"Kakak kemana aja sih? Pagi-pagi banget keluar rumah? handphone-nya juga ngga bisa dihubungin?" Nisa menghampiri putri sulungnya yang baru saja datang."Bu... a—aku... aku dari rumah—" Nesa masih mencoba berpikir keras tentang alasan apa yang akan ia buat untuk pertanyaan ibunya."Permisi....""Bian! Ke rumah Bian, dia sakit, Bu. Pagi-pagi Bian telepon aku suruh ke rumahnya," jawab Nesa cepat.Bian—lelaki yang baru datang tentu saja langsung kebingungan mendengar perkataan Nesa. Dia saja baru datang, tidak tahu apa-apa, kenapa Nesa menyebutkan nama dirinya?"'Nak Bian sakit?" Nisa menatap Bian dengan raut khawatir.Baru saja Bian membuka mulutnya untuk berbicara, dengan gerakan cepat Nesa langsung melingkarkan tangannya memeluk lengan Bian. "Iya, tadi pagi katanya mual-mual gitu, Bu. Makan sembarangan kali ya. Tapi tadi aku udah beliin Bian obat, kok. Sekarang udah baikan kayanya, dia maksa mau anterin aku pulang, jadi ya... gini." Nesa menampilkan senyunya berbicara sangat lancar, dan
Sudah seminggu sejak kejadian dini hari di kediaman Edgar. Nesa tidak mungkin melupakannya, bahkan tidak mungkin akan melupakannya seumur hidup.Sangat sering Edgar menghubunginya, atau sampai datang ke rumah beberapa kali hanya untuk mengobrol dengan Nesa katanya. Tentu saja Nesa tahu kearah mana obrolan mereka nantinya. Nesa sangat malu, dan rasanya ia tidak mau bertemu dengan Edgar lagi, perempuan itu tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi nantinya.'Saya tahu ke mana arah obrolan Pak Edgar nantinya. Tapi, bisakah kita tidak membahasnya? Bagaimana kalau kita anggap itu angin lalu saja? Anggap saja kita melakukannya dengan tidak sadar, saya tidak papa. Lagipula kita sudah tidak ada hubungan apa-apa lagi, saya harap kita tidak pernah bertemu ataupun saling menghubungi lagi.'Nesa memberi pesan kepada Edgar tepat pagi ini. Bahkan ia sudah memblokir nomor mantan bosnya itu. Selama sepekan ini, mungkin sudah puluhan kali chat, dan telepon dari Edgar, Nesa abaikan begitu saja, bah
"Bian mau itu!""Bian mainan itu lucu ya! Ayo beli!""Arum manis! Bian ayo beli itu!""Lihat tuh dia dapet boneka-boneka lucu dari permainan panahan. Ayo kita main!""Bian... es krim!""Bian...."Bisa bayangkan bagaimana pusingnya kepala Bian mendengar rengekan dari perempuan yang sudah hampir menginjak umur 29 itu, kan? Walaupun terlihat ogah-ogahan Bian tetap menuruti perkataan Nesa, dan mengikuti kemanapun langkah perempuan itu."Enak banget!" komentar Nesa yang sedang memakan es krim dengan lahap, kedua kakinya digerakkan naik turun dengan perasaan senang."Beberapa jam lalu lo habis makan mie goreng dua bungkus lengkap sama dua telur kalau lo lupa!" kata Bian mengingatkan sembari menatap Nesa dengan mendelikkan matanya."Satu setengah bungkus, sama satu setengah telor! Koreksi ya!"Bian memutar bola matanya jengah mendengar jawaban Nesa. "Dan itu belum bikin lo kenyang?"Nesa hanya menampilkan cengiran tanpa dosanya.Keduanya sedang berada di sebuah pasar malam yang memang selalu
Nesa menatap perempuan yang duduk di depannya dengan tampang memelas, bahkan Nesa memanyunkan bibirnya, berharap perempuan itu akan berhenti menatapnya dengan tatapan mengintimidasi. Itu tidak berguna, Seruni—perempuan yang duduk di depan Nesa menghembuskan napasnya kasar. "Trus gimana?" tanyanya.Nesa mengernyitkan keningnya. "Gimana apanya?""Kalau kamu dipaksa sama dia? Kamu bisa ngelaporin dia ke pihak yang berwajib karena kasus pelecehan, tapi kamu—" Seruni sampai tidak bisa melanjutkan ucapannya. Karena tidak habis pikir dengan kelakuan Nesa."Aku ngga tau, aku ngga sadar waktu ngelakuinnya, Ni." Nesa masih mencoba menjelaskan, membela dirinya, walaupun sebenarnya itu percuma saja."Bian udah tahu?"Nesa semakin menundukkan kepalanya, ia tidak ingin menjawab semua pertanyaan Seruni lagi rasanya."Kamu ngga hamil kan, Nes?"Nesa langsung mengangkat wajahnya, menatap Seruni dengan membelalakan mata protes. "Ni, kok kamu ngomong gitu sih?" gerutunya.Seruni menghela napasnya jengah
