Seruni tanpa sengaja bertemu dengan Nadya dan Sandi sedang berdebat di trotoar dekat minimarket di sebelah gedung unit apartemennya.Tangisan juga cekcok adu mulut keduanya tidak bisa dihindari, hingga akhirnya Seruni mengetahui semua permasalahan mereka yang sedang terjadi.Rupanya mereka berniat untuk melakukan aborsi malam ini, bahkan sudah sampai di tempat untuk melakukannya. Tetapi baru saja berbaring di meja operasi, Nadya berubah pikiran, dengan cepat memakai kembali pakaiannya, berlari ke luar dari sana. Sandi yang memang mengantar Nadya, bahkan menunggu Nadya di luar ruangan sampai bertanya-tanya ketika Nadya berlari ke luar sembari menangis.Awalnya mereka sepakat untuk aborsi memang, Nadya meminta Sandi untuk mencarikan tempat untuk ia bisa melakukan aborsi. Sandi menemukan tempatnya, walaupun ilegal tetapi tempat itu cukup terkenal di kalangan teman-teman malamnya.Sandi mengantar Nadya ke tempat itu, tetapi entah apa yang membuatnya berubah pikiran sehingga Nadya berlari
Senyuman menggoda beberapa perempuan yang selalu menatapnya itu sedikit menyebalkan bagi Edgar. Entahlah, sejak dulu Edgar selalu tidak suka ketika ada perempuan yang dengan terang-terangan menggodanya, atau menjadikannya pusat perhatian.Tampan, mapan, dari keluarga terpandang—jelas mereka sengaja mendekati Edgar karena itu.Mungkin ini terdengar kuno—tapi Edgar tidak memanfaatkan semua kelebihan yang ada dirinya untuk bermain perempuan.Pasti merepotkan berurusan dengan perempuan-perempuan nakal di luar sana, lagipula Edgar selalu berpikir jauh tentang masa depannya, tidak hanya dirinya sendiri tetapi juga masa depan keluarga Naratama. Edgar tidak mau asal mengeluarkan benihnya di dalam perut perempuan-perempuan seperti itu.Menjijikkan!Edgar akan mendapatkan perempuan berkualitas yang akan menjadi ibu dari putra putrinya nanti."Berarti Nesa adalah salah satu perempuan yang berkualitas?" tanya Sandi ketika keduanya sedang duduk di sofa kediamannya.Malam itu adalah malam setelah k
“Pak Edgar ish!” Nesa memanyunkan bibirnya, menatap Edgar dengan maniknya kesal ketika Edgar mencoba melepaskan pelukan darinya, kembali melingkarkan kedua lengannya di belakang kepala Edgar walaupun dengan kedua kaki yang berjinjit-jainjit karena tinggi badan Edgar, lalu mencondongkan tubuhnya untuk kembali mempertemukan bibir keduanya.“Kita harus ke kamar dulu Vanesa,” kata Edgar menatap Nesa dengan senyuman kecil di bibirnya.Nesa sedang tidak dalam kondisi sepenuhnya sadar, sedikit mustahil jika perempuan itu akan mendengarkan ucapannya malam itu. Terbukti dari Nesa yang malah mengecup bibir Edgar, padahal keduanya masih berada di lorong kamar hotel.Masuk ke dalam salah satu kamar, Edgar segera menidurkan Nesa di atas kasur, mencoba melepaskan kedua lengan Nesa yang masih melingkar di belakang kepalanya. Tetapi, perempuan itu dengan sengaja semakin memeluk erat dirinya. “Pak Edgar….” Sedari tadi Nesa hanya bergumam pelan dengan menyebut-nyebut nama dirinya.“Saya menahan untuk t
