"Umur Edgar sudah berapa tahun?"
Mia menatap perempuan yang duduk disebrangnya."Tahun ini 35."Evi—perempuan yang tadi bertanya langsung menatap Mia dengan tampang terkejut. "Ah! Edgar dan Fajar tahun kelahirannya sama, ya?"Mia mengangguk."Kamu ngga mau apa gendong cucu, Mia? Fajar saja sudah menikah dan sudah punya anak, bahkan sudah mau punya anak ke-2. Edgar kerja terus tapi ngga nikah-nikah."Mia menghela napasnya lesu. "Aku sudah bilang sama Edgar, duh rasanya mulutku udah sampai berbusa, nggak kehitung lagi pokonya berapa kali aku nanya tentang ini sama Edgar, tapi Edgar—" Mia sampai tidak bisa berkata-kata lagi, kepalanya menggeleng-geleng, tidak tahu harus bagaimana dengan pembahasan menikah ini."Masa dia belum pernah bawa perempuan ke rumah?" tanya Wita ikut bertanya.Mia hanya menggeleng.Evi salah satu dari Tante Edgar meringis prihatin menatap adik iparnya. "Atau aku kenalkan sama salah satu putri temanku?""Percuma, Mbak. Udah aku coba kenalin perempuan sama dia, tapi Edgar selalu menolak dan mengatakan jika dia bisa mencarinya sendiri, tapi buktinya sampai sekarang dia belum pernah ngenalin perempuan sama aku.""Edgar sangat-sangat gila kerja sepertinya," timpal Wita terkekeh pelan."Aunty Anes!" teriakan beberapa bocah yang sedari tadi sibuk bermain membuat atensi semua orang yang ada di halaman itu menatap ke arah pintu. Terlihat dua orang yang sedang berjalan menuju ke halaman."Hallo!" Nesa melambaikan tangannya, sembari menampilkan senyum cerah menyambut empat bocah yang sudah berlari menghampirinya. Mia dan beberapa orang di sana terlihat menampilkan senyumnya melihat interaksi mereka."Nesa juga sepertinya gadis baik, apa Edgar tidak tertarik?" ujar Wita yang membuat perhatian Mia, Evi dan beberapa perempuan yang ada di sana menatap ke arahnya."Mam," sapa Edgar menghampiri Mia lalu mencium pipi kanannya."Hai, Ed. Mama kira kamu nggak bakal dateng," kata Mia mengusap lengan Edgar. "Kamu datang sama Nesa, juga?" lanjut Mia melirik Nesa yang sedang mengobrol heboh dengan bocah-bocah itu, terlihat Nesa sedang tertawa sambil memberikan sesuatu yang dibawanya kepada mereka."Saya mengajaknya tadi," jawab Edgar mengikuti arah pandang Mia."Memaksanya ikut?" tanya Mia menatap Edgar dengan alis terangkat satu, perempuan itu hapal betul bagaimana Edgar, putranya sering memaksakan kehendaknya sendiri."Tidak! Saya menawarinya ikut, dan dia menyetujuinya," kata Edgar membela diri.Mia mengabaikan ucapan putranya, beralih menatap Naya yang sudah berjalan ke arahnya. "Hai, Nes!"Nesa tersenyum lalu menyalami Mia dan semua perempuan yang ada di meja itu, menyapanya satu persatu. Sudah lama Nesa bekerja dengan Edgar, ia juga sudah hapal siapa-siapa saja keluarga besar Naratama. Bahkan keponakan-keponakan Edgar juga mengenalnya, terkbukti dari sambutan heboh yang bocah-bocah itu lakukan ketika melihat Nesa hadir di tengah-tengah acara keluarga besar Naratama, tadi.Acara arisan yang rutin diadakan setiap satu kali dalam sebulan. Tujuan utamanya agar keluarga Naratama masih bisa akrab dan saling bertemu walaupun di tengah kesibukannya masing-masing. Kebetulan memang kali ini, arisan itu diadakan di kediaman keluarga Rudi dan Mia—kedua orang tua Edgar.