Kedua bola matanya membola sempura, jantungnya berhenti berdetak untuk beberapa detik, jika saja tidak ada pintu di sampingnya, mungkin Nesa akan duduk terjatuh saking ia merasakan lemas di kakinya.
"Bu Nesa, selamat pagi," sapa Sandi yang baru menyadari kehadiran Nesa. Lelaki itu langsung berdiri dari duduknya dengan wajah yang sedikit terkejut karena kehadiran Nesa, namun dia berhasil menyembunyikan wajah terkejutnya dengan menampilkan sebuah senyuman. Karena sapaan Sandi, Edgar, lelaki yang sedang duduk di sun lounger ikut menatap Nesa."Pa—pagi... " Nesa merutuki dirinya sendiri karena suaranya terdengar sangat gugup. Ia berdehem, lalu tersenyum. "Pagi, Pak," ulang Nesa."Saya tunggu di luar kalau begitu." Sandi membungkukkan sedikit kepalanya untuk berpamitan, lalu dia berjalan meninggalkan area kolam renang, meninggalkan Edgar dan Nesa yang masih berdiri mematung di dekat sliding door.Edgar bangun dari duduknya, membenarkan lilitan handuk dipinggangnya lalu mengambil segelas minuman berwarna coklat yang tergelatak di meja, meneguk minuman yang tinggal setengah itu hingga habis tak bersisa.Nesa membasahi bibir, ketika bosnya sudah berjalan menghampirinya. "Bu Sahila, selaku sekretaris Pak Gino memberi tahu jika jadwal meetingnya minta untuk dilakukan lebih awal. Jam sembilan meeting akan dilaksanakan di kantor Dupont crop, Pak," jelas Nesa.Edgar mengangguk, lalu berjalan masuk ke dalam rumah. "Saya mandi dulu," katanya.Nesa berjalan mundur untuk duduk di kursi bar, dengan cepat ia menggeleng-gelengkan kepalanya, membuang pikiran negatif yang ada di kepalanya. Saat Nesa baru tiba di kediaman rumah milik Edgar, ia langsung menuju ke area kolam renang yang ada di halaman samping, ia sudah hafal betul jika bosnya pasti sedang berenang di jam segini. Namun, yang membuat kaki Nesa mendadak lemas adalah; posisi Edgar yang sedang duduk di sun lounger, dan Sandi yang sedang duduk bersimpuh dengan wajah yang berhadapan dengan—tidak! Memikirkannya saja membuat Nesa merinding. Posisinya terlihat ambigu di mata Nesa. Sebaiknya memang tidak terlalu berpikir negatif—tapi setelah pembicaraannya waktu itu yang membuat Nesa menjadi ragu dengan orientasi seksual bosnya, membuat Nesa tidak bisa berpikir positif tentang lelaki itu."Maaf, saya sedang tidak memegang handphone tadi."Nesa sedikit terperanjat kaget karena mendengar suara Sandi. Ia langsung memutar wajahnya menatap lelaki yang sudah rapih mengenakan setelan jasnya."Iya, tida papa, Pak."Jadwal meeting dengan direktur Dupont Crop memang awalnya akan dilaksanakan pada pukul satu siang, namun sekretaris direktur Dupont Crop memberi tahu Nesa jika jadwal meetingnya dimajukan menjadi pukul sembilan karena beliau mendadak ada urusan bisnis ke luar negeri katanya. Nesa sudah menghubungi Edgar, namun teleponnya tidak diangkat, dan chatnya juga tidak dibalas. Nesa juga menghubungi Sandi, untuk memberi informasi, namun lelaki itu juga tidak bisa dihubungi. "Dari jam berapa Pak Sandi datang?" tanya Nesa sedikit berbasa-basi."Tadi malam, kebetulan saya menginap di sini, Bu."Nesa mengedipkan matanya. 'Menginap?' Oh! Ayolah kenapa pikiran Nesa kali ini sangat jelek sekali? Ia benar-benar berpikir sangat negatif tentang kedua lelaki ini."Bu Nesa pucat sekali, apa sedang sakit?" tanya Sandi.Nesa dengan cepat menggeleng. "T—tidak....""Belum sarapan?" tanya Sandi, lagi."Ah! Iya... sepertinya karena saya belum sarapan." Nesa menganggukkan kepalanya sambil tersenyum canggung. "Pak Sandi sudah sarapan?"Sandi menggeleng. "Belum, Pak Edgar juga belum sarapan.""Baiklah, saya akan menyiapkan pakaian untuk Pak Edgar terlebih dahulu, sembari menanyakan apa yang ingin Pak Edgar makan untuk sarapan hari ini. Pak Sandi ingin saya buatkan apa untuk sarapan?""Apapun, saya tidak masalah."Nesa mengangguk sambil tersenyum. "Baiklah, saya ke atas dulu, Pak."