Nesa buru-buru melepaskan safety belt yang dipakainya, turun dari mobil miliknya—mobil yang dihadiahkan oleh mertuanya sebelum menikah.Mia memberi pesan jika ia akan `berkunjung ke rumah hari ini.Sudah empat hari Nesa meninggalkan rumah—baru hari ini ia kembali menginjakkan kakinya ke rumah ini, itupun karena Mia memberi pesan jika ia akan datang berkunjung. Setelah insiden pagi-pagi sekali Mia datang ke rumah dan memergoki 'kegiatan pagi' Nesa dan Edgar yang lalu, perempuan paruh baya itu tidak pernah lagi datang berkunjung secara mendadak—pasti ia akan menghubungi Nesa dan Edgar terlebih dahulu—itu sangat baik untuk Nesa maupun Edgar, karena keduanya bisa mempersiapkan diri sebelum Mia datang."Huh...." Menghela napasnya panjang, Nesa menempelkan sidik jarinya di kotak sensor supaya pintu utama terbuka, kakinya dibawa melangkah masuk dengan tergesa.Hening.Keadaan rumah benar-benar sepi, Nesa bahkan sampai menghentikan langkahnya, menatap ke sekeliling rumah."Syukurlah, Mamah be
"Mamah ngga asik nih, masa udah dibocorin duluan." Rudi mencubit pelan pipi Mia, tidak terlalu keras namun berhasil membuat warna merah muda di pipi istrinya itu terlihat walau samar."Aduh, Pah! kok dicubit sih?" Mia cemberut. "Mamah kira Edgar udah ngasih tahu Nesa tentang rumah ini, ngga akan ada rencana surprisenya," lanjut Mia membela diri.Rudi terkekeh, mengusap pelan pipi istrinya yang tadi dia cubit. Lalu menatap Nesa yang ada di depannya. "Tahu ngga, Nes. Mamah panik banget telepon Edgar tadi siang. Waktu kamu nanya rumah yang mana itu. Kata Edgar kasih tahu aja, mau gimana lagi, toh Mamah ngga mungkin bisa nyari alesan buat bohongin kamu," jelas Rudi, lagi.Nesa tersenyum menanggapi ucapan mertuanya. "Justru aku mau bilang makasih sama Mamah, kalau bukan karena Mamah, hari ini aku ngga mungkin tahu tentang rumah ini.""Sama-sama sayang," balas Mia tersenyum lebar. "Lagian nunggu Edgar ngasih surprise kamu mah kelamaan ya? Apalagi dia sibuk kerja mulu." Mia menatap putra sul
“Yakin tidak papa nanti tinggal di sana? Gimana kalau kamu bosan, siapa yang nemenin, Nad? Kalau kamu butuh apa-apa gimana? Kenapa ngga cari rumah di sini aja?” Pertanyaan bertubi-tubi dari mulut Nesa membuat Nadya menyunggingkan senyum geli. “Ngga papa, aku bakalan baik-baik aja, Nes.” “Baik-baik aja gimana? Kamu di sana sendirian—” “Ngga sendirian, sama Kak Sandi ‘kan.” Nesa menghela napas. Gurat khawatir tampak jelas di raut wajahnya. Sandi—sejak pertama kali Nesa kerja di perusahaan itu, Sandi sudah ada, lelaki itu sudah lebih dulu bekerja dengan Edgar, bahkan Sandi sudah seperti tangan kanan Edar yang begitu sangat Edgar percayai. Tidak tahu banyak sifat dan karekter asli seorang Sandi. Selama bekerja dengan Edgar, setahu Nesa Sandi adalah tipikal orang yang profesional, Edgar jarang mengeluh tentang kinerja lelaki itu—hubungan baik layaknya teman kerja saja—tidak tahu menahu tentang ranah pribadi masing-masing. Tetapi, ketika sudah terjadi seperti ini, ia jadi ragu tentang S
Cinta?Nesa tidak menyangka jika Edgar benar-benar mencintainya. Berulang kali Nesa menyangkal hal itu ketika Seruni, Ardi, kedua orang tua Edgar bahkan Nadya mengatakan jika Edgar benar-benar mencintainya.Tetapi, beberapa menit yang lalu ia mendengar itu dari obrolan Edgar dan Sandi.“Cintamu yang bertepuk sebelah tangan itu juga menyedihkan Tuan Edgar."Walaupun hanya kalimat seperti itu, bukan kalimat pengungkapan cinta yang benar-benar mengatakan bahwa Edgar mencintainya, tetapi rasanya tidak mungkin jika kalimat 'Cintamu yang bertepuk sebelah tangan itu juga menyedihkan Tuan Edgar' dari pernyataan Sandi itu bukan tertuju padanya. Semua orang juga pasti akan berspekulasi bahwa Edgar mencintainya, Nesa yang mencintai Bian tentu saja membuat cinta Edgar bertepuk sebelah tangan 'kan? Seperti itu 'kan artinya?"Edgar kan kayanya lempeng banget orangnya ya. Trus tiba-tiba dia dengan sukarela ke minimarket buat beli pembalut. Kebayang ngga sih gimana lucunya dia waktu ngambil barangnya
