"Perfect!" sekali lagi ucapan itu keluar dari mulut lelaki kemayu yang baru saja selesai memoles wajah Nesa dengan make-up yang membuat penampilan Nesa terlihat lebih cantik.
"Thankyou, Bep," ucap Nesa menampilkan senyumnya."Iya Bep! Cakep kan make-upnya? Bisa dibacok gue sama Pak Bos kalau make-upnya cacat."Nesa kembali menatap penampilannya di cermin, lalu mengangguk pelan. "Udah oke kok, tenang aja!""Lo tahu nggak, kalau make-up lo Pak Bos suka nih, bisa dibayar dua kali lipet gue, cucok 'kan?" Lelaki itu menampilkan cengiran khasnya menatap Nesa melalui pantulan cermin."Iya! Tahu gue... kalau make-up gue jelek udah pasti bikin malu Pak Bos di acara nikahan sahabatnya."Bukan hal baru memang, jika ada sebuah acara penting yang mengharuskan Nesa memoles wajahnya dengan make-up, maka Edgar akan menghadirkan MUA. Nesa tahu alasan mengapa harus memakai jasa MUA walaupun sebenarnya Nesa bisa memakai make-up sendiri, tentu saja agar Nesa tidak terlihat memalukan jika bersanding dengan Edgar di acara tersebut. Dan kalian harus tahu kelakuan seperti apa yang sudah Edgar lakukan hari ini sehingga membuat Nesa kesal kepada lelaki itu. Ingat saat Edgar dan Nesa mengunjungi salah satu butik? Edgar mempermalukan Nesa dengan megatakan jika dia tidak berniat membelikan Nesa dress, membawa Nesa ke butik dengan alasan ingin membelikan Gia—adiknya dress dan meminta Nesa untuk mencoba dress karena tubuh Nesa dan Gia terlihat tidak berbeda jauh, katanya. Namun, dress berwarna teal green itu berakhir dipakai oleh Nesa juga pada akhirnya."Pakai! Tidak usah protes, saya tidak jadi memberikan dress itu untuk Gia. Sepertinya, Gia juga tidak menyukai dress pilihanmu, seleramu biasa saja."Dengan wajah tanpa dosa Edgar berbicara seperti itu. Walaupun sudah terbiasa mendengar kata-kata menyebalkan yang keluar dari mulut bosnya, tetap saja Nesa merasa kesal.Nesa menatap luas ke depan, acara resepsi dengan venue outdoor, banyak tamu undangan yang sudah hadir karena acara resepsi memang sudah dimulai dari satu jam yang lalu. Menghembuskan napas panjang, sambil memejamkan mata, kedua sudut bibirnya melengkung menampilkan sebuah senyuman. Kakinya melangkah beriringan dengan langkah bosnya, menebarkan senyum kepada setiap orang yang menatapnya.Dulu, Nesa adalah salah satu perempuan yang sebenarnya tidak suka dengan keramaian, berdiam diri di kamarnya itu adalah hal yang paling menyenangkan. Namun, setelah bekerja dengan Edgar yang mengharuskannya berinteraksi dengan banyak orang membuat Nesa sudah terbiasa. Menghadiri acara dari mulai yang resmi maupun yang bukan."Ada Pak Rudi, dan Bu Mia, Pak. Kita menemui dulu mereka?" Nesa menatap Edgar saat matanya menangkap sosok orang tua bosnya sedang berbincang dengan beberapa orang."Kita bertemu dulu Dion dan Dina."Nesa mengangguk pelan, kembali melingkarkan tangannya di lengan Edgar, kembali berjalan menuju tempat kedua mempelai. Tidak ada pelaminan, kedua mempelai bisa lebih leluasa menyapa para tamu undangan, kini kedua pengantin itu sedang berada di salah satu meja dengan beberapa orang yang memakai dress juga tuxedo dengan warna yang serasi."Calon direktur, sibuk terus ya, baru keliatan," celetuk salah satu perempuan yang mungkin lebih dulu melihat Edgar dan Nesa , sehingga membuat atensi semua orang yang ada di meja itu menatap keduanya.Mereka semua menampilkan senyum, menyambut kehadiran keduanya."Congrats!" Edgar mengulurkan tangannya utuk menjabat tangan Dion dan Dina, memberikannya ucapan selamat, begitu juga dengan Nesa yang melakukan hal sama. Nesa juga terlihat senang ketika melihat keempat perempuan yang memakai dress dengan warna yang serasi itu, menyapa mereka dengan begitu excited. Mereka adalah pasangan sahabat-sahabat Edgar, entah bagaimana awalnya mereka jadi saling akrab, bahkan di beberapa kesempatan