Share

Tidak Ada Izin Untuk Apa Pun

Penulis: Mr.Dopamine
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

"Terima kasih sudah mengantarku."

Ya, pada akhirnya Bian bersikeras untuk mengantar Luna ke kampus. Dan sekarang mereka sudah sampai. Luna akhirnya berbohong pada Bian dan mengatakan bahwa tidak ada apa pun yang terjadi padanya semalam.

Bian tidak menyahut. Sepenjang perjalanan mereka hanya saling diam. Meski berusaha menghindar untuk menatap wajah Bian, Luna tetap saja diam-diam melirik tangan Bian saat menarik tuas mobil. Bagaimana jari-jari Bian yang panjang mengepal di sana. Ini pertama kalinya dia melihat Bian menyetir. Dan ini pertama kalinya mereka berduaan di mobil.

Bagi Luna ini sangat intim. Jantungnya berkhianat, dia berdebar.

"Sebaiknya aku turun. Kelasku akan dimulai sebentar lagi."

Saat Luna hendak turun, Luna baru menyadari bahwa Bian masih mengunci pintu mobil, Luna otomatis tidak bisa keluar dari sana.

Luna menoleh, bertanya dalam diam. Bian mencondongkan tubuhnya. Mata Luna melebar sebelum akhirnya terpejam secara naluri. Beberapa detik Luna menunggu, na
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Terikat Pernikahan Dengan CEO Dingin   Interogasi

    "Apa kau tidak memikirkan pandangan orang lain jika sampai mengetahui istri seorang Bian Sagara dekat dengan pria lain?" tanya Bian dengan nada tegas dan dingin, hampir seperti sebuah peringatan. Kata-katanya membuat Luna terdiam. Dia tahu Bian sedang marah, dan memilih untuk tidak memperkeruh suasana. Sepanjang perjalanan pulang, keheningan menyelimuti mereka berdua. Luna merasa campuran antara kesal dan dongkol. Baru saja tiba di kampus, sudah harus pulang lagi. Namun, di balik rasa kesalnya, ada ketakutan yang menjalar. Bian tampak sangat marah, dan Luna tidak berani menambah masalah dengan membuka percakapan lebih lanjut. Sesampainya di rumah, Luna berencana untuk langsung menuju kamar, menghindari perdebatan atau konflik yang mungkin terjadi. Namun, ketika dia baru saja hendak naik ke lantai atas, langkahnya terhenti. Sarena, yang kebetulan sedang menuruni tangga, datang dari arah berlawanan. "Kalian berdua, cepat duduk!" suara Bian terdengar dari ruang tamu. Nada suaranya jel

  • Terikat Pernikahan Dengan CEO Dingin   Kenapa Dia Senang

    Luna memandangi wajah Sarena dengan cermat, mencoba mencari kejujuran di sana. Namun, ekspresi adik iparnya terlihat bingung, seolah tidak mengerti maksud pertanyaan Luna. Hal itu semakin membuat Luna curiga bahwa Sarena sedang mengelak. Di dalam hatinya, Luna yakin ia tidak salah dengar tadi malam. Nama Inara jelas disebut sebagai kekasih Bian, dan itu cukup mengguncang hatinya. "Sarena, tadi malam kamu menyebut seseorang bernama Inara," kata Luna, suaranya pelan namun serius. "Kamu bilang dia adalah kekasih Bian." Sarena mengerutkan kening, mencoba mengingat sesuatu. Namun, tatapannya masih tampak bingung. "Inara?" gumamnya, seolah mengulangi nama itu untuk mencoba memicu ingatannya. "Aku tidak ingat menyebutkan nama itu. Siapa dia?" Luna menghela napas dalam-dalam, merasa sedikit frustrasi. "Kamu bilang Inara adalah kekasih Bian. Kamu bahkan menyebutnya dengan cukup jelas tadi malam." Mendengar penegasan itu, Sarena tampak terkejut. "Aku bilang begitu?" tanyanya, lebih kepada