***"Saya ingin ke toilet," kata Edgar langsung membuka safety belt yang dipakainya lalu turun dari mobil.Nesa memicingkan matanya menatap Edgar yang sudah berada di luar mobil. "Argh! Apalagi yang ingin dia lakukan sih?!" gerutu Nesa, yang langsung turun dari mobil lalu menyusul bosnya."Sebenernya di lantai satu juga ada toilet, Pak," kata Nesa saat keduanya sudah berada di dalam lift.Mengabaikan ucapan Nesa, Edgar menekan tombol angka tujuh. Dimana unit apartemen Nesa berada. "Saya tidak boleh ke apartemenmu? Tidak tahu diri sekali padahal itu fasilitas dari saya," kata Edgar dingin.Nesa memejamkan matanya, menghembusakn napasnya pelan. "Bukan begitu maksud saya, Pak..."Ting!Pintu lift terbuka keduanya langsung keluar dan berjalan menuju unit apartemen milik Nesa. Baru saja Nesa merogoh tas mengambil cardlock untuk membuka pintu unit apartemennya, pintu berwarna putih itu sudah dibuka dari dalam. Baik Naya, maupun lelaki yang membuka pintu apartemen sama-sama terkejut beberapa detik, namun lelaki itu dengan cepat menampilkan cengirannya menatap Nesa. "Bu, Kak Anes baru pulang nih," teriaknya sambil menengok ke belakang."Kok nggak bilang mau ke sini?" tanya Nesa menatap Nizam—adiknya."Dih! Emang harus bilang dulu," cibir Nizam. Remaja lelaki itu melirik Edgar yang sedari tadi hanya diam, menganggukkan sedikit kepalanya, dan tersenyum hangat menyapa Edgar."Ibu udah nunggu Kakak tuh di dalem. Siapin kupingnya buat dengerin ceramahan Ibu!" Nizam menyunggingkan senyum menyebalkan, lalu berjalan keluar dari unit apartemen Nesa sambil memakai jaket denimnya."Mau ke mana, kamu?""Beli martabak, Ibu pengen martabak, lagi ngidam kali dia," ucap Nizam terkekeh pelan, kakinya tetap melangkah untuk menuju lift.Nesa menggeleng-gelengkan kepalanya melihat kelakukan adik bungsunya. Setelah itu Nesa menatap Edgar, lalu mengajaknya untuk masuk ke dalam.Menyapa dan Menjabat tangan Nisa—Ibu Nesa. "Ada acara keluarga di rumah saya, Nesa ikut, saya minta maaf karena pulang larut malam," kata Edgar.Nisa tersenyum lalu menampilkan senyum manis. "Tidak papa, Pak. Terima kasih sudah mengantarnya pulang. Atau memang masih ada kerjaan yang harus segera di selesaikan?""Nggak, Bu. Pak Edgar cuman mau numpang ke toilet aja," jawab Nesa cepat."Oh, silahkan kalau begitu," kata Nisa. Setelah dipersilahkan, Edgar langsung menuju ke toilet meninggalkan ibu dan anak itu berdua di ruang tengah.Karena cukup lama Nesa bekerja dengan Edgar, sepertinya tidak mungkin jika Ibu dan juga adik Nesa tidak mengenal bosnya. Walaupun tidak terlalu dekat, tapi beberapa kali mereka pernah bertemu walaupun hanya sekedar bertegur sapa."Dari jam berapa Ibu ke sini? Harusnya Ibu ngabarin aku dulu, tadi. Aku bisa pulang cepet," kata Nesa yang baru saja duduk di kursi bar, memperhatikan Ibunya yang sedang menuangkan air putih untuk Nesa."Sampai sini jam delapan, Kak. Ibu tahu kamu nggak mungkin keluyuran sampe larut malem gini kalau bukan karena kerjaan yang dikasih sama bosmu itu 'kan? Jadi, Ibu nggak ngehubungin kamu."Tepat sekali. Siapa lagi kalau bukan Edgar yang membuat Nesa harus pulang sampai larut malam begini. Edgar menyuruh Nesa untuk ikut hadir di acara keluarganya, sebenarnya perintah Edgar memang harus dan wajib dituruti, Nesa sudah menolaknya tadi, tapi tetap saja lelaki itu mana mau perintahnya tidak dituruti. Nesa memang senang bisa bertemu dengan keponakan Edgar yang lucu-lucu, tapi