"Kamu sudah cukup lama menjadi sekretaris Edgar. Kamu pasti mengetahui banyak tentang kehidupan anak saya, apa kamu tahu tentang urusan percintaannya—maksudnya, apa kamu tahu Edgar sedang menjalin hubungan dengan seorang perempuan?" Mia menatap Nesa dengan tatapan penuh harap.
Nesa menggeleng sebagai jawaban. Walaupun ia sudah cukup lama menjadi sekretaris Edgar, tapi ia tidak pernah tahu urusan percintaan bosnya. "Maaf, tapi saya tidak mengetahui urusan percintaan Pak Edgar, sepertrinya itu juga terlalu privacy.""Kamu tidak tahu ya... baiklah." Mia menjeda ucapannya beberapa detik, lalu kembali menatap Nesa. "Tapi, apa kamu pernah melihat Edgar tertarik dengan seorang perempuan, maksudnya pergi berkencan, atau menyuruh kamu untuk mencari tahu kehidupan salah seorang perempuan karena Edgar tertarik kepada perempuan itu?" Mia kembali melanjutkan pertanyaannya.Lagi-lagi Nesa menggeleng. Edgar tidak pernah membahas tentang perempuan kepadanya.Melihat Nesa menggeleng, membuat Mia mendadak lesu. "Nes..." Mia menatap manik mata Nesa dengan lekat. "Apa Edgar tidak menyukai perempuan?" lirihnya sangat pelan namun masih mampu di dengar oleh Nesa, perempuan itu sampai tersedak ludahnya sendiri ketika mendengar pertanyaan Mia yang satu ini."Kamu tahu nggak Nes, saya tuh kepikiran banget sama omongannya Mbak Evi. Mbak Evi bilang kalau Edgar nggak mau nikah sampai sekarang mungkin karena dia emang nggak tertarik aja sama perempuan. Saya khawatir kalau itu benar."Nesa menggeleng. "Bu, Pak Edgar nggak mungkin kaya gitu, 'kan? Mungkin Pak Edgar belum mau menikah karena memang belum mau saja, dia masih ingin fokus dengan pekerjaannya," jelas Nesa mencoba membuat Mia berpikir positive tentang putranya."Tapi coba kamu ingat, apa Edgar pernah berhubungan dengan seorang perempuan? Sepertinya hanya sekedar duduk mengobrol santai dengan seorang perempuan saja tidak pernah... ya, kecuali kalau masalah pekerjaaan—maksud saya berinteraksi dengan seorang perempuan diluar urusan pekerjaan. Apa dia penah? Tidak kan? Apalagi membawa seorang perempuan ke rumah, memperkenalkannya kepada keluarga... tidak pernah, Nes...."Benar sekali. Padahal ada banyak sekali perempuan yang dengan terang-terangan menggodanya jika sedang menghadiri sebuah acara, namun Edgar terkesan acuh, seperti tidak tertarik. Bahkan, ada juga beberapa orang tua rekan bisnisnya yang secara tidak langsung, maupun secara gamblang berniat untuk mengenalkan putri-putrinya kepada Edgar, namun tentu saja lelaki itu menolaknya."Bagaimana kalau itu adalah kenyataannya, Nes. Edgar... gay?" Mia langsung menutup wajah dengan kedua tangan sembari menggeleng-gelengkan kepalanya. Nesa? Perempuan itu hanya mampu menelan ludahnya gugup, awalnya ia memang tidak berpikir sejauh itu, tapi sekarang... setelah Mia mengatakan itu, ia jadi ragu dengan orientasi seksual bosnya."Vanesa!"Nesa terperanjat kaget ketika mendengar suara bosnya. "I—iya?" Nesa bertanya gugup."Kamu tidak mendengarkan saya sedari tadi? Saya sudah memanggilmu lebih dari lima kali kalau kau ingin tahu!" Suara Edgar seperti biasa terdengar dingin dan tegas. Nesa yang sedang duduk di sampingnya mendadak gugup, tadi ia sedang mengingat obrolannya dengan Mia beberapa jam yang lalu."Maaf, Pak. Saya sedang tidak fokus. Mohon maaf, tadi Pak Edgar bertanya tentang apa?""Tumben sekali Mama mengundangmu ke rumah, ada apa?"Nesa menggeleng. Malam di mana resepsi pernikahan