“Ini handphonenya!” Lelaki yang mengenakan kemeja berwarna hitam itu menyerahkan hanphone kepada Nesa, lalu Nesa menerimanya.
“Makasih, Pak Dion.”Dion mengangguk lalu menampilkan senyumnya. “Lo beneran gak papa nyetir sendirian? Ini udah malam, gue bisa panggilin supir gue buat anterin kalian pulang.” Suara Dion terdengar khawatir.“Ini bukan yang pertama kalinya buat saya Pak, jadi ngga papa.”“Oke kalau gitu, hati-hati ya!”Nesa mengangguk lalu menampilkan senyum sebelum akhirnya masuk ke dalam mobil. Sembari memakai safety belt ia menatap lelaki yang duduk di kursi belakang dengan sorot kesal melalui kaca.“Kenapa?” tanya lelaki itu membalas tatapan Nesa dengan tatapan tajamnya.“Tidak, Pak.” Nesa lagi-lagi menampilkan senyum lebar, lalu ia kembali melajukan mobilnya. Tentu saja dengan sumpah serapahnya di dalam hati.Sepertinya harinya selalu saja tidak berjalan mulus, ada saja hal-hal yang membuat Nesa kesal. Contohnya hari ini, di saat Nesa masih bergelung dengan selimutnya di kamar untuk menikmati hari libur, sekretaris dari salah satu kolage bisnis atasannya mengabari jika bosnya meminta meeingnya dilakukan hari ini juga, dengan tidak rela Nesa meninggalkan kasurnya dan bersiap untuk menyiapkan semuanya.Setelah meeting selesai bosnya malah menyuruh Nesa untuk membereskan rumahnya—ah untuk soal ini, Nesa sebenarnya melamar bukan untuk menjadi pembantu, posisi yang di lamarnya adalah untuk menjadi sekretaris, apa yang bisa Nesa lakukan jika bosnya memperintahkan, ia hanya bisa menurut. Dan sekarang lihatlah ia sedang mengendarai mobil untuk mengantar bosnya pulang ke rumah.Dion—lelaki yang tadi mengobrol dengan Nesa dia baru saja mengadakan pesta buck’s night, bosnya adalah sahabat Dion jadi tentu saja ia hadir. Karena tidak mungkin bosnya itu mengendarai mobil sendiri dalam keadaan setengah mabuk, jadi sebagai sekretarisnya dia harus sigap jika dibutuhkan oleh bosnya kapanpun.“Mau ganti pakaiannya?” tanya Nesa kepada bosnya yang sudah berbaring di kasur. Namun hanya gelengan kepala sebagai jawaban darinya.“Menginap lah di sini!”Nesa menggeleng. “Saya pulang saja.”“Menginap lah!”Nesa dengan terpaksa menganguk, lalu tangannya bergerak untuk melepas sepatu juga kaos kaki yang di pakai bosnya.“Pak Edgar biasanya tidak minum alkohol banyak sampai mabuk seperti ini,” ucap Nesa, setelah selesai melepas sepatu dan kaos kaki bosnya, dia melepas jam tangan dan juga dasi yang terpasang di leher Edgar.“Umm ….”Hanya gumaman yang keluar dari mulutnya, lalu lelaki itu merubah posisi menjadi tengkurap dengan mata yang terpejam.Sudah hampir tujuh tahun Nesa menjadi sekretaris bosnya. Radega Edgar Naratama—anak sulung dari direktur utama Naratama Corp real estate & property. Walaupun Edgar adalah anak dari direktur utama, dia tidak langsung bisa ada di posisi sekarang. Semuanya bertahap, saat iu Edgar masih menjabat sebagai manager keuangan, dan Nesa baru menjadi sekretarisnya.Tujuh tahun menjadi sekretaris Edgar, membuat Nesa mempunyai kamar sendiri di rumah megah ini. Jika sedang ada pekerjaan yang mengharuskannya lembur maka Nesa tidak usah pulang ke apartemen, karena Edgar memperbolehkan Nesa menempati salah satu kamar di rumahnya.Jika dilihat-lihat tentu saja Edgar adalah lelaki yang sangat perfect. Tampan dan mapan, juga dari keluarga terpandang. Siapa yang tidak tertarik kepadanya. Namun, tetap saja semua orang pasti tidak seutuhnya sempurna, bagi Nesa sifat dan watak Edgar benilai negatif. Dingin, irit bicara, pemarah, penyuruh, arogan dan masih banyak lagi.Tentang keluarga terpandang. Siapapun yang menjadi bagian dari keluarga besar Naratama, sepertinya hidupnya sangat beruntung. Keluarga Naratama mempunyai beberapa perusahaan dalam bidang real estate & property, kontruksi, tour & travel, bahkan Naratama juga mendirikan rumah sakit, dan juga yang lainnya.Membayangkan kekayaannya saja membuat Nesa menggeleng-gelengkan kepalanya.