mereka sering bertemu. pergi berbelanja, nonton, ke salon, atau hanya sekedar duduk mengobrol di caffe milik Sasya."Kalian udah kaya pasangan aja, tahu...," ucap Dina dengan nada yang menggoda. Edgar tentu saja hanya diam, dengan memasang wajah lempeng andalannya. Sedangkan Nesa hanya terkekeh pelan menanggapi candaan Dina."Nesa makin cantik aja," puji Seli—salah satu perempuan yang ada di sana.Lagi-lagi Nesa terkekeh pelan. "Kamu juga tambah cantik, Sel," balas Nesa."Omong-omong tentang cantik, kamu inget nggak Nes, yang terakhir kali kita ketemu di caffe punyanya Sasya. Aku ketemu sama sepupuku, dan dia nanyain kamu tahu," kata Tari.Nesa mengernyit, mencoba kembali mengingat pertemuan mereka waktu itu, ia memang melihat jika ada seorang lelaki yang menyapa Tari, bahkan mengobrol sebentar dengannya. Nesa hanya melihat sekilas wajah lelaki itu."Sepupumu belum saja melihat Nadya. Pasti sepupumu akan menarik kata-katanya, dan malah bertanya tentang Nadya kalau sudah bertemu dengan sahabatku itu," kata Nesa terkekeh pelan."Kata-katamu, Nes...." Dina menggeleng-gelengkan kepalanya mendengar jawaban Nesa sambil tertawa."Din, Nadya emang cantik banget, kan? Kalian semua setuju juga kan sama apa yang aku bilang?"Meli menggeleng lalu merangkul lengan Nesa yang berdiri di sampingnya. "Jangan banding-bandingin diri kamu sama orang lain, Nes. Nggak baik tahu! Dia cantik dengan versinya, kamu juga cantik dengan versi kamu," katanya.Nesa terkekeh pelan, lalu memeluk tubuh Meli erat. Meli memang yang paling kalem, pembela kebaikan nomor satu deh! Hehe..."Ekhem!" suara deheman Edgar membuat kelima perempuan itu menoleh. Karena kelimanya asyik mengobrol, sampai mengabaikan keberadaan yang lainnya."Ngobrol aja, anggap aja kita nggak ada," kata Bagas—suami Tari."Kita pergi, ketemu orang tua saya," kata Edgar.Kita? Yang dimaksud oleh Edgar kita itu, dia dan Nesa, begitu? Pemikiran Nesa benar, ketika manik mata Edgar menatap ke arahnya. Sebenarnya Nesa ingin lebih lama dengan teman-temannya, tapi Edgar malah mengajak Nesa untuk menemui kedua orang tuanya. Padahalkan tadi Nesa sudah mengajak Edgar untuk menemui kedua orangtuanya dulu, tapi Edgar memilih bertemu dengan kedua mempelai terlebih dahulu. Dan, apa ini Edgar hanya mengucapkan selamat kepada kedua mempelai tanpa mengobrol basa-basi dengan sahabat-sahabatnya? Apa Edgar tidak keterlaluan? Hih! Kalau Nesa, mana mau punya sahabat seperti Edgar."Buru-buru amat, di sini dulu aja, Ed!" kata Dion."Tuh, Dion udah sold out, lo kapan Ed?" celetuk Wisnu yang membuat semua orang yang ada di meja itu menatap langsung ke arah Edgar—termasuk Nesa, tentu saja mereka ingin tahu apa jawaban lelaki itu."Saya menghindari pertanyaan-pertanyaan semacam ini!" kata Edgar dingin."Ayo kita pulang!" ajak Edgar kepada siapa lagi kalau bukan Nesa."Baperan amat lu, Ed!" kata Wisnu terkekeh, sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. "Baru juga datang, masa mau balik?" lanjutnya."Pak Edgar kan belum makan, kita makan dulu, baru setelah itu kita menemui kedua orang tua Pak Edgar, bagaimana?"Edgar awalnya hanya diam mendengar usulan Nesa, namun pada akhirnya ia mengangguk setuju. Karena Edgar setuju, Nesa langsung menampilkan senyumnya. "Kalian sudah makan?" tanya Nesa.Mereka mengangguk. "Kasih bosmu itu makan, Nes," kata Dina.Sebelum Nesa dan Edgar melangkah pergi, Dina kembali memanggil keduanya. "Kenapa kalian nggak nikah aja sih?"