Sudah sekitar dua jam yang lalu hujan mulai turun membasahi kota, namun tidak ada tanda-tanda jika hujan akan reda hingga sekarang. Nesa menatap restoran yang berada di depannya, cukup ramai pengunjung. Mungkin karena malam ini malam Minggu, jadi kebanyakan meja di tempati oleh sepasang kekasih. Hujan sedang mengguyur kota, jika bersama kekasih rasa dingin malam ini juga terasa hangat. Tangan Nesa terulur untuk mengambil tas yang ada di samping kursinya, mengeluarkan lipstick lalu mengoleskannya ke bibir, rambutnya yang semula dicepol asal kini sudah ia gerai. Setelah menghembuskan napas berat Nesa turun dari mobil, lalu berlari kecil untuk sampai di depan pintu restoran. Sebelum tangannya membuka pintu, ia lebih dulu mengusap-usap rok span putih juga blusnya yang sedikit basah karena terkena air hujan.
Kaki Nesa melangkah memasuki restoran, pandangannya ia edarkan ke setiap penjuru resto, tatapannya terhenti menatap lelaki yang juga sedang menatapnya sambil melambaikan tangan. Tampan, lelaki itu terlihat tampan. Sembari memuja lelaki itu di dalam hatinya, kaki Nesa kembali melangkah untuk menghampiri meja yang di tempati lelaki itu."Hai, Vanesa.""Hai."Mereka berdua saling menyapa, juga melemparkan senyum sambil berjabat tangan. Setelah Nesa melepaskan tangannya ia langsung dipersilahkan duduk oleh lelaki yang mengenakan kemeja berwarna navy itu."Maaf aku terlambat, kamu sudah menunggu lama?" tanya Nesa dengan rasa sesal."Tidak papa," jawabnya sambil tersenyum, tatapan mata lelaki itu sangat lembut bahkan Nesa sampai terpana melihatnya. "Kamu pasti sibuk sekali, di hari libur pun tetap bekerja," lanjutnya.Nesa mengangguk. "Ada kolage bisnis yang minta dimajukan jadwal meetingnya karena beliau akan melakukan perjalanan bisnis ke luar negeri.""Menyenangkan bukan bekerja di salah satu perusahaan terbaik? Naratama Crop di bidang bisnis & property, apalagi posisi kamu menjadi sekretaris wakil direktur."Lelaki di depan Nesa ini sedang memujinya 'kan? Tapi kenapa Nesa merasa tidak setuju dengan kalimat pertamanya. Menyenangkan? Tidak."Naratama medical center. Itu juga salah satu rumah sakit terbaik 'kan?"Terdengar tawa kecil dari bibirnya juga angukkan kepala.Nesa telat hampir tiga puluh menit dari waktu yang sudah mereka sepakati untuk bertemu. Bukan tanpa alasan kenapa Nesa datang terlambat, hal itu disebabkan karena bosnya. Sebenarnya meetingnya sudah selesai dari pukul tiga sore, tapi bosnya malah menambah pekerjaannya.Dua orang pramusaji menyimpan pesanan yang sudah Erwin pesan. Nesa menatap berbinar makanan yang sudah ada di depan mejanya. Semuanya menu favorit yang selalu Nesa pesan jika mengunjungi resto ini. Tapi kenapa Erwin bisa tahu menu favoritnya?"Risa memberitahu saya menu favorit kamu di restoran ini," tuturnya, tidak lupa dengan senyuman manis yang tidak pernah luntur dari bibirnya.Padahal ini hal sepele bukan? Tapi kenapa itu sangat berdampak untuk hati Nesa. Benar-benar sangat berlebihan. Nesa mengulum bibir untuk menyembunyikan senyumannya. "Engg ... thanks."Erwin Prasetya, lelaki yang berpropesi sebagai dokter saraf di rumah sakit Naratama medical center. Kemarin lusa, saat Nesa sedang makan siang ia menerima pesan dari Risa—salah satu sahabatnya. Ia mengatakan jika ada seseorang yang ingin menemuinya, dan dia adalah Erwin.Siapa yang tidak ingin mempunyai menantu yang berprofesi sebagai dokter? Walaupun tidak semua tapi banyak bukan yang menginginkannya? Selain profesinya, Erwin juga mempunyai wajah tampan, kulitnya sawo matang dengan perawakan tinggi. Sepertinya Nesa harus membawa Erwin ke rumahnya, pasti ibunya akan senang dan menghentikan ceramahnya dengan topik yang selalu sama; 'Kapan Nesa akan memperkenalakan