***Nesa melirik bosnya yang memasang wajah datar andalannya—namun tidak dipungkiri lelaki itu pasti sedang dalam suasana baik karena direktur Dupont Crop siap berinvestasi untuk pembangunan proyek sky house dari hasil meetingnya. Mereka sedang dalam perjalan menuju ke kantor."Ada hal penting yang saya ingin bicarakan dengan Pak Edgar," ucap Nesa memecah kesunyian di dalam mobil itu."Masalah percintaan saya? Saya sedang dalam suasana baik saat ini, jangan memperburuk suasana."Nesa menggeleng cepat. "Tidak, ini bukan tentang hal itu.""Setidaknya biarkan saya menyantap makan siang saya dengan tenang, baru kau boleh berbicara tentang apa yang ingin kau katakan."Nesa mengangguk lemah, "Baiklah.""Mau mampir ke sebuah restoran untuk makan siang terlebih dahulu?""Tidak, hari ini saya ingin makan siang di cafetaria." Edgar menjawab pertanyaan yang dilontarkan Sandi.Tepat beberapa menit setelahnya, mobil yang ditumpangi mereka berhenti di pelataran gedung kantor, seorang lelaki yang berjaga di depan pintu masuk segera membuka pintu mobil, menyambut kehadiran sang wakil direktur.Tumben sekali Edgar ingin makan di cafetaria, biasanya lelaki itu akan makan siang di luar kantor—sebenarnya ada baiknya memang seharusnya Edgar makan siang di luar kantor saja, karena pernah beberapa kali Edgar makan di cafetaria hampir seluruh karyawan tidak ada yang mengobrol, semuanya fokus memakan makanannya.Sepertinya para karyawan yang sedang berada di cafetaria hari ini juga harus mempersiapkan diri.Benar sekali! Bisa didengar tawa juga obrolan para karyawan yang sedang berada di cafetaria terdengar sebelumnya, namun begitu Edgar menampakkan dirinya, semuanya langsung diam. Edgar tidak melakukan apapun, dia tidak menggigit, atau bahkan langsung memecat karyawan yang berbicara, namun sepertinya aura Edgar memang menyeramkan!Nesa, Edgar, dan Sandi duduk di meja yang sama. Mereka menyantap makanannya dengan santai, tanpa ada obrolan. Nesa juga tidak berniat mengatakan apapun, takut jika bosnya akan murka ketika Nesa berbicara dan membuat mood bosnya buruk—katanya, suasana lelaki itu sedang dalam keadaaan baik.Sebenernya Nesa bukan akan berbicara tentang masalah percintaan bosnya. Ini tentang dirinya—Nesa sudah memutuskan untuk mengajukan surat resign.Perkataan Ibunya membuat Nesa dipaksa terus untuk memikirkan hal itu. Tujuan Nesa bekerja memang untuk melunasi hutang Ayahnya kepada kedua orang tua Nadya, sekarang hutang itu sudah lunas, Ibunya juga sudah mempunyai rumah makan yang walaupun sederhana tapi itu lebih dari cukup, adiknya juga sebentar lagi wisuda, tabungan Nesa juga sangat cukup bahkan lebih. Ya... semuanya sudah cukup, Nesa sepertinya harus berhenti.Tanpa menyentuh, Edgar mendongakkan wajahnya menatap Nesa yang sedari tadi berdiri di depan mejanya. Kembali membaca tulisan yang ada di bagian depan amplop yang baru saja beberapa detik lalu Nesa simpan di mejanya, lalu menggeser posisi laptop yang ada di atas mejanya ke samping. "Beri tahu saya alasannya!"Nesa membasahi bibirnya yang terasa kering, lalu mencoba menampilkan senyumnya. "Sudah hampir tujuh tahun, Pak. Usia saya juga sudah tidak