“Nes, kamu yang ngasih nomor handphone aku ke si Erwin?”Suara itu berasal dari handphone milik Nesa, dan yang menelepon adalah Nadya—si cantik yang selalu berhasil membuat semua orang tertarik kepadanya. Nesa memutar bola matanya jengah, ia baru saja mengganti pakaiannya dengan baju piyama dan sekarang sedang duduk di depan cermin sambil menecepol rambutnya asal. Tiba-tiba saja Nadya menelepon dan langsung menayakan hal itu.“Yap!”“Aku kan udah bilang gak usah kasih nomor aku—““Erwin Prasetya, salah satu dokter saraf di rumah sakit Naratama medical center. Dia tinggi, tampan. Cocok lah buat kamu!” tutur Nesa memotong cepat ucapan Nadya, terdengar hembusan napas berat dari seberang sana.“Jalanin aja Nay, siapa tahu cocok! Udah ya aku mau tidur.”“Nes tap—“Tut!Nesa heran kenapa Nadya masih nyaman dengan kesendiriannya, terakhir kali dia menjalin sebuah hubungan sudah lama sekali. Padahal banyak yang menyukainya dan tertarik kepadanya, alasan dia tidak memiliki pasangan mungkin sepertinya karena dia tidak bisa melupakan mantan pacarnya yang dulu. Menurut Nesa, Nadya cantik, mau lelaki yang seperti apapun pasti bisa dia dapatkan.***Ayahnya pergi dengan meninggalkan hutang yang cukup banyak. Mungkin jika di ceritakan akan terlalu menyedihkan, bagaimana perjuangan ibunya yang harus bekerja serabutan untuk biaya sekolah Nesa dan untuk kebutuhan sehari-harinya waktu itu, melakukan apapun pekerjaan yang bisa ia lakukan, Nesa juga sering membantu ibunya. Beruntungnya ada keluarga Nadya yang mau membantu melunasi hutang.Untuk sekarang hutang kepada kedua orang tua Nadya sudah lunas, bahkan sekarang ibunya sudah mempunyai sebuah rumah makan, walaupun tidak terlalu besar tapi setidaknya uangnya cukup untuk biaya sekolah adik laki-lakinya dan biaya hidup.Nesa yang sedang fokus di dapur, memasak untuk sarapan pagi ini langsung menghentikan kegiatannya, mengambil segelas air lalu berjalan cepat untuk ke kamar Edgar. Edgar mengiriminya pesan melalui handphone, meminta Nesa untuk ke kamarnya.“Sudah bangun?” ucap Nesa saat sudah membuka pintu kamar. Ia melihat Edgar yang masih berbaring di kasur dengan tangan yang memijit-mijit kepalanya, kemeja hitam yang semalam di pakainya sudah tergeletak di lantai. Nesa duduk di tepi kasur, lalu membantu Edgar untuk bangun dari tidurannya.“Minum dulu, Pak!”Edgar meneguk air itu sampai habis.“Ahh … shit!” umpatnya, tangannya terus memijit-mijit kepalannya.Nesa tahu, dan ini bukan yang pertama kali ia melihat bosnya dalam keadaan seperti ini. Malamnya senang-senang, namun paginya tentu akan mengakibatkan hangover.Menyusahkan!“Saya sudah membuatkan sup ayam, mau langsung makan atau mandi dulu?”“Mandi.”Nesa mengangguk, lelaki itu turun dari kasur dan berjalan untuk masuk ke dalam kamar mandi dengan sempoyongan. Nesa akan membantunya namun Edgar menolaknya, saat bosnya sudah masuk ke dalam kamar mandi ia membersihkan kasur.