"Kamu mengikuti saya, Luna?" Adam tiba-tiba berhenti dan berbalik. Untung refleks Luna cepat, jika tidak, bisa-bisa dia menabrak punggung pria itu. "Oh, bukan, Pak, bukan..." sambil menggoyang-goyangkan kedua telapak tangannya. "Lalu?" tanya Adam sambil menelusuri penampilan Luna yang sederhana namun menawan. Hari itu, Luna mengenakan blouse putih polos yang dipadukan dengan rok panjang warna navy. Gaya busananya simpel dan sopan, sangat sesuai dengan suasana kampus. Meski tanpa banyak hiasan, pakaian itu menonjolkan keanggunan alami Luna. Sepasang flat shoes yang nyaman melengkapi penampilannya, memberi kesan elegan tanpa usaha berlebih. Adam kembali menatap Luna, kali ini dengan alis yang terangkat, seakan menunggu penjelasan. "Ini, Pak, aku..." Adam geleng-geleng kepala, lalu menghela napas panjang sebelum melanjutkan. "Ini sudah tahun kedua kita bertemu, dan sepertinya tidak banyak yang berubah. Pertemuan pertama kita di semester empat, kamu sering absen, dan sekalinya hadir,
Luna tiba di sebuah taman kanak-kanak. Mobil yang dikemudikan Adam berhenti di depan gerbang sekolah, dan ia memberi isyarat agar Luna turun dan mengikutinya. Luna ragu sejenak, lalu akhirnya mengikuti Adam keluar dari mobil. Mereka berjalan melewati halaman yang dipenuhi dengan anak-anak kecil yang sedang bermain, tapi Luna merasa canggung dan asing di tempat itu. Tak lama kemudian, beberapa guru dan orang tua murid lainnya menyusul di belakang Saka, membawa seorang bocah yang sedang meraung dan menangis keras. Wajah anak itu basah oleh air mata, sementara tangannya menggenggam pipinya yang memerah. "Ini sudah keterlaluan! Anakmu lagi-lagi berkelahi dan sekarang lihat apa yang dia lakukan pada anakku!" seru orang tua murid dengan nada tinggi, membuat perhatian semua orang tertuju pada mereka. Adam segera berjongkok di depan Saka, mencoba menenangkan putranya yang terlihat ketakutan. "Saka, apa yang terjadi?" tanyanya dengan lembut, meskipun wajahnya jelas menunjukkan ketegang
"Apa Luna sudah hamil?" wajah ibu Bian di layar ponsel terlihat begitu serius ketika membahas hal ini. "Kami baru satu bulan menikah," jawabnya cuek. "Tidak semudah itu membuat seseorang hamil." Ini hanya sekedar alasan Bian saja tentunya. Fakta sebenarnya adalah karena ia tidak yakin bisa membuat Luna hamil. Ereksinya tidak bertahan lama, dan libidonya sering tidak tertebak. Kadang ia bergairah, terkadang tubuhnya tidak memberi reaksi apa-apa. Namun, ibunya tidak terpengaruh. Dia menatap Bian dengan tatapan penuh makna. "Ingat Bian perusahaan keluarga ini membutuhkan penerus." Bian menghela napas berat. "Apa Ibu bahkan tak ingat bahwa aku masih dalam pemulihan kesehatan?" "Tapi waktu tidak menunggu, Bian," ibunya mendesak. "Banyak yang ingin melengsermu. Ingat perjuangan Ayahmu. Dia sudah tiada dan kamu tidak bisa terus-menerus menunda tanggung jawab ini." "Aku akan mempertimbangkannya," nada Bian terdengar tegas. Membuat Ibunya hanya bisa mengangguk dan mengalihkan pembicaraan.
