Putaran kedua, Bian mulai main serius. Luna tidak bisa dipandang sebelah mata. Ia harus menang. Dan akhirnya putaran kedua Bian mendapatkan apa yang dia inginkan."Kamu masih virgin?"Manik Luna membeliak seketika. Sopakah bertanya begitu. "Aku bukan pria yang menuntut istriku harus perawan." Penekanan itu seolah menuntut agar Luna berkata jujur apa adanya."Darimana kebijaksanaan ini berasal. Dari banyaknya wanita yang kamu tiduri?""Anggap saja seperti itu. Jadi?"Bian mengamati wajah Luna dengan seksama. Bian tidak tahu apa alasan kegelisahan yang dia rasakan sekarang. Apakah karena dia sangat menunggu jawaban Luna atau karena keyakinannya bahwa Luna tidak akan memberikan jawaban yang artinya gadis itu akan melepaskan salah satu benda yang melekat di tubuhnya. Dan dari yang Bian amati, tidak ada yang menempel di tubuh Luna selain pakaiannya, kecuali memang..."Jangan lakukan itu!"Terlambat. Luna sudah melepaskan cincin kawinnya. "Aku menolak untuk menjawab.""Jangan melepaskannya
Bian duduk di kursi dekat jendela, menikmati ketenangan malam. Pintu kamar mandi terbuka, dan Luna keluar dengan langkah lembut. Rambut panjangnya yang basah mengkilap terurai hingga punggung, memberikan kilauan di bawah cahaya lampu kamar. Ia mengeringkan rambutnya dengan handuk putih yang kontras dengan warna rambutnya yang gelap. Luna mengenakan pakaian tidur sutra berwarna pastel, berpotongan sederhana namun tetap memancarkan kelembutan. Gaun tidur itu mengalir dengan lembut mengikuti lekuk tubuhnya, menonjolkan kesan feminin dan anggun. Kainnya yang halus membelai kulitnya, memberikan kesan nyaman namun elegan. Sambil berjalan menuju meja rias, Luna meletakkan handuk di kursi dan mengambil sisir. Ia mulai menyisir rambutnya dengan gerakan yang penuh perhatian, memastikan setiap helai rambut tertata rapi. Luna tampak fokus pada aktivitasnya, sesekali mengamati pantulan dirinya di cermin. Bian, yang duduk di kursi, memperhatikan setiap gerakan Luna dengan seksama. Tatapannya taj
Mengingat semua perlakuan ayahnya yang kasar dan tidak adil, Luna merasakan napasnya mulai kasar. Dia tidak pernah istimewa di mata siapa pun. Jika dia cukup istimewa, ayahnya tidak mungkin memberikan kejutan pahit di hari ulang tahunnya, dengan menjualnya. Jika dia cukup istimewa, harta yang diwariskan ibunya padany tidak mungkin disita dan jika dia cukup istimewa, ayahnya tidak akan tega melihatnya kelaparan dan terpaksa makan roti kering sementara ayahnya lebih dari mampu membeli sepotong roti yang lebih layak untuknya. Kadang ia bertanya-tanya, apakah dia seburuk itu atau ayahnya yang memang sekejam itu?Luna membungkuk tegang karena terlalu sakit, tapi matanya kering dan seperti terbakar. Ketegarannya berangsung sirna. Sekarang ia menyadari betapa kesepiannya dirinya. "Ibuku tersenyum sebelum memutuskan untuk meneguk racun yang entah sejak kapan dia siapkan. Kenapa ibuku begitu bahagia melakukan itu di hadapanku. Jika dia bisa tersenyum saat ingin meninggalkan, lantas ada apa d
Bian keluar dari kamar mandi dan terlihat sangat segar. Harusnya Luna sudah terbiasa, tapi tetap saja ia merasakan jantungnya berteriak-teriak seolah berencana untuk memecahkan gendang telinganya. "Aku ingin istirahat sebentar." Luna langsung membantunya berdiri, memegang bahu Bian, berat pria itu bertumpu ke tubuhnya. Sekarang tubuh Bian sangat familier baginya seperti tubuhnya sendiri, seolah Bian bagian dari dirinya. Tiba-tiba Luna merasakan dorongan ingin menempelkan pipi di kepala Bian yang berpotongan rambut tidak rata. Keinginan untuk merasakan kehalusan rambut Bian begitu kuat, meski Luna berusaha untuk menepisnya. Namun, kepala Bian seolah-olah memanggil menggodanya. Dengan hati-hati, Luna memindahkan tangannya dari bahu Bian ke helaian rambutnya, merasakan teksturnya. "Rambutmu sepertinya perlu dirapikan," katanya dengan lembut berharap Bian tidak menyadari debaran jantungnya yang semakin kencang. "Kalau begitu, silakan pangkas rambutku." "Kamu mempercayaiku