calon menantu?'Tapi apakah tidak terburu-buru jika Nesa memperkenalkan Erwin kepada ibunya—maksudnya mereka baru bertemu sekarang, belum mengenal satu sama lain. Ah! Lagi-lagi Nesa perpikir terlalu jauh."Nadya, kamu sahabat dekatnya?"Nesa yang sedang menikmati makanannya seketika langsung menatap tepat ke arah manik mata Erwin, Bahkan Nesa sampai berhenti mengunyah makanan yang ada di mulutnya."Bagaimana tipe lelaki yang Nadya sukai?" Erwin kembali bertanya, dengan mata yang berbinar.Nesa menyimpan sendok yang sedang di pegangnya, lalu dia langsung meneguk minuman yang ada di hadapannya hingga menyisakkan setengah. Ia membuka tas yang ada di samping kursinya, mengambil handphone juga dompet yang berada di dalamnya.Terdengar notif pesan dari handphone milik Erwin, lelaki itu mengernyit saat melihat layar handponenya, lalu menatap Nesa seperti meminta penjelasan."Sudah aku kirimkan dalam bentuk file, lelaki idaman Nadya, makanan favorit, hobi, kegiatan yang Nadya sukai, dan yang lain-lainnya. Sudah lengkap di sana, silahkan tinggal di unduh saja file nya!" jelas Nesa sambil menampilkan senyum lebarnya. Ia mengeluarkan beberapa lembar uang seratus ribuan dan menyimpannya di meja."Aku harus pergi, bos aku tiba-tiba ngehubungin." Setelah mengatakan itu ia buru-buru berdiri dari duduknya."Vanesa!"Nesa mengabaikan panggilan Erwin , ia benar-benar pergi dari restoran itu. Senyum palsu yang tadi ia terbitkan di bibirnya kini sudah lenyap. Setelah memasuki mobil, dengan kasar ia mengosok-gosok bibirnya dengan tujuan untuk menghapus lipstick. Namun bukannya terhapus, lipstick itu malah menjadi belepotan di area dekat bibirnya."Sialan!""Oke! Vanesa tenang, ini bukan yang pertama kalinya, ini sudah biasa," ucapnya sambil mengusap dadanya lembut. Nesa melakukan itu dengan tujuan agar dadanya tidak merasakan sesak. Ia mencoba mengatur napasnya, menghirup beberapa detik lalu membuangnya perlahan.Tidak! Itu tidak berhasil, dadanya masih terasa sesak. Benar, ini bukan yang pertama kalinya terjadi. Ada lelaki yang mengajak Nesa bertemu, jika kalian berpikir lelaki itu tertarik dengan Nesa kalian salah. Bukan tertarik kepada Nesa, tapi Nadya—sahabatnya. Nesa dan Nadya memang bersahabat sudah lama sekali, bahkan sebelum mereka berdua lahir, kedua orang tuanya sudah lebih dulu berteman.kedua tangan Nesa digunakan untuk menyeka air mata yang ada di pipinya. Walaupun ini bukan yang pertama kali tapi rasanya tetap sama, kesal. Mungkin kalian berpikir ini hanya masalah sepele, ya ... Nesa juga berpikir yang sama. Entah Erwin ini lelaki ke berapa yang melakukan ini kepada Nesa. Nesa bahkan tidak mampu mengingat berapa jumlah lelaki yang akan menjadikan Nesa sebagai alat untuk mendapatkan hati Nadya."Kenapa aku harus nangis sih?" kesal Nesa di sela-sela tangisannya. Ia kesal kepada dirinya sendiri. Saat Nesa sedang bergelung dengan kekesalannya tiba-tiba ada notif pesan dari ponselnya."Aishh! Really?" Lagi-lagi Nesa menggerutu setelah membaca pesan dari ponselnya. Nesa melempar handphonenya ke kursi lalu ia mulai melajukan mobilnya. Hujan masih turun, bahkan turun lebih deras dari sebelumnya.***
“Ini handphonenya!” Lelaki yang mengenakan kemeja berwarna hitam itu menyerahkan hanphone kepada Nesa, lalu Nesa menerimanya.“Makasih, Pak Dion.”Dion mengangguk lalu menampilkan senyumnya. “Lo beneran gak papa nyetir sendirian? Ini udah malam, gue bisa panggilin supir gue buat anterin kalian pulang.” Suara Dion terdengar khawatir.“Ini bukan yang pertama kalinya buat saya Pak, jadi ngga papa.”“Oke kalau gitu, hati-hati ya!”Nesa mengangguk lalu menampilkan senyum sebelum akhirnya masuk ke dalam mobil. Sembari memakai safety belt ia menatap lelaki yang duduk di kursi belakang dengan sorot kesal melalui kaca.“Kenapa?” tanya lelaki itu membalas tatapan Nesa dengan tatapan tajamnya.“Tidak, Pak.” Nesa lagi-lagi menampilkan senyum lebar, lalu ia kembali melajukan mobilnya. Tentu saja dengan sumpah serapahnya di dalam hati.Sepertinya harinya selalu saja tidak berjalan mulus, ada saja hal-hal yang membuat Nesa kesal. Contohnya hari ini, di saat Nesa masih bergelung dengan selimutnya di k