Dina dan Dion, Mia mengajak Nesa untuk ke rumahnya, Nesa kira hanya basa basi biasa, tapi rupanya Mia tidak hanya sekedar basa-basi, perempuan paruh baya itu bahkan sampai menelepon Nesa dan meminta untuk menyempatkan waktunya ke rumah. Dan, ya... Mia bertanya tentang putranya itu."Bu Mia, minta saya buat mengajarinya masak gulai ayam, Pak... ya... hanya itu," kata Nesa yang tentu saja berbohong."Kau tidak pandai berbohong! Kali ini perempuan anak siapa lagi yang ingin Mama kenalkan sama saya?" tanya Edgar, matanya masih menatap keluar jendela mobil. Dan, Nesa masih tetap diam, bingung akan menjawab apa untuk pertanyaan bosnya.Keheningan kembali menyelimuti mobil itu, keduanya menatap jalanan kota yang cukup renggang karena malam sudah semakin larut, dan Sandi yang menjadi pengemudi fokus menyetir."Boleh saya bertanya?" tanya Nesa pelan, dan hati-hati. Kali ini, ia memandang wajah bosnya."Tidak ada perempuan yang sedang saya dekati. Beritahu Mama tentang ini!"Lagi-lagi Nesa menelan ludahnya gugup. Sepertinya Edgar tidak bodoh, karena dia tahu betul kemana arah pembicaraan Nesa."Saya minta maaf sebelumnya kalau saya lancang, atau terkesan sangat ikut campur tentang kehidupan Pak Edgar. Tapi... apa Pak Edgar tidak berniat untuk menikah?" Nesa menatap wajah bosnya, ingin melihat bagaimana ekspresi lelaki itu—namun, seperti biasa lelaki itu tidak merubah mimik wajahnya. "Atau minimal menjalin hubungan dengan seseorang? Ada perempuan yang membuat Pak Edgar tertarik? Siapa? Apa perlu saya bantu?"Edgar melirik Nesa yang terus menatapnya dengan tatapan penuh harap. "Jadi, kamu diembel-embeli hadiah apa sama Mama kalau kamu berhasil mencari tahu tentang kisah percintaan saya?"Nesa menggeleng cepat. "Tidak, Pak. Bukan seperti itu. Saya hanya bertanya tadi, Bu Mia merasa kebingungangan tentang Pak Edgar. Katakan kepada Bu Mia jika memang tidak berniat menikah ataupun menjalin hubungan percintaan, beritahu dan jelaskan alasannya.""Kau mengajari saya?!" Edgar menaikkan satu alisnya bertanya.Memejamkan mata beberapa detik untuk meredamkan emosinya, Nesa mengalihkan pandangannya keluar jendela. "Bukan mengajari, tapi memberi nasihat."Edgar menyunggingkan senyum menyebalkan mendengar perkataan Nesa. "Kau yakin memberi nasihat? Lalu, bagaimana dengan urusan percintaanmu?"Nesa kembali menatap Edgar. Menyebalkan, kenapa lelaki itu malah membahas tentang dirinya? Pikir Nesa.Mobil berhenti di pelataran sebuah gedung apartemen. Nesa segara memakai tasnya, menatap Sandi yang juga menatapnya lewat pantulan cermin. "Terima kasih sudah mengantarkan saya pulang, Pak Sandi—Nesa menampilkan senyumnya lalu beralih menatap Edgar dengan senyum yang terlihat dipaksakan, lalu melanjutkan ucapannya, "Terima kasih, Pak Edgar. Selamat malam."Pukul lima sore, setelah ia menyelesaikan pekerjaannya, Nesa langsung pergi ke kediaman kedua orang tua Edgar, mengobrol banyak hal dengan Mia tentang bosnya. Lalu tepat pukul setengah sembilan malam Edgar datang, katanya sih ingin mengambil barang yang tertinggal di rumahnya saat acara arisan keluarga besar Naratama malam itu, dan ya... berakhir mengajak Nesa untuk pulang bersama—ralat! Memaksa Nesa untuk pulang bersama.Jujur, setelah mengobrol cukup banyak dengan Mia tentang Edgar membuat Nesa merinding jika memikirkan kalau memang benar bosnya tidak tertarik dengan seorang perempuan. Edgar kan lelaki yang di mata orang-orang adalah definisi lelaki idaman. Bukan hanya hartanya melimpah, postur tubuhnya bagus, tinggi, juga pahatan yang sempurna di wajahnya. Apa kata orang jika lelaki itu ternyata... gay?