"Durasi emang penting, tapi yang penting skillnya ngga sih?"
"Bisa ngga buat sampe merem melek, yakan? Hahaha...." Tawa Tari terdengar ketika menyelesaikan kalimatnya, yang jelas mengundang tawa dari yang lainnya, termasuk Nesa yang hanya tersenyum canggung—lebih ke terkejut sih sebenarnya tentang pembahasan mereka saat ini."Bukan cuman merem melek, aku pernah sampai dibuat ngga bisa ngapa-ngapain sama Doni, gila kaki aku pegel bukan main, seharian penuh aku ngga ke luar kamar," kata Dina bercerita."Waktu masih pengantin baru pasti, yakan?" tebak Seli.Dina mengangguk, lalu menyeruput milk shake miliknya. "Kadang masih kaya gitu juga sih sekarang," lanjut Dina."Sudah ah! Pembahasannya kok makin ke mana-mana," peringat Meli."Hahaha.... ya ngga papa, Mel. Toh di sini semuanya udah pada nikah 'kan? Anggap lagi sharing-sharing ajalah," ucap Sasya."Oh ya! Ngomong-ngomong tentang nikah nih, ayo dong ceritain gimana perasaan kamu setelah nikah, apalagi sama"Bang Iz, kasih satu dong Zafrannya.""Ngga mau, Mom!""Sayang, kasihan itu adiknya nangis lho!""No, Mom!"Sasya memilih menggendong tubuh kecil Zafran yang sudah menangis kencang, mencoba menenangkannya ketika putranya tidak mau berbagi mainan dengan Zafran.Telapak kecil Zafran sudah mendarat di wajah Izra, membuat bocah yang berusia tiga tahun itu ikut menangis karena kesakitan."Seli ke mana? Aduh ini anak aku juga udah nangis." Sasya heboh menjauhkan keduanya yang jika saja tidak dipisahkan akan ada sesi saling memukul lagi."Lagi ke kamar mandi, Sya. Ngga papa sini Zafran biar aku tenangin," kata Disya, menyimpan pisau yang sedari tadi ia gunakan untuk memotong beberapa buah-buahan. Mencuci tangan terlebih dahulu sebelum membawa Zafran ke dalam gendongannya."Aduh! Ini Bapak-bapaknya malah main PS ya!" teriak Dina heboh.Suasana di kediaman Edgar benar-benar tidak seperti biasanya. Nesa sedari tadi tidak bisa menyembunyikan senyumnnya melihat kekacauan yang terjadi.Maklum, sel
Nesa melambaikan tangannya, menghantarkan mobil mereka yang sudah meninggalkan pelataran rumah kediamannya, senyumannya lenyap ketika mobil mereka tidak tertangkap lagi oleh netranya.Menghela napasnya panjang, lalu menghembuskannya perlahan, rasa sepi Nesa rasakan ketika mereka sudah pergi meninggalkan kediaman Egar. Rumah ini kembali hening seperti biasa jika hanya ada mereka berdua.“Sebenarnya apasih tujuan kita menikah?” tanya Nesa tanpa mengalihkan pandangannya ke arah Edgar yang berdiri di sampingnya.“….”Tidak ada jawaban, lelaki itu memilih pergi meninggalkan Nesa untuk masuk ke dalam rumah.Nesa tertawa sumbang, hatinya terasa berdenyut nyeri. Tidak! Malam ini semuanya harus jelas!Masuk ke dalam rumah dengan langkah cepat, menghampiri Edgar yang sedang menaiki tangga menuju ke kamarnya, Nesa menahan pintu kamar Edgar yang akan ditutup oleh si pemiliknya. “Aku ingin bicara! Aku ingin kejelasan!” ucap Nesa dengan suara yang bergetar.Edgar melepaskan tangannya dari handle pi
Seruni tanpa sengaja bertemu dengan Nadya dan Sandi sedang berdebat di trotoar dekat minimarket di sebelah gedung unit apartemennya.Tangisan juga cekcok adu mulut keduanya tidak bisa dihindari, hingga akhirnya Seruni mengetahui semua permasalahan mereka yang sedang terjadi.Rupanya mereka berniat untuk melakukan aborsi malam ini, bahkan sudah sampai di tempat untuk melakukannya. Tetapi baru saja berbaring di meja operasi, Nadya berubah pikiran, dengan cepat memakai kembali pakaiannya, berlari ke luar dari sana. Sandi yang memang mengantar Nadya, bahkan menunggu Nadya di luar ruangan sampai bertanya-tanya ketika Nadya berlari ke luar sembari menangis.Awalnya mereka sepakat untuk aborsi memang, Nadya meminta Sandi untuk mencarikan tempat untuk ia bisa melakukan aborsi. Sandi menemukan tempatnya, walaupun ilegal tetapi tempat itu cukup terkenal di kalangan teman-teman malamnya.Sandi mengantar Nadya ke tempat itu, tetapi entah apa yang membuatnya berubah pikiran sehingga Nadya berlari
Senyuman menggoda beberapa perempuan yang selalu menatapnya itu sedikit menyebalkan bagi Edgar. Entahlah, sejak dulu Edgar selalu tidak suka ketika ada perempuan yang dengan terang-terangan menggodanya, atau menjadikannya pusat perhatian.Tampan, mapan, dari keluarga terpandang—jelas mereka sengaja mendekati Edgar karena itu.Mungkin ini terdengar kuno—tapi Edgar tidak memanfaatkan semua kelebihan yang ada dirinya untuk bermain perempuan.Pasti merepotkan berurusan dengan perempuan-perempuan nakal di luar sana, lagipula Edgar selalu berpikir jauh tentang masa depannya, tidak hanya dirinya sendiri tetapi juga masa depan keluarga Naratama. Edgar tidak mau asal mengeluarkan benihnya di dalam perut perempuan-perempuan seperti itu.Menjijikkan!Edgar akan mendapatkan perempuan berkualitas yang akan menjadi ibu dari putra putrinya nanti."Berarti Nesa adalah salah satu perempuan yang berkualitas?" tanya Sandi ketika keduanya sedang duduk di sofa kediamannya.Malam itu adalah malam setelah k
