"Kamu tidak bisa ke sana," Luna menghentikan Irana yang hendak melangkah menuju lantai dua. Selain Bian memang tidak ada di sana, seingat Luna, lantai dua terlarang untuk siapa pun. "Maaf?" Luna tahu Inara mengerti maksudnya. "Kamu tidak diijinkan naik ke atas," tegas Luna yang langsung membuat wajah Inara masam. "Aku ingin bertemu Bian." "Dia sedang istirahat. Dan aku tidak ingin ada yang mengganggu ketenangannya." Inara terlihat tidak suka dengan apa yang Luna katakan. Wanita itu kembali melayangkan tatapan menilai padanya. Dan terlihat di wajah Inara jika dia merasa lebih hebat dari Luna. Inara menoleh ke arah Sarena, seolah meminta dukungan. Sarena terlihat sedikit tegang, tetapi akhirnya menganggukkan kepala. "Apa yang dikatakan Luna benar. Bian butuh istirahat." Sarena tidak menjelaskan bahwa Bian sedang sakit. Bisa-bisa Inara langsung menerobos masuk ke dalam kamar. Inara mendesah, tampak kesal, tetapi akhirnya mengangkat kedua bahunya dengan ekspresi menyera
"Rumah ini sesuai inginku." Kata itu terus terngiang di telinga Luna. Luna berjalan tanpa tujuan, membiarkan kakinya membawa dirinya sejauh mungkin dari rumah. Saat sebuah mobil menekan klakson dengan nyaring, Luna terlonjak kaget, dan berbalik dengan niat untuk meluapkan amarahnya. Namun, begitu melihat Saka tersenyum padanya, kemarahan yang hendak meluap itu segera mereda. “Onty Luna, mau kemana?” tanya Saka, dengan nada yang lembut namun penuh keceriaan. Ayah dari bocah itu keluar dari mobil. Adam tersenyum padanya, Luna membalasnya dengan canggung mengingat pertemuan terakhir mereka. "Hai," sapa Adam dengan santai. "Kamu mau kemana?" Adam menoleh ke kiri dan ke kanan untuk melihat siapa gerangan teman Luna. Mungkin saja Bian muncul entah darimana. "Eum, itu, Pak..." "Onty ikut kami saja. Saka dan Papa mau cari makan."Sekarang apa yang Bian dan Inara lakukan di rumah impian mereka? Batin Luna. "Bagaimana? Kamu mau ikut?" Pertanyaan Adam menyentakkan lamunannya. "Ah, ya, b
Mendengar apa yang dikatakan pelayan, Luna bisa menduga jika hubungan Bian dan wanita itu cukup intens. Pelayan sampai mengenal dan tahu kebiasaannya. Saat Luna kembali ke ruang utama, Bian tidak ada di sana. Inara pun demikian. Ia kembali ke kamar, tidak berniat untuk mencari keberadaan keduanya. Ia butuh air dingin untuk meredamkan otak dan hatinya yang panas. "Kamu belum menjawab pertanyaanku," Bian masuk ke dalam kamar saat Luna baru saja masuk ke dalam selimut. Kenapa dia baru muncul sekarang? Kenapa tidak mengejarku dari tadi. Sibuk dengan Inara? Luna menatapnya, tapi tidak berniat untuk menjawab pertanyaan yang dimaksud Bian. Seingatnya, dia sudah menjawab apa pun yang ditanyakan Bian padanya. "Kamu dengar aku, Luna." Pria itu berjalan mendekati ranjang. "Aku lelah, aku mau tidur." "Tidak, sebelum kamu menjawab pertanyaanku." "Pertanyaan yang mana yang kamu maksud, Mas?" Nadanya ketus tidak bersahabat. Tidak peduli apakah Bian akan marah padanya atau tidak. "Darimana
