Nesa meringis ngeri menatap wajah Edgar, pipinya lebam, bahkan bibirnya berdarah karena sedikit sobek. Semua itu terjadi karena ulahnya."Maaf, saya pikir Pak Edgar ada di kamar," kata Nesa masih mencoba membela diri, dengan tangan yang masih sibuk mengobati luka Edgar. "Lagian ngapain Pak Edgar renang di jam segini?" lanjut Nesa.Lelaki itu hanya diam, namun tidak bisa bohong wajahnya menyiratkan kekesalan.Berawal dari Nesa yang pada akhirnya lagi-lagi menurut dengan perkataan Edgar yang menyuruhnya untuk menginap di kediamannya untuk malam ini.Bohong jika tidak terjadi perdebatan setelah Edgar mengatakan hal itu. Nesa sebenarnya tidak enak hati karena ragu dengan orientasi seksual Edgar, namun mau bagiamana lagi? Bahkan Mia selaku Mama dari Edgar saja ragu, apalagi Nesa 'kan? Terlebih dengan beberapa fakta yang Nesa sendiri lihat, contohnya tentang bosnya yang tidak tergoda dengan perempuan-perempuan yang menggodanya. Jadi... Nesa tidak sepenuhnya salah 'kan?Jujur saja Nesa sebena
Kedua matanya fokus menatap pantulan dirinya di cermin, menatap bagian leher hingga dadanya yang terdapat banyak bercak merah gelap, bahkan sedikit berwarna keunguan.Tidak bisa menghentikan kepalanya untuk kembali mengingat kejadian beberapa jam yang lalu. Nafsu benar-benar sudah menguasi, keduanya berjalan masuk ke dalam rumah dengan posisi Edgar yang menggendong Nesa seperti koala, mereka terus berpangutan mesra saat berjalan untuk menuju ke kamar Edgar. Tanpa rasa ragu Edgar membaringkan tubuh Nesa di atas kasurnya, kembali menciumi wajah, bibir, dagu, leher, hingga menelusupkan wajahnya ke dada perempuan yang sudah menutup matanya dengan bibir yang sedikit terbuka karena mengeluarkan suara-suara kenikmatan."Mm—mm... ngghh... Pa—pak Edgar...."Suara Nesa benar-benar membuat Edgar semakin tersulut akan nafsunya, dengan lancang bibir Edgar sudah bermain-main di tubuh bagian atas Nesa. Edgar jelas-jelas sedang dalam keadaan sadar, dan rasanya sangat luar biasa apalagi ketika tangan N
"Kakak kemana aja sih? Pagi-pagi banget keluar rumah? handphone-nya juga ngga bisa dihubungin?" Nisa menghampiri putri sulungnya yang baru saja datang."Bu... a—aku... aku dari rumah—" Nesa masih mencoba berpikir keras tentang alasan apa yang akan ia buat untuk pertanyaan ibunya."Permisi....""Bian! Ke rumah Bian, dia sakit, Bu. Pagi-pagi Bian telepon aku suruh ke rumahnya," jawab Nesa cepat.Bian—lelaki yang baru datang tentu saja langsung kebingungan mendengar perkataan Nesa. Dia saja baru datang, tidak tahu apa-apa, kenapa Nesa menyebutkan nama dirinya?"'Nak Bian sakit?" Nisa menatap Bian dengan raut khawatir.Baru saja Bian membuka mulutnya untuk berbicara, dengan gerakan cepat Nesa langsung melingkarkan tangannya memeluk lengan Bian. "Iya, tadi pagi katanya mual-mual gitu, Bu. Makan sembarangan kali ya. Tapi tadi aku udah beliin Bian obat, kok. Sekarang udah baikan kayanya, dia maksa mau anterin aku pulang, jadi ya... gini." Nesa menampilkan senyunya berbicara sangat lancar, dan