  • Terikat Pernikahan Dengan CEO Dingin   Tak Enak Badan

    "Kamu sudah tidur?" Bian memasuki kamar, menanggalkan satu persatu yang dia kenakan. Mulai dari jam tangan, jas, dasi dan membuka kemejanya hingga hanya kaos putih bersih yang melekat di sana. Luna yang sebenarnya belum tidur, memilih untuk diam. Berlakon seolah dia sudah tertidur lelap. Bian memasuki kamar mandi. Bersih-bersih sebelum tidur sudah menjadi kebiasaan pria itu. Bian keluar tidak berapa lama. Pria itu sudah mengenakan celana piyama longgar tanpa atasan. Ranjang merengsek saat dia duduk di sisi yang kosong. Kemudian dia menarik selimut, masuk ke dalamnya.Luna masih enggan untuk menjawab. Namun, dirinya mulai sedikit tersentak begitu mendapati sentuhan hangat di wajahnya. Bahkan hembusan nafas pria itu terasa di ceruk leher Luna. Membuatnya merasa geli, hingga akhirnya ia semakin merasakan bahwa wajah Bian kian mendekat ke wajahnya. Luna membuka matanya, "Apa yang mau Mas lakukan?" Luna dapat melihat wajah Bian yang cukup dekat dengan wajahnya. Pria itu berusaha meny

  • Terikat Pernikahan Dengan CEO Dingin   Aku Butuh Perhatian

    Luna terbangun saat sinar matahari menerpa wajahnya. Ia merasa sedikit hangat dan nyaman karena ada sesuatu yang melingkar di perutnya. Saat kesadarannya pulih sepenuhnya, dia sadar itu adalah tangan Bian. "Bagaimana aku bisa sampai di sini?" Membayangkan Bian mengangkatnya ke atas ranjang, hatinya menghangat. Perlahan, Luna berbalik dan menemukan Bian masih tertidur lelap. Sudah lama ia tidak melihat wajah suaminya dengan puas, tanpa beban, tanpa rasa canggung atau jaga jarak. Luna memanfaatkan momen ini untuk benar-benar memandangi Bian. Wajah Bian terlihat sangat tenang dalam tidurnya. Garis-garis wajahnya yang biasanya tegas kini terlihat lebih lembut, memberikan kesan hangat yang jarang muncul dalam kesehariannya. Rambutnya sedikit berantakan, tetapi justru membuatnya tampak lebih natural dan mendekati sisi pria yang Luna jarang lihat. Tanpa sadar, jemari Luna bergerak, ingin menyentuh pipi Bian. Namun, dia menahan diri, khawatir akan membangunkannya. Perlahan, ia menar

  • Terikat Pernikahan Dengan CEO Dingin   Tamu Tak Diundang

    "Dia sudah tidur lagi," Luna mengamati wajah Bian yang kembali terlelap setelah meminum obat. Menjelang sore, Luna turun dari kamar. Ia harus menemui Sarena sebelum gadis itu juga ikut merajuk padanya. Sampai di ruang utama, dia tidak menemukan Sarena sama sekali. Saat ia hendak mencarinya ke dapur. Bel rumah berbunyi. Dia bisa saja mengabaikannya dan membiarkan pelayan membuka pintu untuknya. Tapi, dia tidak melakukannya. Luna berlari kecil menuju pintu. Dibukanya kedua daun pintu yang besar itu. Sulit menentukan wanita mana yang lebih terkejut ketika saling melihat. Tamu itu yang lebih dahulu membuka suara dan bertanya pada Luna. "Siapa kamu?" Wanita itu menegakkan tubuhnya. Kulit yang membalut tulang wajahnya yang klasik sangat halus sehingga tidak tampak garis atau kerut sama sekali. Dengan dingin wanita itu berkata, "Aku bertanya padamu." "Bukankah aku yang seharusnya bertanya, siapa kamu?" Luna menolak untuk menjawab siapa dirinya. Dia mengamati wanita itu. Pakaiannya

