Nesa menampilkan senyumnya. Agus—security yang hari ini sedang bertugas di depan lift, menyimpan benda pipih persegi atau cardlock pada kotak sensor untuk membuka pintu lift. Tidak lama pintu lift terbuka, Edgar masuk terlebih dahulu, lalu setelahnya baru Nesa.
“Makasih Pak Agus,” ucap Nesa, tidak bersuara namun gerak bibirnya terbaca oleh Agus. Security itu hanya mengangguk lalu tersenyum, hingga pintu lift tertutup kembali dan bergerak naik ke atas.Tidak ada yang salah dari heals hitam yang dipakainya, hanya saja situasinya yang sangat hening di dalam lift ini membuat Nesa bingung harus menatap ke arah mana dan memutuskan untuk menatap sepasang healsnya saja.“Dina tidak menghubungimu?”Nesa mendongakkan kepalanya, lalu ia menatap ke arah Edgar. “Tidak Pak, kenapa memang?” tanya Nesa, ia bingung, kenapa pertanyaannya sama seperti kemarin? Kenapa Dina—calon istri Doni harus menghubunginya? Maksudanya untuk apa?Lagi dan lagi Edgar hanya diam, hingga pintu lift terbuka, lalu dia keluar dari lift disusul oleh Nesa yang masih memasang wajah bertanya.“Langsung masuk ke ruangan saya!” titah Edgar, tanpa menoleh ke arah Nesa, dia langsung membuka pintu dan masuk ke dalam ruangannya.Nesa menyimpan tas di mejanya, lalu mengambil Ipad dan masuk ke dalam menyusul bosnya. Baru beberapa langkah saat ia memasuki ruangan, Nesa melihat Edgar sudah duduk di sofa dengan seorang perempuan yan berada di depannya.“Selamat pagi Bu Mia,” sapa Nesa menampilkan senyum manisnya.“Selamat pagi, tidak usah bicara formal, Nes. Ayo sini duduk!” titah perempuan itu menepuk-nepuk pelan sofa yang tepat berada di sampingnya, dengan maksud menyuruh Nesa untuk duduk di sampingnya. Nesa mengangguk lalu berjalan dan duduk di samping Mia.“Apa kabar? Sudah lama ya kita ngga ketemu,” ucap Mia sambil menyentuh tangan Nesa yang ada di pangkuannya.“Saya sehat, Bu Mia apa kabar? Kurang lebih satu bulan yang lalu kita terakhir bertemu.”“Ya betul itu, kita bertemu di acara pernikahan anaknya Pak Atmojo bukan?”Nesa menganggukkan kepalanya sambil terkekeh kecil.“Ekhem!”Suara deheman Edgar, membuat Nesa dan Mia langsung menatap ke arah lelaki itu. Sepertinya Edgar merasa diabaikan oleh mereka.“Mau saya buatkan teh?” tawar Nesa kepada Mia.“Tidak usah, saya sengaja mampir sebentar ke kantor untuk menemui bosmu. Sudah lama dia tidak datang ke rumah untuk mengunjungi Mamanya,” ucap Mia menatap Nesa, namun tentu saja ucapannya bertujuan untuk menyindir Edgar—anak sulungnya.“Saya sibuk Mam,” jawab Edgar.Terdengar helaan napas panjang sebelum akhirnya Mia kembali menjawab pernyataan anaknya. “Selalu seperti itu, papa dan kamu sama saja. Sibuk sama kerjaan terus. Coba kamu nikah Bang, nanti istrimu Mama boyong suruh tinggal di rumah Mama, jangan di rumah kamu.”Nesa menatap ke arah bosnya, dia ingin melihat jawaban apa yang akan bosnya katakan. Namun hanya gelengan kepala dari bosnya. ‘Heran, sama Mamanya juga sangat-sangat irit bicara.’ Nesa membatin.“Teman Mama, mau ngenalin perem—““Mam, saya bisa cari sendiri,” ucap Edgar memotong cepat ucapan Mia.