Nesa melirik Nadya yang termenung menatap keluar jendela, menatap air hujan yang jatuh membasahi kaca mobil. Tidak berniat bersuara apapun, Nesa memilih menggenggam tangan kanan Nadya yang berada dipangkuannya dengan lembut, seolah memberinya ketenangan yang sebenarnya mungkin saja tidak berefek apapun untuk Nadya sendiri. Tanpa mengalihkan pandangannya, Nadya tetap membalas genggaman tangan Nesa."Kalau cuman ngelakuin sekali ngga mungkin langsung hamil kan, Nes?" tanya Nadya lirih.Nesa mengulum bibirnya, tidak tahu akan menjawab apa atas pertanyaan yang dilontarkan oleh Nadya. "Nes, iya 'kan?" Nadya kali ini menatap wajah Nesa dengan raut cemasnya."Mungkin—"Nesa menunduk menatap perut ratanya. Sudah lebih dari satu bulan ia belum mendapat menstruasinya. Nesa belum memeriksanya pasti, sekedar membeli test pack saja Nesa takut, apalagi datang ke dokter untuk memeriksakan apakah benar dirinya sedang mengandung atau tidak."Jangan nangis terus, Nad. Sudah mau sampai rumah, nanti kala
Jemari Bian rasanya bergetar memegang bolpoint hitam itu, perasaan seperti ini baru ia rasakan saat ini."Santai aja, Bin... relax!" Sasya terkekeh pelan melihat kegugupan Bian yang duduk di depannya.Bian mengulum bibirnya, kembali memegang bolpoint itu dengan benar, setelahnya dia membubuhkan tanda tangan di atas kertas putih itu. Helaan napas terdengar ketika Bian selesai dengan itu. "Oke! Selamat bergabung, Bian!" Sasya mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan dengan lelaki itu. "Sayang sekali Nesa tidak ada di sini ya?" lanjut Sasya sambil merapihkan lembaran kertas yang sudah selesai Bian tandatangani.Handphone Sasya yang berada di atas meja berdering tanda ada telepon masuk. Perempuan itu segera mengangkat telepon itu."Pas banget Tar, kamu telepon aku!" Sasya langsung berbicara, tanpa menyapa terlebih dahulu orang yang menghubunginya, bahkan perempuan itu sudah meloudspeaker panggilannya. Menyimpan handphonenya di meja, sedangkan kedua tangannya sibuk menandatangani lemba
"Kencan sambil makan pecel lele di pinggir jalan—" Bian membaca salah satu tulisan yang ditulis oleh Nesa di lembaran kertas itu sambil terkekeh pelan, "Ini harus yang spanduknya warna hijau banget?" lanjutnya menatap Nesa yang duduk bersila di hadapannya, masih terkekeh lucu karena tulisan tangan Nesa."Iya harus!"Bian mengangguk, lalu kembali melanjutkan bacaannya, sambil terkekeh. Nesa benar-benar sangat lucu, ada-ada saja, pikir Bian.Nesa menulis semua hal yang ingin ia lakukan dengan Bian. Kencan sambil makan pecel lele di pinggir jalan dengan spanduk warna hijau adalah salah satu dari sekian banyak keinginan Nesa, beberepa keinginan yang lainnya seperti; Mendaki ke gunung semeru, pergi ke pasar malam dengan tujuan untuk memborong jajanan di sana, pergi ke pantai, dan lain-lainnya. Hanya keinginan sederhana Vanesa.Tidak hanya menuliskan hal-hal kecil yang ingin dilakukan, tapi Nesa juga menuliskan planning untuk kehidupannya.Bian bersedia untuk menjadi kekasihnya. Itu adalah
"Saya dan Nesa sudah menjalin hubungan cukup lama. Nesa memutuskan untuk resign karena ingin membatasi hubungan percintaan dan pekerjaannya."Alasan seperti itu yang digunakan oleh Edgar untuk menjelaskan kepada kelurga dan sahabat Nesa. Edgar benar-benar mengantarkan Nesa sampai ke rumahnya. Di sana kedatangan Nesa dan Edgar tentu sudah dinanti-nanti oleh Nisa, Nizam, Seruni, dan juga Risa. Edgar membuat cerita karangannya sendiri— mengatakan jika memang dirinya dan Nesa sudah menjalin hubungan cukup lama. Nesa memutuskan resign karena ingin hubungan mereka berakhir, Nesa merasa tidak pantas bersanding dengannya."Nyatanya kami saling mencintai." Kalimat yang begitu memperjelas situasi keduanya, berharap keluarga Nesa dan kedua sahabatnya percaya. Tapi... tentu saja mereka masih ragu dengan penjelasan Edgar. Hal itu terasa tidak mungkin, terlebih... mereka tahunya Nesa sedang menjalin hubungan dengan lelaki bernama Bian. Dan tentang Edgar, rasanya sudah berpuluh-puluh bahkan mungin