muda lagi. Tidak ada alasan spesial, hanya saja sepertinya semuanya sudah cukup. Saya hanya ingin berhenti.""Alasan tidak diterima!" Edgar kembali menggeser posisi laptopnya, jari-jarinya kembali bergerak di atas keyboard, kedua matanya fokus menatap monitor.Nesa masih mencoba tetap tenang, dan menampilkan senyumnya. "Maaf, bukankah itu hak saya, Pak?""Kita ada proyek besar, dan kau ingin resign?" Lelaki itu masih fokus menatap layar monitor di depannya tanpa berniat menatap Nesa."Pembangunan sky house akan diadakan satu tahun yang akan mendatang. Maka dari itu saya berniat untuk resign sekarang, saya kira masih cukup untuk merekrut sekretaris baru, sampai waktu pembangunan tiba."Kali ini Edgar menatap Nesa dengan tatapan datar. "Gajimu kurang?"Nesa lagi-lagi hanya menampilkan senyum lalu menggeleng pelan. "Tidak, gaji yang Pak Edgar berikan sudah lebih dari cukup, terima kasih. Saya sudah mengatakan alasannya tadi kalau tidak ada alasan spesial, saya hanya ingin berhenti dari pekerjaan ini." Nesa kembali menjelaskan.Edgar berdiri dari duduknya, berjalan dan berhenti tepat di hadapan Nesa. Kedua tangannya di masukkan ke dalam saku celana. "Bisa beri alasan yang lebih spesifik?"Untung saja stok kesabaran Nesa masih cukup untuk meredam emosi dan kekesalannya. "Ibu, dan sahabat saya menyarankan untuk resign. Hidup harus dinikmati katanya, saya sudah bertahun-tahun bekerja dengan Bapak. Sepertinya sudah cukup, dan waktunya untuk menikmati hidup."Saat mengatakan itu, Nesa tidak pernah melunturkan senyumnya. Membuat Edgar menaikkan satu alisnya. "Kau tidak menikmati hidupmu saat bekerja di sini?" tanyanya.Nesa terkekeh pelan. 'Tentu saja sialan! Kau kira mempunyai bos sepertimu adalah sebuah prestasi! Tidak ada yang namanya menikmati hidup, kau sudah menghancurkan hidupku selama hampir tujuh tahun ini. Kau harusnya bercermin, bos arogan, dan menyebalkan sepertimu siapa yang tahan kalau punya bos sepertimu kalau bukan hanya karena butuh uang untuk bertahan hidup! Para karyawanmu pasti tidak ingin bekerja denganmu kalau mereka tidak butuh uang!' Kata-kata ini sebenarnya ingin Nesa ucapkan. Namun, hanya sampai di tenggorokannya saja."Saya menikmati hidup saat bekerja di sini. Tapi, yang di maksud menikmati hidup yang saya katakan tadi adalah; saya ingin hidup tanpa ada kontrak kerja dengan siapapun. Saya akan duduk di rumah, membantu Ibu saya di rumah makan, dan melakukan semua hal yang tidak saya dapat lakukan ketika saya terikat kontrak kerja." Nesa kira jawabannya sudah spesifik, semoga saja Edgar tidak kembali mengajukan pertanyaan.Lelaki dengan kemeja hitam itu menatap Nesa. "Ini tentang Mama? Tentang hubungan percintaan saya? Kamu sudah lelah dengan ocehan Mama, karena Mama terus bertanya tent—"Nesa menggeleng ribut. "Saya berani bersumpah ini bukan tentang hal itu, Pak."Edgar menyunggingkan senyum menyebalkan. "Kau sampai bersumpah, huh?"Nesa memejamkan matanya. Apa-apaan bosnya ini! Senyum yang sedari ditujukkan untuk bosnya kini lenyap. "Ini sepertinya keluar dari topik pembahasan kita di awal, Pak. Biar saya beri penjelasan lagi, kalau kita sedang membahasa tentang surat resign yang sudah saya ajukan."Edgar kembali memasang wajah datar, melangkah untuk duduk kembali di kursi kebesarannya. "Beberapa hari yang lalu kamu bilang ingin membantu saya mencarikan seorang perempuan 'kan? Saya kasih waktu kamu satu bulan!"Nesa tidak mampu menyembunyikan raut keterkejutannya. Apa-apaan? Nesa sudah tidak tertarik dan tidak perduli dengan masalah percintaan Edgar. Toh dia hanya ingin resign, sudah! Setelah resign bahkan dia tidak mau bertemu lagi dengan Edgar, apalagi mengurusi urusan percintaannya. Memang sih awalnya, Nesa berniat untuk menjodohkan Edgar dengan Nadya, tapi setelah dipikir-pikir, untuk apa? Lelaki itu mungkin benar-benar tidak menyukai perempuan."Jika kamu tidak berhasil dalam satu bulan, maka saya akan mengijinkan kamu resign setelah pembangunan sky house benar-benar selesai seratus persen."Gila! Bosnya benar-benar gila!