***Kedua bola matanya membola sempura, jantungnya berhenti berdetak untuk beberapa detik, jika saja tidak ada pintu di sampingnya, mungkin Nesa akan duduk terjatuh saking ia merasakan lemas di kakinya."Bu Nesa, selamat pagi," sapa Sandi yang baru menyadari kehadiran Nesa. Lelaki itu langsung berdiri dari duduknya dengan wajah yang sedikit terkejut karena kehadiran Nesa, namun dia berhasil menyembunyikan wajah terkejutnya dengan menampilkan sebuah senyuman. Karena sapaan Sandi, Edgar, lelaki yang sedang duduk di sun lounger ikut menatap Nesa."Pa—pagi... " Nesa merutuki dirinya sendiri karena suaranya terdengar sangat gugup. Ia berdehem, lalu tersenyum. "Pagi, Pak," ulang Nesa."Saya tunggu di luar kalau begitu." Sandi membungkukkan sedikit kepalanya untuk berpamitan, lalu dia berjalan meninggalkan area kolam renang, meninggalkan Edgar dan Nesa yang masih berdiri mematung di dekat sliding door.Edgar bangun dari duduknya, membenarkan lilitan handuk dipinggangnya lalu mengambil segelas min
Nesa mengangguk-anggukkan kepalanya sambil terkekeh pelan, lambat laun suara kekehan itu menjadi tawa cukup kencang, dan beberapa detik setelahnya bibirnya cemberut dan meraung frustasi. Perempuan itu mengacak-acak rambutnya dengan kesal, beberapa orang yang melihat keadaan Nesa meringis ngeri, mungkin saja mereka mengira Nesa adalah orang gila.Nesa sedang berada di jalanan trotoar hendak menuju ke unit apartemennya. Baiklah, kita ceritakan bagaimana awal mulanya Nesa pulang dengan keadaan jalan kaki seperti ini. Tadi, setelah semua pekerjaannya selesai Nesa bersiap akan pulang. Edgar awalnya mengajak Nesa untuk pulang bersama, namun tentu saja Nesa menolaknya, bahkan karena saking buru-burunya ingin pulang dan menghindari bosnya, Nesa sampai lupa membawa dompet. Nesa diturunkan oleh supir taxi karena Nesa mengaku jika dompetnya tertinggal di meja kerjanya, yang lebih parah adalah, baterai handphone Nesa habis, handphonenya mati total.Pikirannya sedang kacau karena bosnya, ditambah
"Jangan bikin orang mabok kesel! Nanti lo tahu sendiri akibatnya!" Benar, tadi setelah Nesa mengeluarkan kata umpatan, ketiga lelaki yang sedang dalam kondisi mabuk itu terlihat jelas perbedaan raut wajahnya. Terlihat lebih menakutkan. "Iya, makasih sudah nolongin aku dari mereka," kata Nesa walaupun dengan nada yang terdengar seperti tidak sungguh-sungguh berterima kasih. "Sana balik!" usirnya. Lelaki itu segera duduk di kursi kayu panjang lalu mengeluarkan pemantik rokok dari saku celananya, asap mengepul ke udara ketika lelaki itu selesai menghisap rokoknya. "Makasih ya Bu, saya pamit," kata Nesa tersenyum menatap Ibu penjaga warung. "Sama-sama, Neng." Perempuan paruh baya itu membalas senyuman Nesa. "Bian, anterin dulu atuh si Neng, sampe ke apartemennya," lanjut Tati—Ibu penjaga warung yang kini sudah beralih menatap lelaki yang sedang merokok di depannya. Bian—lelaki itu menatap Nesa dengan tatapan dingin. "Dari sini lo tinggal lurus aja, nanti keliatan tuh jalan gede, lo t