“Apa si arogan itu meminum alkohol satu galon, huh?” gerutu Nesa, ia bahkan harus mengganti seprei kasurnya karena aroma alkohol yang sangat pekat.Sekitar lima belas menit membersihkan tubuhnya, Edgar keluar dari kamar mandi dengan hanya melilitkan handuk di pinggangnya. Nesa yang baru saja membuka pintu menuju balkon agar udara pagi masuk, langsung berjalan menuju walk-in closet untuk menyiapkan pakaian.Hari ini hari Minggu, waktunya menikmati hari libur. Tapi sepertinya dari kemarin kebahagiaan tidak berpihak kepada Nesa. Bahkan untuk pagi ini saja, alih-alih ingin seharian berada di kasur, ia harus mengurus bosnya.“Enak?” tanya Nesa menatap Edgar dengan wajah yang penuh harap.Edgar kembali menyuapkan sup ayam ke dalam mulutnya. “5 dari 10,” jawabnya yang membuat Nesa langsung memanyunkan bibirnya. Jawaban Edgar benar-benar jauh dari harapan Nesa.“Tidak usah di makan kalau begitu,” lirih Nesa, dengan cepat ia mengambil gelas yang ada di depannya lalu meneguknya hingga habis.“Kamu tidak makan?”Nesa hanya menggeleng.Edgar menatap Nesa, lalu menaikkan satu alisnya dan bertanya, “Diet?”Kali ini anggukkan kepala dari Nesa.“Tubuh kamu sudah seperti triplek, mau diet buat apa lagi?”Menyakitkan bukan? Ini bukan yang pertama kalinya Nesa di katai oleh bosnya. Nesa sudah pernah mengatakan bukan jika bosnya irit bicara? Sepertinya Nesa memilih agar Edgar tidak bicara sama sekali, ya … karena kata-kata Edgar bisa membuat lawan bicaranya naik pitam.“Mau dibuat kaya bihun, Pak.” Nesa melebarkan senyumnya, namun tidak dengan hatinya, sumpah serapah juga penghuni kebun binatang semuanya Nesa sebutkan untuk memaki bosnya.“Semalam kamu habis kencan dengan pacarmu?”Apa ini? Kenapa sekarang Edgar mengganti topik. Rasanya Nesa ingin pergi dari sini, sungguh! Jika sedang membicarakan pekerjaan saja kadang Edgar selalu menusuk Nesa dengan perkataan menyakitkan, apalagi sekarang sedang duduk santai sambil sarapan. Contohnya saja tadi, bahkan belum dua menit kata-kata menyebalkan itu keluar dari mulut Edgar, sekarang dia akan mencoba mencari topik baru? Dan kenapa Edgar mengatakan itu? Apa dia tahu jika Nesa waktu semalam bertemu dengan seseorang?“Apa saya mengganggu kegiatan kalian di ranjang?”Nesa dengan refleks membelalakkan matanya. Sedangkan Edgar masih fokus dengan makanannya. Ia menyodorkan piringnya kepada Nesa, memintanya untuk mengambilkan nasi juga sup ayam.“Katanya tidak enak, kenapa minta nambah lagi?” cibir Nesa, namun ia tetap menuangkan nasi juga sup ayam ke dalam piring, untuk bosnya.“Kapan saya bilang tidak enak?”Nesa tidak mau menjawab, dia memilih mengalah. Tidak akan ada habisnya jika berdebat dengan Edgar, lelaki itu tidak akan berhenti jika Nesa tidak mengalah. Ya … lelaki itu hanya ingin menang.“Tidak mau menjawab pertanyaan saya, huh?”“Pak Edgar memang gak bilang kalo makanan say—““Pertanyaan ini tentang kekasihmu?”Nesa menatap Edgar dengan wajah kesal. “Tahu dari mana kemarin malam saya habis kencan?”“Kamu sudah berani menatap saya degan tatapan seperti itu?” sindir Edgar menatap Nesa dengan satu alis yang terangkat.“Maaf, Pak Egdar,” ucap Nesa menundukkan wajahnya lalu tersenyum manis. “Kemarin saya habis bertemu laki-laki yang menyukai Nadya—sahabat saya, dia bertanya tentang semua hal yang Nadya sukai sama saya,” lanjut Nesa menjelaskan kebenaran tentang kejadian tadi malam.“Apa Dina menghubungimu?”Kenapa bosnya terus mengganti topik pembicaraan. Nesa hanya ingin pulang, sungguh! Kenapa Edgar selalu bertanya?“Tidak,” jawabnya sambil menggelengkan kepala. “Kenapa memang?” lanjut Nesa bertanya.“….”Tidak ada jawaban, Edgar hanya menatap Nesa sekilas lalu kembali memakan makanannya. Tidak! Ini bukan yang pertama kalinya Nesa di perlakukan seperti ini oleh bosnya, ini hal biasa, sudah menjadi kebiasaan hampir tujuh tahun ini. Walaupun begitu tetap saja, Nesa ingin sekali menghajar wajah Edgar dengan gelas yang ada di depannya.***
