“Vanesa!”“Pak Ed—hmmph”Sebelum Nesa berteriak, Edgar lebih dulu membekap mulut Nesa dengan salah satu telapak tangannya. “Mamah ada di bawah, kamu tahu tentang rencana kedatangan Mamah pagi ini ke rumah?” tanya Edgar cepat dengan kening mengernyit.Nesa masih mencoba melepaskan tangan Edgar yang membekap mulutnya.“Jangan berteriak!” titahnya garang, lalu melepaskan telapak tangannya yang masih membekap mulut Nesa.“Pak Edgar kan bisa ketuk pintu dulu, jangan main masuk-masuk saja!” ketus Nesa tidak terima, perempuan itu menyilangkan kedua tangannya di depan dada.Nesa baru selesai mandi, baru saja berniat mengambil pakaian di dalam lemari, tiba-tiba saja Edgar sudah masuk ke dalam kamar, tanpa mengetuk pintu."Pak Edgar!" Nesa mengintrupsi, menatap Edgar dengan tatapan tajam, pasalnya lelaki itu sedang memperhatikan tubuh Nesa yang terbalut handuk berwarna putih dengan tatapan liarnya.Edgar mengalihkan pandangannya, menatap manik Nesa. "Mamah ada di bawah, kamu tahu rencana Mamah
Nesa menampilkan senyum puas ketika ia selesai dengan kegiatan memasaknya, beberapa menu makanan sudah siap terhidang di atas meja makan. Melepaskan apron yang dipakainya lalu menyimpan kembali di tempatnya semula.Nesa mengigit bibir bawahnya sambil berpikir keras, menimbang-nimbang dengan cara apa ia akan memberi tahu Edgar jika makanan untuk makan malam sudah siap. Menyentuh handphonenya yang sedari tadi tersimpan di atas meja bar. Menghubunginya melalui chat, telepon, atau mendatanginya langsung ke ruang kerjanya?Sebenarnya Nesa sama sekali tidak berniat untuk menyiapkan makan malam untuk dirinya dan Edgar, hanya saja isi pesan yang dikirimkan ibunya membuat hati Nesa sedikit tergerak untuk memasak.‘Kak, masak apa malam ini?’Apa jadinya jika Nesa mengatakan jika ia tidak mau memasak untuk makan malam? Apalagi dirinya sudah berstatus sebagai seorang istri sekarang.Menaiki tangga perlahan, Nesa memutuskan untuk memanggil Edgar secara langsung ke ruang kerjanya. Lelaki itu tidak
“Dia sekarat….”Entah sudah berapa kali Nesa menghembuskan napas beratnya, mencoba meredekan detak jantungnya yang berdetak hebat, dengan perasaan tidak menentu, bibir pucatnya terlihat dikulum untuk beberapa saat, keringat dingin membasahi kedua telapak tangannya, meremas kuat bagian samping pakaian yang sedang dipakainya.“A—aku tidak khawatir, ya—hmm untuk apa aku khawatir?” Nesa berbicara terbata dengan manik berkaca, menatap lelaki yang terbujur kaku di pembaringan rumah sakit, dengan segala macam alat yang terpasang dibeberapa bagian tubuhnya.“Lo tahu Ed, gue cuman pengen minta waktu satu hari dari Nesa sama Nizam, gue cuman pengen kita bisa ngelakuin banyak hal bersama—cuman satu hari aja. Bisa ngga ya? Kalau itu terjadi gue baik-baik aja kalau seandainya gue mati, seenggaknya gue punya kenangan baik sama mereka untuk yang terakhir kalinya..Air mata Nesa tidak bisa dicegah lagi untuk keluar setelah mendengarkan ucapan yang diucapkan oleh Bian. Kakiknya melangkah mundur mening
Tidak hanya pergi dengan meninggalkan hutang yang sangat banyak, Nesa ketika berumur belasan tahun juga menyaksikan Eros sedang bermesraan dengan perempuan lain, entah hanya menggodanya, ataupun saling menyentuh satu sama lain sambil cekikikan seolah yang dilakukan lelaki itu bukan sesuatu hal yang salah.Nesa membencinya.Tangan yang selalu menyentuh perempuan lain dengan lembut dan halus, tetapi sangat kasar kepada Ibunya—Nisa sering sekali mendapat pukulan atau tamparan dari Eros, begitupun Nesa ketika ia berusaha untuk menghentikkan kegiatan keji ayahnya yang sedang memukuli ibunya.“Nes?”Nesa melepaskan rangkulannya di tubuh Bian, menengokkan wajahnya menatap Seruni, Risa, juga Nadya yang sudah berjalan menuju ke arahnya. Tangisnya kembali pecah, ketika ketiganya memeluk tubuh Nesa erat.Tidak ada kata yang terucap dari bibir masing-masing mereka, seolah tidak ada kata yang perlu diucapkan. Bian yang sedari tadi memperhatikan hanya diam mematung di tempatnya, menatap gundukan ta