Sudah seminggu sejak kejadian dini hari di kediaman Edgar. Nesa tidak mungkin melupakannya, bahkan tidak mungkin akan melupakannya seumur hidup.Sangat sering Edgar menghubunginya, atau sampai datang ke rumah beberapa kali hanya untuk mengobrol dengan Nesa katanya. Tentu saja Nesa tahu kearah mana obrolan mereka nantinya. Nesa sangat malu, dan rasanya ia tidak mau bertemu dengan Edgar lagi, perempuan itu tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi nantinya.'Saya tahu ke mana arah obrolan Pak Edgar nantinya. Tapi, bisakah kita tidak membahasnya? Bagaimana kalau kita anggap itu angin lalu saja? Anggap saja kita melakukannya dengan tidak sadar, saya tidak papa. Lagipula kita sudah tidak ada hubungan apa-apa lagi, saya harap kita tidak pernah bertemu ataupun saling menghubungi lagi.'Nesa memberi pesan kepada Edgar tepat pagi ini. Bahkan ia sudah memblokir nomor mantan bosnya itu. Selama sepekan ini, mungkin sudah puluhan kali chat, dan telepon dari Edgar, Nesa abaikan begitu saja, bah
"Bian mau itu!""Bian mainan itu lucu ya! Ayo beli!""Arum manis! Bian ayo beli itu!""Lihat tuh dia dapet boneka-boneka lucu dari permainan panahan. Ayo kita main!""Bian... es krim!""Bian...."Bisa bayangkan bagaimana pusingnya kepala Bian mendengar rengekan dari perempuan yang sudah hampir menginjak umur 29 itu, kan? Walaupun terlihat ogah-ogahan Bian tetap menuruti perkataan Nesa, dan mengikuti kemanapun langkah perempuan itu."Enak banget!" komentar Nesa yang sedang memakan es krim dengan lahap, kedua kakinya digerakkan naik turun dengan perasaan senang."Beberapa jam lalu lo habis makan mie goreng dua bungkus lengkap sama dua telur kalau lo lupa!" kata Bian mengingatkan sembari menatap Nesa dengan mendelikkan matanya."Satu setengah bungkus, sama satu setengah telor! Koreksi ya!"Bian memutar bola matanya jengah mendengar jawaban Nesa. "Dan itu belum bikin lo kenyang?"Nesa hanya menampilkan cengiran tanpa dosanya.Keduanya sedang berada di sebuah pasar malam yang memang selalu
Nesa menatap perempuan yang duduk di depannya dengan tampang memelas, bahkan Nesa memanyunkan bibirnya, berharap perempuan itu akan berhenti menatapnya dengan tatapan mengintimidasi. Itu tidak berguna, Seruni—perempuan yang duduk di depan Nesa menghembuskan napasnya kasar. "Trus gimana?" tanyanya.Nesa mengernyitkan keningnya. "Gimana apanya?""Kalau kamu dipaksa sama dia? Kamu bisa ngelaporin dia ke pihak yang berwajib karena kasus pelecehan, tapi kamu—" Seruni sampai tidak bisa melanjutkan ucapannya. Karena tidak habis pikir dengan kelakuan Nesa."Aku ngga tau, aku ngga sadar waktu ngelakuinnya, Ni." Nesa masih mencoba menjelaskan, membela dirinya, walaupun sebenarnya itu percuma saja."Bian udah tahu?"Nesa semakin menundukkan kepalanya, ia tidak ingin menjawab semua pertanyaan Seruni lagi rasanya."Kamu ngga hamil kan, Nes?"Nesa langsung mengangkat wajahnya, menatap Seruni dengan membelalakan mata protes. "Ni, kok kamu ngomong gitu sih?" gerutunya.Seruni menghela napasnya jengah
"Ngapain?" tanya Bian dengan suara serak khas bangun tidur, tangannya memungut kaos lusuh berwarna abu tua yang tergeletak di lantai untuk dipakainya. Matanya mendelik menatap Nesa yang berdiri di depannya, menatap Nesa seolah lelaki itu tidak senang dengan kehadiran perempuan itu di kediamannya."Mau ketemu kamu," jawab Nesa."Urusan kita udah selesai kan?""Tentang obrolan kemarin—""Kenapa lo mau sama gue? Memulai lo bilang, hah?" Bian menyungingkan senyum mengejek. "Apanya yang dimulai? Hubungan kita, maksud lo kita ngejalin hubungan beneran?"Nesa mengangguk pelan.Bian menghela napasnya kasar, bangun dari duduknya sehingga kini berhadapan dengan Nesa. Menatap perempuan di depannya dengan tajam. "Lo sadar ngga, apa yang lo mau sekarang itu, hah?!" teriak Bian berhasil membuat perempuan di depannya terperanjat kaget. Bian bisa melihat genangan air dibawah matanya, wajah perempuan itu sudah memerah, namun tetap berani menatap manik mata Bian."Vanesa—lo itu cantik, berpendidikan tin
