Belakangan ini Luna merasa sikap Bian semakin terasa melembut. Entah karena pria itu memang bahagia telah sembuh dan dapat kembali berjalan juga kembali mengurus pekerjaannya di kantor atau karena ada sesuatu lainnya. Namun, hal itu juga membuat suasana hati Luna semakin membaik. Sebab itu, di akhir pekan ini Luna memutuskan untuk mengunjungi taman belakang setelah hampir seminggu dirinya tidak pernah ke taman karena cukup sibuk dengan urusan kuliahnya. Luna baru melangkah memasuki area taman, namun matanya langsung tertuju pada sebuah rumah kaca yang terletak di sudut. Dalam benaknya, Luna bertanya-tanya sejak kapan ada rumah kaca di taman. Luna semakin melangkah mendekat dan masuk ke dalam rumah kaca itu. Senyum Luna mengembang begitu melihat hamparan bunga anggrek yang terlihat indah. Bukan hanya anggrek, tetapi juga ada beberapa jenis bunga lainnya yang sangat menawan, dengan kelopak bunga yang tebal, berwarna-warni, dan bercorak unik. Ada yang berwarna putih murni dengan sembu
Luna bangun lebih pagi hari ini. Bahkan matahari belum menyapa. Mungkin bawaan hati yang girang akhir-akhir ini. Saat ia membuka mata, hal pertama yang dia lihat adalah Bian. Pemandangan yang jarang terjadi. Biasanya, Bian selalu bangun lebih awal darinya. Menemukan Bian di sisinya dalam keadaan terlelap membuat jantungnya berdegup kencang. Ini imun baginya, tapi juga siksaan. Luna menopangkan kepalanya di salah satu tangannya, menatap wajah Bian yang masih terlelap. Senyum lembut menghiasi wajahnya mendengar dengkuran halus yang keluar dari mulut dan hidung suaminya. Luna duduk bersila, menatap wajah Bian dengan seksama. Jarang-jarang momen seperti ini terjadi dan ia akan memanfaatkannya. "Jika sedang tertidur begini, dia terlihat seperti malaikat tampan," gumam Luna sambil membungkuk mendekatkan wajahnya. "Bagaimana bisa dia tidak memiliki pori-pori di wajahnya? Ah, aku iri sekali. Pasti dia sangat rajin merawat wajahnya." Luna menurunkan tatapannya dari wajah Bian dan berhenti
"Selamat pagi," sapa Sarena dengan ceria saat Bian dan Luna turun untuk sarapan. "Pagi," jawab Luna dengan senyum hangat. Dalam beberapa minggu terakhir, hubungannya dengan Sarena memang semakin dekat. Sarena adalah gadis yang cantik, ceria, dan menyenangkan. Luna merasa Sarena adalah saudara perempuan yang selama ini dirinya harapkan. Karena memang hubungannya dengan Ana tidak pernah baik sejak dulu. Luna dan Sarena sering menghabiskan waktu bersama, terutama saat merawat anggrek di rumah kaca. Dari Sarena, Luna mendengar kisah yang mirip dengan yang pernah diceritakan oleh Julian tentang Bian—tentang ketegasan pria itu, kadang bahkan mendekati kejam. Tidak ada informasi baru yang ia dapatkan tentang suaminya. "Tidurmu nyenyak?" tanya Luna sambil duduk di sebelah Sarena. "Ya, cukup nyenyak. Kamu juga sepertinya sangat menikmati malammu," jawab Sarena dengan kerlingan mata menggoda, bergantian menatap Luna dan Bian sebelum tersenyum simpul. "Wajahmu tampak berbinar." Luna tersipu
Sarena menyeret tangan Luna memasuki sebuah klub bernama Vortex. Dari luar, bangunan itu sudah mengesankan dengan lampu neon yang berkedip-kedip dalam warna-warna mencolok, memberi tahu siapa pun yang lewat bahwa tempat ini bukan untuk yang berjiwa lemah. Begitu mereka masuk, Luna langsung disambut oleh suara musik yang menggema, dentuman bass yang mengguncang lantai, dan kilatan lampu strobe yang memecah kegelapan. Semua itu menciptakan atmosfer yang serba cepat dan sedikit menyesakkan bagi Luna. Di dalam, aroma campuran minuman keras, asap rokok, dan parfum mahal tercium kuat. Orang-orang di sekitar tampak tenggelam dalam dunia mereka sendiri, sebagian besar sudah dalam keadaan mabuk atau setengah mabuk. Mereka berdansa dengan penuh semangat, tubuh mereka bergerak seirama musik yang menggelegar, sementara beberapa lainnya berkerumun di bar, berbicara terlalu keras agar bisa saling mendengar. Luna merasa ragu dan tak nyaman. Matanya menatap sekitar, melihat wajah-wajah yang kebanya