Sandi dan Nadya sudah meninggalkan rumah satu jam yang lalu, kali ini hanya tinggal mereka berdua yang ada di rumah itu. Nesa sedang berada di dalam kamarnya, sedangkan Edgar berada di ruang tengah, layar televisi menampilkan tayangan ulang pertandingan sepak bola yang lelaki itu tonton. Raut wajah Nesa ketika masuk ke dalam rumah sore tadi semakin ditekuk saja, sepertinya perempuan itu sedang dalam kondisi tidak baik. “Pak Edgar!” Edgar segera menengokkan wajahnya, menatap Nesa yang sedang menuruni tangga dengan langkah tergesa sambil membawa handphone dalam genggamannya. Tidak menjawab, hanya menaikkan satu alisnya tanda dia bertanya apa tujuan Nesa memanggil namanya. “Malam ini mau ke mana?” tanyanya yang sudah berdiri di depan Edgar yang masih duduk di sofa. “Tadinya saya berniat untuk pulang ke rumah. Kamu tidak masalah saya tinggal sendiri di sini. Atau kamu bisa menghubungi Bian untuk datang ke sini, menemani kamu.” Nesa kembali memberengut. “Pernikahan putri Pak Haerul.
"Gue ngga perlu jelasin serinci mungkin, Nes. Suami lo jelas pasti tahu semuanya." Nesa menatap Edgar dengan kening mengernyit, seolah bertanya tentang kebenaran dari ucapan Bian. "Udah sih, gue ngga papa, ngga usah natap gue kasihan gitu!" katanya. Walaupun begitu tetap saja, ada perasaan aneh yang dirasakan oleh Nesa. Ini jelas berita besar—dan yang paling mengkhawatirkan adalah bagaimana perasaan Bian selama ini? Pasti lelaki itu sudah melalui banyak hari yang berat. "Sudah berapa bulan?" tanya Bian mempersilahkan Nesa untuk duduk. "Jalan enam bulan," jawab Nesa semangat, mencoba bersikap seperti biasanya. "Apa suami lo memperlakukan lo dengan baik?" Nesa mengangguk tanpa ragu. "Mas Edgar mencintai aku... sangat!" "Bagus! Kalau dia ngga memperlakukan lo dengan baik, mending sama gue aja." Nesa terkekeh pelan, menggeleng lalu memeluk perut Edgar yang sedari tadi masih berdiri di dekatnya. "Nanti Mas Edgar sendirian, kasian." Bian menatap Edgar dengan tatapan yang
"Mas...." Edgar terlihat menghela napas, melepaskan perlahan tangan Nesa yang melingkar di lengannya. "Mas masih marah ya?" tanya Nesa memanyunkan bibirnya, kembali mencoba melingkarkan tangannya di lengan Edgar, walaupun suaminya itu kembali melepaskannya. "Iya maaf, ngga jadi Mas. Tadi aku cuman bercanda kok," lanjutnya. "Saya berangkat," katanya terkesan jutek walaupun sebelumnya mencium kening Nesa sebagai rutinitas wajib pagi mereka sebelum Edgar berangkat kerja. "Ah Mas Edgar...." Nesa kembali merengek, menghalang langkah suaminya. "Aku minta maaf, jangan marah." "Saya ada meeting Vanesa." "Tuh kan! Panggilan sayangnya mana?" Edgar kembali menghela napas pelan, menampilkan senyum yang sebenarnya tidak sampi hati itu. "Saya berangkat kerja ya, ada meeting pagi ini sayang," kata Edgar mengulang pernyataannya. Melingkarkan tangannya memeluk pinggang Edgar, Nesa mencium pipi kanan suaminya dengan lembut. "Aku beneran cuman bercanda tadi, jangan ngambek lagi yaa... dan semoga