"Ngapain?" tanya Bian dengan suara serak khas bangun tidur, tangannya memungut kaos lusuh berwarna abu tua yang tergeletak di lantai untuk dipakainya. Matanya mendelik menatap Nesa yang berdiri di depannya, menatap Nesa seolah lelaki itu tidak senang dengan kehadiran perempuan itu di kediamannya."Mau ketemu kamu," jawab Nesa."Urusan kita udah selesai kan?""Tentang obrolan kemarin—""Kenapa lo mau sama gue? Memulai lo bilang, hah?" Bian menyungingkan senyum mengejek. "Apanya yang dimulai? Hubungan kita, maksud lo kita ngejalin hubungan beneran?"Nesa mengangguk pelan.Bian menghela napasnya kasar, bangun dari duduknya sehingga kini berhadapan dengan Nesa. Menatap perempuan di depannya dengan tajam. "Lo sadar ngga, apa yang lo mau sekarang itu, hah?!" teriak Bian berhasil membuat perempuan di depannya terperanjat kaget. Bian bisa melihat genangan air dibawah matanya, wajah perempuan itu sudah memerah, namun tetap berani menatap manik mata Bian."Vanesa—lo itu cantik, berpendidikan tin
"Luar biasa! Dunia begitu sempit 'kan?" tanya Sandi memperhatikan Edgar yang sedang fokus menatap selembaran kertas dan juga foto-foto yang bertebaran di atas meja kerjanya. Sandi tertawa tengil menatap Edgar yang terlihat kebingungan."Kamu sungguh-sungguh tentang ini? Tidak ada kesalahan sedikitpun?" tanya Edgar kembali memastikan, yang dijawab anggukkan kepala oleh Sandi."Tidak ada kesalahan sedikitpun," jawab Sandi yakin.Edgar memegang kepalanya yang terasa pening sekali. Vanesa benar-benar membuatnya kacau seperti ini."So?"Edgar berdiri dari duduknya, berjalan keluar dari ruang kerjanya, mengabaikan pertanyaan Sandi. Membuat Sandi memutar bola matanya jengah, namun lelaki itu tetap mengekori Edgar yang berjalan menuju kitchen room. Membuka kulkas untuk mengambil minuman soda, lalu meneguknya hingga menyisakkan setengah. "Tidak ada cara lain selain memberi tahu kepada Ibunya."Sandi menggelengkan kepalanya pelan. "Harus banget sejauh itu?"Edgar mengangkat bahunya acuh. "Lagip
Nesa menatap horor handphonenya yang masih bergetar dan mengeluarkan suara nada dering panggilan, tertera nama Ibunya di layar handphone. Ini sudah telepon ke sekian kalinya yang masuk, namun Nesa tidak mau, dan tidak berminat untuk mengangkatnya. Tidak hanya ibunya yang menelepon tapi Nizam, Seruni, bahkan Risa, dan semua panggilan dari mereka Nesa abaikan begitu saja."Setidaknya angkat telepon itu!" titah Edgar, yang sedang duduk di sofa single yang langsung mengarah ke tempat tidur, itu artinya mereka sedang berhadapan walaupun dengan jarak cukup jauh.Nesa menggeleng."Kenapa Pak Edgar mau huh? Kenapa tidak menolaknya?!" Nesa kesal, tangisnya tidak kunjung reda sejak tadi."Ini kenapa saya yang seolah-olah paling salah?"Nesa yang sedari tadi duduk bersender di kepala ranjang langsung merubah posisinya menjadi telentang, perempuan itu menarik selimut hingga membungkus seluruh tubuhnya. Dalam selimut dia masih saja menangis, merutuki dirinya sendiri karena kejadian malam itu kemba
"Gitra mengundangku ke acara birthday party Alena, Nes," kata Nadya menunjukkan selembaran undangan tepat di depan wajah Nesa dengan raut bahagianya."Lalu? Datanglah, bukannya kau sangat suka dengan model itu?" jawab Nesa, melirik Nadya beberapa detik, lalu kembali fokus dengan handphone yang sedang dimainkannya."Aku tidak ingin sendirian," ucap Nadya duduk bersila dihadapan Nesa dengan bibir yang dikerucutkan lucu. Mencoba menarik perhatian Nesa yang sedang fokus menatap layar handphonenya."Sendirian? Bukannya kamu datang sama Gitra?"Nadya menggeleng, "Dia hadir sebelum acara di mulai, Nes. Ngga mungkin aku di sana saat semua tamu undangan belum hadir 'kan?"Nesa pada akhirnya menyimpan handphone yang sedang dimainkannya, memfokuskan diri kepada Nadya. "Lalu? Kamu ngajak aku buat ikut gitu?" tanya Nesa memastikan.Nadya langsung mengangguk semangat. "Aku udah ada janji sama Bian, mau nonton perform pertama kali dia di caffe Sasya," jawab Nesa.Nadya terlihat sangat lesu setelah