***"Kamu sudah cukup lama menjadi sekretaris Edgar. Kamu pasti mengetahui banyak tentang kehidupan anak saya, apa kamu tahu tentang urusan percintaannya—maksudnya, apa kamu tahu Edgar sedang menjalin hubungan dengan seorang perempuan?" Mia menatap Nesa dengan tatapan penuh harap.Nesa menggeleng sebagai jawaban. Walaupun ia sudah cukup lama menjadi sekretaris Edgar, tapi ia tidak pernah tahu urusan percintaan bosnya. "Maaf, tapi saya tidak mengetahui urusan percintaan Pak Edgar, sepertrinya itu juga terlalu privacy.""Kamu tidak tahu ya... baiklah." Mia menjeda ucapannya beberapa detik, lalu kembali menatap Nesa. "Tapi, apa kamu pernah melihat Edgar tertarik dengan seorang perempuan, maksudnya pergi berkencan, atau menyuruh kamu untuk mencari tahu kehidupan salah seorang perempuan karena Edgar tertarik kepada perempuan itu?" Mia kembali melanjutkan pertanyaannya.Lagi-lagi Nesa menggeleng. Edgar tidak pernah membahas tentang perempuan kepadanya.Melihat Nesa menggeleng, membuat Mia mendad
Kedua bola matanya membola sempura, jantungnya berhenti berdetak untuk beberapa detik, jika saja tidak ada pintu di sampingnya, mungkin Nesa akan duduk terjatuh saking ia merasakan lemas di kakinya."Bu Nesa, selamat pagi," sapa Sandi yang baru menyadari kehadiran Nesa. Lelaki itu langsung berdiri dari duduknya dengan wajah yang sedikit terkejut karena kehadiran Nesa, namun dia berhasil menyembunyikan wajah terkejutnya dengan menampilkan sebuah senyuman. Karena sapaan Sandi, Edgar, lelaki yang sedang duduk di sun lounger ikut menatap Nesa."Pa—pagi... " Nesa merutuki dirinya sendiri karena suaranya terdengar sangat gugup. Ia berdehem, lalu tersenyum. "Pagi, Pak," ulang Nesa."Saya tunggu di luar kalau begitu." Sandi membungkukkan sedikit kepalanya untuk berpamitan, lalu dia berjalan meninggalkan area kolam renang, meninggalkan Edgar dan Nesa yang masih berdiri mematung di dekat sliding door.Edgar bangun dari duduknya, membenarkan lilitan handuk dipinggangnya lalu mengambil segelas min
Nesa mengangguk-anggukkan kepalanya sambil terkekeh pelan, lambat laun suara kekehan itu menjadi tawa cukup kencang, dan beberapa detik setelahnya bibirnya cemberut dan meraung frustasi. Perempuan itu mengacak-acak rambutnya dengan kesal, beberapa orang yang melihat keadaan Nesa meringis ngeri, mungkin saja mereka mengira Nesa adalah orang gila.Nesa sedang berada di jalanan trotoar hendak menuju ke unit apartemennya. Baiklah, kita ceritakan bagaimana awal mulanya Nesa pulang dengan keadaan jalan kaki seperti ini. Tadi, setelah semua pekerjaannya selesai Nesa bersiap akan pulang. Edgar awalnya mengajak Nesa untuk pulang bersama, namun tentu saja Nesa menolaknya, bahkan karena saking buru-burunya ingin pulang dan menghindari bosnya, Nesa sampai lupa membawa dompet. Nesa diturunkan oleh supir taxi karena Nesa mengaku jika dompetnya tertinggal di meja kerjanya, yang lebih parah adalah, baterai handphone Nesa habis, handphonenya mati total.Pikirannya sedang kacau karena bosnya, ditambah
"Jangan bikin orang mabok kesel! Nanti lo tahu sendiri akibatnya!" Benar, tadi setelah Nesa mengeluarkan kata umpatan, ketiga lelaki yang sedang dalam kondisi mabuk itu terlihat jelas perbedaan raut wajahnya. Terlihat lebih menakutkan. "Iya, makasih sudah nolongin aku dari mereka," kata Nesa walaupun dengan nada yang terdengar seperti tidak sungguh-sungguh berterima kasih. "Sana balik!" usirnya. Lelaki itu segera duduk di kursi kayu panjang lalu mengeluarkan pemantik rokok dari saku celananya, asap mengepul ke udara ketika lelaki itu selesai menghisap rokoknya. "Makasih ya Bu, saya pamit," kata Nesa tersenyum menatap Ibu penjaga warung. "Sama-sama, Neng." Perempuan paruh baya itu membalas senyuman Nesa. "Bian, anterin dulu atuh si Neng, sampe ke apartemennya," lanjut Tati—Ibu penjaga warung yang kini sudah beralih menatap lelaki yang sedang merokok di depannya. Bian—lelaki itu menatap Nesa dengan tatapan dingin. "Dari sini lo tinggal lurus aja, nanti keliatan tuh jalan gede, lo t