"Luar biasa! Dunia begitu sempit 'kan?" tanya Sandi memperhatikan Edgar yang sedang fokus menatap selembaran kertas dan juga foto-foto yang bertebaran di atas meja kerjanya. Sandi tertawa tengil menatap Edgar yang terlihat kebingungan."Kamu sungguh-sungguh tentang ini? Tidak ada kesalahan sedikitpun?" tanya Edgar kembali memastikan, yang dijawab anggukkan kepala oleh Sandi."Tidak ada kesalahan sedikitpun," jawab Sandi yakin.Edgar memegang kepalanya yang terasa pening sekali. Vanesa benar-benar membuatnya kacau seperti ini."So?"Edgar berdiri dari duduknya, berjalan keluar dari ruang kerjanya, mengabaikan pertanyaan Sandi. Membuat Sandi memutar bola matanya jengah, namun lelaki itu tetap mengekori Edgar yang berjalan menuju kitchen room. Membuka kulkas untuk mengambil minuman soda, lalu meneguknya hingga menyisakkan setengah. "Tidak ada cara lain selain memberi tahu kepada Ibunya."Sandi menggelengkan kepalanya pelan. "Harus banget sejauh itu?"Edgar mengangkat bahunya acuh. "Lagip
"Gue ngga perlu jelasin serinci mungkin, Nes. Suami lo jelas pasti tahu semuanya." Nesa menatap Edgar dengan kening mengernyit, seolah bertanya tentang kebenaran dari ucapan Bian. "Udah sih, gue ngga papa, ngga usah natap gue kasihan gitu!" katanya. Walaupun begitu tetap saja, ada perasaan aneh yang dirasakan oleh Nesa. Ini jelas berita besar—dan yang paling mengkhawatirkan adalah bagaimana perasaan Bian selama ini? Pasti lelaki itu sudah melalui banyak hari yang berat. "Sudah berapa bulan?" tanya Bian mempersilahkan Nesa untuk duduk. "Jalan enam bulan," jawab Nesa semangat, mencoba bersikap seperti biasanya. "Apa suami lo memperlakukan lo dengan baik?" Nesa mengangguk tanpa ragu. "Mas Edgar mencintai aku... sangat!" "Bagus! Kalau dia ngga memperlakukan lo dengan baik, mending sama gue aja." Nesa terkekeh pelan, menggeleng lalu memeluk perut Edgar yang sedari tadi masih berdiri di dekatnya. "Nanti Mas Edgar sendirian, kasian." Bian menatap Edgar dengan tatapan yang
"Mas...." Edgar terlihat menghela napas, melepaskan perlahan tangan Nesa yang melingkar di lengannya. "Mas masih marah ya?" tanya Nesa memanyunkan bibirnya, kembali mencoba melingkarkan tangannya di lengan Edgar, walaupun suaminya itu kembali melepaskannya. "Iya maaf, ngga jadi Mas. Tadi aku cuman bercanda kok," lanjutnya. "Saya berangkat," katanya terkesan jutek walaupun sebelumnya mencium kening Nesa sebagai rutinitas wajib pagi mereka sebelum Edgar berangkat kerja. "Ah Mas Edgar...." Nesa kembali merengek, menghalang langkah suaminya. "Aku minta maaf, jangan marah." "Saya ada meeting Vanesa." "Tuh kan! Panggilan sayangnya mana?" Edgar kembali menghela napas pelan, menampilkan senyum yang sebenarnya tidak sampi hati itu. "Saya berangkat kerja ya, ada meeting pagi ini sayang," kata Edgar mengulang pernyataannya. Melingkarkan tangannya memeluk pinggang Edgar, Nesa mencium pipi kanan suaminya dengan lembut. "Aku beneran cuman bercanda tadi, jangan ngambek lagi yaa... dan semoga