Nesa mengerjapkan matanya perlahan, bibirnya berdecak pelan ketika telinganya masih mendengar suara notifikasi alarm dengan volume yang bukan main kencangnya.Mencoba bangun dari tidurannya untuk mengambil ponsel, tetapi tubuhnya dipeluk erat oleh sang suami.Dengan perlahan ia mencoba melepaskan tangan Edgar yang melingkar di perutnya, setelah berhasil, ia bangun lalu berjalan mengitari ranjang untuk duduk di tepi kasur, mengambil ponsel Edgar yang masih mengeluarkan suara notifikasi alarm untuk mematikannya.Disya mengernyit ketika merasakan perbedaan dengan kamar yan ditempatinya, mendongak lalu kembali memperhatikan sekitaran kamar dengan cahaya remang."Sudah bangun, sayang?" tanya Edgar, kedua tangannya kembali memeluk perutnya erat.Nesa tersenyum kecil lalu mengusap lembut lengan Edgar yang melingkar di perutnya."Sudah, tumben banget pasang alarm pagi-pagi buta begini sih?""Biar ngga kesiangan.""Mau ke mana?""Lihat sunrise.""Huh?"Nesa ingat, semalam ia dan Edgar menghadi
Edgar menghentikan kegiatanya yang sedang berkutat dengan laptop, melirik Nesa yang sepertinya sangat fokus menatap handphone dengan kedua telinga yang disumpal earphone, keduanya duduk bersebelahan, tetapi sibuk dengan kegiatannya masing-masing. Cup! Edgar mencuri satu ciuman di pipi kanan Nesa, yang jelas hal itu dilakukan untuk mendapat perhatian dari si perempuan. "Sedang menonton apa, fokus sekali?" Nesa sedikit terperanjat kaget, langsung mematikan layar handphone, menatap suaminya dengan senyum canggung sambil melepaskan earphone yang masih terpasang di telinganya. "Ngga ada apa-apa kok—aku ngga nonton apa-apa, Mas." Edgar mengernyit, reaksi Nesa terlihat berlebihan padahal dia hanya bertanya. Ditatap sebegitunya oleh Edgar jelas membuat Nesa ciut, seolah ia tidak akan pernah bisa berbohong kepada lelaki itu. "A—aku menonton video Sandi bernyanyi, aku ngga sengaja nyari, Mas, beneran. Tiba-tiba dia muncul di beranda sosial mediaku." "Mana lihat." Nesa kembali menyalakan
"Masih main?" Sandi kembali menyesap batang nikotin yang ada di sela jarinya, lalu menggeleng pelan menjawab pertanyaan Edgar. Edgar mencebikkan bibirnya tidak percaya ketika lelaki yang duduk di sampingnya menjawab tidak pada pertanyaan yang sebelumnya diajukan. "Nadya juga tidak buruk mendesah dibawah saya, dan yang paling penting saya tidak perlu repot-repot memakai pengaman ketika bercinta—wah rasanya berkali-kali lipat lebih nikmat ternyata!" "Saya pernah bilang kan, apa enaknya bercinta menggunakan karet?" Sandi menyunggingkan senyum miring, kembali mengepulkan asap rokoknya ke udara, mendongak menatap ke atas lalu menghela napas berat. "Kamu menyesal melakukannya?" Edgar bisa melihat wajah Sandi sebenarnya sedang tidak baik-baik saja. Jelas ada sesuatu yang membuatnya tidak nyaman. "Hanya tidak menyangka akan sampai di titik ini." "Nesa tidak tahu kamu lelaki seperti apa. Jika dia tahu kamu sering bercinta dengan banyak perempuan jelas ia tidak akan setuju kamu bersama
Jam dua siang mereka benar-benar baru meninggalkan kamar, itupun karena rasa lapar menghantui mereka. Jangan ditanya mereka melakukannya lagi atau tidak setelah membaca lembaran diary milik Nesa—tentu saja iya—maklum keduanya masih dimabuk cinta, kata Edgar ini adalah bentuk balas dendam karena selama hampir dua bulan resmi menikah mereka belum melakukannya. Beruntung Nesa mau melayaninya walaupun sembari merengek menangis. “Ih iya Mas aku lupa hari ini jadwal pemberangkatan Nadya lho,” kata Nesa ketika ia sedang fokus membuka handphonenya. “Jam berapa?” tanya Edgar. “Jam lima. Untung jam lima, jadi masih ada waktu buat ke sana,” kata Nesa mematikan layar handphonenya lalu menatap Edgar. “Aku ijin ketemu sama Nadya dulu ya Mas sebelum berangkat, ada Seruni juga kok, boleh?” Edgar mengangguk. “Sama saya.” “Oke!” Nesa kembali menampilkan senyum manisnya menatap Edgar, kembali melingkarkan kedua lengannya di leher Edgar—keduanya sedang menuruni tangga sekarang, hendak me