Luna menghubungi Miya, satu-satunya orang yang bisa ia minta tolong. “Maaf sudah mengganggu tidurmu,” ucap Luna penuh sesal saat Miya muncul dengan wajah cemberut dan penasaran. Hari sudah hampir tengah malam. “Terima kasih sudah bersedia datang.” Miya memutar bola matanya. “Aku pikir aku salah dengar saat kamu bilang kamu di klub. Astaga, Luna, kamu benar-benar ya, mau belajar jadi liar?” Luna menggelengkan kepala. “Tempat ini mengerikan. Jalan cepat menuju neraka. Pak Adam ada di sana. Tolong antarkan dia sampai selamat.” “Kamu harus membayar mahal untuk ini,” kata Miya sambil menerima kunci mobil Adam yang berhasil Luna ambil dari kantong pria itu. “Nomor ponsel Nathan, aku akan memberikannya,” sahut Luna. “Oke. Lalu, kamu?” “Aku akan menyetir. Adik iparku sudah pingsan di sana.” Miya menoleh ke dalam mobil. Sarena duduk terkulai dengan rambut acak-acakan yang menutupi wajahnya. “Hais...mengapa ada orang-orang yang suka mabuk,” kata Miya sinis. Luna tidak menyangkal kata-
Sinar matahari menyeruak dan membuat Luna terbangun dari tidurnya. Luna menatap Bian yang sedang memakai jam tangannya. Bian bangun lebih awal lagi dari Luna. Jam berapa pria itu pulang, dia pun tak tahu. Yang jelas sekarang Bian sudah mengenakan pakaian rapi dan sudah terlihat segar dan menawan. "Bagaimana acara semalam? Siapa yang menang?" Hah? Luna terkejut mendengar pertanyaan Bian. Mengapa dia bertanya siapa yang menang? Apa dia tahu apa yang terjadi tadi malam? "Ada masalah?" Bian mendekati Luna. Kali ini tatapannya berusaha menyelidiki sikap diamnya Luna. Luna buru-buru menggeleng. "Kutebak, Sarena pasti pemenangnya. Dia memang tahu cara menghabiskan uang. Apa yang kamu beli?" Luna menghela nafas lega begitu menyadari maksud pertanyaan Bian adalah mengenai acara berbelanjanya dengan Sarena. "Ya. Dia belanja banyak. Aku hanya belanja beberapa barang." Luna beranjak dari tempat tidur. Berjalan menuju kantong belanjaan yang diletakkan di sudut ruangan. Ia mengintip
"Terima kasih sudah mengantarku." Ya, pada akhirnya Bian bersikeras untuk mengantar Luna ke kampus. Dan sekarang mereka sudah sampai. Luna akhirnya berbohong pada Bian dan mengatakan bahwa tidak ada apa pun yang terjadi padanya semalam. Bian tidak menyahut. Sepenjang perjalanan mereka hanya saling diam. Meski berusaha menghindar untuk menatap wajah Bian, Luna tetap saja diam-diam melirik tangan Bian saat menarik tuas mobil. Bagaimana jari-jari Bian yang panjang mengepal di sana. Ini pertama kalinya dia melihat Bian menyetir. Dan ini pertama kalinya mereka berduaan di mobil. Bagi Luna ini sangat intim. Jantungnya berkhianat, dia berdebar. "Sebaiknya aku turun. Kelasku akan dimulai sebentar lagi." Saat Luna hendak turun, Luna baru menyadari bahwa Bian masih mengunci pintu mobil, Luna otomatis tidak bisa keluar dari sana. Luna menoleh, bertanya dalam diam. Bian mencondongkan tubuhnya. Mata Luna melebar sebelum akhirnya terpejam secara naluri. Beberapa detik Luna menunggu, na
"Apa kau tidak memikirkan pandangan orang lain jika sampai mengetahui istri seorang Bian Sagara dekat dengan pria lain?" tanya Bian dengan nada tegas dan dingin, hampir seperti sebuah peringatan. Kata-katanya membuat Luna terdiam. Dia tahu Bian sedang marah, dan memilih untuk tidak memperkeruh suasana. Sepanjang perjalanan pulang, keheningan menyelimuti mereka berdua. Luna merasa campuran antara kesal dan dongkol. Baru saja tiba di kampus, sudah harus pulang lagi. Namun, di balik rasa kesalnya, ada ketakutan yang menjalar. Bian tampak sangat marah, dan Luna tidak berani menambah masalah dengan membuka percakapan lebih lanjut. Sesampainya di rumah, Luna berencana untuk langsung menuju kamar, menghindari perdebatan atau konflik yang mungkin terjadi. Namun, ketika dia baru saja hendak naik ke lantai atas, langkahnya terhenti. Sarena, yang kebetulan sedang menuruni tangga, datang dari arah berlawanan. "Kalian berdua, cepat duduk!" suara Bian terdengar dari ruang tamu. Nada suaranya jel