"Lorong ketiga dari sebelah kiri ya, Pak."Edgar ikut melihat ke arah yang ditunjukkan oleh salah satu pekerja di minimarket, lalu lelaki itu mengangguk pelan."Mau saya antar?"Edgar menggeleng. "Terima kasih." Setelah mengatakan itu Edgar kembali melangkahkan kakinya menuju lorong di mana rak-rak display pembalut berjejer. Wajahnya cengo seketika, ada banyak sekali macam-macam pembalut dengan berbagai ukuran dan merk.Menggaruk tengkuknya yang sebenarnya tidak gatal sama sekali. Edgar masih diam di tempatnya, namun detik berikutnya ia mengambil asal beberapa pembalut dengan berbagai merk dan ukuran di sana, memasukannya ke dalam troli belanjaannya."Banyak banget, Pak?" tanya salah satu customer di minimarket yang sedang memperhatikan Edgar dengan barang belanjaanya.Egar melirik lelaki yang sepertinya seumuran dengannya, memegang satu pack besar pembalut di tangannya, dan langsung memasukkannya ke dalam troli belanjaan miliknya sendiri. "Buat pacarnya ya?" tanyanya."Istri saya."K
'Setelah menyelesaikan urusanmu dengan lelaki itu, segeralah kembali ke hotel sebelum jam tujuh. Keluarga akan bertanya jika kamu tidak ada di meja makan saat sarapan nanti.'Nesa turun dari mobilnya, membuka pintu mobil bagian belakang, mengambil syal selendang berwarna hitam, lalu memakainya. Meninggalkan basemant, lalu berjalan menuju lift, menempelkan benda pipih persegi atau card lock pada kotak sensor, sehingga pintu lift di depannya terbuka. Lift khusus untuk penghuni Penthouse, jelas berbeda dengan lift tamu biasa hotel. Menatap ke sekeliling berharap tidak ada satupun orang yang melihatnya saat ini, lalu setelah memastikan tidak ada siapun, Nesa masuk ke dalam lift.Bukannya merasa baik karena ia sudah berada di depan pintu kamarnya, perasaan Nesa malah jauh lebih tidak karuan ketika sudah menatap pintu di depannya, jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya.Memejamkan matanya sekejap, lalu membukanya kembali, dengan setengah berani ia membuka handle pintu, memperhatikan
‘Mamah pilih beberapa pekerja untuk di rumah ya, Nes?’Nesa menggeleng. “Sepertinya tidak usah, Mah.”‘Lho kenapa? Biar kamu ngga sendirian sayang. Edgar juga, ada-ada saja meninggalkan kamu sendirian di rumah, padahal kan kalian baru menikah kemarin—sedikit melupakan urusan kantor sepertinya tidak masalah.’ Perempuan di seberang telepon terdengar mendumel.“Pak Edgar sebentar lagi akan pulang, Mah. Tadi memberi kabar sama aku.”Terdengar helaan napas berat dari seberang sana. ‘Baiklah, kabari Mamah jika membutuhkan sesuatu atau apapun ya sayang. Atau kalau perlu kamu tinggal di sini saja sama Mamah, Nes….’Nesa terkekeh pelan menanggapi ucapan mertuanya. “Nanti diobrolin lagi ya sama Pak Edgar, Mah.”‘Baiklah. Kalau begitu Mamah tutup teleponnya ya, besok Mamah ke sana.’“Iya, Mah. Aku tunggu besok di rumah ya.”Setelah mengucapkan salam, sambungan telepon terputus. Nesa menyimpan handphonenya di atas meja, lalu kembali duduk dengan posisi memeluk lututnya yang ditekuk. Menenggelamka
“Vanesa!”“Pak Ed—hmmph”Sebelum Nesa berteriak, Edgar lebih dulu membekap mulut Nesa dengan salah satu telapak tangannya. “Mamah ada di bawah, kamu tahu tentang rencana kedatangan Mamah pagi ini ke rumah?” tanya Edgar cepat dengan kening mengernyit.Nesa masih mencoba melepaskan tangan Edgar yang membekap mulutnya.“Jangan berteriak!” titahnya garang, lalu melepaskan telapak tangannya yang masih membekap mulut Nesa.“Pak Edgar kan bisa ketuk pintu dulu, jangan main masuk-masuk saja!” ketus Nesa tidak terima, perempuan itu menyilangkan kedua tangannya di depan dada.Nesa baru selesai mandi, baru saja berniat mengambil pakaian di dalam lemari, tiba-tiba saja Edgar sudah masuk ke dalam kamar, tanpa mengetuk pintu."Pak Edgar!" Nesa mengintrupsi, menatap Edgar dengan tatapan tajam, pasalnya lelaki itu sedang memperhatikan tubuh Nesa yang terbalut handuk berwarna putih dengan tatapan liarnya.Edgar mengalihkan pandangannya, menatap manik Nesa. "Mamah ada di bawah, kamu tahu rencana Mamah