"Gitra mengundangku ke acara birthday party Alena, Nes," kata Nadya menunjukkan selembaran undangan tepat di depan wajah Nesa dengan raut bahagianya."Lalu? Datanglah, bukannya kau sangat suka dengan model itu?" jawab Nesa, melirik Nadya beberapa detik, lalu kembali fokus dengan handphone yang sedang dimainkannya."Aku tidak ingin sendirian," ucap Nadya duduk bersila dihadapan Nesa dengan bibir yang dikerucutkan lucu. Mencoba menarik perhatian Nesa yang sedang fokus menatap layar handphonenya."Sendirian? Bukannya kamu datang sama Gitra?"Nadya menggeleng, "Dia hadir sebelum acara di mulai, Nes. Ngga mungkin aku di sana saat semua tamu undangan belum hadir 'kan?"Nesa pada akhirnya menyimpan handphone yang sedang dimainkannya, memfokuskan diri kepada Nadya. "Lalu? Kamu ngajak aku buat ikut gitu?" tanya Nesa memastikan.Nadya langsung mengangguk semangat. "Aku udah ada janji sama Bian, mau nonton perform pertama kali dia di caffe Sasya," jawab Nesa.Nadya terlihat sangat lesu setelah
Nesa melirik Nadya yang termenung menatap keluar jendela, menatap air hujan yang jatuh membasahi kaca mobil. Tidak berniat bersuara apapun, Nesa memilih menggenggam tangan kanan Nadya yang berada dipangkuannya dengan lembut, seolah memberinya ketenangan yang sebenarnya mungkin saja tidak berefek apapun untuk Nadya sendiri. Tanpa mengalihkan pandangannya, Nadya tetap membalas genggaman tangan Nesa."Kalau cuman ngelakuin sekali ngga mungkin langsung hamil kan, Nes?" tanya Nadya lirih.Nesa mengulum bibirnya, tidak tahu akan menjawab apa atas pertanyaan yang dilontarkan oleh Nadya. "Nes, iya 'kan?" Nadya kali ini menatap wajah Nesa dengan raut cemasnya."Mungkin—"Nesa menunduk menatap perut ratanya. Sudah lebih dari satu bulan ia belum mendapat menstruasinya. Nesa belum memeriksanya pasti, sekedar membeli test pack saja Nesa takut, apalagi datang ke dokter untuk memeriksakan apakah benar dirinya sedang mengandung atau tidak."Jangan nangis terus, Nad. Sudah mau sampai rumah, nanti kala
Jemari Bian rasanya bergetar memegang bolpoint hitam itu, perasaan seperti ini baru ia rasakan saat ini."Santai aja, Bin... relax!" Sasya terkekeh pelan melihat kegugupan Bian yang duduk di depannya.Bian mengulum bibirnya, kembali memegang bolpoint itu dengan benar, setelahnya dia membubuhkan tanda tangan di atas kertas putih itu. Helaan napas terdengar ketika Bian selesai dengan itu. "Oke! Selamat bergabung, Bian!" Sasya mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan dengan lelaki itu. "Sayang sekali Nesa tidak ada di sini ya?" lanjut Sasya sambil merapihkan lembaran kertas yang sudah selesai Bian tandatangani.Handphone Sasya yang berada di atas meja berdering tanda ada telepon masuk. Perempuan itu segera mengangkat telepon itu."Pas banget Tar, kamu telepon aku!" Sasya langsung berbicara, tanpa menyapa terlebih dahulu orang yang menghubunginya, bahkan perempuan itu sudah meloudspeaker panggilannya. Menyimpan handphonenya di meja, sedangkan kedua tangannya sibuk menandatangani lemba
