Luna menatap Bian dengan pandangan serius. Mencoba menebak maksud pertanyaan Bian. Apakah suaminya itu sedang menggodanya atau bagaimana. Pada akhirnya dia tidak bisa menebak. "Bukan begitu, Mas," jawabnya pelan. "Bunga-bunga itu tidak bisa berbicara, tidak bisa memberi jawaban atas pikiran-pikiranku. Tapi mereka juga tak pernah memberi pertanyaan yang tak bisa kujawab." Bian menatap Luna, sedikit terkejut dengan jawabannya. "Jadi, kamu lebih suka sesuatu yang tidak banyak bertanya?" Luna tersenyum tipis. "Tidak, aku hanya menghargai keindahan dan keheningan mereka. Sama seperti aku menghargai percakapan dengan orang-orang di sekitarku." Bian menukikkan alisnya, matanya menyipit sedikit, mencoba menangkap maksud di balik kata-kata Luna. "Apakah itu sindiran halus karena aku jarang meluangkan waktu untuk berbincang denganmu?" Luna menahan senyum yang lebih lebar. "Bukan sindiran, Mas. Hanya sebuah pengingat bahwa percakapan itu penting, terutama ketika ada banyak hal yang tidak bi
"Bagaimana?" Kata bagaimana sepertinya menjadi favorit Julian. Bian dan Julian sedang duduk di ruang utama. Menunggu Luna dan Sarena turun. "Apa? Kakiku? Kurasa sudah cukup kuat untuk menendang bokongmu." Bian tahu kemana arah pertanyaan Julian, dia hanya tidak ingin memberikan kepuasan pada Julian dengan menjawab rasa penasaran pria itu. "Hubunganmu dengan Luna." Julian mendengus. "Baik," sahut Bian ringan. Julian memutar bola matanya. Dia tahu bukan hal yang mudah untuk mengorek informasi dari Bian, tapi tetap saja ia penasaran. "Terlihat jelas dari caramu cemburu pada bunga-bunga itu," seloroh Julian dengan nada meledek. "Apakah kamu dan dia?" "Berhentilah mengorek informasi hal yang sangat pribadi, Julian." "Aku doktermu," Julian membela diri. Seolah ini memang demi kemajuan kesehatan Bian. "Kalau begitu tanyakan tentang kesehatanku, bukan kisah asmaraku. Kecuali kamu adalah konsultan cinta." "Itulah yang sedang kutanyakan, Brother. Kesehatan organ vitalmu," tandas Juli
Saat mereka turun dari mobil dan melangkah menuju restoran mewah, Luna merasakan sentuhan tangan Bian yang masih erat menggenggam tangannya. Ada kehangatan yang menular dari tangan Bian ke tangannya, membuatnya merasa lebih tenang dan nyaman. Luna tidak bisa menghentikan tatapannya dari tangan Bian yang diletakkan di atas tangannya, seolah menyampaikan rasa aman yang selama ini ia rindukan. Perasaan aneh dan campur aduk memenuhi benaknya. Di satu sisi, ia merasa seperti seorang putri yang sedang diantar oleh pangerannya ke sebuah acara penting. Di sisi lain, ada ketegangan yang membuncah dalam dirinya, seperti ia sedang berjalan di ambang batas antara mimpi dan kenyataan. Bian yang biasanya dingin, malam ini memperlakukannya dengan lembut dan penuh perhatian, sesuatu yang jarang Luna dapatkan. Beberapa pasang mata langsung tertuju pada mereka saat Bian dan Luna memasuki restoran mewah. Bian memang menawan dalam balutan jas hitam yang pas di tubuhnya, dengan potongan modern yang m
Belakangan ini Luna merasa sikap Bian semakin terasa melembut. Entah karena pria itu memang bahagia telah sembuh dan dapat kembali berjalan juga kembali mengurus pekerjaannya di kantor atau karena ada sesuatu lainnya. Namun, hal itu juga membuat suasana hati Luna semakin membaik. Sebab itu, di akhir pekan ini Luna memutuskan untuk mengunjungi taman belakang setelah hampir seminggu dirinya tidak pernah ke taman karena cukup sibuk dengan urusan kuliahnya. Luna baru melangkah memasuki area taman, namun matanya langsung tertuju pada sebuah rumah kaca yang terletak di sudut. Dalam benaknya, Luna bertanya-tanya sejak kapan ada rumah kaca di taman. Luna semakin melangkah mendekat dan masuk ke dalam rumah kaca itu. Senyum Luna mengembang begitu melihat hamparan bunga anggrek yang terlihat indah. Bukan hanya anggrek, tetapi juga ada beberapa jenis bunga lainnya yang sangat menawan, dengan kelopak bunga yang tebal, berwarna-warni, dan bercorak unik. Ada yang berwarna putih murni dengan sembu