  • Terikat Pernikahan Dengan CEO Dingin   Wanita Masa Lalu Bian

    "Kamu tidak bisa ke sana," Luna menghentikan Irana yang hendak melangkah menuju lantai dua. Selain Bian memang tidak ada di sana, seingat Luna, lantai dua terlarang untuk siapa pun. "Maaf?" Luna tahu Inara mengerti maksudnya. "Kamu tidak diijinkan naik ke atas," tegas Luna yang langsung membuat wajah Inara masam. "Aku ingin bertemu Bian." "Dia sedang istirahat. Dan aku tidak ingin ada yang mengganggu ketenangannya." Inara terlihat tidak suka dengan apa yang Luna katakan. Wanita itu kembali melayangkan tatapan menilai padanya. Dan terlihat di wajah Inara jika dia merasa lebih hebat dari Luna. Inara menoleh ke arah Sarena, seolah meminta dukungan. Sarena terlihat sedikit tegang, tetapi akhirnya menganggukkan kepala. "Apa yang dikatakan Luna benar. Bian butuh istirahat." Sarena tidak menjelaskan bahwa Bian sedang sakit. Bisa-bisa Inara langsung menerobos masuk ke dalam kamar. Inara mendesah, tampak kesal, tetapi akhirnya mengangkat kedua bahunya dengan ekspresi menyera

  • Terikat Pernikahan Dengan CEO Dingin   Dari Mana Kamu?

    "Rumah ini sesuai inginku." Kata itu terus terngiang di telinga Luna. Luna berjalan tanpa tujuan, membiarkan kakinya membawa dirinya sejauh mungkin dari rumah. Saat sebuah mobil menekan klakson dengan nyaring, Luna terlonjak kaget, dan berbalik dengan niat untuk meluapkan amarahnya. Namun, begitu melihat Saka tersenyum padanya, kemarahan yang hendak meluap itu segera mereda. “Onty Luna, mau kemana?” tanya Saka, dengan nada yang lembut namun penuh keceriaan. Ayah dari bocah itu keluar dari mobil. Adam tersenyum padanya, Luna membalasnya dengan canggung mengingat pertemuan terakhir mereka. "Hai," sapa Adam dengan santai. "Kamu mau kemana?" Adam menoleh ke kiri dan ke kanan untuk melihat siapa gerangan teman Luna. Mungkin saja Bian muncul entah darimana. "Eum, itu, Pak..." "Onty ikut kami saja. Saka dan Papa mau cari makan."Sekarang apa yang Bian dan Inara lakukan di rumah impian mereka? Batin Luna. "Bagaimana? Kamu mau ikut?" Pertanyaan Adam menyentakkan lamunannya. "Ah, ya, b

  • Terikat Pernikahan Dengan CEO Dingin   Suka Anak Kecil

    Mendengar apa yang dikatakan pelayan, Luna bisa menduga jika hubungan Bian dan wanita itu cukup intens. Pelayan sampai mengenal dan tahu kebiasaannya. Saat Luna kembali ke ruang utama, Bian tidak ada di sana. Inara pun demikian. Ia kembali ke kamar, tidak berniat untuk mencari keberadaan keduanya. Ia butuh air dingin untuk meredamkan otak dan hatinya yang panas. "Kamu belum menjawab pertanyaanku," Bian masuk ke dalam kamar saat Luna baru saja masuk ke dalam selimut. Kenapa dia baru muncul sekarang? Kenapa tidak mengejarku dari tadi. Sibuk dengan Inara? Luna menatapnya, tapi tidak berniat untuk menjawab pertanyaan yang dimaksud Bian. Seingatnya, dia sudah menjawab apa pun yang ditanyakan Bian padanya. "Kamu dengar aku, Luna." Pria itu berjalan mendekati ranjang. "Aku lelah, aku mau tidur." "Tidak, sebelum kamu menjawab pertanyaanku." "Pertanyaan yang mana yang kamu maksud, Mas?" Nadanya ketus tidak bersahabat. Tidak peduli apakah Bian akan marah padanya atau tidak. "Darimana