Kedua matanya perlahan mengerjap, kembali menajamkan pendengarannya karena mendengar suara bel pintu apartemennya berbunyi. Nesa perlahan menyibakkan selimut yang menutupi tubuhnya, keningnya mengeryit ketika melihat pakaian yang dipakainya—baju kerjanya kemarin masih melekat di tubuhnya. Nesa menginjakkan kakinya ke lantai sambil meregangkan otot-ototnya, mulutnya menguap lebar sampai kedua matanya terpejam. Perempuan itu terdiam beberapa detik saat matanya melihat sepasang sendal jepit berwarna hitam yang dipakainya semalam. Ting! Suara bel itu kembali menyadarkan Nesa, perempuan itu langsung berjalan keluar dari kamar. "Jam tujuh? Yang benar saja?!" Kedua mata Nesa membola sempurna ketika melihat jam dinding yang menggantung di ruang tengah. "Sial! Aku kesiangan!" Ting! Lagi, bunyi bel itu mengalihkan perhatian Nesa. Ia langsung berjalan menuju pintu tentu saja sambil mendumel karena orang di luar terus memencet bel dengan tidak sabaran. "Tidak bisakkah sabar sedikit...." Nesa
"Kak, bangun! Makan dulu, " Perempuan paruh baya itu membuka gorden yang masih menutupi jendela kamar putrinya, padahal jam sudah menunjukkan pukul dua siang, namun anak itu masih bergelung dengan selimutnya.Nesa membuka matanya perlahan, menatap Ibunya sambil menampilkan senyum. "Aku seneng bisa tidur sampai jam segini, Bu," lirihnya.Nisa mengangguk-anggukkan kepalanya sembari berjalan menghampiri putrinya. "Iya, makan dulu. Habis itu boleh deh kalau Kakak mau tidur lagi."Nesa terkekeh, lalu menyibakkan selimutnya, menjulurkan tangan kanannya untuk menggenggam tangan Nisa, mereka berdua akhirnya berjalan beriringan keluar dari kamar bernuansa mint itu. "Rumah makan emangnya nggak lagi rame, Bu?" tanya Nesa saat keduanya sudah duduk di kursi meja makan."Ini udah bukan jam makan siang lagi, Kak."Nesa menyunggingkan senyumnya. "Ini udah jam dua siang ya?"Nisa mengangguk. " Dan kamu baru mau makan?!" Nisa menggeleng-gelengkan kepalanya sambil kedua tangannya sibuk menuangkan nasi ju
"Mana pacar kamu, Nes?" Nesa menatap Seruni yang sedang memakan bakso malang yang memang adalah salah satu menu catering yang disediakan di acara pernikahan Risa.Perempuan yang ditanya itu menghela napasnya kasar sembari mengangkat bahunya acuh. "Nggak jadi dateng kali. Aku ke toilet dulu, ya," kata Nesa. Sebelum mendapat jawaban dari Seruni, dan Nadya, Nesa langsung berjalan menuju toilet."Sialan, harusnya dari awal emang ngga usah terlalu banyak berharap lebih sama cowok itu!" sungut Nesa menatap cermin dengan wajah yang terlihat sangat marah. Bian tidak datang. Mengabaikan perintah Nesa yang menyuruhnya untuk datang ke apartemennya jam tiga sore. Sekarang, jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam, acaranya juga beberapa menit lagi akan selesai, dan Bian sama sekali tidak tampak batang hidungnya sedikitpun. Saat jam sudah menunjukkan pukul tiga sore, dan Bian belum datang ke apartemennya, Nesa masih mencoba untuk berpikir positif, yakin jika Bian akan datang, mungkin lelaki itu
Nesa yang sedang meminum susu coklat di kursi bar langsung menengokkan wajahnya ketika mendengar suara pintu apartemennya dibuka. Melirik jarum jam yang menunjuk ke angka enam lebih lima belas menit, 'Siapa yang bertamu pagi-pagi begini?' pikir Nesa. Kakinya menyentuh lantai, melangkah keluar dari area dapur menuju ruang tengah."Selamat pagi.""Pa—pagi, Pak Edgar."Edgar—ya lelaki itu kini sudah berdiri di hadapan Nesa, dengan setelan jas rapih yang membungkus tubuh tegapnya."Ada apa?""Kamu sudah sarapan? Saya belum sempat sarapan di rumah," kata Edgar yang langsung mendudukkan bokongnya di sofa ruang tengah.Nesa mengangguk-anggukkan kepalanya. "Iya saya ambilkan sarapan, tapi hanya ada roti panggang, dan susu, Pak Edgar mau? Atau mau saya buatkan apa untuk sarapan?""Roti panggang dan segelas susu saja, walaupun saya menyuruh kamu untuk membuat sarapan yang lain pasti kamu akan sambil mengomel membuatnya."Nesa hanya tersenyum kecil, lalu berjalan kembali ke dapur. Mengambil beber