Luna mondar-mandir di kamar, gelisah menunggu kedatangan Bian. Setelah ultimatum keras yang diberikan Bian, Luna langsung bergegas masuk ke kamar dan membersihkan dirinya, memastikan tidak ada aroma orang lain yang bisa tercium oleh Bian yang terkenal dengan indera penciuman tajamnya. Sudah satu jam berlalu sejak Luna selesai mandi. Rambut panjangnya bahkan sudah kering, tapi Bian belum juga menampakkan dirinya. Luna duduk di tepi tempat tidur, kemudian bangkit lagi, tak bisa menenangkan kegelisahannya. Ia memandang pintu kamar yang tertutup rapat dengan penuh harap dan cemas, berharap Bian segera datang. Waktu terus berlalu, jarum jam bergerak tanpa henti hingga mencapai tengah malam. Bian masih belum muncul. Rasa takut dan cemas terus menghantui pikiran Luna, membuatnya tidak bisa tenang. Namun, tubuhnya yang lelah akhirnya menyerah, dan tanpa disadari, Luna tertidur di sofa, menunggu kedatangan Bian. Ketika matahari pagi menyusup masuk melalui celah-celah tirai, Luna terbangun d
Bukan sehari dua hari Bian mengabaikan Luna, tetapi sudah berhari-hari, dan kini memasuki hari keempat. Selama itu, Bian seolah-olah tak ingin berada di dekatnya. Dia memutuskan untuk tidur di kamar terpisah, membuat jarak semakin jelas di antara mereka. Setiap kali Luna mencoba menemani Bian saat terapi, Bian dengan tegas menolaknya. Bahkan ketika Luna dengan sepenuh hati menyiapkan sarapan, makan siang, dan makan malam, Bian selalu menemukan alasan untuk menghindari momen-momen tersebut. Luna yang sudah empat hari ini tidak pergi ke kampus demi memperbaiki hubungan mereka, merasa semakin putus asa. Setiap kali dia mencoba mendekat, Bian seolah membuat tembok yang tak bisa ditembus, dan perlahan-lahan, kesepian mulai merayapi hati Luna. Luna, merasa bosan dan terisolasi setelah empat hari diabaikan oleh Bian, memutuskan untuk mendatangi gimnasium tempat Bian biasanya berlatih. Ketika Luna tiba, gimnasium tampak sunyi kecuali untuk suara yang dihasilkan oleh Bian sesuai instruksi
Dengan menahan malu dan amarah, Luna meninggalkan gimnasium. Matanya terasa perih menahan tangis. Bian baru saja mengusirnya, membuatnya merasa ditolak mentah-mentah. Ia ingin marah, tetapi tidak memiliki cukup keberanian untuk meluapkan perasaannya. Setelah mengganti pakaiannya, Luna langsung menuju dapur. Seperti biasa, para pelayan menyambutnya dengan ramah. Luna tertawa getir melihat perlakuan itu. Di sini, di hadapan para pelayan, ia diperlakukan layaknya seorang Nyonya rumah, tetapi dalam hatinya, ia merasa tidak ada bedanya dengan para pelayan. Setidaknya, begitulah yang Luna rasakan. "Tinggalkan aku sendiri," pintanya dengan suara pelan. Luna ingin membuat kue, memasak makan siang, dan melakukan banyak hal di dapur untuk mengalihkan perasaan jengkelnya. Dia membuka buku resep mendiang ibunya, mencari inspirasi. Banyak resep yang ingin dia coba, termasuk beberapa yang dia temukan setelah menonton acara memasak di televisi. Luna tidak sadar berapa lama dia sudah berada di da
"Dude..." Julian mencoba untuk meredakan ketegangan, tetapi Bian memotongnya dengan nada penuh otoritas. "Pergilah, Julian!" suaranya dingin dan tajam, memerintahkan tanpa memberi ruang untuk Julian mendebatnya. Julian melirik Luna yang tampak ciut di hadapan Bian. Ekspresi takut jelas terpampang di wajah Luna, membuat Julian ragu sejenak. Namun, dia tahu Bian tidak suka dibantah, sehingga dengan berat hati, Julian mengangguk pelan dan berdiri untuk pergi. Bian tidak mengalihkan tatapannya dari Luna, bahkan setelah Julian meninggalkan ruangan. Matanya membara dengan emosi yang sulit diartikan, membuat Luna merasa kecil di hadapannya. Aura dingin Bian menekan, menyelimuti ruangan dengan ketegangan yang pekat. Dia tak perlu berkata apa-apa lagi untuk membuat Luna merasa bersalah dan takut. Tatapan itu sudah cukup untuk membuatnya merasa terpojok, seakan menelanjangi setiap tindakannya, seolah Bian bisa melihat langsung ke dalam pikirannya. Setelah beberapa detik yang terasa sep