“Nes, kemana aja sih?”Nesa berjalan memasuki unit apartemennya, matanya menatap dua orang perempuan yang sedang duduk di sofa, sebuah tayangan televisi yang menyiarkan berita gosip menjadi tontonan keduanya.“Bagus ya pagi-pagi sudah menjarah di unit apartemen saya!” cibir Nesa karena melihat banyak sekali makanan dan minuam yang ada di meja, bahkan kedua perempuan itu sedang memegang cup mie instan. Semua makanan dan minuman itu tentu saja milik Nesa.“Ibu sekretaris biasa aja kali, bicaranya formal banget,” sindir Risa.Nesa hanya memutar bola matanya jengah, ia melempar tasnya ke sembarang arah, dan ikut duduk di samping Risa sambil mengambil kue sus yang ada di meja, lalu melahapnya.“Kemana aja sih?” tanya Seruni mengulang pertanyaan yang belum Nesa jawab.“Biasa habis ngurus bayi besar,” jawab Nesa memegang remot televisi sambil mengganti channel televisi.“Bohong dia, semaleman habis sama Erwin,” celetuk Risa.Mendengar celetukan Risa membuat Nesa kembali mengingat kejadian di
Nesa menampilkan senyumnya. Agus—security yang hari ini sedang bertugas di depan lift, menyimpan benda pipih persegi atau cardlock pada kotak sensor untuk membuka pintu lift. Tidak lama pintu lift terbuka, Edgar masuk terlebih dahulu, lalu setelahnya baru Nesa.“Makasih Pak Agus,” ucap Nesa, tidak bersuara namun gerak bibirnya terbaca oleh Agus. Security itu hanya mengangguk lalu tersenyum, hingga pintu lift tertutup kembali dan bergerak naik ke atas.Tidak ada yang salah dari heals hitam yang dipakainya, hanya saja situasinya yang sangat hening di dalam lift ini membuat Nesa bingung harus menatap ke arah mana dan memutuskan untuk menatap sepasang healsnya saja.“Dina tidak menghubungimu?”Nesa mendongakkan kepalanya, lalu ia menatap ke arah Edgar. “Tidak Pak, kenapa memang?” tanya Nesa, ia bingung, kenapa pertanyaannya sama seperti kemarin? Kenapa Dina—calon istri Doni harus menghubunginya? Maksudanya untuk apa?Lagi dan lagi Edgar hanya diam, hingga pintu lift terbuka, lalu dia kelua
"Umur Edgar sudah berapa tahun?"Mia menatap perempuan yang duduk disebrangnya."Tahun ini 35."Evi—perempuan yang tadi bertanya langsung menatap Mia dengan tampang terkejut. "Ah! Edgar dan Fajar tahun kelahirannya sama, ya?"Mia mengangguk."Kamu ngga mau apa gendong cucu, Mia? Fajar saja sudah menikah dan sudah punya anak, bahkan sudah mau punya anak ke-2. Edgar kerja terus tapi ngga nikah-nikah."Mia menghela napasnya lesu. "Aku sudah bilang sama Edgar, duh rasanya mulutku udah sampai berbusa, nggak kehitung lagi pokonya berapa kali aku nanya tentang ini sama Edgar, tapi Edgar—" Mia sampai tidak bisa berkata-kata lagi, kepalanya menggeleng-geleng, tidak tahu harus bagaimana dengan pembahasan menikah ini."Masa dia belum pernah bawa perempuan ke rumah?" tanya Wita ikut bertanya.Mia hanya menggeleng.Evi salah satu dari Tante Edgar meringis prihatin menatap adik iparnya. "Atau aku kenalkan sama salah satu putri temanku?""Percuma, Mbak. Udah aku coba kenalin perempuan sama dia, tapi