kan disisi lain Nesa juga butuh istirahat, apalagi itukan acara keluarga Naratama, Nesa bukan bagian dari keluarga itu, dan tentu saja ada rasa canggung ketika bergabung dengan mereka."Di minum dulu, Pak Edgar," ujar Nisa yang mendapati Edgar baru keluar dari toilet."Terima kasih," balas Edgar lalu ikut duduk di kursi bar, di samping Nesa.Setelah menghabiskan minuman yang disiapkan oleh Nisa, Edgar langsung pamit untuk pulang. Nesa sangat-sangat bersyukur Edgar langsung pulang setelahnya. Kalau hanya ingin ketoilet sebenarnya di lantai satu juga memang disediakan, daripada repot-repot harus naik lift dan ke unit apartemen Nesa 'kan? Huh!"Kak, duduk sini!" titah Nisa menepuk sofa kosong disebelahnya."Aku mandi dulu ya, Bu, sebentar kok! Gerah tahu...," ucap Nesa tersenyum canggung."Ibu cuman mau ngobrol sebentar, Kak."Nesa mengalah, dengan langkah pelan ia duduk di samping Nisa dengan wajah yang ditekuk. Ah! Nesa tahu apa yang akan dibicarakan oleh Ibunya. Duduk, kepala menunduk memperhatikan jari jemarinya yang sedang dimainkan random."Kamu mau apa?"Nesa mengedipkan matanya, perlahan mendongak menatap Ibunya yang juga sedang menatapnya. "Mau apa?" tanya Nesa bingung. Sepertinya ia salah karena mengira topik pembicaraan ini tentang "pernikan"Nisa menganggguk pelan. "Ada impian yang belum kamu wujudkan? Atau apa yang ingin kamu lakukan, yang mungkin sampai sekarang belum kamu lakukan?"Nesa menggeleng pelan. "Nggak ada, Bu. Aku cuman mau lihat Ibu sama Nizam seneng, aja," kata Nesa pelan.Nisa tersenyum tulus, lalu mengelus sayang rambut putrinya. "Terima kasih, kami sudah senang, kami sudah sangat bahagia,Kak. Terima kasih ya, sudah berjuang sampai sejauh ini...." Nisa membawa Nesa ke dalam pelukannya.Nesa memanyunkan bibirnya, air matanya sudah lolos begitu saja mendengar perkataan Ibunya. "Ibu... jangan bilang gitu... Aku jadi sedih, tahu," rengek Nesa yang sudah menangis sampai sesenggukan."Putri Ibu..." bisik Nisa sayang semakin mempererat pelukannya, mustahil jika perempuan paruh baya itu juga tidak meneteskan air matanya."Sudah, ah! Nanti pagi-pagi, matanya bengkak karena nangis," kata Nesa yang mencoba mati-matian untuk menghentikan tangisannya. Nisa dibuat terkekeh dengan ucapan putrinya itu, melepaskan pelukannya, mengusap jejak air mata yang ada di pipi Nesa lalu mengecup kedua pipinya lembut."Senang dengan pekerjaanmu?" tanya Nisa tiba-tiba yang membuat Nesa kembali menatap manik mata Ibunya."Aku kerja kan buat Ibu sama Nizam, mau nggak mau, seneng nggak seneng, ya harus dibuat seneng."Nisa tersenyum kecil. "Sudah hampir mau tujuh tahun ya?" tanya Nisa yang mendapat anggukkan dari putrinya. "Kita sudah punya rumah makan, walaupun nggak besar tapi cukup untuk kebutuhan kita sehari-hari, malah bisa dibilang lebih. Ibu yakin tabungan kamu juga sudah cukup, Nizam sebentar lagi juga wisuda. Semuanya sudah cukup 'kan? Kakak nggak mau resign aja?"Nesa terkejut tentu saja. Menelan ludahnya kasar, lalu menghembuskan napasnya perlahan. Mulutnya sudah terbuka untuk menjawab pertanyaan Ibunya, namun lidahnya terasa kelu, tidak tahu juga akan menjawab pertanyaan Ibunya bagaimana."Kakak nggak mau resign?" Nisa menjeda beberapa detik supaya Nesa bisa menjawab pertanyaanya, namun, merasa Nesa belum mau menjawab pertanyaannya, Nisa kembali