***
Nesa mengangguk-anggukkan kepalanya sambil terkekeh pelan, lambat laun suara kekehan itu menjadi tawa cukup kencang, dan beberapa detik setelahnya bibirnya cemberut dan meraung frustasi. Perempuan itu mengacak-acak rambutnya dengan kesal, beberapa orang yang melihat keadaan Nesa meringis ngeri, mungkin saja mereka mengira Nesa adalah orang gila.Nesa sedang berada di jalanan trotoar hendak menuju ke unit apartemennya. Baiklah, kita ceritakan bagaimana awal mulanya Nesa pulang dengan keadaan jalan kaki seperti ini. Tadi, setelah semua pekerjaannya selesai Nesa bersiap akan pulang. Edgar awalnya mengajak Nesa untuk pulang bersama, namun tentu saja Nesa menolaknya, bahkan karena saking buru-burunya ingin pulang dan menghindari bosnya, Nesa sampai lupa membawa dompet. Nesa diturunkan oleh supir taxi karena Nesa mengaku jika dompetnya tertinggal di meja kerjanya, yang lebih parah adalah, baterai handphone Nesa habis, handphonenya mati total.Pikirannya sedang kacau karena bosnya, ditambah
"Jangan bikin orang mabok kesel! Nanti lo tahu sendiri akibatnya!" Benar, tadi setelah Nesa mengeluarkan kata umpatan, ketiga lelaki yang sedang dalam kondisi mabuk itu terlihat jelas perbedaan raut wajahnya. Terlihat lebih menakutkan. "Iya, makasih sudah nolongin aku dari mereka," kata Nesa walaupun dengan nada yang terdengar seperti tidak sungguh-sungguh berterima kasih. "Sana balik!" usirnya. Lelaki itu segera duduk di kursi kayu panjang lalu mengeluarkan pemantik rokok dari saku celananya, asap mengepul ke udara ketika lelaki itu selesai menghisap rokoknya. "Makasih ya Bu, saya pamit," kata Nesa tersenyum menatap Ibu penjaga warung. "Sama-sama, Neng." Perempuan paruh baya itu membalas senyuman Nesa. "Bian, anterin dulu atuh si Neng, sampe ke apartemennya," lanjut Tati—Ibu penjaga warung yang kini sudah beralih menatap lelaki yang sedang merokok di depannya. Bian—lelaki itu menatap Nesa dengan tatapan dingin. "Dari sini lo tinggal lurus aja, nanti keliatan tuh jalan gede, lo t
Kedua matanya perlahan mengerjap, kembali menajamkan pendengarannya karena mendengar suara bel pintu apartemennya berbunyi. Nesa perlahan menyibakkan selimut yang menutupi tubuhnya, keningnya mengeryit ketika melihat pakaian yang dipakainya—baju kerjanya kemarin masih melekat di tubuhnya. Nesa menginjakkan kakinya ke lantai sambil meregangkan otot-ototnya, mulutnya menguap lebar sampai kedua matanya terpejam. Perempuan itu terdiam beberapa detik saat matanya melihat sepasang sendal jepit berwarna hitam yang dipakainya semalam. Ting! Suara bel itu kembali menyadarkan Nesa, perempuan itu langsung berjalan keluar dari kamar. "Jam tujuh? Yang benar saja?!" Kedua mata Nesa membola sempurna ketika melihat jam dinding yang menggantung di ruang tengah. "Sial! Aku kesiangan!" Ting! Lagi, bunyi bel itu mengalihkan perhatian Nesa. Ia langsung berjalan menuju pintu tentu saja sambil mendumel karena orang di luar terus memencet bel dengan tidak sabaran. "Tidak bisakkah sabar sedikit...." Nesa