"Kencan sambil makan pecel lele di pinggir jalan—" Bian membaca salah satu tulisan yang ditulis oleh Nesa di lembaran kertas itu sambil terkekeh pelan, "Ini harus yang spanduknya warna hijau banget?" lanjutnya menatap Nesa yang duduk bersila di hadapannya, masih terkekeh lucu karena tulisan tangan Nesa."Iya harus!"Bian mengangguk, lalu kembali melanjutkan bacaannya, sambil terkekeh. Nesa benar-benar sangat lucu, ada-ada saja, pikir Bian.Nesa menulis semua hal yang ingin ia lakukan dengan Bian. Kencan sambil makan pecel lele di pinggir jalan dengan spanduk warna hijau adalah salah satu dari sekian banyak keinginan Nesa, beberepa keinginan yang lainnya seperti; Mendaki ke gunung semeru, pergi ke pasar malam dengan tujuan untuk memborong jajanan di sana, pergi ke pantai, dan lain-lainnya. Hanya keinginan sederhana Vanesa.Tidak hanya menuliskan hal-hal kecil yang ingin dilakukan, tapi Nesa juga menuliskan planning untuk kehidupannya.Bian bersedia untuk menjadi kekasihnya. Itu adalah
"Saya dan Nesa sudah menjalin hubungan cukup lama. Nesa memutuskan untuk resign karena ingin membatasi hubungan percintaan dan pekerjaannya."Alasan seperti itu yang digunakan oleh Edgar untuk menjelaskan kepada kelurga dan sahabat Nesa. Edgar benar-benar mengantarkan Nesa sampai ke rumahnya. Di sana kedatangan Nesa dan Edgar tentu sudah dinanti-nanti oleh Nisa, Nizam, Seruni, dan juga Risa. Edgar membuat cerita karangannya sendiri— mengatakan jika memang dirinya dan Nesa sudah menjalin hubungan cukup lama. Nesa memutuskan resign karena ingin hubungan mereka berakhir, Nesa merasa tidak pantas bersanding dengannya."Nyatanya kami saling mencintai." Kalimat yang begitu memperjelas situasi keduanya, berharap keluarga Nesa dan kedua sahabatnya percaya. Tapi... tentu saja mereka masih ragu dengan penjelasan Edgar. Hal itu terasa tidak mungkin, terlebih... mereka tahunya Nesa sedang menjalin hubungan dengan lelaki bernama Bian. Dan tentang Edgar, rasanya sudah berpuluh-puluh bahkan mungin
"Lorong ketiga dari sebelah kiri ya, Pak."Edgar ikut melihat ke arah yang ditunjukkan oleh salah satu pekerja di minimarket, lalu lelaki itu mengangguk pelan."Mau saya antar?"Edgar menggeleng. "Terima kasih." Setelah mengatakan itu Edgar kembali melangkahkan kakinya menuju lorong di mana rak-rak display pembalut berjejer. Wajahnya cengo seketika, ada banyak sekali macam-macam pembalut dengan berbagai ukuran dan merk.Menggaruk tengkuknya yang sebenarnya tidak gatal sama sekali. Edgar masih diam di tempatnya, namun detik berikutnya ia mengambil asal beberapa pembalut dengan berbagai merk dan ukuran di sana, memasukannya ke dalam troli belanjaannya."Banyak banget, Pak?" tanya salah satu customer di minimarket yang sedang memperhatikan Edgar dengan barang belanjaanya.Egar melirik lelaki yang sepertinya seumuran dengannya, memegang satu pack besar pembalut di tangannya, dan langsung memasukkannya ke dalam troli belanjaan miliknya sendiri. "Buat pacarnya ya?" tanyanya."Istri saya."K
'Setelah menyelesaikan urusanmu dengan lelaki itu, segeralah kembali ke hotel sebelum jam tujuh. Keluarga akan bertanya jika kamu tidak ada di meja makan saat sarapan nanti.'Nesa turun dari mobilnya, membuka pintu mobil bagian belakang, mengambil syal selendang berwarna hitam, lalu memakainya. Meninggalkan basemant, lalu berjalan menuju lift, menempelkan benda pipih persegi atau card lock pada kotak sensor, sehingga pintu lift di depannya terbuka. Lift khusus untuk penghuni Penthouse, jelas berbeda dengan lift tamu biasa hotel. Menatap ke sekeliling berharap tidak ada satupun orang yang melihatnya saat ini, lalu setelah memastikan tidak ada siapun, Nesa masuk ke dalam lift.Bukannya merasa baik karena ia sudah berada di depan pintu kamarnya, perasaan Nesa malah jauh lebih tidak karuan ketika sudah menatap pintu di depannya, jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya.Memejamkan matanya sekejap, lalu membukanya kembali, dengan setengah berani ia membuka handle pintu, memperhatikan