Luna lelah setelah mengalami pukulan emosi dari Bian, jadi dia tidak peduli apakah Bian akan tidur di kamar atau tidak. Ia menarik selimut, memejamkan mata, menolak untuk membayangkan ciuman kasar yang dilakukan Bian padanya. Keesokan paginya, Luna memutuskan untuk pergi tanpa berpamitan. Diam-diam dia mengambil kunci mobil dan mengemudi sendiri. Dia belanja, menonton, makan dan juga mencari lokasi yang bagus untuk memulai usaha bisnisnya. Sedangkan di sisi lain, Bian yang turun untuk sarapan, menyadari sosok Luna yang tidak ada. Ia kemudian meminta Nathan untuk mengecek CCTV. "Berdasarkan CCTV, nyonya pergi sekitar jam tujuh pagi. Menyetir sendiri." Nathan mengumumkan dengan nada gugup. Sudut bibir Bian terangkat dan tangannya mengepal. Padahal kemarin Bian sudah memberikan hukuman untuk Luna, mengapa gadis itu masih juga berani terhadapnya. "Selamat pagi," Julian muncul tanpa menyadari ketegangan yang sedang terjadi di ruang makan. "Tidurmu nyenyak?" Bian mendengus. "Duduklah
Tepuk tangan kembali menggema, kali ini lebih meriah. Luna menatap Bian dengan mata berkaca-kaca, tidak mampu berkata apa-apa selain tersenyum. Ia mengambil mikrofon kecil yang disodorkan salah satu tamu, mencoba menguasai dirinya."Terima kasih, Mas Bian," katanya, suaranya sedikit bergetar tetapi tetap penuh ketulusan. "Kamu selalu tahu bagaimana caranya membuatku merasa istimewa. Aku tidak pernah meminta apa-apa selain cinta darimu, dan kamu memberiku lebih dari itu. Kamu memberiku keluarga, kebahagiaan, dan cinta yang tak pernah habis. Aku juga mencintaimu, lebih dari apa yang bisa aku ungkapkan dengan kata-kata."Seketika suasana terasa semakin emosional. Beberapa tamu bahkan terlihat menyeka air mata mereka, terharu oleh keintiman yang mereka saksikan. Dengan senyuman yang tak pernah lepas dari wajahnya, Bian menggenggam tangan Luna lebih erat. "Ayo kita potong kuenya," katanya, membawa mereka kembali ke momen yang lebih santai.Setelah mereka memotong kue bersama, suasana berub
Luna terus menelusuri setiap halaman buku jurnal yang diberikan Bian kemarin. Tulisan tangan suaminya terasa seperti suara dari hatinya sendiri, mengalir dengan kejujuran dan kerinduan yang tak terbendung. Setiap kata menggambarkan perjalanan emosional seorang pria yang berusaha keras mencari istri yang hilang, menanggung penyesalan yang mendalam atas kegagalannya selama setahun penuh. Air mata membasahi pipinya, tetapi senyumnya tetap bertahan. Ini bukan tangisan sedih; ini adalah tangisan karena cinta yang begitu nyata, begitu tulus.Ketika pintu kamar mereka terbuka, Luna mendongak, mendapati sosok Bian berdiri di sana. Cahaya dari luar ruangan menyinari pria itu, menegaskan aura ketenangan yang selalu menyelimutinya. "Hei, aku memberikan jurnal ini bukan untuk membuatmu menangis, Sayang," ujarnya, melangkah masuk dan langsung duduk di depannya. Dengan lembut, ia mengusap pipi Luna, menghapus jejak air mata yang masih tersisa. Sentuhan itu bukan hanya lembut, tetapi juga penuh ci
