Senyuman menggoda beberapa perempuan yang selalu menatapnya itu sedikit menyebalkan bagi Edgar. Entahlah, sejak dulu Edgar selalu tidak suka ketika ada perempuan yang dengan terang-terangan menggodanya, atau menjadikannya pusat perhatian.Tampan, mapan, dari keluarga terpandang—jelas mereka sengaja mendekati Edgar karena itu.Mungkin ini terdengar kuno—tapi Edgar tidak memanfaatkan semua kelebihan yang ada dirinya untuk bermain perempuan.Pasti merepotkan berurusan dengan perempuan-perempuan nakal di luar sana, lagipula Edgar selalu berpikir jauh tentang masa depannya, tidak hanya dirinya sendiri tetapi juga masa depan keluarga Naratama. Edgar tidak mau asal mengeluarkan benihnya di dalam perut perempuan-perempuan seperti itu.Menjijikkan!Edgar akan mendapatkan perempuan berkualitas yang akan menjadi ibu dari putra putrinya nanti."Berarti Nesa adalah salah satu perempuan yang berkualitas?" tanya Sandi ketika keduanya sedang duduk di sofa kediamannya.Malam itu adalah malam setelah k
“Pak Edgar ish!” Nesa memanyunkan bibirnya, menatap Edgar dengan maniknya kesal ketika Edgar mencoba melepaskan pelukan darinya, kembali melingkarkan kedua lengannya di belakang kepala Edgar walaupun dengan kedua kaki yang berjinjit-jainjit karena tinggi badan Edgar, lalu mencondongkan tubuhnya untuk kembali mempertemukan bibir keduanya.“Kita harus ke kamar dulu Vanesa,” kata Edgar menatap Nesa dengan senyuman kecil di bibirnya.Nesa sedang tidak dalam kondisi sepenuhnya sadar, sedikit mustahil jika perempuan itu akan mendengarkan ucapannya malam itu. Terbukti dari Nesa yang malah mengecup bibir Edgar, padahal keduanya masih berada di lorong kamar hotel.Masuk ke dalam salah satu kamar, Edgar segera menidurkan Nesa di atas kasur, mencoba melepaskan kedua lengan Nesa yang masih melingkar di belakang kepalanya. Tetapi, perempuan itu dengan sengaja semakin memeluk erat dirinya. “Pak Edgar….” Sedari tadi Nesa hanya bergumam pelan dengan menyebut-nyebut nama dirinya.“Saya menahan untuk t
Nesa buru-buru melepaskan safety belt yang dipakainya, turun dari mobil miliknya—mobil yang dihadiahkan oleh mertuanya sebelum menikah.Mia memberi pesan jika ia akan `berkunjung ke rumah hari ini.Sudah empat hari Nesa meninggalkan rumah—baru hari ini ia kembali menginjakkan kakinya ke rumah ini, itupun karena Mia memberi pesan jika ia akan datang berkunjung. Setelah insiden pagi-pagi sekali Mia datang ke rumah dan memergoki 'kegiatan pagi' Nesa dan Edgar yang lalu, perempuan paruh baya itu tidak pernah lagi datang berkunjung secara mendadak—pasti ia akan menghubungi Nesa dan Edgar terlebih dahulu—itu sangat baik untuk Nesa maupun Edgar, karena keduanya bisa mempersiapkan diri sebelum Mia datang."Huh...." Menghela napasnya panjang, Nesa menempelkan sidik jarinya di kotak sensor supaya pintu utama terbuka, kakinya dibawa melangkah masuk dengan tergesa.Hening.Keadaan rumah benar-benar sepi, Nesa bahkan sampai menghentikan langkahnya, menatap ke sekeliling rumah."Syukurlah, Mamah be
"Mamah ngga asik nih, masa udah dibocorin duluan." Rudi mencubit pelan pipi Mia, tidak terlalu keras namun berhasil membuat warna merah muda di pipi istrinya itu terlihat walau samar."Aduh, Pah! kok dicubit sih?" Mia cemberut. "Mamah kira Edgar udah ngasih tahu Nesa tentang rumah ini, ngga akan ada rencana surprisenya," lanjut Mia membela diri.Rudi terkekeh, mengusap pelan pipi istrinya yang tadi dia cubit. Lalu menatap Nesa yang ada di depannya. "Tahu ngga, Nes. Mamah panik banget telepon Edgar tadi siang. Waktu kamu nanya rumah yang mana itu. Kata Edgar kasih tahu aja, mau gimana lagi, toh Mamah ngga mungkin bisa nyari alesan buat bohongin kamu," jelas Rudi, lagi.Nesa tersenyum menanggapi ucapan mertuanya. "Justru aku mau bilang makasih sama Mamah, kalau bukan karena Mamah, hari ini aku ngga mungkin tahu tentang rumah ini.""Sama-sama sayang," balas Mia tersenyum lebar. "Lagian nunggu Edgar ngasih surprise kamu mah kelamaan ya? Apalagi dia sibuk kerja mulu." Mia menatap putra sul