"Siap?"Bian menelan ludah. Tatapannya bergeser dari Luna ke palang, lalu kembali ke wanita itu."Aku tidak yakin.""Ini bukan masalah besar, Mas. Berdiri saja, jangan mencoba berjalan dulu. Biarkan kakimu terbiasa menopang bobotmu. Ayo, Mas, kamu pasti bisa!" Luna memamerkan senyum terbaiknya.Bian menatap senyum tersebut, yang berhasil menjadi mantara. Ia mengeraskan rahang dan mengulurkan tangan ke palang. Setelah menggenggam palang kuat-kuat, dia menarik tubuhnya bangkit dari atas kursi roda.Upaya mengangkat bobot berjalan mudah dengan menggunakan kekuatan bahu dan tangan. Bian mulai pucat dan peluhnya mulai menetes di wajahnya saat Luna mulai memposisikan kaki Bian dengan mantap di bawah tubuh."Sekarang, Mas," kata Luna dengan lembut. "Lepaskan tanganmu dari tugas menyanggah tubuh. Biarkan kakimu yang menopang. Kamu mungkin akan jatuh, jangan khawatirkan hal itu. Kata Julian, semua pasien jatuh ketika tiba di fase terapi ini."Bian menelan ludah, napasnya berat. Ia tidak yakin
Luna merasakan aliran panas yang menjalar ke wajahnya, tapi dia dengan cepat menenangkan diri. Sebuah senyum bermain di sudut bibirnya, dan matanya yang secerah madu memandang Bian dengan tajam namun lembut. Ciuman tadi cukup mengejutkan baginya, disusul dengan pernyataan yang terdengar seperti pujian membuat jantungnya berdebar kencang tidak karuan."Apa kamu juga tersesat, Mas Bian?" tanya Luna, suaranya terdengar menggoda namun cerdas. Dia mencondongkan tubuhnya sedikit lebih dekat, namun bukannya memberikan ciuman seperti yang mungkin diharapkan Bian, Luna menatapnya dengan intens, seolah-olah sedang mengajaknya bermain dalam permainan yang hanya mereka berdua yang tahu aturannya.Luna tersenyum, kali ini lebih dalam. "Pastikan saja, jika kamu tersesat, kamu tidak akan pernah ingin menemukan jalan keluar."Bian terdiam sejenak, terpesona oleh cara Luna merespons. Ada sesuatu dalam nada suaranya, sebuah ketegasan yang lembut, yang membuat Bian menyadari bahwa Luna bukan hanya seka
Hari ini cukup mengduk-aduk emosi bagi Luna. Ciuman, perbincangan layaknya teman, keintiman, harusnya hal tersebut bisa membuat Bian lebih terbuka padanya. Luna sudah maju selangkah demi selangkah, membuka diri kepada Bian, tapi pria itu tetap menutup diri. Bian tidak tahu jika ciuman dadakan tadi hampir membuatnya pingsan. Luna memegang bibirnya, masih bisa merasakan debaran jantungnya yang kacau karena masih merasakan Bian ada di sana. Apakah ikatan pernikahan yang sakral itu memang seperti ini? Setelah menyaksikan keserakahan dan keargonan ayahnya, diperlengkap dengan kebusukan Juan yang nyaris memperkosanya, dia tidak yakin dia akan mempercayai pria lagi. Tapi bersama Bian, tanpa sadar dia justru menunggu saat-saat terapi bersama Bian.Setelah makan malam, Bian meninggalkannya, Nathan mengumumkan ada telepon untuknya.Siapa kira-kira yang menghubunginya? Kenapa harus pergi menjauh ke ruangan khusus. Luna menemukan dirinya mulai penasaran. Bukan hanya tentang Bian secara personal,
Luna mulai mempersiapkan masa depannya dengan semangat yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Di waktu-waktu senggangnya, ia duduk di depan meja dengan buku catatan dan pena, atau kadang-kadang laptop, merancang café impiannya. Ia membayangkan tempat itu akan menjadi perpaduan antara kenyamanan dan elegansi, di mana orang-orang bisa bersantai sambil menikmati hidangan lezat dan suasana yang hangat. Dengan uang lima miliar yang kini ada di tangannya, Luna merasa semua itu mungkin. Dia membuat sketsa tata letak ruangan, memilih palet warna yang lembut, dan menuliskan ide-ide menu yang unik dan menggoda. Luna ingin kafenya berbeda, tempat di mana setiap sudutnya menceritakan kisah dan mencerminkan kepribadian serta perjalanan hidupnya. Ia juga mulai memikirkan hal-hal praktis, seperti lokasi yang tepat, target pasar, dan bagaimana cara menarik pelanggan. Luna tahu, kesuksesan café ini akan menjadi simbol dari kebebasan dan kemandiriannya, sesuatu yang ia bangun sendiri dari awal. Bag