Kedua matanya perlahan mengerjap, kembali menajamkan pendengarannya karena mendengar suara bel pintu apartemennya berbunyi. Nesa perlahan menyibakkan selimut yang menutupi tubuhnya, keningnya mengeryit ketika melihat pakaian yang dipakainya—baju kerjanya kemarin masih melekat di tubuhnya. Nesa menginjakkan kakinya ke lantai sambil meregangkan otot-ototnya, mulutnya menguap lebar sampai kedua matanya terpejam. Perempuan itu terdiam beberapa detik saat matanya melihat sepasang sendal jepit berwarna hitam yang dipakainya semalam. Ting! Suara bel itu kembali menyadarkan Nesa, perempuan itu langsung berjalan keluar dari kamar. "Jam tujuh? Yang benar saja?!" Kedua mata Nesa membola sempurna ketika melihat jam dinding yang menggantung di ruang tengah. "Sial! Aku kesiangan!" Ting! Lagi, bunyi bel itu mengalihkan perhatian Nesa. Ia langsung berjalan menuju pintu tentu saja sambil mendumel karena orang di luar terus memencet bel dengan tidak sabaran. "Tidak bisakkah sabar sedikit...." Nesa
"Kak, bangun! Makan dulu, " Perempuan paruh baya itu membuka gorden yang masih menutupi jendela kamar putrinya, padahal jam sudah menunjukkan pukul dua siang, namun anak itu masih bergelung dengan selimutnya.Nesa membuka matanya perlahan, menatap Ibunya sambil menampilkan senyum. "Aku seneng bisa tidur sampai jam segini, Bu," lirihnya.Nisa mengangguk-anggukkan kepalanya sembari berjalan menghampiri putrinya. "Iya, makan dulu. Habis itu boleh deh kalau Kakak mau tidur lagi."Nesa terkekeh, lalu menyibakkan selimutnya, menjulurkan tangan kanannya untuk menggenggam tangan Nisa, mereka berdua akhirnya berjalan beriringan keluar dari kamar bernuansa mint itu. "Rumah makan emangnya nggak lagi rame, Bu?" tanya Nesa saat keduanya sudah duduk di kursi meja makan."Ini udah bukan jam makan siang lagi, Kak."Nesa menyunggingkan senyumnya. "Ini udah jam dua siang ya?"Nisa mengangguk. " Dan kamu baru mau makan?!" Nisa menggeleng-gelengkan kepalanya sambil kedua tangannya sibuk menuangkan nasi ju
"Mana pacar kamu, Nes?" Nesa menatap Seruni yang sedang memakan bakso malang yang memang adalah salah satu menu catering yang disediakan di acara pernikahan Risa.Perempuan yang ditanya itu menghela napasnya kasar sembari mengangkat bahunya acuh. "Nggak jadi dateng kali. Aku ke toilet dulu, ya," kata Nesa. Sebelum mendapat jawaban dari Seruni, dan Nadya, Nesa langsung berjalan menuju toilet."Sialan, harusnya dari awal emang ngga usah terlalu banyak berharap lebih sama cowok itu!" sungut Nesa menatap cermin dengan wajah yang terlihat sangat marah. Bian tidak datang. Mengabaikan perintah Nesa yang menyuruhnya untuk datang ke apartemennya jam tiga sore. Sekarang, jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam, acaranya juga beberapa menit lagi akan selesai, dan Bian sama sekali tidak tampak batang hidungnya sedikitpun. Saat jam sudah menunjukkan pukul tiga sore, dan Bian belum datang ke apartemennya, Nesa masih mencoba untuk berpikir positif, yakin jika Bian akan datang, mungkin lelaki itu
Nesa yang sedang meminum susu coklat di kursi bar langsung menengokkan wajahnya ketika mendengar suara pintu apartemennya dibuka. Melirik jarum jam yang menunjuk ke angka enam lebih lima belas menit, 'Siapa yang bertamu pagi-pagi begini?' pikir Nesa. Kakinya menyentuh lantai, melangkah keluar dari area dapur menuju ruang tengah."Selamat pagi.""Pa—pagi, Pak Edgar."Edgar—ya lelaki itu kini sudah berdiri di hadapan Nesa, dengan setelan jas rapih yang membungkus tubuh tegapnya."Ada apa?""Kamu sudah sarapan? Saya belum sempat sarapan di rumah," kata Edgar yang langsung mendudukkan bokongnya di sofa ruang tengah.Nesa mengangguk-anggukkan kepalanya. "Iya saya ambilkan sarapan, tapi hanya ada roti panggang, dan susu, Pak Edgar mau? Atau mau saya buatkan apa untuk sarapan?""Roti panggang dan segelas susu saja, walaupun saya menyuruh kamu untuk membuat sarapan yang lain pasti kamu akan sambil mengomel membuatnya."Nesa hanya tersenyum kecil, lalu berjalan kembali ke dapur. Mengambil beber