berbicara, "Kalau mau jadi wanita karier, ibu ngijinin, tapi tidak bekerja di perusahaan kamu yang sekarang. Memang penghasilannya bukan main, fasilitasnya juga. Tapi, pekerjaannya terlalu berat, Kak. Lihat Kakak, baru pulang jam segini, nanti besok harus datang pagi-pagi. Memang itu tuntutan pekerjaan, tapi... sekarang cari pekerjaan yang kamu juga bisa menikmati hidup gituloh. Kerja terus juga nggak baik, Kak.""Atau perlu resign saja, tidak perlu bekerja, duduk di rumah. Dan fokus cari calon."Nah! Pembahasan ini ujung-ujungnya juga berakhir seperti ini."Umur kamu sudah mau 29 Kak, nggak mau nikah memang?""Bu...." Nesa merengut tidak suka jika Nisa membahas tentang masalah ini."Ibu nggak akan selamanya ada di samping kamu, Kak. Adek juga nanti bakalan nikah, punya keluarga sendiri. Kamu gimana nanti? Ibu takut nggak ada yang nemenin kamu di hari tua nanti. Mau hidup sendirian terus memangnya?"Nesa mengalihkan pandangannya, enggan menatap Nisa. Tidak ada yang salah memang apa yang dikatakan oleh Ibunya. Tapi... Nesa saja bingung bagaimana rencana kehidupannya kedepan nanti."Kamu, takut menikah?"Nesa menggeleng cepat. Tidak! Dia tidak takut menikah, walaupun Ayahnya sudah meninggalkannya, Ibu, dan adiknya, hal itu tidak membuat Nesa benci dengan sosok lelaki. Nesa percaya dan yakin, jika masih ada banyak laki-laki yang mempunyai sifat tulus dan baik di luaran sana. Nesa akan menikah dengan lelaki seperti itu, yang akan selalu memberikan banyak cinta dan perhatian penuh kepada dirinya nanti."Aku butuh waktu untuk mencari lelaki baik, Bu...."Nisa mengangguk mengerti. "Maka dari itu, Ibu menyuruh kamu untuk resign dari pekerjaan kamu yang sekarang. Biar kamu bisa fokus sama masa depan kamu. Cari laki-laki baik, lalu menikahlah dengan dia. Uang memang segalanya, tapi lelaki tulus dan baik itu adalah point yang paling penting."Nesa mengangguk pelan. "Akan aku pikirkan, lagi...."***"Perfect!" sekali lagi ucapan itu keluar dari mulut lelaki kemayu yang baru saja selesai memoles wajah Nesa dengan make-up yang membuat penampilan Nesa terlihat lebih cantik."Thankyou, Bep," ucap Nesa menampilkan senyumnya."Iya Bep! Cakep kan make-upnya? Bisa dibacok gue sama Pak Bos kalau make-upnya cacat."Nesa kembali menatap penampilannya di cermin, lalu mengangguk pelan. "Udah oke kok, tenang aja!""Lo tahu nggak, kalau make-up lo Pak Bos suka nih, bisa dibayar dua kali lipet gue, cucok 'kan?" Lelaki itu menampilkan cengiran khasnya menatap Nesa melalui pantulan cermin."Iya! Tahu gue... kalau make-up gue jelek udah pasti bikin malu Pak Bos di acara nikahan sahabatnya."Bukan hal baru memang, jika ada sebuah acara penting yang mengharuskan Nesa memoles wajahnya dengan make-up, maka Edgar akan menghadirkan MUA. Nesa tahu alasan mengapa harus memakai jasa MUA walaupun sebenarnya Nesa bisa memakai make-up sendiri, tentu saja agar Nesa tidak terlihat memalukan jika bersanding dengan