“Nes, kemana aja sih?”Nesa berjalan memasuki unit apartemennya, matanya menatap dua orang perempuan yang sedang duduk di sofa, sebuah tayangan televisi yang menyiarkan berita gosip menjadi tontonan keduanya.“Bagus ya pagi-pagi sudah menjarah di unit apartemen saya!” cibir Nesa karena melihat banyak sekali makanan dan minuam yang ada di meja, bahkan kedua perempuan itu sedang memegang cup mie instan. Semua makanan dan minuman itu tentu saja milik Nesa.“Ibu sekretaris biasa aja kali, bicaranya formal banget,” sindir Risa.Nesa hanya memutar bola matanya jengah, ia melempar tasnya ke sembarang arah, dan ikut duduk di samping Risa sambil mengambil kue sus yang ada di meja, lalu melahapnya.“Kemana aja sih?” tanya Seruni mengulang pertanyaan yang belum Nesa jawab.“Biasa habis ngurus bayi besar,” jawab Nesa memegang remot televisi sambil mengganti channel televisi.“Bohong dia, semaleman habis sama Erwin,” celetuk Risa.Mendengar celetukan Risa membuat Nesa kembali mengingat kejadian di
Nesa menampilkan senyumnya. Agus—security yang hari ini sedang bertugas di depan lift, menyimpan benda pipih persegi atau cardlock pada kotak sensor untuk membuka pintu lift. Tidak lama pintu lift terbuka, Edgar masuk terlebih dahulu, lalu setelahnya baru Nesa.“Makasih Pak Agus,” ucap Nesa, tidak bersuara namun gerak bibirnya terbaca oleh Agus. Security itu hanya mengangguk lalu tersenyum, hingga pintu lift tertutup kembali dan bergerak naik ke atas.Tidak ada yang salah dari heals hitam yang dipakainya, hanya saja situasinya yang sangat hening di dalam lift ini membuat Nesa bingung harus menatap ke arah mana dan memutuskan untuk menatap sepasang healsnya saja.“Dina tidak menghubungimu?”Nesa mendongakkan kepalanya, lalu ia menatap ke arah Edgar. “Tidak Pak, kenapa memang?” tanya Nesa, ia bingung, kenapa pertanyaannya sama seperti kemarin? Kenapa Dina—calon istri Doni harus menghubunginya? Maksudanya untuk apa?Lagi dan lagi Edgar hanya diam, hingga pintu lift terbuka, lalu dia kelua
"Umur Edgar sudah berapa tahun?"Mia menatap perempuan yang duduk disebrangnya."Tahun ini 35."Evi—perempuan yang tadi bertanya langsung menatap Mia dengan tampang terkejut. "Ah! Edgar dan Fajar tahun kelahirannya sama, ya?"Mia mengangguk."Kamu ngga mau apa gendong cucu, Mia? Fajar saja sudah menikah dan sudah punya anak, bahkan sudah mau punya anak ke-2. Edgar kerja terus tapi ngga nikah-nikah."Mia menghela napasnya lesu. "Aku sudah bilang sama Edgar, duh rasanya mulutku udah sampai berbusa, nggak kehitung lagi pokonya berapa kali aku nanya tentang ini sama Edgar, tapi Edgar—" Mia sampai tidak bisa berkata-kata lagi, kepalanya menggeleng-geleng, tidak tahu harus bagaimana dengan pembahasan menikah ini."Masa dia belum pernah bawa perempuan ke rumah?" tanya Wita ikut bertanya.Mia hanya menggeleng.Evi salah satu dari Tante Edgar meringis prihatin menatap adik iparnya. "Atau aku kenalkan sama salah satu putri temanku?""Percuma, Mbak. Udah aku coba kenalin perempuan sama dia, tapi