“Kamu saja sibuk sama pekerjaan kamu, gimana caranya bisa cari sendiri?”Perdebatan mereka berlanjut. Nesa hanya diam membisu menatap percakapan anak dan ibu itu, seharusnya Nesa tidak di sini bukan? Ia duduk dengan tidak nyaman di samping Mia. Sekitar lima belas menit keduanya berdebat, hingga akhirnya Mia harus menghentikan ocehannya karena beliau sudah ada janji dengan teman arisannya. Mia sengaja menemui Edgar di kantor. Semenjak Edgar mempunyai rumah sendiri dia sudah jarang sekali menemuinya, mungkin satu kali dalam sebulan atau dua bulan Edgar menemuinya itupun hanya sebentar tidak sampai menginap. Mengunjungi Edgar di kantor adalah satu-satunya cara untuk bisa menemui anaknya.Sebelum pergi, Mia memberi tahu jika lusa akan ada acara keluarga di rumahnya. Mia menyuruh Edgar untuk datang. Sebenarnya Nesa di suruh ikut datang, namun Nesa tidak mengiyakan maupun menolak ajakannya. ‘Toh aku bukan bagian dari keluarga Naratama, untuk apa ikut bergabung?’ pikir Nesa.“Hari ini tidak ada jadwal meeting?”Nesa menggeleng lalu menjawab, “Tidak, sepertinya besok lusa hingga hari berikutnya schedule Pak Edgar akan full, sampai hari peresmian.” Tangannya sembari membantu Edgar melepas jas yang dipakainya.“Baiklah, selesaikan pekerjaan kamu dengan cepat. Setelah pekerjaanmu selesai, kita akan pergi.”Nesa mengernyit bingung, pergi ke mana yang Edgar maksud? Setahunya tidak ada pekerjaan hari ini yang harus berpergian, ataupun pekerjaan yang mengharuskan pergi ke luar kantor. Namun, dia hanya mengangguk menjawab pernyataan bosnya.“Mau saya buatkan chamomile tea?”Edgar hanya mengangguk, lalu dia duduk di kursi kebesarannya. Setelahnya Nesa keluar dari ruangan bosnya dan berjalan menuju kitchen room. Tidak ada siapaun selain Nesa dan Edgar yang menempati lantai ini. Memang terbagi dengan beberapa ruangan, ada kitchen room, ruang meeting, toilet dan juga living room.Nesa membuatkan chamomile tea, teh yang sangat disukai oleh Edgar. Tujuh tahun bekerja dengan Edgar membuat Nesa mengetahui semua kebiasaannya, makanan favoritnya dan semua hal yang Edgar sukai. Tapi sepertinya itu hal yang harus setiap sekretaris sekaligus asisten pribadi tahu tentang atasannya bukan? Walaupun tidak wajib pasti hal itu akan terjadi dengan sendirinya.***Nesa memamerkan senyumnya kepada para karyawan yang berpapasan dengannya, mereka juga menyapa. Sebenarnya menyapa wakil direktur lebih tepatnya, walaupun Edgar tidak akan membalas sapaan mereka, bahkan untuk tersenyum pun tidak. Hal itu sudah biasa. Nesa yakin, sebenarnya mereka malas untuk menyapa Edgar, hanya saja mereka harus menghormatinya karena dia adalah wakil direktur.Sebuah mobil porche hitam berhenti tepat di depan pelataran gedung kantor, seorang lelaki turun dari mobil itu lalu berjalan menghampiri Nesa hendak memberikan kunci mobil kepadanya.“Biar saya yang menyetir,” ucap Edgar mengambil kunci mobil yang sudah berada di tangan Nesa.“Bagaimana kalau Pak Sandi yang menyetir?” tawar Nesa. Sandi adalah salah satu karyawan kantor yang juga bertugas menjadi supir Edgar, walaupun tidak selalu karena Nesa yang lebih sering menyetir. Walaupun begitu, lelaki bernama Sandi itu cukup dekat dengan Edgar. Informasi sedikit dari yang pernah Nesa tahu jika keduanya sudah berteman sedari kecil.“Baik, biar saya yang menyetir Pak,” ucap Sandi.Edgar mengabaikan ucapan Sandi, dan langsung berjalan untuk masuk ke dalam mobil. Nesa menatap Sandi lalu dia menampilkan senyumnya sebelum ikut masuk juga ke dalam mobil.Sesuai apa yang Edgar katakan pagi tadi, setelah Nesa mengerjakan pekerjaannya hari ini mereka akan pergi. Nesa tidak diberi tahu mereka akan peri ke mana. ‘Suka-suka bosnya saja lah.’ Pikir Nesa.Mobil melaju membelah jalanan kota, seperti biasa hanya ada keheningan di dalam mobil. Nesa bukan orang pendiam, hanya saja lelaki yang berada di kursi kemudi itu yang membuatnya terdiam. Tidak mungkin ‘kan Nesa tertawa dan berbicara sendirian? Bisa-bisa bosnya yang menyebalkan itu menyebutnya gila.Hampir dua puluh menit mobil melaju, dan sekarang mobil yang di kendarai oleh Edgar berhenti tepat di depan sebuah bangunan tiga lantai, aksara bertuliskan ‘FASHIONQUEEN’ terlihat di bagian depan butik. Nesa mengernyit bingung, kenapa Edgar membawanya ke butik?“Turun!” titah Edgar yang melihat Nesa masih duduk di kursi dengan wajah bingungnya.“Ah! Iya.” Nesa membuka safety belt lalu turun dari mobil, berjalan mengikuti langkah bosnya. Beberapa karyawan langsung berjejer di pintu masuk, menyapa Edar juga Nesa. Mereka berdua dituntun oleh salah satu karyawan untuk memasuki sebuah lift.Lift berhenti di lantai tiga, mereka langsung keluar dari lift lalu dipersilahkan untuk duduk di sebuah sofa.“Mau saya buatkan minuman?” tawar salah satu karyawan.“Pak Edgar mau minum apa?” tanya Nesa, menatap bosnya yang duduk tepat di sampingnya.“Apapun terserah kamu.”Nesa mengangguk, lalu menatap ke arah karyawan itu dengan tersenyum lalu berkata, “Hot chocholatte saja kalau begitu.”“Baik, nanti saya buatkan, “ ucapnya sembari membalas senyuman Nesa. “Bu Arin sedang keluar sebentar, sekarang sedang dalam perjalanan ke sini. Mohon di tunggu sebentar,” lanjutnya.“Iya, tidak papa.”Setelah menungu beberapa menit akhirnya pemilik butik datang. Arin mengucapkan permohonan maafnya karena membuat Edgar dan Naya menunggu. Tanpa berbasa-basi, Arin langsung menyuruh beberapa karyawannya untuk memperlihatkan beberapa dress, dan tuxedo koleksi butiknya.Nesa mengerti sekarang, kenapa Edgar membawanya ke butik—beberapa hari lagi, Dina dan Doni akan menikah tentu saja keduanya akan datang ke acara pernikahan mereka. "Dress yang waktu itu saya pakai di acara pernikahan putrinya Pak Atmojo juga masih bagus, Pak. Jadi saya tidak perlu membeli lagi," kata Naya menatap Edgar sambil tersenyum.Edgar yang sedang menatap beberapa tuxedo yang dibawakan oleh beberapa karyawan butik, mengalihkan pendangannya menatap Nesa sekilas. "Siapa yang ingin membelikan kamu dress? Saya membeli dress untuk Gia, Gia tidak bisa datang, jadi saya mengajak kamu untuk mencoba dressnya, ukuran tubuh kamu dan Gia sepertinya tidak beda jauh."Oke. Nesa sangat malu sekarang. Ia kelihatan percaya diri sekali, beberapa karyawan butik pasti menahan dirinya untuk tidak tertawa mendengar perkataan Edgar, walaupun tidak dengan terang-tengan tapi Nesa bisa melihatnya. Ah! Menyebalkan. Nesa menampilkan senyum yang sudah pasti dipaksakan sambil mengangguk pelan.