Luna lelah setelah mengalami pukulan emosi dari Bian, jadi dia tidak peduli apakah Bian akan tidur di kamar atau tidak. Ia menarik selimut, memejamkan mata, menolak untuk membayangkan ciuman kasar yang dilakukan Bian padanya. Keesokan paginya, Luna memutuskan untuk pergi tanpa berpamitan. Diam-diam dia mengambil kunci mobil dan mengemudi sendiri. Dia belanja, menonton, makan dan juga mencari lokasi yang bagus untuk memulai usaha bisnisnya. Sedangkan di sisi lain, Bian yang turun untuk sarapan, menyadari sosok Luna yang tidak ada. Ia kemudian meminta Nathan untuk mengecek CCTV. "Berdasarkan CCTV, nyonya pergi sekitar jam tujuh pagi. Menyetir sendiri." Nathan mengumumkan dengan nada gugup. Sudut bibir Bian terangkat dan tangannya mengepal. Padahal kemarin Bian sudah memberikan hukuman untuk Luna, mengapa gadis itu masih juga berani terhadapnya. "Selamat pagi," Julian muncul tanpa menyadari ketegangan yang sedang terjadi di ruang makan. "Tidurmu nyenyak?" Bian mendengus. "Duduklah
Luna merasakan napas Bian yang hangat di lehernya, membuat detak jantungnya terasa semakin kencang. Tubuh Luna masih merasakan ketegangan yang baru saja terjadi. Perasaannya campur aduk-kaget, tentu saja, tapi lebih dari itu. Apa yang ia rasakan saat ini begitu sulit untuk dijelaskan. "Aku menemukan jawaban atas pertanyaanku," bisik Bian lembut di telinga Luna, bibirnya menyentuh lembut kulit telinga Luna. Luna menggeliat sedikit, dan Bian merasakan kesenangan yang aneh dari reaksi itu. "Aku harap aku tidak menyakitimu," Ucapan Bian pelan namun terdengar tegas, seakan mengakui bahwa permainannya tadi cukup kasar. Luna sendiri tak tahu harus berkata apa. la terbaring telentang di bawah tubuh Bian yang besar, merasakan berat tubuh pria itu di atasnya. Tangannya masih memeluk erat tubuh Bian, takut terjatuh, seolah dirinya sedang terbang, mengambang di antara kenyataan dan mimpi. Bian perlahan menarik kepalanya, menatap wajah Luna dengan saksama. la suka cara Luna menatapnya, mata ya
Bian awalnya tersenyum saat melihat foto-foto Luna saat kecil, namun senyum itu memudar ketika ia melihat Ana, serta kepastian bahwa Ana adalah putri biologis Gunawan. Kenyataan tentang ketidakadilan yang dialami Luna selama ini membuat amarah Bian mendidih. Terutama juga karena Bian kini sudah tau bahwa Ana yang telah mengirimkannya foto Luna yang sedang berduaan dengan Adam saat itu. "Nathan," panggil Bian dengan nada dingin, sikapnya berubah drastis. Nathan segera mendekat, merasakan ketegangan yang kembali hadir dalam diri Tuannya. "Lengserkan Gunawan dari perusahaan. Pastikan dia tidak diterima di mana pun setelah ini," perintah Bian tegas. Nathan mengangguk, paham tanpa perlu banyak bertanya, dan segera pergi untuk melaksanakan perintah. Bian akan memastikan bahwa siapa pun, terutama Gunawan tidak akan pernah menyakiti Luna. Bian kembali ke kamar dan menemukan Luna sudah tertidur lelap. Tubuhnya meringkuk di bawah selimut, wajahnya tenang, polos, dan damai, kontras
Ucapan Bian pagi tadi membuat Luna selalu terngiang-ngiang. Sebab itu, selesai pelajaran di kampus, Luna langsung pulang ke rumah. Sore ini, Luna memilih untuk menyiapkan makan malam dan memutuskan bertanya pada pelayan apa makanan kesukaan Tuan mereka. "Maaf, Nyonya, kami tidak tahu. Tuan Bian memakan semua makanan tanpa pernah melayangkan protes." "Hm, jadi dia tidak pemilih." "Hanya saja, tadi pagi Tuan meminta untuk menyiapkan roti dengan selai stroberi dan menyingkirkan blueberi. Serta menyiapkan salmon." "Dia meminta khusus?" "Ya, semuanya harus siap sebelum Nyonya bangun." Mendengar hal itu, hati Luna merasa hangat. Luna tidak tahu apakah Bian memang memberi perhatian khusus padanya atau tidak. Luna sudah lama tidak mendapatkan perhatian dari siapa pun, sejak kepergiaan ibunya. Sehingga perhatian kecil pun sangat berarti bagi Luna. "Baiklah kalau begitu, aku akan menyiapkan makan malam. Kalian bisa mengerjakan yang lain." "Tapi, Nyonya..." "Tidak apa-apa, dia