"Kak, bangun! Makan dulu, " Perempuan paruh baya itu membuka gorden yang masih menutupi jendela kamar putrinya, padahal jam sudah menunjukkan pukul dua siang, namun anak itu masih bergelung dengan selimutnya.Nesa membuka matanya perlahan, menatap Ibunya sambil menampilkan senyum. "Aku seneng bisa tidur sampai jam segini, Bu," lirihnya.Nisa mengangguk-anggukkan kepalanya sembari berjalan menghampiri putrinya. "Iya, makan dulu. Habis itu boleh deh kalau Kakak mau tidur lagi."Nesa terkekeh, lalu menyibakkan selimutnya, menjulurkan tangan kanannya untuk menggenggam tangan Nisa, mereka berdua akhirnya berjalan beriringan keluar dari kamar bernuansa mint itu. "Rumah makan emangnya nggak lagi rame, Bu?" tanya Nesa saat keduanya sudah duduk di kursi meja makan."Ini udah bukan jam makan siang lagi, Kak."Nesa menyunggingkan senyumnya. "Ini udah jam dua siang ya?"Nisa mengangguk. " Dan kamu baru mau makan?!" Nisa menggeleng-gelengkan kepalanya sambil kedua tangannya sibuk menuangkan nasi ju
"Mana pacar kamu, Nes?" Nesa menatap Seruni yang sedang memakan bakso malang yang memang adalah salah satu menu catering yang disediakan di acara pernikahan Risa.Perempuan yang ditanya itu menghela napasnya kasar sembari mengangkat bahunya acuh. "Nggak jadi dateng kali. Aku ke toilet dulu, ya," kata Nesa. Sebelum mendapat jawaban dari Seruni, dan Nadya, Nesa langsung berjalan menuju toilet."Sialan, harusnya dari awal emang ngga usah terlalu banyak berharap lebih sama cowok itu!" sungut Nesa menatap cermin dengan wajah yang terlihat sangat marah. Bian tidak datang. Mengabaikan perintah Nesa yang menyuruhnya untuk datang ke apartemennya jam tiga sore. Sekarang, jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam, acaranya juga beberapa menit lagi akan selesai, dan Bian sama sekali tidak tampak batang hidungnya sedikitpun. Saat jam sudah menunjukkan pukul tiga sore, dan Bian belum datang ke apartemennya, Nesa masih mencoba untuk berpikir positif, yakin jika Bian akan datang, mungkin lelaki itu
Nesa yang sedang meminum susu coklat di kursi bar langsung menengokkan wajahnya ketika mendengar suara pintu apartemennya dibuka. Melirik jarum jam yang menunjuk ke angka enam lebih lima belas menit, 'Siapa yang bertamu pagi-pagi begini?' pikir Nesa. Kakinya menyentuh lantai, melangkah keluar dari area dapur menuju ruang tengah."Selamat pagi.""Pa—pagi, Pak Edgar."Edgar—ya lelaki itu kini sudah berdiri di hadapan Nesa, dengan setelan jas rapih yang membungkus tubuh tegapnya."Ada apa?""Kamu sudah sarapan? Saya belum sempat sarapan di rumah," kata Edgar yang langsung mendudukkan bokongnya di sofa ruang tengah.Nesa mengangguk-anggukkan kepalanya. "Iya saya ambilkan sarapan, tapi hanya ada roti panggang, dan susu, Pak Edgar mau? Atau mau saya buatkan apa untuk sarapan?""Roti panggang dan segelas susu saja, walaupun saya menyuruh kamu untuk membuat sarapan yang lain pasti kamu akan sambil mengomel membuatnya."Nesa hanya tersenyum kecil, lalu berjalan kembali ke dapur. Mengambil beber