Nesa semakin mengeratkan cardigan rajut yang dipakainya, cuaca malam ini sangat dingin, bayangkan saja, sedari pagi matahari tidak kunjung menampakkan sinarnya, hujan tidak berhenti turun membasahi kota sampai sore tadi.Menatap warung yang berjarak lima meter dari pandangan, bola matanya bergerak ke kanan dan ke kiri mencari keberadaan seseorang dari beberapa orang yang duduk di sana, tawa juga obrolan terdengar dari arah mereka."Permisi—" Nesa tidak melanjutkan ucapannya, jujur saja lidahnya mendadak kelu, saat semua yang sedang duduk di kursi kayu itu menatap ke arah Nesa.Perempuan itu tersenyum canggung. "Bu Tati, ada?" lirih Nesa bertanya."Eh, si Neng. Sini Neng duduk, mau nyari apa?" Tati si penjaga warung menyembulkan wajahnya menatap Nesa yang masih berdiri mematung di depan sana. Nesa berjalan menghampiri Tati. "Bu Tati, kalau boleh saya tahu Bian—" Belum sempat Nesa berbicara, terdengar suara pintu yang dibuka, lelaki itu muncul dari balik pintu rumah Bu Tati yang berada d
"Gue ngga perlu jelasin serinci mungkin, Nes. Suami lo jelas pasti tahu semuanya." Nesa menatap Edgar dengan kening mengernyit, seolah bertanya tentang kebenaran dari ucapan Bian. "Udah sih, gue ngga papa, ngga usah natap gue kasihan gitu!" katanya. Walaupun begitu tetap saja, ada perasaan aneh yang dirasakan oleh Nesa. Ini jelas berita besar—dan yang paling mengkhawatirkan adalah bagaimana perasaan Bian selama ini? Pasti lelaki itu sudah melalui banyak hari yang berat. "Sudah berapa bulan?" tanya Bian mempersilahkan Nesa untuk duduk. "Jalan enam bulan," jawab Nesa semangat, mencoba bersikap seperti biasanya. "Apa suami lo memperlakukan lo dengan baik?" Nesa mengangguk tanpa ragu. "Mas Edgar mencintai aku... sangat!" "Bagus! Kalau dia ngga memperlakukan lo dengan baik, mending sama gue aja." Nesa terkekeh pelan, menggeleng lalu memeluk perut Edgar yang sedari tadi masih berdiri di dekatnya. "Nanti Mas Edgar sendirian, kasian." Bian menatap Edgar dengan tatapan yang
"Mas...." Edgar terlihat menghela napas, melepaskan perlahan tangan Nesa yang melingkar di lengannya. "Mas masih marah ya?" tanya Nesa memanyunkan bibirnya, kembali mencoba melingkarkan tangannya di lengan Edgar, walaupun suaminya itu kembali melepaskannya. "Iya maaf, ngga jadi Mas. Tadi aku cuman bercanda kok," lanjutnya. "Saya berangkat," katanya terkesan jutek walaupun sebelumnya mencium kening Nesa sebagai rutinitas wajib pagi mereka sebelum Edgar berangkat kerja. "Ah Mas Edgar...." Nesa kembali merengek, menghalang langkah suaminya. "Aku minta maaf, jangan marah." "Saya ada meeting Vanesa." "Tuh kan! Panggilan sayangnya mana?" Edgar kembali menghela napas pelan, menampilkan senyum yang sebenarnya tidak sampi hati itu. "Saya berangkat kerja ya, ada meeting pagi ini sayang," kata Edgar mengulang pernyataannya. Melingkarkan tangannya memeluk pinggang Edgar, Nesa mencium pipi kanan suaminya dengan lembut. "Aku beneran cuman bercanda tadi, jangan ngambek lagi yaa... dan semoga