Semenjak mendengar ucapan Bian yang terdengar begitu ambigu. Luna tidak bisa tidak memikirkannya. Apa yang sebenarnya Bian maksud dengan menyukainya? Apakah itu tubuhnya atau hal lain? Yang membuat Luna merasa kesal adalah setelah mengatakan hal itu, Bian berbalik badan dan kembali meninggalkan Luna tanpa penjelasan lebih lanjut. Luna memberenggut kesal kembali memikirkan hal itu. Ia mencoba mengalihkan pikirannya kepada hal lain. Luna bersyukur hari ini adalah akhir pekan dan artinya ia tidak perlu masuk kuliah. Ini adalah waktu yang sempurna untuk bermalas-malasan. Pagi ini Bian juga tidak berusaha membangunkannya, seolah memberikan kesempatan bagi Luna untuk beristirahat. Namun, tak lama kemudian Luna mendengar suara seorang wanita. Luna memutuskan untuk turun dan mengecek suara siapa itu. Mata Luna membulat, langkahnya bahkan terhenti. Luna tidak dapat memercayai penglihatannya sendiri saat ini. Di ruang tamu, Bian sedang berpelukan dengan seorang wanita cantik yang tidak di
"Bagaimana?" Julian menghampiri Luna yang menyiram tanaman. Luna sampai terkejut, tidak menyadari kehadiran pria itu. "Julian! Untung aku tidak menyirammu." Julian tertawa, "Matikan dulu keranmu sebelum kamu benar-benar melakukannya." Luna pun melakukan apa yang diminta Julian, memutar keran hingga aliran air berhenti, lalu mereka berdua duduk di bangku taman. "Jadi?" tanya Julian. "Jadi apa?" Luna mengerutkan keningnya. Hubungannya dengan Julian semakin dekat akhir-akhir ini. Bian juga tidak pernah mempermasalahkan itu lagi. Entah Bian yang sudah bertambah dewasa, dengan mulai mempercayai Luna atau karena pria itu adalah Julian. Apa pun alasnnya, yang penting hubungan pertemanannya dengan Julian adalah hal yang juga ia syukuri saat ini. Julian teman yang asik diajak bicara. Pria itu juga pintar, banyak merekomendasikan peluang bisnis walau Luna tidak memberitahu Julian tentang impiannya. "Hubunganmu dengan Bian." "Seperti yang kamu lihat," Luna mengangkat kedua bahunya, men
Luna menatap Bian dengan pandangan serius. Mencoba menebak maksud pertanyaan Bian. Apakah suaminya itu sedang menggodanya atau bagaimana. Pada akhirnya dia tidak bisa menebak. "Bukan begitu, Mas," jawabnya pelan. "Bunga-bunga itu tidak bisa berbicara, tidak bisa memberi jawaban atas pikiran-pikiranku. Tapi mereka juga tak pernah memberi pertanyaan yang tak bisa kujawab." Bian menatap Luna, sedikit terkejut dengan jawabannya. "Jadi, kamu lebih suka sesuatu yang tidak banyak bertanya?" Luna tersenyum tipis. "Tidak, aku hanya menghargai keindahan dan keheningan mereka. Sama seperti aku menghargai percakapan dengan orang-orang di sekitarku." Bian menukikkan alisnya, matanya menyipit sedikit, mencoba menangkap maksud di balik kata-kata Luna. "Apakah itu sindiran halus karena aku jarang meluangkan waktu untuk berbincang denganmu?" Luna menahan senyum yang lebih lebar. "Bukan sindiran, Mas. Hanya sebuah pengingat bahwa percakapan itu penting, terutama ketika ada banyak hal yang tidak bi
"Bagaimana?" Kata bagaimana sepertinya menjadi favorit Julian. Bian dan Julian sedang duduk di ruang utama. Menunggu Luna dan Sarena turun. "Apa? Kakiku? Kurasa sudah cukup kuat untuk menendang bokongmu." Bian tahu kemana arah pertanyaan Julian, dia hanya tidak ingin memberikan kepuasan pada Julian dengan menjawab rasa penasaran pria itu. "Hubunganmu dengan Luna." Julian mendengus. "Baik," sahut Bian ringan. Julian memutar bola matanya. Dia tahu bukan hal yang mudah untuk mengorek informasi dari Bian, tapi tetap saja ia penasaran. "Terlihat jelas dari caramu cemburu pada bunga-bunga itu," seloroh Julian dengan nada meledek. "Apakah kamu dan dia?" "Berhentilah mengorek informasi hal yang sangat pribadi, Julian." "Aku doktermu," Julian membela diri. Seolah ini memang demi kemajuan kesehatan Bian. "Kalau begitu tanyakan tentang kesehatanku, bukan kisah asmaraku. Kecuali kamu adalah konsultan cinta." "Itulah yang sedang kutanyakan, Brother. Kesehatan organ vitalmu," tandas Juli