"Kak, bangun! Makan dulu, " Perempuan paruh baya itu membuka gorden yang masih menutupi jendela kamar putrinya, padahal jam sudah menunjukkan pukul dua siang, namun anak itu masih bergelung dengan selimutnya.Nesa membuka matanya perlahan, menatap Ibunya sambil menampilkan senyum. "Aku seneng bisa tidur sampai jam segini, Bu," lirihnya.Nisa mengangguk-anggukkan kepalanya sembari berjalan menghampiri putrinya. "Iya, makan dulu. Habis itu boleh deh kalau Kakak mau tidur lagi."Nesa terkekeh, lalu menyibakkan selimutnya, menjulurkan tangan kanannya untuk menggenggam tangan Nisa, mereka berdua akhirnya berjalan beriringan keluar dari kamar bernuansa mint itu. "Rumah makan emangnya nggak lagi rame, Bu?" tanya Nesa saat keduanya sudah duduk di kursi meja makan."Ini udah bukan jam makan siang lagi, Kak."Nesa menyunggingkan senyumnya. "Ini udah jam dua siang ya?"Nisa mengangguk. " Dan kamu baru mau makan?!" Nisa menggeleng-gelengkan kepalanya sambil kedua tangannya sibuk menuangkan nasi ju
"Mana pacar kamu, Nes?" Nesa menatap Seruni yang sedang memakan bakso malang yang memang adalah salah satu menu catering yang disediakan di acara pernikahan Risa.Perempuan yang ditanya itu menghela napasnya kasar sembari mengangkat bahunya acuh. "Nggak jadi dateng kali. Aku ke toilet dulu, ya," kata Nesa. Sebelum mendapat jawaban dari Seruni, dan Nadya, Nesa langsung berjalan menuju toilet."Sialan, harusnya dari awal emang ngga usah terlalu banyak berharap lebih sama cowok itu!" sungut Nesa menatap cermin dengan wajah yang terlihat sangat marah. Bian tidak datang. Mengabaikan perintah Nesa yang menyuruhnya untuk datang ke apartemennya jam tiga sore. Sekarang, jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam, acaranya juga beberapa menit lagi akan selesai, dan Bian sama sekali tidak tampak batang hidungnya sedikitpun. Saat jam sudah menunjukkan pukul tiga sore, dan Bian belum datang ke apartemennya, Nesa masih mencoba untuk berpikir positif, yakin jika Bian akan datang, mungkin lelaki itu
Nesa yang sedang meminum susu coklat di kursi bar langsung menengokkan wajahnya ketika mendengar suara pintu apartemennya dibuka. Melirik jarum jam yang menunjuk ke angka enam lebih lima belas menit, 'Siapa yang bertamu pagi-pagi begini?' pikir Nesa. Kakinya menyentuh lantai, melangkah keluar dari area dapur menuju ruang tengah."Selamat pagi.""Pa—pagi, Pak Edgar."Edgar—ya lelaki itu kini sudah berdiri di hadapan Nesa, dengan setelan jas rapih yang membungkus tubuh tegapnya."Ada apa?""Kamu sudah sarapan? Saya belum sempat sarapan di rumah," kata Edgar yang langsung mendudukkan bokongnya di sofa ruang tengah.Nesa mengangguk-anggukkan kepalanya. "Iya saya ambilkan sarapan, tapi hanya ada roti panggang, dan susu, Pak Edgar mau? Atau mau saya buatkan apa untuk sarapan?""Roti panggang dan segelas susu saja, walaupun saya menyuruh kamu untuk membuat sarapan yang lain pasti kamu akan sambil mengomel membuatnya."Nesa hanya tersenyum kecil, lalu berjalan kembali ke dapur. Mengambil beber
Nesa semakin mengeratkan cardigan rajut yang dipakainya, cuaca malam ini sangat dingin, bayangkan saja, sedari pagi matahari tidak kunjung menampakkan sinarnya, hujan tidak berhenti turun membasahi kota sampai sore tadi.Menatap warung yang berjarak lima meter dari pandangan, bola matanya bergerak ke kanan dan ke kiri mencari keberadaan seseorang dari beberapa orang yang duduk di sana, tawa juga obrolan terdengar dari arah mereka."Permisi—" Nesa tidak melanjutkan ucapannya, jujur saja lidahnya mendadak kelu, saat semua yang sedang duduk di kursi kayu itu menatap ke arah Nesa.Perempuan itu tersenyum canggung. "Bu Tati, ada?" lirih Nesa bertanya."Eh, si Neng. Sini Neng duduk, mau nyari apa?" Tati si penjaga warung menyembulkan wajahnya menatap Nesa yang masih berdiri mematung di depan sana. Nesa berjalan menghampiri Tati. "Bu Tati, kalau boleh saya tahu Bian—" Belum sempat Nesa berbicara, terdengar suara pintu yang dibuka, lelaki itu muncul dari balik pintu rumah Bu Tati yang berada d