Nesa mengerjapkan matanya perlahan, bibirnya berdecak pelan ketika telinganya masih mendengar suara notifikasi alarm dengan volume yang bukan main kencangnya.Mencoba bangun dari tidurannya untuk mengambil ponsel, tetapi tubuhnya dipeluk erat oleh sang suami.Dengan perlahan ia mencoba melepaskan tangan Edgar yang melingkar di perutnya, setelah berhasil, ia bangun lalu berjalan mengitari ranjang untuk duduk di tepi kasur, mengambil ponsel Edgar yang masih mengeluarkan suara notifikasi alarm untuk mematikannya.Disya mengernyit ketika merasakan perbedaan dengan kamar yan ditempatinya, mendongak lalu kembali memperhatikan sekitaran kamar dengan cahaya remang."Sudah bangun, sayang?" tanya Edgar, kedua tangannya kembali memeluk perutnya erat.Nesa tersenyum kecil lalu mengusap lembut lengan Edgar yang melingkar di perutnya."Sudah, tumben banget pasang alarm pagi-pagi buta begini sih?""Biar ngga kesiangan.""Mau ke mana?""Lihat sunrise.""Huh?"Nesa ingat, semalam ia dan Edgar menghadi
Edgar menghentikan kegiatanya yang sedang berkutat dengan laptop, melirik Nesa yang sepertinya sangat fokus menatap handphone dengan kedua telinga yang disumpal earphone, keduanya duduk bersebelahan, tetapi sibuk dengan kegiatannya masing-masing. Cup! Edgar mencuri satu ciuman di pipi kanan Nesa, yang jelas hal itu dilakukan untuk mendapat perhatian dari si perempuan. "Sedang menonton apa, fokus sekali?" Nesa sedikit terperanjat kaget, langsung mematikan layar handphone, menatap suaminya dengan senyum canggung sambil melepaskan earphone yang masih terpasang di telinganya. "Ngga ada apa-apa kok—aku ngga nonton apa-apa, Mas." Edgar mengernyit, reaksi Nesa terlihat berlebihan padahal dia hanya bertanya. Ditatap sebegitunya oleh Edgar jelas membuat Nesa ciut, seolah ia tidak akan pernah bisa berbohong kepada lelaki itu. "A—aku menonton video Sandi bernyanyi, aku ngga sengaja nyari, Mas, beneran. Tiba-tiba dia muncul di beranda sosial mediaku." "Mana lihat." Nesa kembali menyalakan
"Masih main?" Sandi kembali menyesap batang nikotin yang ada di sela jarinya, lalu menggeleng pelan menjawab pertanyaan Edgar. Edgar mencebikkan bibirnya tidak percaya ketika lelaki yang duduk di sampingnya menjawab tidak pada pertanyaan yang sebelumnya diajukan. "Nadya juga tidak buruk mendesah dibawah saya, dan yang paling penting saya tidak perlu repot-repot memakai pengaman ketika bercinta—wah rasanya berkali-kali lipat lebih nikmat ternyata!" "Saya pernah bilang kan, apa enaknya bercinta menggunakan karet?" Sandi menyunggingkan senyum miring, kembali mengepulkan asap rokoknya ke udara, mendongak menatap ke atas lalu menghela napas berat. "Kamu menyesal melakukannya?" Edgar bisa melihat wajah Sandi sebenarnya sedang tidak baik-baik saja. Jelas ada sesuatu yang membuatnya tidak nyaman. "Hanya tidak menyangka akan sampai di titik ini." "Nesa tidak tahu kamu lelaki seperti apa. Jika dia tahu kamu sering bercinta dengan banyak perempuan jelas ia tidak akan setuju kamu bersama
Jam dua siang mereka benar-benar baru meninggalkan kamar, itupun karena rasa lapar menghantui mereka. Jangan ditanya mereka melakukannya lagi atau tidak setelah membaca lembaran diary milik Nesa—tentu saja iya—maklum keduanya masih dimabuk cinta, kata Edgar ini adalah bentuk balas dendam karena selama hampir dua bulan resmi menikah mereka belum melakukannya. Beruntung Nesa mau melayaninya walaupun sembari merengek menangis. “Ih iya Mas aku lupa hari ini jadwal pemberangkatan Nadya lho,” kata Nesa ketika ia sedang fokus membuka handphonenya. “Jam berapa?” tanya Edgar. “Jam lima. Untung jam lima, jadi masih ada waktu buat ke sana,” kata Nesa mematikan layar handphonenya lalu menatap Edgar. “Aku ijin ketemu sama Nadya dulu ya Mas sebelum berangkat, ada Seruni juga kok, boleh?” Edgar mengangguk. “Sama saya.” “Oke!” Nesa kembali menampilkan senyum manisnya menatap Edgar, kembali melingkarkan kedua lengannya di leher Edgar—keduanya sedang menuruni tangga sekarang, hendak me