“Sikapmu mencurigakan!” Luna tertawa ringan saat ia memukul lembut dada suaminya, namun segera menyerah dalam pelukannya. Dekapan Bian selalu berhasil meredakan segala kekhawatiran yang memenuhi pikirannya. Hangat, nyaman—seolah seluruh dunia berhenti berputar, memberikan mereka momen yang hanya milik mereka berdua. Luna menyandarkan kepalanya di dada Bian, merasakan detak jantungnya yang stabil, menenangkan. Tidak ada tempat ternyaman selain berada di sisinya, seolah Bian adalah oksigen yang ia butuhkan untuk bertahan hidup. Membayangkan hidup tanpa pria itu terasa tak mungkin lagi, dan setiap kali ada keraguan yang muncul, ia segera tenggelamkan dalam ketenangan pelukannya.“Kamu tahu aku mencintaimu,” bisik Bian di telinga Luna, suaranya rendah namun penuh keyakinan, mengirimkan getaran lembut yang langsung menusuk ke dalam hati Luna. Bian tidak perlu bersuara keras untuk menunjukkan betapa ia sangat menyayangi istrinya—bisikan itu saja sudah cukup untuk mengukir janji tanpa kata-
“Kita tidak bisa mencampuri hubungan mereka,” ucap Bian, suaranya tenang namun penuh ketegasan. Dia telah mendengar cerita sebenarnya dari Luna—bagaimana Julian tidak menyentuh Sarena sama sekali, bagaimana situasi rumit itu hanyalah bayang-bayang dari ketidakpastian. Tetapi justru karena dia mengetahui kebenarannya, Bian merasa tidak berhak mengambil peran dalam keputusan yang hanya bisa diambil oleh Sarena sendiri. Hatinya berat, namun ia tahu apa yang harus dilakukan.“Sarena sudah jauh lebih dewasa. Dia pasti bisa menyikapi semua ini,” lanjutnya, seolah kata-kata itu diucapkan untuk menenangkan diri sendiri lebih dari sekadar memberi penegasan kepada istrinya. Dia ingin yang terbaik untuk Sarena, tanpa intervensi yang malah akan mengaburkan pilihan yang sebenarnya. Tapi, sebagai kakak, ada kekhawatiran yang tak bisa sepenuhnya ditepiskan. Ia tahu apa yang telah dilewati Julian, dan sebentuk kasih yang tak terucap tumbuh di hatinya.“Biarkan dia yang mengambil keputusan, Luna.” D
“Mas…” panggilan lembut Luna meluncur, berusaha menuntut perhatian suaminya yang tengah tenggelam di depan layar laptop. Ada kelembutan sekaligus sedikit tuntutan dalam suaranya, seolah mengingatkan bahwa ia tidak suka diabaikan.Bian menoleh dengan cepat, menyadari bahwa istrinya menginginkan sesuatu lebih dari sekadar jawaban biasa. Senyuman manisnya muncul, memupus segala letih yang terasa. “Ya, Luna, ada apa? Kamu butuh sesuatu, Sayang?” tanyanya dengan nada penuh perhatian.Luna tersenyum kecil, meski seulas kekhawatiran berbayang di matanya. “Tidak, Mas. Aku hanya ingin berbincang.” Kata-katanya sederhana, tetapi tersirat sebuah keinginan untuk didengar dan dimengerti. “Mas sedang sibuk atau bagaimana?” Ia tak ingin mengganggu, tetapi ia juga membutuhkan suaminya untuk bersamanya, sepenuhnya.Bian menatapnya dengan tatapan lembut penuh kasih sayang, mendengar nada halus yang menyiratkan beban dalam kalimat Luna. Meski pekerjaannya belum selesai, ia tak akan pernah meninggalkan i
Luna meremas tangan Sarena dengan lembut, mencoba meyakinkannya untuk terus bercerita. Tatapan penasaran yang dalam terpancar dari matanya, tak dapat disembunyikan oleh ekspresi tenangnya. “Lalu, apa sebenarnya masalahnya?” desaknya lagi, penuh rasa ingin tahu. Mengapa Sarena terlihat begitu sedih padahal ia dan Julian saling mencintai? Bukankah dua orang yang saling mencintai seharusnya menikah dan hidup bahagia?Namun, di dalam hatinya, Luna tahu bahwa pernyataannya itu tak sepenuhnya benar. Pernikahannya dengan Bian tidak dimulai dari cinta sejati; mereka menikah karena keputusan keluarga yang berujung pada pernikahan yang dipaksakan. Namun, seiring berjalannya waktu, cinta perlahan tumbuh di antara mereka. Takdir telah menenun kisah mereka dengan cara yang tak terduga, membawa mereka dari konflik menuju kedamaian, dari kecurigaan menjadi kepercayaan. Sekarang, mereka berada di tempat yang disebut dengan "akhir bahagia" – titik di mana cinta mereka telah melewati segala ujian."Aku