Nesa semakin mengeratkan cardigan rajut yang dipakainya, cuaca malam ini sangat dingin, bayangkan saja, sedari pagi matahari tidak kunjung menampakkan sinarnya, hujan tidak berhenti turun membasahi kota sampai sore tadi.Menatap warung yang berjarak lima meter dari pandangan, bola matanya bergerak ke kanan dan ke kiri mencari keberadaan seseorang dari beberapa orang yang duduk di sana, tawa juga obrolan terdengar dari arah mereka."Permisi—" Nesa tidak melanjutkan ucapannya, jujur saja lidahnya mendadak kelu, saat semua yang sedang duduk di kursi kayu itu menatap ke arah Nesa.Perempuan itu tersenyum canggung. "Bu Tati, ada?" lirih Nesa bertanya."Eh, si Neng. Sini Neng duduk, mau nyari apa?" Tati si penjaga warung menyembulkan wajahnya menatap Nesa yang masih berdiri mematung di depan sana. Nesa berjalan menghampiri Tati. "Bu Tati, kalau boleh saya tahu Bian—" Belum sempat Nesa berbicara, terdengar suara pintu yang dibuka, lelaki itu muncul dari balik pintu rumah Bu Tati yang berada d
"Gila, capek banget! Kak Nesa oon banget sih, kenapa ngga tinggal di sini aja kalau Pak Edgar ngasih cuma-cuma apartemen ini?" dumel Nizam yang sudah merebahkan tubuhnya di sofa panjang yang berada di ruang tengah."Ya aku ngga mau tinggal di sini, mending tinggal sama kalian, bisa bantu Ibu juga, nemenin kamu—""Dih! Najis!"Nesa memanyunkan bibirnya. "Ibu, Nizam nyebelin nih, masa Nesa ngga boleh tinggal bareng kalian?!" adu Nesa berjalan meninggalkan ruang tamu untuk menuju ke dapur menghampiri Nisa.Ibu dari dua anak itu hanya menampilkan senyumnya mendengar rengekan putri sulungnya. Menyerahkan nampan yang berisi empat gelas minuman dingin kepada Nesa. "Bercanda Adikmu itu, bawa ini ke ruang tengah Kak, nanti Ibu bawa cireng."Nesa mengangguk, menerima nampan itu lalu melangkah keluar. "Bu, jangan lupa sambalnya," kata Nesa sedikit mengeraskan suaranya."Nih, minum! Lagian kamu tuh bantu-bantu di sini tapi sambil ngomel-ngomel mulu, banyak omong!" Nesa menyimpan nampan itu diatas
"Gue ngga perlu jelasin serinci mungkin, Nes. Suami lo jelas pasti tahu semuanya." Nesa menatap Edgar dengan kening mengernyit, seolah bertanya tentang kebenaran dari ucapan Bian. "Udah sih, gue ngga papa, ngga usah natap gue kasihan gitu!" katanya. Walaupun begitu tetap saja, ada perasaan aneh yang dirasakan oleh Nesa. Ini jelas berita besar—dan yang paling mengkhawatirkan adalah bagaimana perasaan Bian selama ini? Pasti lelaki itu sudah melalui banyak hari yang berat. "Sudah berapa bulan?" tanya Bian mempersilahkan Nesa untuk duduk. "Jalan enam bulan," jawab Nesa semangat, mencoba bersikap seperti biasanya. "Apa suami lo memperlakukan lo dengan baik?" Nesa mengangguk tanpa ragu. "Mas Edgar mencintai aku... sangat!" "Bagus! Kalau dia ngga memperlakukan lo dengan baik, mending sama gue aja." Nesa terkekeh pelan, menggeleng lalu memeluk perut Edgar yang sedari tadi masih berdiri di dekatnya. "Nanti Mas Edgar sendirian, kasian." Bian menatap Edgar dengan tatapan yang
"Mas...." Edgar terlihat menghela napas, melepaskan perlahan tangan Nesa yang melingkar di lengannya. "Mas masih marah ya?" tanya Nesa memanyunkan bibirnya, kembali mencoba melingkarkan tangannya di lengan Edgar, walaupun suaminya itu kembali melepaskannya. "Iya maaf, ngga jadi Mas. Tadi aku cuman bercanda kok," lanjutnya. "Saya berangkat," katanya terkesan jutek walaupun sebelumnya mencium kening Nesa sebagai rutinitas wajib pagi mereka sebelum Edgar berangkat kerja. "Ah Mas Edgar...." Nesa kembali merengek, menghalang langkah suaminya. "Aku minta maaf, jangan marah." "Saya ada meeting Vanesa." "Tuh kan! Panggilan sayangnya mana?" Edgar kembali menghela napas pelan, menampilkan senyum yang sebenarnya tidak sampi hati itu. "Saya berangkat kerja ya, ada meeting pagi ini sayang," kata Edgar mengulang pernyataannya. Melingkarkan tangannya memeluk pinggang Edgar, Nesa mencium pipi kanan suaminya dengan lembut. "Aku beneran cuman bercanda tadi, jangan ngambek lagi yaa... dan semoga