“Yakin tidak papa nanti tinggal di sana? Gimana kalau kamu bosan, siapa yang nemenin, Nad? Kalau kamu butuh apa-apa gimana? Kenapa ngga cari rumah di sini aja?” Pertanyaan bertubi-tubi dari mulut Nesa membuat Nadya menyunggingkan senyum geli. “Ngga papa, aku bakalan baik-baik aja, Nes.” “Baik-baik aja gimana? Kamu di sana sendirian—” “Ngga sendirian, sama Kak Sandi ‘kan.” Nesa menghela napas. Gurat khawatir tampak jelas di raut wajahnya. Sandi—sejak pertama kali Nesa kerja di perusahaan itu, Sandi sudah ada, lelaki itu sudah lebih dulu bekerja dengan Edgar, bahkan Sandi sudah seperti tangan kanan Edar yang begitu sangat Edgar percayai. Tidak tahu banyak sifat dan karekter asli seorang Sandi. Selama bekerja dengan Edgar, setahu Nesa Sandi adalah tipikal orang yang profesional, Edgar jarang mengeluh tentang kinerja lelaki itu—hubungan baik layaknya teman kerja saja—tidak tahu menahu tentang ranah pribadi masing-masing. Tetapi, ketika sudah terjadi seperti ini, ia jadi ragu tentang S
Cinta?Nesa tidak menyangka jika Edgar benar-benar mencintainya. Berulang kali Nesa menyangkal hal itu ketika Seruni, Ardi, kedua orang tua Edgar bahkan Nadya mengatakan jika Edgar benar-benar mencintainya.Tetapi, beberapa menit yang lalu ia mendengar itu dari obrolan Edgar dan Sandi.“Cintamu yang bertepuk sebelah tangan itu juga menyedihkan Tuan Edgar."Walaupun hanya kalimat seperti itu, bukan kalimat pengungkapan cinta yang benar-benar mengatakan bahwa Edgar mencintainya, tetapi rasanya tidak mungkin jika kalimat 'Cintamu yang bertepuk sebelah tangan itu juga menyedihkan Tuan Edgar' dari pernyataan Sandi itu bukan tertuju padanya. Semua orang juga pasti akan berspekulasi bahwa Edgar mencintainya, Nesa yang mencintai Bian tentu saja membuat cinta Edgar bertepuk sebelah tangan 'kan? Seperti itu 'kan artinya?"Edgar kan kayanya lempeng banget orangnya ya. Trus tiba-tiba dia dengan sukarela ke minimarket buat beli pembalut. Kebayang ngga sih gimana lucunya dia waktu ngambil barangnya
Sandi dan Nadya sudah meninggalkan rumah satu jam yang lalu, kali ini hanya tinggal mereka berdua yang ada di rumah itu. Nesa sedang berada di dalam kamarnya, sedangkan Edgar berada di ruang tengah, layar televisi menampilkan tayangan ulang pertandingan sepak bola yang lelaki itu tonton. Raut wajah Nesa ketika masuk ke dalam rumah sore tadi semakin ditekuk saja, sepertinya perempuan itu sedang dalam kondisi tidak baik. “Pak Edgar!” Edgar segera menengokkan wajahnya, menatap Nesa yang sedang menuruni tangga dengan langkah tergesa sambil membawa handphone dalam genggamannya. Tidak menjawab, hanya menaikkan satu alisnya tanda dia bertanya apa tujuan Nesa memanggil namanya. “Malam ini mau ke mana?” tanyanya yang sudah berdiri di depan Edgar yang masih duduk di sofa. “Tadinya saya berniat untuk pulang ke rumah. Kamu tidak masalah saya tinggal sendiri di sini. Atau kamu bisa menghubungi Bian untuk datang ke sini, menemani kamu.” Nesa kembali memberengut. “Pernikahan putri Pak Haerul.
Nesa melingkarkan tangannya di lengan Edgar. Menarik napas panjang, lalu menghembuskannya perlahan sembari menampilkan senyum cerah.Butuh sekitar satu jam lebih untuk bersiap, tadi. Hasilnya tentu luar biasa, itulah kenapa Edgar selalu memilih Indra untuk mengurusi hal-hal seperti itu."Selamat malam Pak Edgar, dan Bu Vanesa!" sudah pasti, saat baru menginjakkan kaki saja langsung ada yang menyapa."Selamat malam Pak Erik," jawab Edgar lalu membalas uluran tangan lelaki itu, Nesa juga melakukan hal yang sama.Basa-basi biasa yang dilakukan oleh mereka setelahnya.Sebenarnya sudah sangat sering Nesa menghadiri acara semacam ini, tetapi Nesa tidak pernah merasa se-excited seperti hari ini. Pelukannya di lengan Edgar yang biasanya terasa canggung, hari ini terasa menyenangkan."Bu Vanes, apa kabar! Aduh cerah banget nih mukanya," sapa Tika—sekretaris Pak Haerul. Perempuan yang membuat Nesa mengetahui jika ada undangan pernikahan dari putrinya."Kabar baik, Bu. Bu Tika apa kabar, kalian