‘Mamah pilih beberapa pekerja untuk di rumah ya, Nes?’Nesa menggeleng. “Sepertinya tidak usah, Mah.”‘Lho kenapa? Biar kamu ngga sendirian sayang. Edgar juga, ada-ada saja meninggalkan kamu sendirian di rumah, padahal kan kalian baru menikah kemarin—sedikit melupakan urusan kantor sepertinya tidak masalah.’ Perempuan di seberang telepon terdengar mendumel.“Pak Edgar sebentar lagi akan pulang, Mah. Tadi memberi kabar sama aku.”Terdengar helaan napas berat dari seberang sana. ‘Baiklah, kabari Mamah jika membutuhkan sesuatu atau apapun ya sayang. Atau kalau perlu kamu tinggal di sini saja sama Mamah, Nes….’Nesa terkekeh pelan menanggapi ucapan mertuanya. “Nanti diobrolin lagi ya sama Pak Edgar, Mah.”‘Baiklah. Kalau begitu Mamah tutup teleponnya ya, besok Mamah ke sana.’“Iya, Mah. Aku tunggu besok di rumah ya.”Setelah mengucapkan salam, sambungan telepon terputus. Nesa menyimpan handphonenya di atas meja, lalu kembali duduk dengan posisi memeluk lututnya yang ditekuk. Menenggelamka
"Gue ngga perlu jelasin serinci mungkin, Nes. Suami lo jelas pasti tahu semuanya." Nesa menatap Edgar dengan kening mengernyit, seolah bertanya tentang kebenaran dari ucapan Bian. "Udah sih, gue ngga papa, ngga usah natap gue kasihan gitu!" katanya. Walaupun begitu tetap saja, ada perasaan aneh yang dirasakan oleh Nesa. Ini jelas berita besar—dan yang paling mengkhawatirkan adalah bagaimana perasaan Bian selama ini? Pasti lelaki itu sudah melalui banyak hari yang berat. "Sudah berapa bulan?" tanya Bian mempersilahkan Nesa untuk duduk. "Jalan enam bulan," jawab Nesa semangat, mencoba bersikap seperti biasanya. "Apa suami lo memperlakukan lo dengan baik?" Nesa mengangguk tanpa ragu. "Mas Edgar mencintai aku... sangat!" "Bagus! Kalau dia ngga memperlakukan lo dengan baik, mending sama gue aja." Nesa terkekeh pelan, menggeleng lalu memeluk perut Edgar yang sedari tadi masih berdiri di dekatnya. "Nanti Mas Edgar sendirian, kasian." Bian menatap Edgar dengan tatapan yang
"Mas...." Edgar terlihat menghela napas, melepaskan perlahan tangan Nesa yang melingkar di lengannya. "Mas masih marah ya?" tanya Nesa memanyunkan bibirnya, kembali mencoba melingkarkan tangannya di lengan Edgar, walaupun suaminya itu kembali melepaskannya. "Iya maaf, ngga jadi Mas. Tadi aku cuman bercanda kok," lanjutnya. "Saya berangkat," katanya terkesan jutek walaupun sebelumnya mencium kening Nesa sebagai rutinitas wajib pagi mereka sebelum Edgar berangkat kerja. "Ah Mas Edgar...." Nesa kembali merengek, menghalang langkah suaminya. "Aku minta maaf, jangan marah." "Saya ada meeting Vanesa." "Tuh kan! Panggilan sayangnya mana?" Edgar kembali menghela napas pelan, menampilkan senyum yang sebenarnya tidak sampi hati itu. "Saya berangkat kerja ya, ada meeting pagi ini sayang," kata Edgar mengulang pernyataannya. Melingkarkan tangannya memeluk pinggang Edgar, Nesa mencium pipi kanan suaminya dengan lembut. "Aku beneran cuman bercanda tadi, jangan ngambek lagi yaa... dan semoga