“Pak Edgar ish!” Nesa memanyunkan bibirnya, menatap Edgar dengan maniknya kesal ketika Edgar mencoba melepaskan pelukan darinya, kembali melingkarkan kedua lengannya di belakang kepala Edgar walaupun dengan kedua kaki yang berjinjit-jainjit karena tinggi badan Edgar, lalu mencondongkan tubuhnya untuk kembali mempertemukan bibir keduanya.“Kita harus ke kamar dulu Vanesa,” kata Edgar menatap Nesa dengan senyuman kecil di bibirnya.Nesa sedang tidak dalam kondisi sepenuhnya sadar, sedikit mustahil jika perempuan itu akan mendengarkan ucapannya malam itu. Terbukti dari Nesa yang malah mengecup bibir Edgar, padahal keduanya masih berada di lorong kamar hotel.Masuk ke dalam salah satu kamar, Edgar segera menidurkan Nesa di atas kasur, mencoba melepaskan kedua lengan Nesa yang masih melingkar di belakang kepalanya. Tetapi, perempuan itu dengan sengaja semakin memeluk erat dirinya. “Pak Edgar….” Sedari tadi Nesa hanya bergumam pelan dengan menyebut-nyebut nama dirinya.“Saya menahan untuk t
Nesa buru-buru melepaskan safety belt yang dipakainya, turun dari mobil miliknya—mobil yang dihadiahkan oleh mertuanya sebelum menikah.Mia memberi pesan jika ia akan `berkunjung ke rumah hari ini.Sudah empat hari Nesa meninggalkan rumah—baru hari ini ia kembali menginjakkan kakinya ke rumah ini, itupun karena Mia memberi pesan jika ia akan datang berkunjung. Setelah insiden pagi-pagi sekali Mia datang ke rumah dan memergoki 'kegiatan pagi' Nesa dan Edgar yang lalu, perempuan paruh baya itu tidak pernah lagi datang berkunjung secara mendadak—pasti ia akan menghubungi Nesa dan Edgar terlebih dahulu—itu sangat baik untuk Nesa maupun Edgar, karena keduanya bisa mempersiapkan diri sebelum Mia datang."Huh...." Menghela napasnya panjang, Nesa menempelkan sidik jarinya di kotak sensor supaya pintu utama terbuka, kakinya dibawa melangkah masuk dengan tergesa.Hening.Keadaan rumah benar-benar sepi, Nesa bahkan sampai menghentikan langkahnya, menatap ke sekeliling rumah."Syukurlah, Mamah be
"Mamah ngga asik nih, masa udah dibocorin duluan." Rudi mencubit pelan pipi Mia, tidak terlalu keras namun berhasil membuat warna merah muda di pipi istrinya itu terlihat walau samar."Aduh, Pah! kok dicubit sih?" Mia cemberut. "Mamah kira Edgar udah ngasih tahu Nesa tentang rumah ini, ngga akan ada rencana surprisenya," lanjut Mia membela diri.Rudi terkekeh, mengusap pelan pipi istrinya yang tadi dia cubit. Lalu menatap Nesa yang ada di depannya. "Tahu ngga, Nes. Mamah panik banget telepon Edgar tadi siang. Waktu kamu nanya rumah yang mana itu. Kata Edgar kasih tahu aja, mau gimana lagi, toh Mamah ngga mungkin bisa nyari alesan buat bohongin kamu," jelas Rudi, lagi.Nesa tersenyum menanggapi ucapan mertuanya. "Justru aku mau bilang makasih sama Mamah, kalau bukan karena Mamah, hari ini aku ngga mungkin tahu tentang rumah ini.""Sama-sama sayang," balas Mia tersenyum lebar. "Lagian nunggu Edgar ngasih surprise kamu mah kelamaan ya? Apalagi dia sibuk kerja mulu." Mia menatap putra sul
“Yakin tidak papa nanti tinggal di sana? Gimana kalau kamu bosan, siapa yang nemenin, Nad? Kalau kamu butuh apa-apa gimana? Kenapa ngga cari rumah di sini aja?” Pertanyaan bertubi-tubi dari mulut Nesa membuat Nadya menyunggingkan senyum geli. “Ngga papa, aku bakalan baik-baik aja, Nes.” “Baik-baik aja gimana? Kamu di sana sendirian—” “Ngga sendirian, sama Kak Sandi ‘kan.” Nesa menghela napas. Gurat khawatir tampak jelas di raut wajahnya. Sandi—sejak pertama kali Nesa kerja di perusahaan itu, Sandi sudah ada, lelaki itu sudah lebih dulu bekerja dengan Edgar, bahkan Sandi sudah seperti tangan kanan Edar yang begitu sangat Edgar percayai. Tidak tahu banyak sifat dan karekter asli seorang Sandi. Selama bekerja dengan Edgar, setahu Nesa Sandi adalah tipikal orang yang profesional, Edgar jarang mengeluh tentang kinerja lelaki itu—hubungan baik layaknya teman kerja saja—tidak tahu menahu tentang ranah pribadi masing-masing. Tetapi, ketika sudah terjadi seperti ini, ia jadi ragu tentang S