Bab terbaru

  • Terikat Pernikahan Dengan CEO Dingin   Happy Ending

    Tepuk tangan kembali menggema, kali ini lebih meriah. Luna menatap Bian dengan mata berkaca-kaca, tidak mampu berkata apa-apa selain tersenyum. Ia mengambil mikrofon kecil yang disodorkan salah satu tamu, mencoba menguasai dirinya."Terima kasih, Mas Bian," katanya, suaranya sedikit bergetar tetapi tetap penuh ketulusan. "Kamu selalu tahu bagaimana caranya membuatku merasa istimewa. Aku tidak pernah meminta apa-apa selain cinta darimu, dan kamu memberiku lebih dari itu. Kamu memberiku keluarga, kebahagiaan, dan cinta yang tak pernah habis. Aku juga mencintaimu, lebih dari apa yang bisa aku ungkapkan dengan kata-kata."Seketika suasana terasa semakin emosional. Beberapa tamu bahkan terlihat menyeka air mata mereka, terharu oleh keintiman yang mereka saksikan. Dengan senyuman yang tak pernah lepas dari wajahnya, Bian menggenggam tangan Luna lebih erat. "Ayo kita potong kuenya," katanya, membawa mereka kembali ke momen yang lebih santai.Setelah mereka memotong kue bersama, suasana berub

  • Terikat Pernikahan Dengan CEO Dingin   Kamu Lah Takdirku

    Luna terus menelusuri setiap halaman buku jurnal yang diberikan Bian kemarin. Tulisan tangan suaminya terasa seperti suara dari hatinya sendiri, mengalir dengan kejujuran dan kerinduan yang tak terbendung. Setiap kata menggambarkan perjalanan emosional seorang pria yang berusaha keras mencari istri yang hilang, menanggung penyesalan yang mendalam atas kegagalannya selama setahun penuh. Air mata membasahi pipinya, tetapi senyumnya tetap bertahan. Ini bukan tangisan sedih; ini adalah tangisan karena cinta yang begitu nyata, begitu tulus.Ketika pintu kamar mereka terbuka, Luna mendongak, mendapati sosok Bian berdiri di sana. Cahaya dari luar ruangan menyinari pria itu, menegaskan aura ketenangan yang selalu menyelimutinya. "Hei, aku memberikan jurnal ini bukan untuk membuatmu menangis, Sayang," ujarnya, melangkah masuk dan langsung duduk di depannya. Dengan lembut, ia mengusap pipi Luna, menghapus jejak air mata yang masih tersisa. Sentuhan itu bukan hanya lembut, tetapi juga penuh ci

  • Terikat Pernikahan Dengan CEO Dingin   Bahagia Selamanya

    “Sikapmu mencurigakan!” Luna tertawa ringan saat ia memukul lembut dada suaminya, namun segera menyerah dalam pelukannya. Dekapan Bian selalu berhasil meredakan segala kekhawatiran yang memenuhi pikirannya. Hangat, nyaman—seolah seluruh dunia berhenti berputar, memberikan mereka momen yang hanya milik mereka berdua. Luna menyandarkan kepalanya di dada Bian, merasakan detak jantungnya yang stabil, menenangkan. Tidak ada tempat ternyaman selain berada di sisinya, seolah Bian adalah oksigen yang ia butuhkan untuk bertahan hidup. Membayangkan hidup tanpa pria itu terasa tak mungkin lagi, dan setiap kali ada keraguan yang muncul, ia segera tenggelamkan dalam ketenangan pelukannya.“Kamu tahu aku mencintaimu,” bisik Bian di telinga Luna, suaranya rendah namun penuh keyakinan, mengirimkan getaran lembut yang langsung menusuk ke dalam hati Luna. Bian tidak perlu bersuara keras untuk menunjukkan betapa ia sangat menyayangi istrinya—bisikan itu saja sudah cukup untuk mengukir janji tanpa kata-