"Hah....."Baik Nesa maupun Edgar sama-sama terengah. Nesa yang berada di atas tubuh Edgar sampai tumbang, jatuh memeluk tubuh suaminya erat, menenggelamkan wajahnya tepat di dada Edgar."Saya masih belum selesai," kata Edgar menampilkan smirknya, mengusap bagian atas rambut Nesa.Masih dalam posisi yang sama, Nesa menggeleng-gelengkan kepalanya, lalu setelahnya mendongakkan wajahnya menatap manik sang suami. "Pak Edgar tadi janji hanya akan melakukannya satu kali," katanya dengan bibir yang ditekuk.Edgar mencubit pelan ujung hidung Nesa dengan gemas. "Ah! Kamu saja masih memanggil saya dengan sebutan Bapak. Bukankah sudah saya katakan akan menghukum kamu jika kembali mengatakan panggilan itu?"Nesa kembali memanyunkan bibirnya. "Justru kalau aku panggil selain itu, pasti akan terjadi ronde-ronde selanjutnya. Aku lelah—" Nesa menjeda ucapannya, kembali menenggelamkan wajahnya di permukaan dada suaminya. "Setelah melakukannya, aku ngantuk, mau tidur lagi...."Nesa dibawa berbaring di
Sesuai apa yang dikatakan oleh Nadya kemarin, mereka langsung merencenakan pertemuan dengan Seruni dan Risa, di kediaman Risa. Yang mana memang tujuan utamanya untuk memberi tahu jika Nadya akan pindah ke luar kota.Sekitar jam sepuluh Nesa pamit pada Edgar, lelaki itu tentu mengijinkan, bahkan mengantar Nesa ke kediaman Risa. Urusan mobil Nesa, masih berada di bengkel dan belum selesai diperbaiki, Edgar bahkan meminta untuk mengecek keadaan keseluruhan mobil.Sandi diminta untuk mengantarkan mobil milik Edgar yang berada di kediaman kedua orang tuanya. Hari ini memang masih hari libur, tentu saja Sandi menggerutu, ada banyak hal yang harus dibereskan untuk kepindahannya, nanti. Walaupun begitu Sandi tetap mengikuti perintah Edgar.Kemarin malam, tidak ada cara lain selain kembali ke tempat di mana mobil Nesa berada untuk mengambil kunci, kalau tidak seperti itu, bagaimana cara keduanya masuk ke dalam rumah.Edgar menyuruh Nesa untuk tetap menunggu di teras rumah, sedangkan dia sendir
Riuh tepuk tangan terdengar ketika lelaki yang menjadi pusat perhatian hampir seluruh pengunjung caffe selesai menyanyikan lau terakhirnya. Manik mata Edgar benar-benar tidak pernah lepas menatap ke arahnya, si lelaki yang ditatap juga jelas menatap ke arah Edgar—dari banyaknya pelanggan caffe, sosok Edgar tentu saja yang paling menarik perhatiannya. Bian turun dari atas panggung, setelah sebelumnya menyerahkan gitar yang tadi digunakan menjadi pengiring nyanyiannya kepada rekan bandnya, lalu melangkah menghampiri meja yang ditempati oleh Edgar. Tanpa meminta ijin, Bian langsung duduk tepat di hadapan Edgar. “Ada yang mau lo omongin sama gue?” tanya Bian to the point menatap tepat di manik matanya. Membenarkan posisi duduknya, lalu menyeruput minumam miliknya, Edgar mengangguk mengiyakan pertanyaan Bian. “Apa yang mau lo tanyain?” “Hubungan kamu dengan Vanesa.” “Apa lagi yang mau dijelasin. Nesa udah cerita sama lo kan, kalau kita udah ngga ada hubungan apa-apa.” “....” Edgar