"Hah....."Baik Nesa maupun Edgar sama-sama terengah. Nesa yang berada di atas tubuh Edgar sampai tumbang, jatuh memeluk tubuh suaminya erat, menenggelamkan wajahnya tepat di dada Edgar."Saya masih belum selesai," kata Edgar menampilkan smirknya, mengusap bagian atas rambut Nesa.Masih dalam posisi yang sama, Nesa menggeleng-gelengkan kepalanya, lalu setelahnya mendongakkan wajahnya menatap manik sang suami. "Pak Edgar tadi janji hanya akan melakukannya satu kali," katanya dengan bibir yang ditekuk.Edgar mencubit pelan ujung hidung Nesa dengan gemas. "Ah! Kamu saja masih memanggil saya dengan sebutan Bapak. Bukankah sudah saya katakan akan menghukum kamu jika kembali mengatakan panggilan itu?"Nesa kembali memanyunkan bibirnya. "Justru kalau aku panggil selain itu, pasti akan terjadi ronde-ronde selanjutnya. Aku lelah—" Nesa menjeda ucapannya, kembali menenggelamkan wajahnya di permukaan dada suaminya. "Setelah melakukannya, aku ngantuk, mau tidur lagi...."Nesa dibawa berbaring di
Sesuai apa yang dikatakan oleh Nadya kemarin, mereka langsung merencenakan pertemuan dengan Seruni dan Risa, di kediaman Risa. Yang mana memang tujuan utamanya untuk memberi tahu jika Nadya akan pindah ke luar kota.Sekitar jam sepuluh Nesa pamit pada Edgar, lelaki itu tentu mengijinkan, bahkan mengantar Nesa ke kediaman Risa. Urusan mobil Nesa, masih berada di bengkel dan belum selesai diperbaiki, Edgar bahkan meminta untuk mengecek keadaan keseluruhan mobil.Sandi diminta untuk mengantarkan mobil milik Edgar yang berada di kediaman kedua orang tuanya. Hari ini memang masih hari libur, tentu saja Sandi menggerutu, ada banyak hal yang harus dibereskan untuk kepindahannya, nanti. Walaupun begitu Sandi tetap mengikuti perintah Edgar.Kemarin malam, tidak ada cara lain selain kembali ke tempat di mana mobil Nesa berada untuk mengambil kunci, kalau tidak seperti itu, bagaimana cara keduanya masuk ke dalam rumah.Edgar menyuruh Nesa untuk tetap menunggu di teras rumah, sedangkan dia sendir
Riuh tepuk tangan terdengar ketika lelaki yang menjadi pusat perhatian hampir seluruh pengunjung caffe selesai menyanyikan lau terakhirnya. Manik mata Edgar benar-benar tidak pernah lepas menatap ke arahnya, si lelaki yang ditatap juga jelas menatap ke arah Edgar—dari banyaknya pelanggan caffe, sosok Edgar tentu saja yang paling menarik perhatiannya. Bian turun dari atas panggung, setelah sebelumnya menyerahkan gitar yang tadi digunakan menjadi pengiring nyanyiannya kepada rekan bandnya, lalu melangkah menghampiri meja yang ditempati oleh Edgar. Tanpa meminta ijin, Bian langsung duduk tepat di hadapan Edgar. “Ada yang mau lo omongin sama gue?” tanya Bian to the point menatap tepat di manik matanya. Membenarkan posisi duduknya, lalu menyeruput minumam miliknya, Edgar mengangguk mengiyakan pertanyaan Bian. “Apa yang mau lo tanyain?” “Hubungan kamu dengan Vanesa.” “Apa lagi yang mau dijelasin. Nesa udah cerita sama lo kan, kalau kita udah ngga ada hubungan apa-apa.” “....” Edgar