  • Terikat Pernikahan Dengan CEO Dingin   Kamu Yang Terindah

    “Kita tidak bisa mencampuri hubungan mereka,” ucap Bian, suaranya tenang namun penuh ketegasan. Dia telah mendengar cerita sebenarnya dari Luna—bagaimana Julian tidak menyentuh Sarena sama sekali, bagaimana situasi rumit itu hanyalah bayang-bayang dari ketidakpastian. Tetapi justru karena dia mengetahui kebenarannya, Bian merasa tidak berhak mengambil peran dalam keputusan yang hanya bisa diambil oleh Sarena sendiri. Hatinya berat, namun ia tahu apa yang harus dilakukan.“Sarena sudah jauh lebih dewasa. Dia pasti bisa menyikapi semua ini,” lanjutnya, seolah kata-kata itu diucapkan untuk menenangkan diri sendiri lebih dari sekadar memberi penegasan kepada istrinya. Dia ingin yang terbaik untuk Sarena, tanpa intervensi yang malah akan mengaburkan pilihan yang sebenarnya. Tapi, sebagai kakak, ada kekhawatiran yang tak bisa sepenuhnya ditepiskan. Ia tahu apa yang telah dilewati Julian, dan sebentuk kasih yang tak terucap tumbuh di hatinya.“Biarkan dia yang mengambil keputusan, Luna.” D

  • Terikat Pernikahan Dengan CEO Dingin   Tentang Sarena

    “Mas…” panggilan lembut Luna meluncur, berusaha menuntut perhatian suaminya yang tengah tenggelam di depan layar laptop. Ada kelembutan sekaligus sedikit tuntutan dalam suaranya, seolah mengingatkan bahwa ia tidak suka diabaikan.Bian menoleh dengan cepat, menyadari bahwa istrinya menginginkan sesuatu lebih dari sekadar jawaban biasa. Senyuman manisnya muncul, memupus segala letih yang terasa. “Ya, Luna, ada apa? Kamu butuh sesuatu, Sayang?” tanyanya dengan nada penuh perhatian.Luna tersenyum kecil, meski seulas kekhawatiran berbayang di matanya. “Tidak, Mas. Aku hanya ingin berbincang.” Kata-katanya sederhana, tetapi tersirat sebuah keinginan untuk didengar dan dimengerti. “Mas sedang sibuk atau bagaimana?” Ia tak ingin mengganggu, tetapi ia juga membutuhkan suaminya untuk bersamanya, sepenuhnya.Bian menatapnya dengan tatapan lembut penuh kasih sayang, mendengar nada halus yang menyiratkan beban dalam kalimat Luna. Meski pekerjaannya belum selesai, ia tak akan pernah meninggalkan i

  • Terikat Pernikahan Dengan CEO Dingin   Julian Yang Malang

    Luna meremas tangan Sarena dengan lembut, mencoba meyakinkannya untuk terus bercerita. Tatapan penasaran yang dalam terpancar dari matanya, tak dapat disembunyikan oleh ekspresi tenangnya. “Lalu, apa sebenarnya masalahnya?” desaknya lagi, penuh rasa ingin tahu. Mengapa Sarena terlihat begitu sedih padahal ia dan Julian saling mencintai? Bukankah dua orang yang saling mencintai seharusnya menikah dan hidup bahagia?Namun, di dalam hatinya, Luna tahu bahwa pernyataannya itu tak sepenuhnya benar. Pernikahannya dengan Bian tidak dimulai dari cinta sejati; mereka menikah karena keputusan keluarga yang berujung pada pernikahan yang dipaksakan. Namun, seiring berjalannya waktu, cinta perlahan tumbuh di antara mereka. Takdir telah menenun kisah mereka dengan cara yang tak terduga, membawa mereka dari konflik menuju kedamaian, dari kecurigaan menjadi kepercayaan. Sekarang, mereka berada di tempat yang disebut dengan "akhir bahagia" – titik di mana cinta mereka telah melewati segala ujian."Aku

  • Terikat Pernikahan Dengan CEO Dingin   Dia Akan Menikahimu?