"Kamu sudah cukup lama menjadi sekretaris Edgar. Kamu pasti mengetahui banyak tentang kehidupan anak saya, apa kamu tahu tentang urusan percintaannya—maksudnya, apa kamu tahu Edgar sedang menjalin hubungan dengan seorang perempuan?" Mia menatap Nesa dengan tatapan penuh harap.Nesa menggeleng sebagai jawaban. Walaupun ia sudah cukup lama menjadi sekretaris Edgar, tapi ia tidak pernah tahu urusan percintaan bosnya. "Maaf, tapi saya tidak mengetahui urusan percintaan Pak Edgar, sepertrinya itu juga terlalu privacy.""Kamu tidak tahu ya... baiklah." Mia menjeda ucapannya beberapa detik, lalu kembali menatap Nesa. "Tapi, apa kamu pernah melihat Edgar tertarik dengan seorang perempuan, maksudnya pergi berkencan, atau menyuruh kamu untuk mencari tahu kehidupan salah seorang perempuan karena Edgar tertarik kepada perempuan itu?" Mia kembali melanjutkan pertanyaannya.Lagi-lagi Nesa menggeleng. Edgar tidak pernah membahas tentang perempuan kepadanya.Melihat Nesa menggeleng, membuat Mia mendad
Kedua bola matanya membola sempura, jantungnya berhenti berdetak untuk beberapa detik, jika saja tidak ada pintu di sampingnya, mungkin Nesa akan duduk terjatuh saking ia merasakan lemas di kakinya."Bu Nesa, selamat pagi," sapa Sandi yang baru menyadari kehadiran Nesa. Lelaki itu langsung berdiri dari duduknya dengan wajah yang sedikit terkejut karena kehadiran Nesa, namun dia berhasil menyembunyikan wajah terkejutnya dengan menampilkan sebuah senyuman. Karena sapaan Sandi, Edgar, lelaki yang sedang duduk di sun lounger ikut menatap Nesa."Pa—pagi... " Nesa merutuki dirinya sendiri karena suaranya terdengar sangat gugup. Ia berdehem, lalu tersenyum. "Pagi, Pak," ulang Nesa."Saya tunggu di luar kalau begitu." Sandi membungkukkan sedikit kepalanya untuk berpamitan, lalu dia berjalan meninggalkan area kolam renang, meninggalkan Edgar dan Nesa yang masih berdiri mematung di dekat sliding door.Edgar bangun dari duduknya, membenarkan lilitan handuk dipinggangnya lalu mengambil segelas min
Nesa mengangguk-anggukkan kepalanya sambil terkekeh pelan, lambat laun suara kekehan itu menjadi tawa cukup kencang, dan beberapa detik setelahnya bibirnya cemberut dan meraung frustasi. Perempuan itu mengacak-acak rambutnya dengan kesal, beberapa orang yang melihat keadaan Nesa meringis ngeri, mungkin saja mereka mengira Nesa adalah orang gila.Nesa sedang berada di jalanan trotoar hendak menuju ke unit apartemennya. Baiklah, kita ceritakan bagaimana awal mulanya Nesa pulang dengan keadaan jalan kaki seperti ini. Tadi, setelah semua pekerjaannya selesai Nesa bersiap akan pulang. Edgar awalnya mengajak Nesa untuk pulang bersama, namun tentu saja Nesa menolaknya, bahkan karena saking buru-burunya ingin pulang dan menghindari bosnya, Nesa sampai lupa membawa dompet. Nesa diturunkan oleh supir taxi karena Nesa mengaku jika dompetnya tertinggal di meja kerjanya, yang lebih parah adalah, baterai handphone Nesa habis, handphonenya mati total.Pikirannya sedang kacau karena bosnya, ditambah
"Jangan bikin orang mabok kesel! Nanti lo tahu sendiri akibatnya!" Benar, tadi setelah Nesa mengeluarkan kata umpatan, ketiga lelaki yang sedang dalam kondisi mabuk itu terlihat jelas perbedaan raut wajahnya. Terlihat lebih menakutkan. "Iya, makasih sudah nolongin aku dari mereka," kata Nesa walaupun dengan nada yang terdengar seperti tidak sungguh-sungguh berterima kasih. "Sana balik!" usirnya. Lelaki itu segera duduk di kursi kayu panjang lalu mengeluarkan pemantik rokok dari saku celananya, asap mengepul ke udara ketika lelaki itu selesai menghisap rokoknya. "Makasih ya Bu, saya pamit," kata Nesa tersenyum menatap Ibu penjaga warung. "Sama-sama, Neng." Perempuan paruh baya itu membalas senyuman Nesa. "Bian, anterin dulu atuh si Neng, sampe ke apartemennya," lanjut Tati—Ibu penjaga warung yang kini sudah beralih menatap lelaki yang sedang merokok di depannya. Bian—lelaki itu menatap Nesa dengan tatapan dingin. "Dari sini lo tinggal lurus aja, nanti keliatan tuh jalan gede, lo t