"Perfect!" sekali lagi ucapan itu keluar dari mulut lelaki kemayu yang baru saja selesai memoles wajah Nesa dengan make-up yang membuat penampilan Nesa terlihat lebih cantik."Thankyou, Bep," ucap Nesa menampilkan senyumnya."Iya Bep! Cakep kan make-upnya? Bisa dibacok gue sama Pak Bos kalau make-upnya cacat."Nesa kembali menatap penampilannya di cermin, lalu mengangguk pelan. "Udah oke kok, tenang aja!""Lo tahu nggak, kalau make-up lo Pak Bos suka nih, bisa dibayar dua kali lipet gue, cucok 'kan?" Lelaki itu menampilkan cengiran khasnya menatap Nesa melalui pantulan cermin."Iya! Tahu gue... kalau make-up gue jelek udah pasti bikin malu Pak Bos di acara nikahan sahabatnya."Bukan hal baru memang, jika ada sebuah acara penting yang mengharuskan Nesa memoles wajahnya dengan make-up, maka Edgar akan menghadirkan MUA. Nesa tahu alasan mengapa harus memakai jasa MUA walaupun sebenarnya Nesa bisa memakai make-up sendiri, tentu saja agar Nesa tidak terlihat memalukan jika bersanding dengan
"Kamu sudah cukup lama menjadi sekretaris Edgar. Kamu pasti mengetahui banyak tentang kehidupan anak saya, apa kamu tahu tentang urusan percintaannya—maksudnya, apa kamu tahu Edgar sedang menjalin hubungan dengan seorang perempuan?" Mia menatap Nesa dengan tatapan penuh harap.Nesa menggeleng sebagai jawaban. Walaupun ia sudah cukup lama menjadi sekretaris Edgar, tapi ia tidak pernah tahu urusan percintaan bosnya. "Maaf, tapi saya tidak mengetahui urusan percintaan Pak Edgar, sepertrinya itu juga terlalu privacy.""Kamu tidak tahu ya... baiklah." Mia menjeda ucapannya beberapa detik, lalu kembali menatap Nesa. "Tapi, apa kamu pernah melihat Edgar tertarik dengan seorang perempuan, maksudnya pergi berkencan, atau menyuruh kamu untuk mencari tahu kehidupan salah seorang perempuan karena Edgar tertarik kepada perempuan itu?" Mia kembali melanjutkan pertanyaannya.Lagi-lagi Nesa menggeleng. Edgar tidak pernah membahas tentang perempuan kepadanya.Melihat Nesa menggeleng, membuat Mia mendad
Kedua bola matanya membola sempura, jantungnya berhenti berdetak untuk beberapa detik, jika saja tidak ada pintu di sampingnya, mungkin Nesa akan duduk terjatuh saking ia merasakan lemas di kakinya."Bu Nesa, selamat pagi," sapa Sandi yang baru menyadari kehadiran Nesa. Lelaki itu langsung berdiri dari duduknya dengan wajah yang sedikit terkejut karena kehadiran Nesa, namun dia berhasil menyembunyikan wajah terkejutnya dengan menampilkan sebuah senyuman. Karena sapaan Sandi, Edgar, lelaki yang sedang duduk di sun lounger ikut menatap Nesa."Pa—pagi... " Nesa merutuki dirinya sendiri karena suaranya terdengar sangat gugup. Ia berdehem, lalu tersenyum. "Pagi, Pak," ulang Nesa."Saya tunggu di luar kalau begitu." Sandi membungkukkan sedikit kepalanya untuk berpamitan, lalu dia berjalan meninggalkan area kolam renang, meninggalkan Edgar dan Nesa yang masih berdiri mematung di dekat sliding door.Edgar bangun dari duduknya, membenarkan lilitan handuk dipinggangnya lalu mengambil segelas min
Nesa mengangguk-anggukkan kepalanya sambil terkekeh pelan, lambat laun suara kekehan itu menjadi tawa cukup kencang, dan beberapa detik setelahnya bibirnya cemberut dan meraung frustasi. Perempuan itu mengacak-acak rambutnya dengan kesal, beberapa orang yang melihat keadaan Nesa meringis ngeri, mungkin saja mereka mengira Nesa adalah orang gila.Nesa sedang berada di jalanan trotoar hendak menuju ke unit apartemennya. Baiklah, kita ceritakan bagaimana awal mulanya Nesa pulang dengan keadaan jalan kaki seperti ini. Tadi, setelah semua pekerjaannya selesai Nesa bersiap akan pulang. Edgar awalnya mengajak Nesa untuk pulang bersama, namun tentu saja Nesa menolaknya, bahkan karena saking buru-burunya ingin pulang dan menghindari bosnya, Nesa sampai lupa membawa dompet. Nesa diturunkan oleh supir taxi karena Nesa mengaku jika dompetnya tertinggal di meja kerjanya, yang lebih parah adalah, baterai handphone Nesa habis, handphonenya mati total.Pikirannya sedang kacau karena bosnya, ditambah