Nesa mengerjapkan matanya perlahan, bibirnya berdecak pelan ketika telinganya masih mendengar suara notifikasi alarm dengan volume yang bukan main kencangnya.Mencoba bangun dari tidurannya untuk mengambil ponsel, tetapi tubuhnya dipeluk erat oleh sang suami.Dengan perlahan ia mencoba melepaskan tangan Edgar yang melingkar di perutnya, setelah berhasil, ia bangun lalu berjalan mengitari ranjang untuk duduk di tepi kasur, mengambil ponsel Edgar yang masih mengeluarkan suara notifikasi alarm untuk mematikannya.Disya mengernyit ketika merasakan perbedaan dengan kamar yan ditempatinya, mendongak lalu kembali memperhatikan sekitaran kamar dengan cahaya remang."Sudah bangun, sayang?" tanya Edgar, kedua tangannya kembali memeluk perutnya erat.Nesa tersenyum kecil lalu mengusap lembut lengan Edgar yang melingkar di perutnya."Sudah, tumben banget pasang alarm pagi-pagi buta begini sih?""Biar ngga kesiangan.""Mau ke mana?""Lihat sunrise.""Huh?"Nesa ingat, semalam ia dan Edgar menghadi
Edgar menghentikan kegiatanya yang sedang berkutat dengan laptop, melirik Nesa yang sepertinya sangat fokus menatap handphone dengan kedua telinga yang disumpal earphone, keduanya duduk bersebelahan, tetapi sibuk dengan kegiatannya masing-masing. Cup! Edgar mencuri satu ciuman di pipi kanan Nesa, yang jelas hal itu dilakukan untuk mendapat perhatian dari si perempuan. "Sedang menonton apa, fokus sekali?" Nesa sedikit terperanjat kaget, langsung mematikan layar handphone, menatap suaminya dengan senyum canggung sambil melepaskan earphone yang masih terpasang di telinganya. "Ngga ada apa-apa kok—aku ngga nonton apa-apa, Mas." Edgar mengernyit, reaksi Nesa terlihat berlebihan padahal dia hanya bertanya. Ditatap sebegitunya oleh Edgar jelas membuat Nesa ciut, seolah ia tidak akan pernah bisa berbohong kepada lelaki itu. "A—aku menonton video Sandi bernyanyi, aku ngga sengaja nyari, Mas, beneran. Tiba-tiba dia muncul di beranda sosial mediaku." "Mana lihat." Nesa kembali menyalakan
"Masih main?" Sandi kembali menyesap batang nikotin yang ada di sela jarinya, lalu menggeleng pelan menjawab pertanyaan Edgar. Edgar mencebikkan bibirnya tidak percaya ketika lelaki yang duduk di sampingnya menjawab tidak pada pertanyaan yang sebelumnya diajukan. "Nadya juga tidak buruk mendesah dibawah saya, dan yang paling penting saya tidak perlu repot-repot memakai pengaman ketika bercinta—wah rasanya berkali-kali lipat lebih nikmat ternyata!" "Saya pernah bilang kan, apa enaknya bercinta menggunakan karet?" Sandi menyunggingkan senyum miring, kembali mengepulkan asap rokoknya ke udara, mendongak menatap ke atas lalu menghela napas berat. "Kamu menyesal melakukannya?" Edgar bisa melihat wajah Sandi sebenarnya sedang tidak baik-baik saja. Jelas ada sesuatu yang membuatnya tidak nyaman. "Hanya tidak menyangka akan sampai di titik ini." "Nesa tidak tahu kamu lelaki seperti apa. Jika dia tahu kamu sering bercinta dengan banyak perempuan jelas ia tidak akan setuju kamu bersama
Jam dua siang mereka benar-benar baru meninggalkan kamar, itupun karena rasa lapar menghantui mereka. Jangan ditanya mereka melakukannya lagi atau tidak setelah membaca lembaran diary milik Nesa—tentu saja iya—maklum keduanya masih dimabuk cinta, kata Edgar ini adalah bentuk balas dendam karena selama hampir dua bulan resmi menikah mereka belum melakukannya. Beruntung Nesa mau melayaninya walaupun sembari merengek menangis. “Ih iya Mas aku lupa hari ini jadwal pemberangkatan Nadya lho,” kata Nesa ketika ia sedang fokus membuka handphonenya. “Jam berapa?” tanya Edgar. “Jam lima. Untung jam lima, jadi masih ada waktu buat ke sana,” kata Nesa mematikan layar handphonenya lalu menatap Edgar. “Aku ijin ketemu sama Nadya dulu ya Mas sebelum berangkat, ada Seruni juga kok, boleh?” Edgar mengangguk. “Sama saya.” “Oke!” Nesa kembali menampilkan senyum manisnya menatap Edgar, kembali melingkarkan kedua lengannya di leher Edgar—keduanya sedang menuruni tangga sekarang, hendak me