Nesa mengerjapkan matanya perlahan, bibirnya berdecak pelan ketika telinganya masih mendengar suara notifikasi alarm dengan volume yang bukan main kencangnya.Mencoba bangun dari tidurannya untuk mengambil ponsel, tetapi tubuhnya dipeluk erat oleh sang suami.Dengan perlahan ia mencoba melepaskan tangan Edgar yang melingkar di perutnya, setelah berhasil, ia bangun lalu berjalan mengitari ranjang untuk duduk di tepi kasur, mengambil ponsel Edgar yang masih mengeluarkan suara notifikasi alarm untuk mematikannya.Disya mengernyit ketika merasakan perbedaan dengan kamar yan ditempatinya, mendongak lalu kembali memperhatikan sekitaran kamar dengan cahaya remang."Sudah bangun, sayang?" tanya Edgar, kedua tangannya kembali memeluk perutnya erat.Nesa tersenyum kecil lalu mengusap lembut lengan Edgar yang melingkar di perutnya."Sudah, tumben banget pasang alarm pagi-pagi buta begini sih?""Biar ngga kesiangan.""Mau ke mana?""Lihat sunrise.""Huh?"Nesa ingat, semalam ia dan Edgar menghadi
Edgar menghentikan kegiatanya yang sedang berkutat dengan laptop, melirik Nesa yang sepertinya sangat fokus menatap handphone dengan kedua telinga yang disumpal earphone, keduanya duduk bersebelahan, tetapi sibuk dengan kegiatannya masing-masing. Cup! Edgar mencuri satu ciuman di pipi kanan Nesa, yang jelas hal itu dilakukan untuk mendapat perhatian dari si perempuan. "Sedang menonton apa, fokus sekali?" Nesa sedikit terperanjat kaget, langsung mematikan layar handphone, menatap suaminya dengan senyum canggung sambil melepaskan earphone yang masih terpasang di telinganya. "Ngga ada apa-apa kok—aku ngga nonton apa-apa, Mas." Edgar mengernyit, reaksi Nesa terlihat berlebihan padahal dia hanya bertanya. Ditatap sebegitunya oleh Edgar jelas membuat Nesa ciut, seolah ia tidak akan pernah bisa berbohong kepada lelaki itu. "A—aku menonton video Sandi bernyanyi, aku ngga sengaja nyari, Mas, beneran. Tiba-tiba dia muncul di beranda sosial mediaku." "Mana lihat." Nesa kembali menyalakan
"Masih main?" Sandi kembali menyesap batang nikotin yang ada di sela jarinya, lalu menggeleng pelan menjawab pertanyaan Edgar. Edgar mencebikkan bibirnya tidak percaya ketika lelaki yang duduk di sampingnya menjawab tidak pada pertanyaan yang sebelumnya diajukan. "Nadya juga tidak buruk mendesah dibawah saya, dan yang paling penting saya tidak perlu repot-repot memakai pengaman ketika bercinta—wah rasanya berkali-kali lipat lebih nikmat ternyata!" "Saya pernah bilang kan, apa enaknya bercinta menggunakan karet?" Sandi menyunggingkan senyum miring, kembali mengepulkan asap rokoknya ke udara, mendongak menatap ke atas lalu menghela napas berat. "Kamu menyesal melakukannya?" Edgar bisa melihat wajah Sandi sebenarnya sedang tidak baik-baik saja. Jelas ada sesuatu yang membuatnya tidak nyaman. "Hanya tidak menyangka akan sampai di titik ini." "Nesa tidak tahu kamu lelaki seperti apa. Jika dia tahu kamu sering bercinta dengan banyak perempuan jelas ia tidak akan setuju kamu bersama
Jam dua siang mereka benar-benar baru meninggalkan kamar, itupun karena rasa lapar menghantui mereka. Jangan ditanya mereka melakukannya lagi atau tidak setelah membaca lembaran diary milik Nesa—tentu saja iya—maklum keduanya masih dimabuk cinta, kata Edgar ini adalah bentuk balas dendam karena selama hampir dua bulan resmi menikah mereka belum melakukannya. Beruntung Nesa mau melayaninya walaupun sembari merengek menangis. “Ih iya Mas aku lupa hari ini jadwal pemberangkatan Nadya lho,” kata Nesa ketika ia sedang fokus membuka handphonenya. “Jam berapa?” tanya Edgar. “Jam lima. Untung jam lima, jadi masih ada waktu buat ke sana,” kata Nesa mematikan layar handphonenya lalu menatap Edgar. “Aku ijin ketemu sama Nadya dulu ya Mas sebelum berangkat, ada Seruni juga kok, boleh?” Edgar mengangguk. “Sama saya.” “Oke!” Nesa kembali menampilkan senyum manisnya menatap Edgar, kembali melingkarkan kedua lengannya di leher Edgar—keduanya sedang menuruni tangga sekarang, hendak me