"Jangan bikin orang mabok kesel! Nanti lo tahu sendiri akibatnya!" Benar, tadi setelah Nesa mengeluarkan kata umpatan, ketiga lelaki yang sedang dalam kondisi mabuk itu terlihat jelas perbedaan raut wajahnya. Terlihat lebih menakutkan. "Iya, makasih sudah nolongin aku dari mereka," kata Nesa walaupun dengan nada yang terdengar seperti tidak sungguh-sungguh berterima kasih. "Sana balik!" usirnya. Lelaki itu segera duduk di kursi kayu panjang lalu mengeluarkan pemantik rokok dari saku celananya, asap mengepul ke udara ketika lelaki itu selesai menghisap rokoknya. "Makasih ya Bu, saya pamit," kata Nesa tersenyum menatap Ibu penjaga warung. "Sama-sama, Neng." Perempuan paruh baya itu membalas senyuman Nesa. "Bian, anterin dulu atuh si Neng, sampe ke apartemennya," lanjut Tati—Ibu penjaga warung yang kini sudah beralih menatap lelaki yang sedang merokok di depannya. Bian—lelaki itu menatap Nesa dengan tatapan dingin. "Dari sini lo tinggal lurus aja, nanti keliatan tuh jalan gede, lo t
"Gue ngga perlu jelasin serinci mungkin, Nes. Suami lo jelas pasti tahu semuanya." Nesa menatap Edgar dengan kening mengernyit, seolah bertanya tentang kebenaran dari ucapan Bian. "Udah sih, gue ngga papa, ngga usah natap gue kasihan gitu!" katanya. Walaupun begitu tetap saja, ada perasaan aneh yang dirasakan oleh Nesa. Ini jelas berita besar—dan yang paling mengkhawatirkan adalah bagaimana perasaan Bian selama ini? Pasti lelaki itu sudah melalui banyak hari yang berat. "Sudah berapa bulan?" tanya Bian mempersilahkan Nesa untuk duduk. "Jalan enam bulan," jawab Nesa semangat, mencoba bersikap seperti biasanya. "Apa suami lo memperlakukan lo dengan baik?" Nesa mengangguk tanpa ragu. "Mas Edgar mencintai aku... sangat!" "Bagus! Kalau dia ngga memperlakukan lo dengan baik, mending sama gue aja." Nesa terkekeh pelan, menggeleng lalu memeluk perut Edgar yang sedari tadi masih berdiri di dekatnya. "Nanti Mas Edgar sendirian, kasian." Bian menatap Edgar dengan tatapan yang
"Mas...." Edgar terlihat menghela napas, melepaskan perlahan tangan Nesa yang melingkar di lengannya. "Mas masih marah ya?" tanya Nesa memanyunkan bibirnya, kembali mencoba melingkarkan tangannya di lengan Edgar, walaupun suaminya itu kembali melepaskannya. "Iya maaf, ngga jadi Mas. Tadi aku cuman bercanda kok," lanjutnya. "Saya berangkat," katanya terkesan jutek walaupun sebelumnya mencium kening Nesa sebagai rutinitas wajib pagi mereka sebelum Edgar berangkat kerja. "Ah Mas Edgar...." Nesa kembali merengek, menghalang langkah suaminya. "Aku minta maaf, jangan marah." "Saya ada meeting Vanesa." "Tuh kan! Panggilan sayangnya mana?" Edgar kembali menghela napas pelan, menampilkan senyum yang sebenarnya tidak sampi hati itu. "Saya berangkat kerja ya, ada meeting pagi ini sayang," kata Edgar mengulang pernyataannya. Melingkarkan tangannya memeluk pinggang Edgar, Nesa mencium pipi kanan suaminya dengan lembut. "Aku beneran cuman bercanda tadi, jangan ngambek lagi yaa... dan semoga