"Hah....."Baik Nesa maupun Edgar sama-sama terengah. Nesa yang berada di atas tubuh Edgar sampai tumbang, jatuh memeluk tubuh suaminya erat, menenggelamkan wajahnya tepat di dada Edgar."Saya masih belum selesai," kata Edgar menampilkan smirknya, mengusap bagian atas rambut Nesa.Masih dalam posisi yang sama, Nesa menggeleng-gelengkan kepalanya, lalu setelahnya mendongakkan wajahnya menatap manik sang suami. "Pak Edgar tadi janji hanya akan melakukannya satu kali," katanya dengan bibir yang ditekuk.Edgar mencubit pelan ujung hidung Nesa dengan gemas. "Ah! Kamu saja masih memanggil saya dengan sebutan Bapak. Bukankah sudah saya katakan akan menghukum kamu jika kembali mengatakan panggilan itu?"Nesa kembali memanyunkan bibirnya. "Justru kalau aku panggil selain itu, pasti akan terjadi ronde-ronde selanjutnya. Aku lelah—" Nesa menjeda ucapannya, kembali menenggelamkan wajahnya di permukaan dada suaminya. "Setelah melakukannya, aku ngantuk, mau tidur lagi...."Nesa dibawa berbaring di
Sesuai apa yang dikatakan oleh Nadya kemarin, mereka langsung merencenakan pertemuan dengan Seruni dan Risa, di kediaman Risa. Yang mana memang tujuan utamanya untuk memberi tahu jika Nadya akan pindah ke luar kota.Sekitar jam sepuluh Nesa pamit pada Edgar, lelaki itu tentu mengijinkan, bahkan mengantar Nesa ke kediaman Risa. Urusan mobil Nesa, masih berada di bengkel dan belum selesai diperbaiki, Edgar bahkan meminta untuk mengecek keadaan keseluruhan mobil.Sandi diminta untuk mengantarkan mobil milik Edgar yang berada di kediaman kedua orang tuanya. Hari ini memang masih hari libur, tentu saja Sandi menggerutu, ada banyak hal yang harus dibereskan untuk kepindahannya, nanti. Walaupun begitu Sandi tetap mengikuti perintah Edgar.Kemarin malam, tidak ada cara lain selain kembali ke tempat di mana mobil Nesa berada untuk mengambil kunci, kalau tidak seperti itu, bagaimana cara keduanya masuk ke dalam rumah.Edgar menyuruh Nesa untuk tetap menunggu di teras rumah, sedangkan dia sendir
Riuh tepuk tangan terdengar ketika lelaki yang menjadi pusat perhatian hampir seluruh pengunjung caffe selesai menyanyikan lau terakhirnya. Manik mata Edgar benar-benar tidak pernah lepas menatap ke arahnya, si lelaki yang ditatap juga jelas menatap ke arah Edgar—dari banyaknya pelanggan caffe, sosok Edgar tentu saja yang paling menarik perhatiannya. Bian turun dari atas panggung, setelah sebelumnya menyerahkan gitar yang tadi digunakan menjadi pengiring nyanyiannya kepada rekan bandnya, lalu melangkah menghampiri meja yang ditempati oleh Edgar. Tanpa meminta ijin, Bian langsung duduk tepat di hadapan Edgar. “Ada yang mau lo omongin sama gue?” tanya Bian to the point menatap tepat di manik matanya. Membenarkan posisi duduknya, lalu menyeruput minumam miliknya, Edgar mengangguk mengiyakan pertanyaan Bian. “Apa yang mau lo tanyain?” “Hubungan kamu dengan Vanesa.” “Apa lagi yang mau dijelasin. Nesa udah cerita sama lo kan, kalau kita udah ngga ada hubungan apa-apa.” “....” Edgar