“Yakin tidak papa nanti tinggal di sana? Gimana kalau kamu bosan, siapa yang nemenin, Nad? Kalau kamu butuh apa-apa gimana? Kenapa ngga cari rumah di sini aja?” Pertanyaan bertubi-tubi dari mulut Nesa membuat Nadya menyunggingkan senyum geli. “Ngga papa, aku bakalan baik-baik aja, Nes.” “Baik-baik aja gimana? Kamu di sana sendirian—” “Ngga sendirian, sama Kak Sandi ‘kan.” Nesa menghela napas. Gurat khawatir tampak jelas di raut wajahnya. Sandi—sejak pertama kali Nesa kerja di perusahaan itu, Sandi sudah ada, lelaki itu sudah lebih dulu bekerja dengan Edgar, bahkan Sandi sudah seperti tangan kanan Edar yang begitu sangat Edgar percayai. Tidak tahu banyak sifat dan karekter asli seorang Sandi. Selama bekerja dengan Edgar, setahu Nesa Sandi adalah tipikal orang yang profesional, Edgar jarang mengeluh tentang kinerja lelaki itu—hubungan baik layaknya teman kerja saja—tidak tahu menahu tentang ranah pribadi masing-masing. Tetapi, ketika sudah terjadi seperti ini, ia jadi ragu tentang S
Cinta?Nesa tidak menyangka jika Edgar benar-benar mencintainya. Berulang kali Nesa menyangkal hal itu ketika Seruni, Ardi, kedua orang tua Edgar bahkan Nadya mengatakan jika Edgar benar-benar mencintainya.Tetapi, beberapa menit yang lalu ia mendengar itu dari obrolan Edgar dan Sandi.“Cintamu yang bertepuk sebelah tangan itu juga menyedihkan Tuan Edgar."Walaupun hanya kalimat seperti itu, bukan kalimat pengungkapan cinta yang benar-benar mengatakan bahwa Edgar mencintainya, tetapi rasanya tidak mungkin jika kalimat 'Cintamu yang bertepuk sebelah tangan itu juga menyedihkan Tuan Edgar' dari pernyataan Sandi itu bukan tertuju padanya. Semua orang juga pasti akan berspekulasi bahwa Edgar mencintainya, Nesa yang mencintai Bian tentu saja membuat cinta Edgar bertepuk sebelah tangan 'kan? Seperti itu 'kan artinya?"Edgar kan kayanya lempeng banget orangnya ya. Trus tiba-tiba dia dengan sukarela ke minimarket buat beli pembalut. Kebayang ngga sih gimana lucunya dia waktu ngambil barangnya
Sandi dan Nadya sudah meninggalkan rumah satu jam yang lalu, kali ini hanya tinggal mereka berdua yang ada di rumah itu. Nesa sedang berada di dalam kamarnya, sedangkan Edgar berada di ruang tengah, layar televisi menampilkan tayangan ulang pertandingan sepak bola yang lelaki itu tonton. Raut wajah Nesa ketika masuk ke dalam rumah sore tadi semakin ditekuk saja, sepertinya perempuan itu sedang dalam kondisi tidak baik. “Pak Edgar!” Edgar segera menengokkan wajahnya, menatap Nesa yang sedang menuruni tangga dengan langkah tergesa sambil membawa handphone dalam genggamannya. Tidak menjawab, hanya menaikkan satu alisnya tanda dia bertanya apa tujuan Nesa memanggil namanya. “Malam ini mau ke mana?” tanyanya yang sudah berdiri di depan Edgar yang masih duduk di sofa. “Tadinya saya berniat untuk pulang ke rumah. Kamu tidak masalah saya tinggal sendiri di sini. Atau kamu bisa menghubungi Bian untuk datang ke sini, menemani kamu.” Nesa kembali memberengut. “Pernikahan putri Pak Haerul.