***"Umur Edgar sudah berapa tahun?"Mia menatap perempuan yang duduk disebrangnya."Tahun ini 35."Evi—perempuan yang tadi bertanya langsung menatap Mia dengan tampang terkejut. "Ah! Edgar dan Fajar tahun kelahirannya sama, ya?"Mia mengangguk."Kamu ngga mau apa gendong cucu, Mia? Fajar saja sudah menikah dan sudah punya anak, bahkan sudah mau punya anak ke-2. Edgar kerja terus tapi ngga nikah-nikah."Mia menghela napasnya lesu. "Aku sudah bilang sama Edgar, duh rasanya mulutku udah sampai berbusa, nggak kehitung lagi pokonya berapa kali aku nanya tentang ini sama Edgar, tapi Edgar—" Mia sampai tidak bisa berkata-kata lagi, kepalanya menggeleng-geleng, tidak tahu harus bagaimana dengan pembahasan menikah ini."Masa dia belum pernah bawa perempuan ke rumah?" tanya Wita ikut bertanya.Mia hanya menggeleng.Evi salah satu dari Tante Edgar meringis prihatin menatap adik iparnya. "Atau aku kenalkan sama salah satu putri temanku?""Percuma, Mbak. Udah aku coba kenalin perempuan sama dia, tapi
"Perfect!" sekali lagi ucapan itu keluar dari mulut lelaki kemayu yang baru saja selesai memoles wajah Nesa dengan make-up yang membuat penampilan Nesa terlihat lebih cantik."Thankyou, Bep," ucap Nesa menampilkan senyumnya."Iya Bep! Cakep kan make-upnya? Bisa dibacok gue sama Pak Bos kalau make-upnya cacat."Nesa kembali menatap penampilannya di cermin, lalu mengangguk pelan. "Udah oke kok, tenang aja!""Lo tahu nggak, kalau make-up lo Pak Bos suka nih, bisa dibayar dua kali lipet gue, cucok 'kan?" Lelaki itu menampilkan cengiran khasnya menatap Nesa melalui pantulan cermin."Iya! Tahu gue... kalau make-up gue jelek udah pasti bikin malu Pak Bos di acara nikahan sahabatnya."Bukan hal baru memang, jika ada sebuah acara penting yang mengharuskan Nesa memoles wajahnya dengan make-up, maka Edgar akan menghadirkan MUA. Nesa tahu alasan mengapa harus memakai jasa MUA walaupun sebenarnya Nesa bisa memakai make-up sendiri, tentu saja agar Nesa tidak terlihat memalukan jika bersanding dengan
"Kamu sudah cukup lama menjadi sekretaris Edgar. Kamu pasti mengetahui banyak tentang kehidupan anak saya, apa kamu tahu tentang urusan percintaannya—maksudnya, apa kamu tahu Edgar sedang menjalin hubungan dengan seorang perempuan?" Mia menatap Nesa dengan tatapan penuh harap.Nesa menggeleng sebagai jawaban. Walaupun ia sudah cukup lama menjadi sekretaris Edgar, tapi ia tidak pernah tahu urusan percintaan bosnya. "Maaf, tapi saya tidak mengetahui urusan percintaan Pak Edgar, sepertrinya itu juga terlalu privacy.""Kamu tidak tahu ya... baiklah." Mia menjeda ucapannya beberapa detik, lalu kembali menatap Nesa. "Tapi, apa kamu pernah melihat Edgar tertarik dengan seorang perempuan, maksudnya pergi berkencan, atau menyuruh kamu untuk mencari tahu kehidupan salah seorang perempuan karena Edgar tertarik kepada perempuan itu?" Mia kembali melanjutkan pertanyaannya.Lagi-lagi Nesa menggeleng. Edgar tidak pernah membahas tentang perempuan kepadanya.Melihat Nesa menggeleng, membuat Mia mendad
Kedua bola matanya membola sempura, jantungnya berhenti berdetak untuk beberapa detik, jika saja tidak ada pintu di sampingnya, mungkin Nesa akan duduk terjatuh saking ia merasakan lemas di kakinya."Bu Nesa, selamat pagi," sapa Sandi yang baru menyadari kehadiran Nesa. Lelaki itu langsung berdiri dari duduknya dengan wajah yang sedikit terkejut karena kehadiran Nesa, namun dia berhasil menyembunyikan wajah terkejutnya dengan menampilkan sebuah senyuman. Karena sapaan Sandi, Edgar, lelaki yang sedang duduk di sun lounger ikut menatap Nesa."Pa—pagi... " Nesa merutuki dirinya sendiri karena suaranya terdengar sangat gugup. Ia berdehem, lalu tersenyum. "Pagi, Pak," ulang Nesa."Saya tunggu di luar kalau begitu." Sandi membungkukkan sedikit kepalanya untuk berpamitan, lalu dia berjalan meninggalkan area kolam renang, meninggalkan Edgar dan Nesa yang masih berdiri mematung di dekat sliding door.Edgar bangun dari duduknya, membenarkan lilitan handuk dipinggangnya lalu mengambil segelas min