Nesa mengerjapkan matanya perlahan, bibirnya berdecak pelan ketika telinganya masih mendengar suara notifikasi alarm dengan volume yang bukan main kencangnya.Mencoba bangun dari tidurannya untuk mengambil ponsel, tetapi tubuhnya dipeluk erat oleh sang suami.Dengan perlahan ia mencoba melepaskan tangan Edgar yang melingkar di perutnya, setelah berhasil, ia bangun lalu berjalan mengitari ranjang untuk duduk di tepi kasur, mengambil ponsel Edgar yang masih mengeluarkan suara notifikasi alarm untuk mematikannya.Disya mengernyit ketika merasakan perbedaan dengan kamar yan ditempatinya, mendongak lalu kembali memperhatikan sekitaran kamar dengan cahaya remang."Sudah bangun, sayang?" tanya Edgar, kedua tangannya kembali memeluk perutnya erat.Nesa tersenyum kecil lalu mengusap lembut lengan Edgar yang melingkar di perutnya."Sudah, tumben banget pasang alarm pagi-pagi buta begini sih?""Biar ngga kesiangan.""Mau ke mana?""Lihat sunrise.""Huh?"Nesa ingat, semalam ia dan Edgar menghadi
Edgar menghentikan kegiatanya yang sedang berkutat dengan laptop, melirik Nesa yang sepertinya sangat fokus menatap handphone dengan kedua telinga yang disumpal earphone, keduanya duduk bersebelahan, tetapi sibuk dengan kegiatannya masing-masing. Cup! Edgar mencuri satu ciuman di pipi kanan Nesa, yang jelas hal itu dilakukan untuk mendapat perhatian dari si perempuan. "Sedang menonton apa, fokus sekali?" Nesa sedikit terperanjat kaget, langsung mematikan layar handphone, menatap suaminya dengan senyum canggung sambil melepaskan earphone yang masih terpasang di telinganya. "Ngga ada apa-apa kok—aku ngga nonton apa-apa, Mas." Edgar mengernyit, reaksi Nesa terlihat berlebihan padahal dia hanya bertanya. Ditatap sebegitunya oleh Edgar jelas membuat Nesa ciut, seolah ia tidak akan pernah bisa berbohong kepada lelaki itu. "A—aku menonton video Sandi bernyanyi, aku ngga sengaja nyari, Mas, beneran. Tiba-tiba dia muncul di beranda sosial mediaku." "Mana lihat." Nesa kembali menyalakan
"Masih main?" Sandi kembali menyesap batang nikotin yang ada di sela jarinya, lalu menggeleng pelan menjawab pertanyaan Edgar. Edgar mencebikkan bibirnya tidak percaya ketika lelaki yang duduk di sampingnya menjawab tidak pada pertanyaan yang sebelumnya diajukan. "Nadya juga tidak buruk mendesah dibawah saya, dan yang paling penting saya tidak perlu repot-repot memakai pengaman ketika bercinta—wah rasanya berkali-kali lipat lebih nikmat ternyata!" "Saya pernah bilang kan, apa enaknya bercinta menggunakan karet?" Sandi menyunggingkan senyum miring, kembali mengepulkan asap rokoknya ke udara, mendongak menatap ke atas lalu menghela napas berat. "Kamu menyesal melakukannya?" Edgar bisa melihat wajah Sandi sebenarnya sedang tidak baik-baik saja. Jelas ada sesuatu yang membuatnya tidak nyaman. "Hanya tidak menyangka akan sampai di titik ini." "Nesa tidak tahu kamu lelaki seperti apa. Jika dia tahu kamu sering bercinta dengan banyak perempuan jelas ia tidak akan setuju kamu bersama
Jam dua siang mereka benar-benar baru meninggalkan kamar, itupun karena rasa lapar menghantui mereka. Jangan ditanya mereka melakukannya lagi atau tidak setelah membaca lembaran diary milik Nesa—tentu saja iya—maklum keduanya masih dimabuk cinta, kata Edgar ini adalah bentuk balas dendam karena selama hampir dua bulan resmi menikah mereka belum melakukannya. Beruntung Nesa mau melayaninya walaupun sembari merengek menangis. “Ih iya Mas aku lupa hari ini jadwal pemberangkatan Nadya lho,” kata Nesa ketika ia sedang fokus membuka handphonenya. “Jam berapa?” tanya Edgar. “Jam lima. Untung jam lima, jadi masih ada waktu buat ke sana,” kata Nesa mematikan layar handphonenya lalu menatap Edgar. “Aku ijin ketemu sama Nadya dulu ya Mas sebelum berangkat, ada Seruni juga kok, boleh?” Edgar mengangguk. “Sama saya.” “Oke!” Nesa kembali menampilkan senyum manisnya menatap Edgar, kembali melingkarkan kedua lengannya di leher Edgar—keduanya sedang menuruni tangga sekarang, hendak me