Nesa melingkarkan tangannya di lengan Edgar. Menarik napas panjang, lalu menghembuskannya perlahan sembari menampilkan senyum cerah.Butuh sekitar satu jam lebih untuk bersiap, tadi. Hasilnya tentu luar biasa, itulah kenapa Edgar selalu memilih Indra untuk mengurusi hal-hal seperti itu."Selamat malam Pak Edgar, dan Bu Vanesa!" sudah pasti, saat baru menginjakkan kaki saja langsung ada yang menyapa."Selamat malam Pak Erik," jawab Edgar lalu membalas uluran tangan lelaki itu, Nesa juga melakukan hal yang sama.Basa-basi biasa yang dilakukan oleh mereka setelahnya.Sebenarnya sudah sangat sering Nesa menghadiri acara semacam ini, tetapi Nesa tidak pernah merasa se-excited seperti hari ini. Pelukannya di lengan Edgar yang biasanya terasa canggung, hari ini terasa menyenangkan."Bu Vanes, apa kabar! Aduh cerah banget nih mukanya," sapa Tika—sekretaris Pak Haerul. Perempuan yang membuat Nesa mengetahui jika ada undangan pernikahan dari putrinya."Kabar baik, Bu. Bu Tika apa kabar, kalian
“Aku sudah tidak ada hubungan apapun dengan Bian.” “....” Tidak ada tanggapan dari lelaki di sampingnya, membuat Nesa menghela napas panjang. Wajahnya yang memang sudah terlihat dingin dan ketus bawaan lahir, terlihat semakin tidak terlihat bersahabat saja. “Aku sudah tidak ada hubungan apapun dengan Bian. Sudah lama aku tidak bertemu dia, terakhir ketika Aya—aku tidak pernah menemuinya lagi,” kata Nesa, sedikit melarat ucapannya. Hampir saja ia mengatakan tentang kematian ayahnya. Menurutnya, Edgar tidak harus mengetahui tentang ayahnya. “....” Lagi lagi tidak ada jawaban. Demi Tuhan, Nesa tidak suka diabaikan begitu saja. Nesa mengerti mungkin sifat dinginnya sudah bawaan dari lahir atau bagaimana, tapi bisakan lelaki itu sekedar menjawab setiap penyataan yang dikatakan maupun pertanyaan yang dilontarkan kepadanya? Diabaikan begitu saja tentu saja ada rasa sesak dalam dada Nesa, membuat maniknya berkaca-kaca hendak menangis. “Bisakah Pak Edgar menjawab setiap perkataanku, Pak E
Kenapa bisa memakai mobil milik Nesa? Untuk pertanyaan ini, karena mobil yang ada di rumah itu hanya milik Nesa yang ada. Edgar membawa mobil sebelumnya, tetapi digunakan oleh kedua orang tuanya untuk kembali ke rumah, karena baik Rudi maupun Mia sendiri tidak membawa mobil ke rumah itu. Sebelum berangkat Edgar sudah menanyakan, apakah mobilnya baik-baik saja atau tidak. Edgar tahu, perempuan pasti tidak terlalu memikirkan tentang merawat mobil. Nesa berkata jika semuanya baik-baik saja—salah Edgar karena tidak mengecek hal itu keseluruhannya. Mereka juga terburu-buru pergi untuk menghadiri acara tersebut. Tentang menghadiri acara tersebut—Edgar awalnya kebingungan kenapa sepertinya Nesa sangat ingin menghadiri acara itu. Padahal, jika mereka menghadiri acara semacam itu, keduanya akan bersikap seperti pasangan suami istri—Edgar kira itu salah satu hal yang sangat Nesa benci mengingat Nesa tidak menyukai, dan tidak bahagia dengan pernikahan keduanya. Tetapi, pada akhirnya Edgar me
Riuh tepuk tangan terdengar ketika lelaki yang menjadi pusat perhatian hampir seluruh pengunjung caffe selesai menyanyikan lau terakhirnya. Manik mata Edgar benar-benar tidak pernah lepas menatap ke arahnya, si lelaki yang ditatap juga jelas menatap ke arah Edgar—dari banyaknya pelanggan caffe, sosok Edgar tentu saja yang paling menarik perhatiannya. Bian turun dari atas panggung, setelah sebelumnya menyerahkan gitar yang tadi digunakan menjadi pengiring nyanyiannya kepada rekan bandnya, lalu melangkah menghampiri meja yang ditempati oleh Edgar. Tanpa meminta ijin, Bian langsung duduk tepat di hadapan Edgar. “Ada yang mau lo omongin sama gue?” tanya Bian to the point menatap tepat di manik matanya. Membenarkan posisi duduknya, lalu menyeruput minumam miliknya, Edgar mengangguk mengiyakan pertanyaan Bian. “Apa yang mau lo tanyain?” “Hubungan kamu dengan Vanesa.” “Apa lagi yang mau dijelasin. Nesa udah cerita sama lo kan, kalau kita udah ngga ada hubungan apa-apa.” “....” Edgar
Sesuai apa yang dikatakan oleh Nadya kemarin, mereka langsung merencenakan pertemuan dengan Seruni dan Risa, di kediaman Risa. Yang mana memang tujuan utamanya untuk memberi tahu jika Nadya akan pindah ke luar kota.Sekitar jam sepuluh Nesa pamit pada Edgar, lelaki itu tentu mengijinkan, bahkan mengantar Nesa ke kediaman Risa. Urusan mobil Nesa, masih berada di bengkel dan belum selesai diperbaiki, Edgar bahkan meminta untuk mengecek keadaan keseluruhan mobil.Sandi diminta untuk mengantarkan mobil milik Edgar yang berada di kediaman kedua orang tuanya. Hari ini memang masih hari libur, tentu saja Sandi menggerutu, ada banyak hal yang harus dibereskan untuk kepindahannya, nanti. Walaupun begitu Sandi tetap mengikuti perintah Edgar.Kemarin malam, tidak ada cara lain selain kembali ke tempat di mana mobil Nesa berada untuk mengambil kunci, kalau tidak seperti itu, bagaimana cara keduanya masuk ke dalam rumah.Edgar menyuruh Nesa untuk tetap menunggu di teras rumah, sedangkan dia sendir