Luna tersenyum lembut sambil mendekat ke Felicia, gadis kecil yang tampak sibuk dengan pensil warna di tangan. "Hai, Felicia..." sapanya, duduk di sebelah gadis kecil itu. "Apa yang sedang kamu buat, Sayang?" tanyanya dengan hangat, matanya tertuju pada kertas penuh warna di hadapan Felicia.Felicia menoleh dengan senyum lebar. "Ini Ibu, sedang memakai baju pengantin! Dan ini Ayah Julian," jawabnya penuh antusias, telunjuk mungilnya menunjuk tiap karakter yang ia gambar. Matanya berbinar dengan bangga, seolah-olah memperkenalkan dunia imajinasinya kepada Luna.Luna tertawa kecil, matanya menelusuri gambar yang terlihat penuh cinta. "Dan ini kamu, ya?" ujarnya, menunjuk pada sosok kecil di antara gambar Sarena dan Julian. Felicia mengangguk dengan bersemangat, matanya menyorot kebahagiaan murni anak-anak."Hm, kalau ini?" Luna menunjukkan objek kecil di samping mereka yang mirip dengan keranjang bayi. Alisnya terangkat penasaran.Felicia tersenyum ceria, tatapannya polos namun mengandu
Setelah masalah Julian dan Sarena selesai, sesuai janjinya pada sahabatnya, Bian, dia membawa adik sahabatnya itu pulang. Dia akan melamar Sarena di hadapan sahabatnya, meminta restu Bian dan Luna.Julian dan Sarena kembali memasuki rumah, membawa serta Felicia yang menggenggam tangan mereka dengan erat. Begitu tiba di ruang tamu, Luna menyambut dengan senyum lebar, matanya berkilau penuh kegembiraan saat melihat adiknya akhirnya kembali. “Ah... akhirnya kamu pulang,” ucap Luna, memeluk Sarena erat-erat. "Aku sangat merindukanmu."Sarena balas memeluk, bibirnya melengkung lembut. “Aku juga merindukanmu, Luna. Sangat rindu. Ah... comelnya.” Sarena menoel pipi bayi tembem yang ada di gendongan Luna. Dia mengambil alih Mikayla dan menciumnya. "Adik bayinya lucu 'kan," ia menunjukkannya pada Felicia. Felicia mengangguk dan dengan malu-malu menyentuh pipi Mikayla."Hai, Felicia, selamat datang," Luna merentangkan tangannya, memeluk gadis kecil itu. Sarena sudah pernah membahas tentang Feli
Sarena menarik napas dalam, suaranya berubah lembut dan penuh kenangan ketika ia mulai bercerita. "Felicia… dia kebahagiaanku, Julian. Dia seperti sinar matahari yang muncul setelah badai, yang menghangatkan dan memberi arti baru dalam hidupku." Kata-katanya mengalir dengan tulus, mengisyaratkan seberapa besar perasaan dan perjuangannya selama ini. Di dalam setiap kata, Sarena menanamkan makna dari cinta seorang ibu yang tanpa syarat, sebuah cinta yang ia pilih dengan seluruh hatinya, walau penuh pengorbanan. Sorot matanya berkabut saat ia memandang Julian, mengungkapkan cinta dan kerinduan yang begitu dalam.Julian menggenggam tangan Sarena dengan lembut, merasakan beban yang selama ini ia bawa sebagai pria yang tiba-tiba diberi kesempatan kedua untuk mengenal putrinya. "Sekarang, dia juga bagian dari kehidupanku," ucapnya dengan suara bergetar, nyaris berbisik, seolah mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa kehadiran Felicia nyata, bahwa ini bukan mimpi belaka. "Kita akan merawat