"Gila, capek banget! Kak Nesa oon banget sih, kenapa ngga tinggal di sini aja kalau Pak Edgar ngasih cuma-cuma apartemen ini?" dumel Nizam yang sudah merebahkan tubuhnya di sofa panjang yang berada di ruang tengah."Ya aku ngga mau tinggal di sini, mending tinggal sama kalian, bisa bantu Ibu juga, nemenin kamu—""Dih! Najis!"Nesa memanyunkan bibirnya. "Ibu, Nizam nyebelin nih, masa Nesa ngga boleh tinggal bareng kalian?!" adu Nesa berjalan meninggalkan ruang tamu untuk menuju ke dapur menghampiri Nisa.Ibu dari dua anak itu hanya menampilkan senyumnya mendengar rengekan putri sulungnya. Menyerahkan nampan yang berisi empat gelas minuman dingin kepada Nesa. "Bercanda Adikmu itu, bawa ini ke ruang tengah Kak, nanti Ibu bawa cireng."Nesa mengangguk, menerima nampan itu lalu melangkah keluar. "Bu, jangan lupa sambalnya," kata Nesa sedikit mengeraskan suaranya."Nih, minum! Lagian kamu tuh bantu-bantu di sini tapi sambil ngomel-ngomel mulu, banyak omong!" Nesa menyimpan nampan itu diatas
"Aku ngga terlalu suka belanja-belanja gini si, tapi kalau dibayarin ngga akan nolak juga," kata Nadya semangat sambil melihat-lihat paper bag yang berisi banyak sekali belanjaan miliknya dan Nesa. "Tapi tumben loh kamu mau belanjain aku gini?" perempuan itu menatap Nesa dengan kening mengernyit. "Ada apa?" lanjutnya.Nesa yang duduk dihadapan Nadya hanya menampilkan senyum kikuk. "Nad, jadi ceritanya ada yang mau ketemu kamu di sini," kata Nesa dengan sehati-hati mungkin, memperhatikan raut wajah Nadya yang perlahan berubah menjadi ekspresi datar."Nes? Berapa kali aku udah bilang kal—""Nad, kamu ngga akan selamanya nunggu mantanmu yang tukang selingkuh itu kan?" Nesa memotong cepat ucapan Nadya. Sekedar informasi saja, dulu jaman masih kuliah Nadya pernah mempunyai kekasih, lelaki itu tukang selingkuh, sudah sangat sering lelaki itu menduakan Nadya, namun ujung-ujungnya Nadya tetap memaafkan lelaki itu."Kamu harus mau, masalahnya sebentar lagi dia bakalan sampai ke sini," kata Nesa
Sandi mencubit lengannya sendiri dengan kuat, berharap rasa sakitnya akan membuat tawanya terhenti. Tubuhnya sudah terbaring lemas di atas sofa dengan tangan yang mengusap-usap perutnya. "Haha... saya ngga bisa berhenti ketawa, Pak," kata Sandi dengan wajah memerah karena lama sekali tertawa, mengulum bibirnya dengan kuat agar dia bisa mengontrol tawanya, namun semua usahanya nihil.Tawa Sandi tidak juga mereda, membuat Edgar yang sedang duduk di single sofa menatapnya dengan jengkel. "Kau tahu! Kemarin ada orang yang tertawa berlebihan sepertimu, dan dia langsung meninggal di tempat!"Sandi terllihat menarik napas panjang, lalu membuang napasnya perlahan, berharap dengan cara seperti itu tawanya bisa reda. Terbukti sih, walaupun masih diselingi tawa kecilnya, namun tidak separah tadi."Sudah puas?" gerutu Edgar masih menatap Sandi jengkel."Ya... ya, sorry! Siapa yang ngga ketawa coba kalau denger omanganmu itu! Tapi, ini serius Nesa berpikir kau gay?!" Sandi berjalan menuju dapur, de
"Saya tunggu! Cepatlah!"Sambungan telepon diputus secara sepihak oleh Edgar, lelaki itu menggeletakan ponselnya di meja. Kembali meneguk wine hingga habis, setelahnya menghembuskan napas kasar."Sudah ada di parkiran?" tanya Sandi menatap Edgar dengan tatapan berbinar yang dibalas anggukkan oleh Edgar."Gotcha! Semoga beruntung!" Sandi menepuk bahu Edgar, lalu ia langsung merangkul salah satu perempuan dan mengajaknya keluar dari ruangan itu, meninggalkan Edgar dan seorang perempuan yang juga duduk santai di samping Edgar sambil menikmati minuman di tangannya."Sesuai perjanjian awal, don't kiss my lips!" tegas Edgar kembali memperingati yang dibalas senyuman miring dari perempuan di sampingnya.Perempuan cantik itu menyimpan gelasnya di meja, dan segera duduk di pangkuan Edgar. "Kalau mencium yang lainnya, boleh?" tanyanya berbisik tepat di samping telinga Edgar. Tangan kiri perempuan itu menelusup di balik leher Edgar, sedangkan tangan yang lainnya mulai menjelajah, mengelus tubuh E