Nesa mengangguk-anggukkan kepalanya sambil terkekeh pelan, lambat laun suara kekehan itu menjadi tawa cukup kencang, dan beberapa detik setelahnya bibirnya cemberut dan meraung frustasi. Perempuan itu mengacak-acak rambutnya dengan kesal, beberapa orang yang melihat keadaan Nesa meringis ngeri, mungkin saja mereka mengira Nesa adalah orang gila.Nesa sedang berada di jalanan trotoar hendak menuju ke unit apartemennya. Baiklah, kita ceritakan bagaimana awal mulanya Nesa pulang dengan keadaan jalan kaki seperti ini. Tadi, setelah semua pekerjaannya selesai Nesa bersiap akan pulang. Edgar awalnya mengajak Nesa untuk pulang bersama, namun tentu saja Nesa menolaknya, bahkan karena saking buru-burunya ingin pulang dan menghindari bosnya, Nesa sampai lupa membawa dompet. Nesa diturunkan oleh supir taxi karena Nesa mengaku jika dompetnya tertinggal di meja kerjanya, yang lebih parah adalah, baterai handphone Nesa habis, handphonenya mati total.Pikirannya sedang kacau karena bosnya, ditambah
"Jangan bikin orang mabok kesel! Nanti lo tahu sendiri akibatnya!" Benar, tadi setelah Nesa mengeluarkan kata umpatan, ketiga lelaki yang sedang dalam kondisi mabuk itu terlihat jelas perbedaan raut wajahnya. Terlihat lebih menakutkan. "Iya, makasih sudah nolongin aku dari mereka," kata Nesa walaupun dengan nada yang terdengar seperti tidak sungguh-sungguh berterima kasih. "Sana balik!" usirnya. Lelaki itu segera duduk di kursi kayu panjang lalu mengeluarkan pemantik rokok dari saku celananya, asap mengepul ke udara ketika lelaki itu selesai menghisap rokoknya. "Makasih ya Bu, saya pamit," kata Nesa tersenyum menatap Ibu penjaga warung. "Sama-sama, Neng." Perempuan paruh baya itu membalas senyuman Nesa. "Bian, anterin dulu atuh si Neng, sampe ke apartemennya," lanjut Tati—Ibu penjaga warung yang kini sudah beralih menatap lelaki yang sedang merokok di depannya. Bian—lelaki itu menatap Nesa dengan tatapan dingin. "Dari sini lo tinggal lurus aja, nanti keliatan tuh jalan gede, lo t
Kedua matanya perlahan mengerjap, kembali menajamkan pendengarannya karena mendengar suara bel pintu apartemennya berbunyi. Nesa perlahan menyibakkan selimut yang menutupi tubuhnya, keningnya mengeryit ketika melihat pakaian yang dipakainya—baju kerjanya kemarin masih melekat di tubuhnya. Nesa menginjakkan kakinya ke lantai sambil meregangkan otot-ototnya, mulutnya menguap lebar sampai kedua matanya terpejam. Perempuan itu terdiam beberapa detik saat matanya melihat sepasang sendal jepit berwarna hitam yang dipakainya semalam. Ting! Suara bel itu kembali menyadarkan Nesa, perempuan itu langsung berjalan keluar dari kamar. "Jam tujuh? Yang benar saja?!" Kedua mata Nesa membola sempurna ketika melihat jam dinding yang menggantung di ruang tengah. "Sial! Aku kesiangan!" Ting! Lagi, bunyi bel itu mengalihkan perhatian Nesa. Ia langsung berjalan menuju pintu tentu saja sambil mendumel karena orang di luar terus memencet bel dengan tidak sabaran. "Tidak bisakkah sabar sedikit...." Nesa
