ingin menjawab semua pertanyaan Seruni lagi rasanya."Kamu ngga hamil kan, Nes?"Nesa langsung mengangkat wajahnya, menatap Seruni dengan membelalakan mata protes. "Ni, kok kamu ngomong gitu sih?" gerutunya.Seruni menghela napasnya jengah
"Ngapain?" tanya Bian dengan suara serak khas bangun tidur, tangannya memungut kaos lusuh berwarna abu tua yang tergeletak di lantai untuk dipakainya. Matanya mendelik menatap Nesa yang berdiri di depannya, menatap Nesa seolah lelaki itu tidak senang dengan kehadiran perempuan itu di kediamannya."Mau ketemu kamu," jawab Nesa."Urusan kita udah selesai kan?""Tentang obrolan kemarin—""Kenapa lo mau sama gue? Memulai lo bilang, hah?" Bian menyungingkan senyum mengejek. "Apanya yang dimulai? Hubungan kita, maksud lo kita ngejalin hubungan beneran?"Nesa mengangguk pelan.Bian menghela napasnya kasar, bangun dari duduknya sehingga kini berhadapan dengan Nesa. Menatap perempuan di depannya dengan tajam. "Lo sadar ngga, apa yang lo mau sekarang itu, hah?!" teriak Bian berhasil membuat perempuan di depannya terperanjat kaget. Bian bisa melihat genangan air dibawah matanya, wajah perempuan itu sudah memerah, namun tetap berani menatap manik mata Bian."Vanesa—lo itu cantik, berpendidikan tin
"Luar biasa! Dunia begitu sempit 'kan?" tanya Sandi memperhatikan Edgar yang sedang fokus menatap selembaran kertas dan juga foto-foto yang bertebaran di atas meja kerjanya. Sandi tertawa tengil menatap Edgar yang terlihat kebingungan."Kamu sungguh-sungguh tentang ini? Tidak ada kesalahan sedikitpun?" tanya Edgar kembali memastikan, yang dijawab anggukkan kepala oleh Sandi."Tidak ada kesalahan sedikitpun," jawab Sandi yakin.Edgar memegang kepalanya yang terasa pening sekali. Vanesa benar-benar membuatnya kacau seperti ini."So?"Edgar berdiri dari duduknya, berjalan keluar dari ruang kerjanya, mengabaikan pertanyaan Sandi. Membuat Sandi memutar bola matanya jengah, namun lelaki itu tetap mengekori Edgar yang berjalan menuju kitchen room. Membuka kulkas untuk mengambil minuman soda, lalu meneguknya hingga menyisakkan setengah. "Tidak ada cara lain selain memberi tahu kepada Ibunya."Sandi menggelengkan kepalanya pelan. "Harus banget sejauh itu?"Edgar mengangkat bahunya acuh. "Lagip
Nesa menatap horor handphonenya yang masih bergetar dan mengeluarkan suara nada dering panggilan, tertera nama Ibunya di layar handphone. Ini sudah telepon ke sekian kalinya yang masuk, namun Nesa tidak mau, dan tidak berminat untuk mengangkatnya. Tidak hanya ibunya yang menelepon tapi Nizam, Seruni, bahkan Risa, dan semua panggilan dari mereka Nesa abaikan begitu saja."Setidaknya angkat telepon itu!" titah Edgar, yang sedang duduk di sofa single yang langsung mengarah ke tempat tidur, itu artinya mereka sedang berhadapan walaupun dengan jarak cukup jauh.Nesa menggeleng."Kenapa Pak Edgar mau huh? Kenapa tidak menolaknya?!" Nesa kesal, tangisnya tidak kunjung reda sejak tadi."Ini kenapa saya yang seolah-olah paling salah?"Nesa yang sedari tadi duduk bersender di kepala ranjang langsung merubah posisinya menjadi telentang, perempuan itu menarik selimut hingga membungkus seluruh tubuhnya. Dalam selimut dia masih saja menangis, merutuki dirinya sendiri karena kejadian malam itu kemba
"Gitra mengundangku ke acara birthday party Alena, Nes," kata Nadya menunjukkan selembaran undangan tepat di depan wajah Nesa dengan raut bahagianya."Lalu? Datanglah, bukannya kau sangat suka dengan model itu?" jawab Nesa, melirik Nadya beberapa detik, lalu kembali fokus dengan handphone yang sedang dimainkannya."Aku tidak ingin sendirian," ucap Nadya duduk bersila dihadapan Nesa dengan bibir yang dikerucutkan lucu. Mencoba menarik perhatian Nesa yang sedang fokus menatap layar handphonenya."Sendirian? Bukannya kamu datang sama Gitra?"Nadya menggeleng, "Dia hadir sebelum acara di mulai, Nes. Ngga mungkin aku di sana saat semua tamu undangan belum hadir 'kan?"Nesa pada akhirnya menyimpan handphone yang sedang dimainkannya, memfokuskan diri kepada Nadya. "Lalu? Kamu ngajak aku buat ikut gitu?" tanya Nesa memastikan.Nadya langsung mengangguk semangat. "Aku udah ada janji sama Bian, mau nonton perform pertama kali dia di caffe Sasya," jawab Nesa.Nadya terlihat sangat lesu setelah
Nesa melirik Nadya yang termenung menatap keluar jendela, menatap air hujan yang jatuh membasahi kaca mobil. Tidak berniat bersuara apapun, Nesa memilih menggenggam tangan kanan Nadya yang berada dipangkuannya dengan lembut, seolah memberinya ketenangan yang sebenarnya mungkin saja tidak berefek apapun untuk Nadya sendiri. Tanpa mengalihkan pandangannya, Nadya tetap membalas genggaman tangan Nesa."Kalau cuman ngelakuin sekali ngga mungkin langsung hamil kan, Nes?" tanya Nadya lirih.Nesa mengulum bibirnya, tidak tahu akan menjawab apa atas pertanyaan yang dilontarkan oleh Nadya. "Nes, iya 'kan?" Nadya kali ini menatap wajah Nesa dengan raut cemasnya."Mungkin—"Nesa menunduk menatap perut ratanya. Sudah lebih dari satu bulan ia belum mendapat menstruasinya. Nesa belum memeriksanya pasti, sekedar membeli test pack saja Nesa takut, apalagi datang ke dokter untuk memeriksakan apakah benar dirinya sedang mengandung atau tidak."Jangan nangis terus, Nad. Sudah mau sampai rumah, nanti kala
Jemari Bian rasanya bergetar memegang bolpoint hitam itu, perasaan seperti ini baru ia rasakan saat ini."Santai aja, Bin... relax!" Sasya terkekeh pelan melihat kegugupan Bian yang duduk di depannya.Bian mengulum bibirnya, kembali memegang bolpoint itu dengan benar, setelahnya dia membubuhkan tanda tangan di atas kertas putih itu. Helaan napas terdengar ketika Bian selesai dengan itu. "Oke! Selamat bergabung, Bian!" Sasya mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan dengan lelaki itu. "Sayang sekali Nesa tidak ada di sini ya?" lanjut Sasya sambil merapihkan lembaran kertas yang sudah selesai Bian tandatangani.Handphone Sasya yang berada di atas meja berdering tanda ada telepon masuk. Perempuan itu segera mengangkat telepon itu."Pas banget Tar, kamu telepon aku!" Sasya langsung berbicara, tanpa menyapa terlebih dahulu orang yang menghubunginya, bahkan perempuan itu sudah meloudspeaker panggilannya. Menyimpan handphonenya di meja, sedangkan kedua tangannya sibuk menandatangani lemba