"Hah....."Baik Nesa maupun Edgar sama-sama terengah. Nesa yang berada di atas tubuh Edgar sampai tumbang, jatuh memeluk tubuh suaminya erat, menenggelamkan wajahnya tepat di dada Edgar."Saya masih belum selesai," kata Edgar menampilkan smirknya, mengusap bagian atas rambut Nesa.Masih dalam posisi yang sama, Nesa menggeleng-gelengkan kepalanya, lalu setelahnya mendongakkan wajahnya menatap manik sang suami. "Pak Edgar tadi janji hanya akan melakukannya satu kali," katanya dengan bibir yang ditekuk.Edgar mencubit pelan ujung hidung Nesa dengan gemas. "Ah! Kamu saja masih memanggil saya dengan sebutan Bapak. Bukankah sudah saya katakan akan menghukum kamu jika kembali mengatakan panggilan itu?"Nesa kembali memanyunkan bibirnya. "Justru kalau aku panggil selain itu, pasti akan terjadi ronde-ronde selanjutnya. Aku lelah—" Nesa menjeda ucapannya, kembali menenggelamkan wajahnya di permukaan dada suaminya. "Setelah melakukannya, aku ngantuk, mau tidur lagi...."Nesa dibawa berbaring di
Sesuai apa yang dikatakan oleh Nadya kemarin, mereka langsung merencenakan pertemuan dengan Seruni dan Risa, di kediaman Risa. Yang mana memang tujuan utamanya untuk memberi tahu jika Nadya akan pindah ke luar kota.Sekitar jam sepuluh Nesa pamit pada Edgar, lelaki itu tentu mengijinkan, bahkan mengantar Nesa ke kediaman Risa. Urusan mobil Nesa, masih berada di bengkel dan belum selesai diperbaiki, Edgar bahkan meminta untuk mengecek keadaan keseluruhan mobil.Sandi diminta untuk mengantarkan mobil milik Edgar yang berada di kediaman kedua orang tuanya. Hari ini memang masih hari libur, tentu saja Sandi menggerutu, ada banyak hal yang harus dibereskan untuk kepindahannya, nanti. Walaupun begitu Sandi tetap mengikuti perintah Edgar.Kemarin malam, tidak ada cara lain selain kembali ke tempat di mana mobil Nesa berada untuk mengambil kunci, kalau tidak seperti itu, bagaimana cara keduanya masuk ke dalam rumah.Edgar menyuruh Nesa untuk tetap menunggu di teras rumah, sedangkan dia sendir
Riuh tepuk tangan terdengar ketika lelaki yang menjadi pusat perhatian hampir seluruh pengunjung caffe selesai menyanyikan lau terakhirnya. Manik mata Edgar benar-benar tidak pernah lepas menatap ke arahnya, si lelaki yang ditatap juga jelas menatap ke arah Edgar—dari banyaknya pelanggan caffe, sosok Edgar tentu saja yang paling menarik perhatiannya. Bian turun dari atas panggung, setelah sebelumnya menyerahkan gitar yang tadi digunakan menjadi pengiring nyanyiannya kepada rekan bandnya, lalu melangkah menghampiri meja yang ditempati oleh Edgar. Tanpa meminta ijin, Bian langsung duduk tepat di hadapan Edgar. “Ada yang mau lo omongin sama gue?” tanya Bian to the point menatap tepat di manik matanya. Membenarkan posisi duduknya, lalu menyeruput minumam miliknya, Edgar mengangguk mengiyakan pertanyaan Bian. “Apa yang mau lo tanyain?” “Hubungan kamu dengan Vanesa.” “Apa lagi yang mau dijelasin. Nesa udah cerita sama lo kan, kalau kita udah ngga ada hubungan apa-apa.” “....” Edgar