"Kak, bangun! Makan dulu, " Perempuan paruh baya itu membuka gorden yang masih menutupi jendela kamar putrinya, padahal jam sudah menunjukkan pukul dua siang, namun anak itu masih bergelung dengan selimutnya.Nesa membuka matanya perlahan, menatap Ibunya sambil menampilkan senyum. "Aku seneng bisa tidur sampai jam segini, Bu," lirihnya.Nisa mengangguk-anggukkan kepalanya sembari berjalan menghampiri putrinya. "Iya, makan dulu. Habis itu boleh deh kalau Kakak mau tidur lagi."Nesa terkekeh, lalu menyibakkan selimutnya, menjulurkan tangan kanannya untuk menggenggam tangan Nisa, mereka berdua akhirnya berjalan beriringan keluar dari kamar bernuansa mint itu. "Rumah makan emangnya nggak lagi rame, Bu?" tanya Nesa saat keduanya sudah duduk di kursi meja makan."Ini udah bukan jam makan siang lagi, Kak."Nesa menyunggingkan senyumnya. "Ini udah jam dua siang ya?"Nisa mengangguk. " Dan kamu baru mau makan?!" Nisa menggeleng-gelengkan kepalanya sambil kedua tangannya sibuk menuangkan nasi ju
"Gue ngga perlu jelasin serinci mungkin, Nes. Suami lo jelas pasti tahu semuanya." Nesa menatap Edgar dengan kening mengernyit, seolah bertanya tentang kebenaran dari ucapan Bian. "Udah sih, gue ngga papa, ngga usah natap gue kasihan gitu!" katanya. Walaupun begitu tetap saja, ada perasaan aneh yang dirasakan oleh Nesa. Ini jelas berita besar—dan yang paling mengkhawatirkan adalah bagaimana perasaan Bian selama ini? Pasti lelaki itu sudah melalui banyak hari yang berat. "Sudah berapa bulan?" tanya Bian mempersilahkan Nesa untuk duduk. "Jalan enam bulan," jawab Nesa semangat, mencoba bersikap seperti biasanya. "Apa suami lo memperlakukan lo dengan baik?" Nesa mengangguk tanpa ragu. "Mas Edgar mencintai aku... sangat!" "Bagus! Kalau dia ngga memperlakukan lo dengan baik, mending sama gue aja." Nesa terkekeh pelan, menggeleng lalu memeluk perut Edgar yang sedari tadi masih berdiri di dekatnya. "Nanti Mas Edgar sendirian, kasian." Bian menatap Edgar dengan tatapan yang
"Mas...." Edgar terlihat menghela napas, melepaskan perlahan tangan Nesa yang melingkar di lengannya. "Mas masih marah ya?" tanya Nesa memanyunkan bibirnya, kembali mencoba melingkarkan tangannya di lengan Edgar, walaupun suaminya itu kembali melepaskannya. "Iya maaf, ngga jadi Mas. Tadi aku cuman bercanda kok," lanjutnya. "Saya berangkat," katanya terkesan jutek walaupun sebelumnya mencium kening Nesa sebagai rutinitas wajib pagi mereka sebelum Edgar berangkat kerja. "Ah Mas Edgar...." Nesa kembali merengek, menghalang langkah suaminya. "Aku minta maaf, jangan marah." "Saya ada meeting Vanesa." "Tuh kan! Panggilan sayangnya mana?" Edgar kembali menghela napas pelan, menampilkan senyum yang sebenarnya tidak sampi hati itu. "Saya berangkat kerja ya, ada meeting pagi ini sayang," kata Edgar mengulang pernyataannya. Melingkarkan tangannya memeluk pinggang Edgar, Nesa mencium pipi kanan suaminya dengan lembut. "Aku beneran cuman bercanda tadi, jangan ngambek lagi yaa... dan semoga