Nesa mengerjapkan matanya perlahan, bibirnya berdecak pelan ketika telinganya masih mendengar suara notifikasi alarm dengan volume yang bukan main kencangnya.Mencoba bangun dari tidurannya untuk mengambil ponsel, tetapi tubuhnya dipeluk erat oleh sang suami.Dengan perlahan ia mencoba melepaskan tangan Edgar yang melingkar di perutnya, setelah berhasil, ia bangun lalu berjalan mengitari ranjang untuk duduk di tepi kasur, mengambil ponsel Edgar yang masih mengeluarkan suara notifikasi alarm untuk mematikannya.Disya mengernyit ketika merasakan perbedaan dengan kamar yan ditempatinya, mendongak lalu kembali memperhatikan sekitaran kamar dengan cahaya remang."Sudah bangun, sayang?" tanya Edgar, kedua tangannya kembali memeluk perutnya erat.Nesa tersenyum kecil lalu mengusap lembut lengan Edgar yang melingkar di perutnya."Sudah, tumben banget pasang alarm pagi-pagi buta begini sih?""Biar ngga kesiangan.""Mau ke mana?""Lihat sunrise.""Huh?"Nesa ingat, semalam ia dan Edgar menghadi
Edgar menghentikan kegiatanya yang sedang berkutat dengan laptop, melirik Nesa yang sepertinya sangat fokus menatap handphone dengan kedua telinga yang disumpal earphone, keduanya duduk bersebelahan, tetapi sibuk dengan kegiatannya masing-masing. Cup! Edgar mencuri satu ciuman di pipi kanan Nesa, yang jelas hal itu dilakukan untuk mendapat perhatian dari si perempuan. "Sedang menonton apa, fokus sekali?" Nesa sedikit terperanjat kaget, langsung mematikan layar handphone, menatap suaminya dengan senyum canggung sambil melepaskan earphone yang masih terpasang di telinganya. "Ngga ada apa-apa kok—aku ngga nonton apa-apa, Mas." Edgar mengernyit, reaksi Nesa terlihat berlebihan padahal dia hanya bertanya. Ditatap sebegitunya oleh Edgar jelas membuat Nesa ciut, seolah ia tidak akan pernah bisa berbohong kepada lelaki itu. "A—aku menonton video Sandi bernyanyi, aku ngga sengaja nyari, Mas, beneran. Tiba-tiba dia muncul di beranda sosial mediaku." "Mana lihat." Nesa kembali menyalakan
"Masih main?" Sandi kembali menyesap batang nikotin yang ada di sela jarinya, lalu menggeleng pelan menjawab pertanyaan Edgar. Edgar mencebikkan bibirnya tidak percaya ketika lelaki yang duduk di sampingnya menjawab tidak pada pertanyaan yang sebelumnya diajukan. "Nadya juga tidak buruk mendesah dibawah saya, dan yang paling penting saya tidak perlu repot-repot memakai pengaman ketika bercinta—wah rasanya berkali-kali lipat lebih nikmat ternyata!" "Saya pernah bilang kan, apa enaknya bercinta menggunakan karet?" Sandi menyunggingkan senyum miring, kembali mengepulkan asap rokoknya ke udara, mendongak menatap ke atas lalu menghela napas berat. "Kamu menyesal melakukannya?" Edgar bisa melihat wajah Sandi sebenarnya sedang tidak baik-baik saja. Jelas ada sesuatu yang membuatnya tidak nyaman. "Hanya tidak menyangka akan sampai di titik ini." "Nesa tidak tahu kamu lelaki seperti apa. Jika dia tahu kamu sering bercinta dengan banyak perempuan jelas ia tidak akan setuju kamu bersama