"Hah....."Baik Nesa maupun Edgar sama-sama terengah. Nesa yang berada di atas tubuh Edgar sampai tumbang, jatuh memeluk tubuh suaminya erat, menenggelamkan wajahnya tepat di dada Edgar."Saya masih belum selesai," kata Edgar menampilkan smirknya, mengusap bagian atas rambut Nesa.Masih dalam posisi yang sama, Nesa menggeleng-gelengkan kepalanya, lalu setelahnya mendongakkan wajahnya menatap manik sang suami. "Pak Edgar tadi janji hanya akan melakukannya satu kali," katanya dengan bibir yang ditekuk.Edgar mencubit pelan ujung hidung Nesa dengan gemas. "Ah! Kamu saja masih memanggil saya dengan sebutan Bapak. Bukankah sudah saya katakan akan menghukum kamu jika kembali mengatakan panggilan itu?"Nesa kembali memanyunkan bibirnya. "Justru kalau aku panggil selain itu, pasti akan terjadi ronde-ronde selanjutnya. Aku lelah—" Nesa menjeda ucapannya, kembali menenggelamkan wajahnya di permukaan dada suaminya. "Setelah melakukannya, aku ngantuk, mau tidur lagi...."Nesa dibawa berbaring di
Sesuai apa yang dikatakan oleh Nadya kemarin, mereka langsung merencenakan pertemuan dengan Seruni dan Risa, di kediaman Risa. Yang mana memang tujuan utamanya untuk memberi tahu jika Nadya akan pindah ke luar kota.Sekitar jam sepuluh Nesa pamit pada Edgar, lelaki itu tentu mengijinkan, bahkan mengantar Nesa ke kediaman Risa. Urusan mobil Nesa, masih berada di bengkel dan belum selesai diperbaiki, Edgar bahkan meminta untuk mengecek keadaan keseluruhan mobil.Sandi diminta untuk mengantarkan mobil milik Edgar yang berada di kediaman kedua orang tuanya. Hari ini memang masih hari libur, tentu saja Sandi menggerutu, ada banyak hal yang harus dibereskan untuk kepindahannya, nanti. Walaupun begitu Sandi tetap mengikuti perintah Edgar.Kemarin malam, tidak ada cara lain selain kembali ke tempat di mana mobil Nesa berada untuk mengambil kunci, kalau tidak seperti itu, bagaimana cara keduanya masuk ke dalam rumah.Edgar menyuruh Nesa untuk tetap menunggu di teras rumah, sedangkan dia sendir
Riuh tepuk tangan terdengar ketika lelaki yang menjadi pusat perhatian hampir seluruh pengunjung caffe selesai menyanyikan lau terakhirnya. Manik mata Edgar benar-benar tidak pernah lepas menatap ke arahnya, si lelaki yang ditatap juga jelas menatap ke arah Edgar—dari banyaknya pelanggan caffe, sosok Edgar tentu saja yang paling menarik perhatiannya. Bian turun dari atas panggung, setelah sebelumnya menyerahkan gitar yang tadi digunakan menjadi pengiring nyanyiannya kepada rekan bandnya, lalu melangkah menghampiri meja yang ditempati oleh Edgar. Tanpa meminta ijin, Bian langsung duduk tepat di hadapan Edgar. “Ada yang mau lo omongin sama gue?” tanya Bian to the point menatap tepat di manik matanya. Membenarkan posisi duduknya, lalu menyeruput minumam miliknya, Edgar mengangguk mengiyakan pertanyaan Bian. “Apa yang mau lo tanyain?” “Hubungan kamu dengan Vanesa.” “Apa lagi yang mau dijelasin. Nesa udah cerita sama lo kan, kalau kita udah ngga ada hubungan apa-apa.” “....” Edgar