Nesa mengerjapkan matanya perlahan, bibirnya berdecak pelan ketika telinganya masih mendengar suara notifikasi alarm dengan volume yang bukan main kencangnya.Mencoba bangun dari tidurannya untuk mengambil ponsel, tetapi tubuhnya dipeluk erat oleh sang suami.Dengan perlahan ia mencoba melepaskan tangan Edgar yang melingkar di perutnya, setelah berhasil, ia bangun lalu berjalan mengitari ranjang untuk duduk di tepi kasur, mengambil ponsel Edgar yang masih mengeluarkan suara notifikasi alarm untuk mematikannya.Disya mengernyit ketika merasakan perbedaan dengan kamar yan ditempatinya, mendongak lalu kembali memperhatikan sekitaran kamar dengan cahaya remang."Sudah bangun, sayang?" tanya Edgar, kedua tangannya kembali memeluk perutnya erat.Nesa tersenyum kecil lalu mengusap lembut lengan Edgar yang melingkar di perutnya."Sudah, tumben banget pasang alarm pagi-pagi buta begini sih?""Biar ngga kesiangan.""Mau ke mana?""Lihat sunrise.""Huh?"Nesa ingat, semalam ia dan Edgar menghadi
Edgar menghentikan kegiatanya yang sedang berkutat dengan laptop, melirik Nesa yang sepertinya sangat fokus menatap handphone dengan kedua telinga yang disumpal earphone, keduanya duduk bersebelahan, tetapi sibuk dengan kegiatannya masing-masing. Cup! Edgar mencuri satu ciuman di pipi kanan Nesa, yang jelas hal itu dilakukan untuk mendapat perhatian dari si perempuan. "Sedang menonton apa, fokus sekali?" Nesa sedikit terperanjat kaget, langsung mematikan layar handphone, menatap suaminya dengan senyum canggung sambil melepaskan earphone yang masih terpasang di telinganya. "Ngga ada apa-apa kok—aku ngga nonton apa-apa, Mas." Edgar mengernyit, reaksi Nesa terlihat berlebihan padahal dia hanya bertanya. Ditatap sebegitunya oleh Edgar jelas membuat Nesa ciut, seolah ia tidak akan pernah bisa berbohong kepada lelaki itu. "A—aku menonton video Sandi bernyanyi, aku ngga sengaja nyari, Mas, beneran. Tiba-tiba dia muncul di beranda sosial mediaku." "Mana lihat." Nesa kembali menyalakan
"Masih main?" Sandi kembali menyesap batang nikotin yang ada di sela jarinya, lalu menggeleng pelan menjawab pertanyaan Edgar. Edgar mencebikkan bibirnya tidak percaya ketika lelaki yang duduk di sampingnya menjawab tidak pada pertanyaan yang sebelumnya diajukan. "Nadya juga tidak buruk mendesah dibawah saya, dan yang paling penting saya tidak perlu repot-repot memakai pengaman ketika bercinta—wah rasanya berkali-kali lipat lebih nikmat ternyata!" "Saya pernah bilang kan, apa enaknya bercinta menggunakan karet?" Sandi menyunggingkan senyum miring, kembali mengepulkan asap rokoknya ke udara, mendongak menatap ke atas lalu menghela napas berat. "Kamu menyesal melakukannya?" Edgar bisa melihat wajah Sandi sebenarnya sedang tidak baik-baik saja. Jelas ada sesuatu yang membuatnya tidak nyaman. "Hanya tidak menyangka akan sampai di titik ini." "Nesa tidak tahu kamu lelaki seperti apa. Jika dia tahu kamu sering bercinta dengan banyak perempuan jelas ia tidak akan setuju kamu bersama
Jam dua siang mereka benar-benar baru meninggalkan kamar, itupun karena rasa lapar menghantui mereka. Jangan ditanya mereka melakukannya lagi atau tidak setelah membaca lembaran diary milik Nesa—tentu saja iya—maklum keduanya masih dimabuk cinta, kata Edgar ini adalah bentuk balas dendam karena selama hampir dua bulan resmi menikah mereka belum melakukannya. Beruntung Nesa mau melayaninya walaupun sembari merengek menangis. “Ih iya Mas aku lupa hari ini jadwal pemberangkatan Nadya lho,” kata Nesa ketika ia sedang fokus membuka handphonenya. “Jam berapa?” tanya Edgar. “Jam lima. Untung jam lima, jadi masih ada waktu buat ke sana,” kata Nesa mematikan layar handphonenya lalu menatap Edgar. “Aku ijin ketemu sama Nadya dulu ya Mas sebelum berangkat, ada Seruni juga kok, boleh?” Edgar mengangguk. “Sama saya.” “Oke!” Nesa kembali menampilkan senyum manisnya menatap Edgar, kembali melingkarkan kedua lengannya di leher Edgar—keduanya sedang menuruni tangga sekarang, hendak me