Kedua matanya perlahan mengerjap, kembali menajamkan pendengarannya karena mendengar suara bel pintu apartemennya berbunyi. Nesa perlahan menyibakkan selimut yang menutupi tubuhnya, keningnya mengeryit ketika melihat pakaian yang dipakainya—baju kerjanya kemarin masih melekat di tubuhnya. Nesa menginjakkan kakinya ke lantai sambil meregangkan otot-ototnya, mulutnya menguap lebar sampai kedua matanya terpejam. Perempuan itu terdiam beberapa detik saat matanya melihat sepasang sendal jepit berwarna hitam yang dipakainya semalam. Ting! Suara bel itu kembali menyadarkan Nesa, perempuan itu langsung berjalan keluar dari kamar. "Jam tujuh? Yang benar saja?!" Kedua mata Nesa membola sempurna ketika melihat jam dinding yang menggantung di ruang tengah. "Sial! Aku kesiangan!" Ting! Lagi, bunyi bel itu mengalihkan perhatian Nesa. Ia langsung berjalan menuju pintu tentu saja sambil mendumel karena orang di luar terus memencet bel dengan tidak sabaran. "Tidak bisakkah sabar sedikit...." Nesa
"Kak, bangun! Makan dulu, " Perempuan paruh baya itu membuka gorden yang masih menutupi jendela kamar putrinya, padahal jam sudah menunjukkan pukul dua siang, namun anak itu masih bergelung dengan selimutnya.Nesa membuka matanya perlahan, menatap Ibunya sambil menampilkan senyum. "Aku seneng bisa tidur sampai jam segini, Bu," lirihnya.Nisa mengangguk-anggukkan kepalanya sembari berjalan menghampiri putrinya. "Iya, makan dulu. Habis itu boleh deh kalau Kakak mau tidur lagi."Nesa terkekeh, lalu menyibakkan selimutnya, menjulurkan tangan kanannya untuk menggenggam tangan Nisa, mereka berdua akhirnya berjalan beriringan keluar dari kamar bernuansa mint itu. "Rumah makan emangnya nggak lagi rame, Bu?" tanya Nesa saat keduanya sudah duduk di kursi meja makan."Ini udah bukan jam makan siang lagi, Kak."Nesa menyunggingkan senyumnya. "Ini udah jam dua siang ya?"Nisa mengangguk. " Dan kamu baru mau makan?!" Nisa menggeleng-gelengkan kepalanya sambil kedua tangannya sibuk menuangkan nasi ju
"Mana pacar kamu, Nes?" Nesa menatap Seruni yang sedang memakan bakso malang yang memang adalah salah satu menu catering yang disediakan di acara pernikahan Risa.Perempuan yang ditanya itu menghela napasnya kasar sembari mengangkat bahunya acuh. "Nggak jadi dateng kali. Aku ke toilet dulu, ya," kata Nesa. Sebelum mendapat jawaban dari Seruni, dan Nadya, Nesa langsung berjalan menuju toilet."Sialan, harusnya dari awal emang ngga usah terlalu banyak berharap lebih sama cowok itu!" sungut Nesa menatap cermin dengan wajah yang terlihat sangat marah. Bian tidak datang. Mengabaikan perintah Nesa yang menyuruhnya untuk datang ke apartemennya jam tiga sore. Sekarang, jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam, acaranya juga beberapa menit lagi akan selesai, dan Bian sama sekali tidak tampak batang hidungnya sedikitpun. Saat jam sudah menunjukkan pukul tiga sore, dan Bian belum datang ke apartemennya, Nesa masih mencoba untuk berpikir positif, yakin jika Bian akan datang, mungkin lelaki itu