Jam dua siang mereka benar-benar baru meninggalkan kamar, itupun karena rasa lapar menghantui mereka. Jangan ditanya mereka melakukannya lagi atau tidak setelah membaca lembaran diary milik Nesa—tentu saja iya—maklum keduanya masih dimabuk cinta, kata Edgar ini adalah bentuk balas dendam karena selama hampir dua bulan resmi menikah mereka belum melakukannya. Beruntung Nesa mau melayaninya walaupun sembari merengek menangis. “Ih iya Mas aku lupa hari ini jadwal pemberangkatan Nadya lho,” kata Nesa ketika ia sedang fokus membuka handphonenya. “Jam berapa?” tanya Edgar. “Jam lima. Untung jam lima, jadi masih ada waktu buat ke sana,” kata Nesa mematikan layar handphonenya lalu menatap Edgar. “Aku ijin ketemu sama Nadya dulu ya Mas sebelum berangkat, ada Seruni juga kok, boleh?” Edgar mengangguk. “Sama saya.” “Oke!” Nesa kembali menampilkan senyum manisnya menatap Edgar, kembali melingkarkan kedua lengannya di leher Edgar—keduanya sedang menuruni tangga sekarang, hendak me
"Hah....."Baik Nesa maupun Edgar sama-sama terengah. Nesa yang berada di atas tubuh Edgar sampai tumbang, jatuh memeluk tubuh suaminya erat, menenggelamkan wajahnya tepat di dada Edgar."Saya masih belum selesai," kata Edgar menampilkan smirknya, mengusap bagian atas rambut Nesa.Masih dalam posisi yang sama, Nesa menggeleng-gelengkan kepalanya, lalu setelahnya mendongakkan wajahnya menatap manik sang suami. "Pak Edgar tadi janji hanya akan melakukannya satu kali," katanya dengan bibir yang ditekuk.Edgar mencubit pelan ujung hidung Nesa dengan gemas. "Ah! Kamu saja masih memanggil saya dengan sebutan Bapak. Bukankah sudah saya katakan akan menghukum kamu jika kembali mengatakan panggilan itu?"Nesa kembali memanyunkan bibirnya. "Justru kalau aku panggil selain itu, pasti akan terjadi ronde-ronde selanjutnya. Aku lelah—" Nesa menjeda ucapannya, kembali menenggelamkan wajahnya di permukaan dada suaminya. "Setelah melakukannya, aku ngantuk, mau tidur lagi...."Nesa dibawa berbaring di
Sesuai apa yang dikatakan oleh Nadya kemarin, mereka langsung merencenakan pertemuan dengan Seruni dan Risa, di kediaman Risa. Yang mana memang tujuan utamanya untuk memberi tahu jika Nadya akan pindah ke luar kota.Sekitar jam sepuluh Nesa pamit pada Edgar, lelaki itu tentu mengijinkan, bahkan mengantar Nesa ke kediaman Risa. Urusan mobil Nesa, masih berada di bengkel dan belum selesai diperbaiki, Edgar bahkan meminta untuk mengecek keadaan keseluruhan mobil.Sandi diminta untuk mengantarkan mobil milik Edgar yang berada di kediaman kedua orang tuanya. Hari ini memang masih hari libur, tentu saja Sandi menggerutu, ada banyak hal yang harus dibereskan untuk kepindahannya, nanti. Walaupun begitu Sandi tetap mengikuti perintah Edgar.Kemarin malam, tidak ada cara lain selain kembali ke tempat di mana mobil Nesa berada untuk mengambil kunci, kalau tidak seperti itu, bagaimana cara keduanya masuk ke dalam rumah.Edgar menyuruh Nesa untuk tetap menunggu di teras rumah, sedangkan dia sendir
Riuh tepuk tangan terdengar ketika lelaki yang menjadi pusat perhatian hampir seluruh pengunjung caffe selesai menyanyikan lau terakhirnya. Manik mata Edgar benar-benar tidak pernah lepas menatap ke arahnya, si lelaki yang ditatap juga jelas menatap ke arah Edgar—dari banyaknya pelanggan caffe, sosok Edgar tentu saja yang paling menarik perhatiannya. Bian turun dari atas panggung, setelah sebelumnya menyerahkan gitar yang tadi digunakan menjadi pengiring nyanyiannya kepada rekan bandnya, lalu melangkah menghampiri meja yang ditempati oleh Edgar. Tanpa meminta ijin, Bian langsung duduk tepat di hadapan Edgar. “Ada yang mau lo omongin sama gue?” tanya Bian to the point menatap tepat di manik matanya. Membenarkan posisi duduknya, lalu menyeruput minumam miliknya, Edgar mengangguk mengiyakan pertanyaan Bian. “Apa yang mau lo tanyain?” “Hubungan kamu dengan Vanesa.” “Apa lagi yang mau dijelasin. Nesa udah cerita sama lo kan, kalau kita udah ngga ada hubungan apa-apa.” “....” Edgar