Luna bangun lebih pagi hari ini. Bahkan matahari belum menyapa. Mungkin bawaan hati yang girang akhir-akhir ini. Saat ia membuka mata, hal pertama yang dia lihat adalah Bian. Pemandangan yang jarang terjadi. Biasanya, Bian selalu bangun lebih awal darinya. Menemukan Bian di sisinya dalam keadaan terlelap membuat jantungnya berdegup kencang. Ini imun baginya, tapi juga siksaan. Luna menopangkan kepalanya di salah satu tangannya, menatap wajah Bian yang masih terlelap. Senyum lembut menghiasi wajahnya mendengar dengkuran halus yang keluar dari mulut dan hidung suaminya. Luna duduk bersila, menatap wajah Bian dengan seksama. Jarang-jarang momen seperti ini terjadi dan ia akan memanfaatkannya. "Jika sedang tertidur begini, dia terlihat seperti malaikat tampan," gumam Luna sambil membungkuk mendekatkan wajahnya. "Bagaimana bisa dia tidak memiliki pori-pori di wajahnya? Ah, aku iri sekali. Pasti dia sangat rajin merawat wajahnya." Luna menurunkan tatapannya dari wajah Bian dan berhenti
"Selamat pagi," sapa Sarena dengan ceria saat Bian dan Luna turun untuk sarapan. "Pagi," jawab Luna dengan senyum hangat. Dalam beberapa minggu terakhir, hubungannya dengan Sarena memang semakin dekat. Sarena adalah gadis yang cantik, ceria, dan menyenangkan. Luna merasa Sarena adalah saudara perempuan yang selama ini dirinya harapkan. Karena memang hubungannya dengan Ana tidak pernah baik sejak dulu. Luna dan Sarena sering menghabiskan waktu bersama, terutama saat merawat anggrek di rumah kaca. Dari Sarena, Luna mendengar kisah yang mirip dengan yang pernah diceritakan oleh Julian tentang Bian—tentang ketegasan pria itu, kadang bahkan mendekati kejam. Tidak ada informasi baru yang ia dapatkan tentang suaminya. "Tidurmu nyenyak?" tanya Luna sambil duduk di sebelah Sarena. "Ya, cukup nyenyak. Kamu juga sepertinya sangat menikmati malammu," jawab Sarena dengan kerlingan mata menggoda, bergantian menatap Luna dan Bian sebelum tersenyum simpul. "Wajahmu tampak berbinar." Luna tersipu
Sarena menyeret tangan Luna memasuki sebuah klub bernama Vortex. Dari luar, bangunan itu sudah mengesankan dengan lampu neon yang berkedip-kedip dalam warna-warna mencolok, memberi tahu siapa pun yang lewat bahwa tempat ini bukan untuk yang berjiwa lemah. Begitu mereka masuk, Luna langsung disambut oleh suara musik yang menggema, dentuman bass yang mengguncang lantai, dan kilatan lampu strobe yang memecah kegelapan. Semua itu menciptakan atmosfer yang serba cepat dan sedikit menyesakkan bagi Luna. Di dalam, aroma campuran minuman keras, asap rokok, dan parfum mahal tercium kuat. Orang-orang di sekitar tampak tenggelam dalam dunia mereka sendiri, sebagian besar sudah dalam keadaan mabuk atau setengah mabuk. Mereka berdansa dengan penuh semangat, tubuh mereka bergerak seirama musik yang menggelegar, sementara beberapa lainnya berkerumun di bar, berbicara terlalu keras agar bisa saling mendengar. Luna merasa ragu dan tak nyaman. Matanya menatap sekitar, melihat wajah-wajah yang kebanya
Luna menghubungi Miya, satu-satunya orang yang bisa ia minta tolong. “Maaf sudah mengganggu tidurmu,” ucap Luna penuh sesal saat Miya muncul dengan wajah cemberut dan penasaran. Hari sudah hampir tengah malam. “Terima kasih sudah bersedia datang.” Miya memutar bola matanya. “Aku pikir aku salah dengar saat kamu bilang kamu di klub. Astaga, Luna, kamu benar-benar ya, mau belajar jadi liar?” Luna menggelengkan kepala. “Tempat ini mengerikan. Jalan cepat menuju neraka. Pak Adam ada di sana. Tolong antarkan dia sampai selamat.” “Kamu harus membayar mahal untuk ini,” kata Miya sambil menerima kunci mobil Adam yang berhasil Luna ambil dari kantong pria itu. “Nomor ponsel Nathan, aku akan memberikannya,” sahut Luna. “Oke. Lalu, kamu?” “Aku akan menyetir. Adik iparku sudah pingsan di sana.” Miya menoleh ke dalam mobil. Sarena duduk terkulai dengan rambut acak-acakan yang menutupi wajahnya. “Hais...mengapa ada orang-orang yang suka mabuk,” kata Miya sinis. Luna tidak menyangkal kata-