    Luna tersenyum lembut sambil mendekat ke Felicia, gadis kecil yang tampak sibuk dengan pensil warna di tangan. "Hai, Felicia..." sapanya, duduk di sebelah gadis kecil itu. "Apa yang sedang kamu buat, Sayang?" tanyanya dengan hangat, matanya tertuju pada kertas penuh warna di hadapan Felicia.Felicia menoleh dengan senyum lebar. "Ini Ibu, sedang memakai baju pengantin! Dan ini Ayah Julian," jawabnya penuh antusias, telunjuk mungilnya menunjuk tiap karakter yang ia gambar. Matanya berbinar dengan bangga, seolah-olah memperkenalkan dunia imajinasinya kepada Luna.Luna tertawa kecil, matanya menelusuri gambar yang terlihat penuh cinta. "Dan ini kamu, ya?" ujarnya, menunjuk pada sosok kecil di antara gambar Sarena dan Julian. Felicia mengangguk dengan bersemangat, matanya menyorot kebahagiaan murni anak-anak."Hm, kalau ini?" Luna menunjukkan objek kecil di samping mereka yang mirip dengan keranjang bayi. Alisnya terangkat penasaran.Felicia tersenyum ceria, tatapannya polos namun mengandu

  • Terikat Pernikahan Dengan CEO Dingin   Bagaimana Denganmu Luna Sayang

    Setelah masalah Julian dan Sarena selesai, sesuai janjinya pada sahabatnya, Bian, dia membawa adik sahabatnya itu pulang. Dia akan melamar Sarena di hadapan sahabatnya, meminta restu Bian dan Luna.Julian dan Sarena kembali memasuki rumah, membawa serta Felicia yang menggenggam tangan mereka dengan erat. Begitu tiba di ruang tamu, Luna menyambut dengan senyum lebar, matanya berkilau penuh kegembiraan saat melihat adiknya akhirnya kembali. “Ah... akhirnya kamu pulang,” ucap Luna, memeluk Sarena erat-erat. "Aku sangat merindukanmu."Sarena balas memeluk, bibirnya melengkung lembut. “Aku juga merindukanmu, Luna. Sangat rindu. Ah... comelnya.” Sarena menoel pipi bayi tembem yang ada di gendongan Luna. Dia mengambil alih Mikayla dan menciumnya. "Adik bayinya lucu 'kan," ia menunjukkannya pada Felicia. Felicia mengangguk dan dengan malu-malu menyentuh pipi Mikayla."Hai, Felicia, selamat datang," Luna merentangkan tangannya, memeluk gadis kecil itu. Sarena sudah pernah membahas tentang Feli

  • Terikat Pernikahan Dengan CEO Dingin   Lega

    Sarena menarik napas dalam, suaranya berubah lembut dan penuh kenangan ketika ia mulai bercerita. "Felicia… dia kebahagiaanku, Julian. Dia seperti sinar matahari yang muncul setelah badai, yang menghangatkan dan memberi arti baru dalam hidupku." Kata-katanya mengalir dengan tulus, mengisyaratkan seberapa besar perasaan dan perjuangannya selama ini. Di dalam setiap kata, Sarena menanamkan makna dari cinta seorang ibu yang tanpa syarat, sebuah cinta yang ia pilih dengan seluruh hatinya, walau penuh pengorbanan. Sorot matanya berkabut saat ia memandang Julian, mengungkapkan cinta dan kerinduan yang begitu dalam.Julian menggenggam tangan Sarena dengan lembut, merasakan beban yang selama ini ia bawa sebagai pria yang tiba-tiba diberi kesempatan kedua untuk mengenal putrinya. "Sekarang, dia juga bagian dari kehidupanku," ucapnya dengan suara bergetar, nyaris berbisik, seolah mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa kehadiran Felicia nyata, bahwa ini bukan mimpi belaka. "Kita akan merawat

DMCA.com Protection Status