"Perfect!" sekali lagi ucapan itu keluar dari mulut lelaki kemayu yang baru saja selesai memoles wajah Nesa dengan make-up yang membuat penampilan Nesa terlihat lebih cantik."Thankyou, Bep," ucap Nesa menampilkan senyumnya."Iya Bep! Cakep kan make-upnya? Bisa dibacok gue sama Pak Bos kalau make-upnya cacat."Nesa kembali menatap penampilannya di cermin, lalu mengangguk pelan. "Udah oke kok, tenang aja!""Lo tahu nggak, kalau make-up lo Pak Bos suka nih, bisa dibayar dua kali lipet gue, cucok 'kan?" Lelaki itu menampilkan cengiran khasnya menatap Nesa melalui pantulan cermin."Iya! Tahu gue... kalau make-up gue jelek udah pasti bikin malu Pak Bos di acara nikahan sahabatnya."Bukan hal baru memang, jika ada sebuah acara penting yang mengharuskan Nesa memoles wajahnya dengan make-up, maka Edgar akan menghadirkan MUA. Nesa tahu alasan mengapa harus memakai jasa MUA walaupun sebenarnya Nesa bisa memakai make-up sendiri, tentu saja agar Nesa tidak terlihat memalukan jika bersanding dengan
"Kamu sudah cukup lama menjadi sekretaris Edgar. Kamu pasti mengetahui banyak tentang kehidupan anak saya, apa kamu tahu tentang urusan percintaannya—maksudnya, apa kamu tahu Edgar sedang menjalin hubungan dengan seorang perempuan?" Mia menatap Nesa dengan tatapan penuh harap.Nesa menggeleng sebagai jawaban. Walaupun ia sudah cukup lama menjadi sekretaris Edgar, tapi ia tidak pernah tahu urusan percintaan bosnya. "Maaf, tapi saya tidak mengetahui urusan percintaan Pak Edgar, sepertrinya itu juga terlalu privacy.""Kamu tidak tahu ya... baiklah." Mia menjeda ucapannya beberapa detik, lalu kembali menatap Nesa. "Tapi, apa kamu pernah melihat Edgar tertarik dengan seorang perempuan, maksudnya pergi berkencan, atau menyuruh kamu untuk mencari tahu kehidupan salah seorang perempuan karena Edgar tertarik kepada perempuan itu?" Mia kembali melanjutkan pertanyaannya.Lagi-lagi Nesa menggeleng. Edgar tidak pernah membahas tentang perempuan kepadanya.Melihat Nesa menggeleng, membuat Mia mendad
Kedua bola matanya membola sempura, jantungnya berhenti berdetak untuk beberapa detik, jika saja tidak ada pintu di sampingnya, mungkin Nesa akan duduk terjatuh saking ia merasakan lemas di kakinya."Bu Nesa, selamat pagi," sapa Sandi yang baru menyadari kehadiran Nesa. Lelaki itu langsung berdiri dari duduknya dengan wajah yang sedikit terkejut karena kehadiran Nesa, namun dia berhasil menyembunyikan wajah terkejutnya dengan menampilkan sebuah senyuman. Karena sapaan Sandi, Edgar, lelaki yang sedang duduk di sun lounger ikut menatap Nesa."Pa—pagi... " Nesa merutuki dirinya sendiri karena suaranya terdengar sangat gugup. Ia berdehem, lalu tersenyum. "Pagi, Pak," ulang Nesa."Saya tunggu di luar kalau begitu." Sandi membungkukkan sedikit kepalanya untuk berpamitan, lalu dia berjalan meninggalkan area kolam renang, meninggalkan Edgar dan Nesa yang masih berdiri mematung di dekat sliding door.Edgar bangun dari duduknya, membenarkan lilitan handuk dipinggangnya lalu mengambil segelas min
Nesa mengangguk-anggukkan kepalanya sambil terkekeh pelan, lambat laun suara kekehan itu menjadi tawa cukup kencang, dan beberapa detik setelahnya bibirnya cemberut dan meraung frustasi. Perempuan itu mengacak-acak rambutnya dengan kesal, beberapa orang yang melihat keadaan Nesa meringis ngeri, mungkin saja mereka mengira Nesa adalah orang gila.Nesa sedang berada di jalanan trotoar hendak menuju ke unit apartemennya. Baiklah, kita ceritakan bagaimana awal mulanya Nesa pulang dengan keadaan jalan kaki seperti ini. Tadi, setelah semua pekerjaannya selesai Nesa bersiap akan pulang. Edgar awalnya mengajak Nesa untuk pulang bersama, namun tentu saja Nesa menolaknya, bahkan karena saking buru-burunya ingin pulang dan menghindari bosnya, Nesa sampai lupa membawa dompet. Nesa diturunkan oleh supir taxi karena Nesa mengaku jika dompetnya tertinggal di meja kerjanya, yang lebih parah adalah, baterai handphone Nesa habis, handphonenya mati total.Pikirannya sedang kacau karena bosnya, ditambah