Nesa menggigit bibir bawahnya, memperhatikan Ibu dan adiknya yang sedang menyantap sarapan mereka. Tentang Eros—bukankah Nesa tidak perlu memberi tahu mereka? Untuk apa juga mereka mengetahui tentang ini?Nesa bimbang.Eros bukan orang asing untuk mereka, andai saja permasalahan di masa lalu tidak terjadi, mungkin mereka masih menjadi keluarga utuh sampai sekarang. Haruskah Nesa membicarakan tentang ayahnya kepada ibu dan adiknya?“Kak? Kok dimainin doang makanannya?” tanya Nisa menegur putri sulungnya yang sedari tadi hanya mengaduk makanan di depannya.Nesa menampilkan senyum, lalu menggeleng pelan. Segera menyuapkan nasi ke dalam mulutnya."Apa yang sedang kamu pikirkan?" tanya Nisa."Ngga, Bu.""Benar kamu lagi ngga ada masalah sama suami kamu?""Ngga, Bu. Aku kangen Ibu sama Nizam aja, jadi minta ijin buat nginep di sini.""Baru beberapa hari nikah. Bohong pasti Kak Nesa, Bu. Dia lagi berantem nih sama Bang Edgar," celoteh Nizam.Nesa mendelik menatap adiknya, lalu menatap Nisa d
"Durasi emang penting, tapi yang penting skillnya ngga sih?""Bisa ngga buat sampe merem melek, yakan? Hahaha...." Tawa Tari terdengar ketika menyelesaikan kalimatnya, yang jelas mengundang tawa dari yang lainnya, termasuk Nesa yang hanya tersenyum canggung—lebih ke terkejut sih sebenarnya tentang pembahasan mereka saat ini."Bukan cuman merem melek, aku pernah sampai dibuat ngga bisa ngapa-ngapain sama Doni, gila kaki aku pegel bukan main, seharian penuh aku ngga ke luar kamar," kata Dina bercerita."Waktu masih pengantin baru pasti, yakan?" tebak Seli.Dina mengangguk, lalu menyeruput milk shake miliknya. "Kadang masih kaya gitu juga sih sekarang," lanjut Dina."Sudah ah! Pembahasannya kok makin ke mana-mana," peringat Meli."Hahaha.... ya ngga papa, Mel. Toh di sini semuanya udah pada nikah 'kan? Anggap lagi sharing-sharing ajalah," ucap Sasya."Oh ya! Ngomong-ngomong tentang nikah nih, ayo dong ceritain gimana perasaan kamu setelah nikah, apalagi sama
"Bang Iz, kasih satu dong Zafrannya.""Ngga mau, Mom!""Sayang, kasihan itu adiknya nangis lho!""No, Mom!"Sasya memilih menggendong tubuh kecil Zafran yang sudah menangis kencang, mencoba menenangkannya ketika putranya tidak mau berbagi mainan dengan Zafran.Telapak kecil Zafran sudah mendarat di wajah Izra, membuat bocah yang berusia tiga tahun itu ikut menangis karena kesakitan."Seli ke mana? Aduh ini anak aku juga udah nangis." Sasya heboh menjauhkan keduanya yang jika saja tidak dipisahkan akan ada sesi saling memukul lagi."Lagi ke kamar mandi, Sya. Ngga papa sini Zafran biar aku tenangin," kata Disya, menyimpan pisau yang sedari tadi ia gunakan untuk memotong beberapa buah-buahan. Mencuci tangan terlebih dahulu sebelum membawa Zafran ke dalam gendongannya."Aduh! Ini Bapak-bapaknya malah main PS ya!" teriak Dina heboh.Suasana di kediaman Edgar benar-benar tidak seperti biasanya. Nesa sedari tadi tidak bisa menyembunyikan senyumnnya melihat kekacauan yang terjadi.Maklum, sel
Nesa melambaikan tangannya, menghantarkan mobil mereka yang sudah meninggalkan pelataran rumah kediamannya, senyumannya lenyap ketika mobil mereka tidak tertangkap lagi oleh netranya.Menghela napasnya panjang, lalu menghembuskannya perlahan, rasa sepi Nesa rasakan ketika mereka sudah pergi meninggalkan kediaman Egar. Rumah ini kembali hening seperti biasa jika hanya ada mereka berdua.“Sebenarnya apasih tujuan kita menikah?” tanya Nesa tanpa mengalihkan pandangannya ke arah Edgar yang berdiri di sampingnya.“….”Tidak ada jawaban, lelaki itu memilih pergi meninggalkan Nesa untuk masuk ke dalam rumah.Nesa tertawa sumbang, hatinya terasa berdenyut nyeri. Tidak! Malam ini semuanya harus jelas!Masuk ke dalam rumah dengan langkah cepat, menghampiri Edgar yang sedang menaiki tangga menuju ke kamarnya, Nesa menahan pintu kamar Edgar yang akan ditutup oleh si pemiliknya. “Aku ingin bicara! Aku ingin kejelasan!” ucap Nesa dengan suara yang bergetar.Edgar melepaskan tangannya dari handle pi