"Hah....."Baik Nesa maupun Edgar sama-sama terengah. Nesa yang berada di atas tubuh Edgar sampai tumbang, jatuh memeluk tubuh suaminya erat, menenggelamkan wajahnya tepat di dada Edgar."Saya masih belum selesai," kata Edgar menampilkan smirknya, mengusap bagian atas rambut Nesa.Masih dalam posisi yang sama, Nesa menggeleng-gelengkan kepalanya, lalu setelahnya mendongakkan wajahnya menatap manik sang suami. "Pak Edgar tadi janji hanya akan melakukannya satu kali," katanya dengan bibir yang ditekuk.Edgar mencubit pelan ujung hidung Nesa dengan gemas. "Ah! Kamu saja masih memanggil saya dengan sebutan Bapak. Bukankah sudah saya katakan akan menghukum kamu jika kembali mengatakan panggilan itu?"Nesa kembali memanyunkan bibirnya. "Justru kalau aku panggil selain itu, pasti akan terjadi ronde-ronde selanjutnya. Aku lelah—" Nesa menjeda ucapannya, kembali menenggelamkan wajahnya di permukaan dada suaminya. "Setelah melakukannya, aku ngantuk, mau tidur lagi...."Nesa dibawa berbaring di
Sesuai apa yang dikatakan oleh Nadya kemarin, mereka langsung merencenakan pertemuan dengan Seruni dan Risa, di kediaman Risa. Yang mana memang tujuan utamanya untuk memberi tahu jika Nadya akan pindah ke luar kota.Sekitar jam sepuluh Nesa pamit pada Edgar, lelaki itu tentu mengijinkan, bahkan mengantar Nesa ke kediaman Risa. Urusan mobil Nesa, masih berada di bengkel dan belum selesai diperbaiki, Edgar bahkan meminta untuk mengecek keadaan keseluruhan mobil.Sandi diminta untuk mengantarkan mobil milik Edgar yang berada di kediaman kedua orang tuanya. Hari ini memang masih hari libur, tentu saja Sandi menggerutu, ada banyak hal yang harus dibereskan untuk kepindahannya, nanti. Walaupun begitu Sandi tetap mengikuti perintah Edgar.Kemarin malam, tidak ada cara lain selain kembali ke tempat di mana mobil Nesa berada untuk mengambil kunci, kalau tidak seperti itu, bagaimana cara keduanya masuk ke dalam rumah.Edgar menyuruh Nesa untuk tetap menunggu di teras rumah, sedangkan dia sendir
Riuh tepuk tangan terdengar ketika lelaki yang menjadi pusat perhatian hampir seluruh pengunjung caffe selesai menyanyikan lau terakhirnya. Manik mata Edgar benar-benar tidak pernah lepas menatap ke arahnya, si lelaki yang ditatap juga jelas menatap ke arah Edgar—dari banyaknya pelanggan caffe, sosok Edgar tentu saja yang paling menarik perhatiannya. Bian turun dari atas panggung, setelah sebelumnya menyerahkan gitar yang tadi digunakan menjadi pengiring nyanyiannya kepada rekan bandnya, lalu melangkah menghampiri meja yang ditempati oleh Edgar. Tanpa meminta ijin, Bian langsung duduk tepat di hadapan Edgar. “Ada yang mau lo omongin sama gue?” tanya Bian to the point menatap tepat di manik matanya. Membenarkan posisi duduknya, lalu menyeruput minumam miliknya, Edgar mengangguk mengiyakan pertanyaan Bian. “Apa yang mau lo tanyain?” “Hubungan kamu dengan Vanesa.” “Apa lagi yang mau dijelasin. Nesa udah cerita sama lo kan, kalau kita udah ngga ada hubungan apa-apa.” “....” Edgar