Luna benar-benar tidak mengerti sebagai apa dirinya di mata Bian. Terkadang sikap manis Bian membuatnya terbuai. Namun, di saat ia terbuai dan merasa hubungan mereka mulai dekat, Bian tiba-tiba menjaga jarak.Luna menatap Bian yang tertidur lelap, sementara dia tidak bisa memejamkan mata sejak perdebatan mereka yang berujung bercinta gila-gilaan.Perlahan Luna turun dari ranjang. Keluar dari kamar menuju dapur. Mendadak perutnya sangat lapar. Ruang keluarga masih terang benderang. Rupanya ada Sarena yang masih menonton sambil rebahan menikmati popcorn.Luna berjalan mendekatinya. Sarena langsung duduk tersenyum canggung."Belum tidur?" Tanya Luna sambil mengambil beberapa butir popcorn yang disodorkan Sarena padanya. "Belum mengantuk. Kamu kenapa belum tidur?"Luna mengangkat kedua bahunya, "Aku sedikit gelisah.""Karena Inara?" Tebak Sarena."Kamu berbohong padaku," Luna menatap Sarena dengan kecewa. Gadis itu menutupi kebenaran tentang Inara yang dia ungkapkan saat mabuk. "Maafka
"Apa maksudmu dengan foto-foto itu?" Luna menghubungi Ana dengan suara berbisik sambil matanya terus mengawasi Bian yang masih terlelap. Terdengar tawa renyah Ana di seberang telepon. "Aku tahu kamu tidak bodoh, Luna. Kamu jelas mengerti dengan maksudku. Jika kamu penasaran, aku bisa mengirim yang lainnya padamu. Coba bayangkan bagaimana reaksi suamimu? Kutebak, suamimu tidak tahu keliaranmu ini, bukan? Astaga, Luna... Kenapa kamu berani sekali. Well, kamu memang sangat liar." "Kamu pikir aku takut dengan ancaman, Ana?" "Ah, aku justru senang mendengar betapa kamu sangat bernyali. Ya sudah, selamat malam. Juan sedang menuntut perhatianku." Ana memutuskan sambungan telepon. Luna masih bergeming, menatap layar ponselnya, seolah fotonya dan Adam masih ada di sana. Sebelum kembali naik ke atas ranjang, Luna menonaktifkan ponselnya. Dia takut Ana mengusiknya dan mengirim foto-foto lain dan Bian melihatnya. Begitu ia naik ke ranjang, Bian langsung memeluk perutnya. Dan jika Ana ber
"Apa yang kamu inginkan?" Luna langsung bertanya tanpa basa-basi begitu ia sampai di tempat ia dan Gunawan berjanji. Luna bisa saja mengabaikan pesan dari Gunawan, tapi ia yakin ayahnya akan terus mendesak jika inginnya tidak dipenuhi. "Duduklah dulu," kata Gunawan sambil menyentakkan dagu ke arah kursi yang ada di hadapannya. Meski desakan ingin melayangkan kata-kata sengit, Luna tetap menuruti ingin Gunawan. Meja mereka sudah penuh dengan sisa bekas makanan. Rupanya mereka sudah makan siang tanpa repot-repot menunggunya. "Lagi pula, kita sudah lama tidak bertemu," kata wanita yang duduk di sampingnya. Ibu Ana. "Dan sangat tidak mungkin kalian mengajakku bertemu karena sangat merindukanku," sarkasnya dengan ekspresi wajah masam yang tidak berusaha ia sembunyikan. Ia yakin ada sebab lain, selain rindu tentunya. Ibu tirinya tertawa sinis, balik menatapnya dengan jengkel. "Apa kamu sudah merasa hebat setelah menikah dengan Bian Sagara sehingga kamu kehilangan sopan santunmu."
Bian sedang sibuk memeriksa dokumen yang menumpuk. Setelah benar-benar pulih, dia mulai sibuk lagi mengurus perusahaan. Gunawan benar-benar banyak melakukan kecurangan selama dia fokus pada kesehatannya. Keputusan tepat memang memecat pria serakah itu. Terlalu fokus, sampai ketukan di pintu tidak ia dengar sama sekali. Mencium aroma yang familier, akhirnya ia mendongak. Inara muncul dengan wajah sumringah. "Hai," sapa wanita itu dengan riang gembira. "Kejutan," imbuhnya dengan semangat. Ya, Bian memang sedikit terkejut dan agak bingung kenapa Inara ada di sana. "Apa yang kamu lakukan di sini?" Bian bertanya dengan nada dan ekspresi yang sama datarnya walau beberapa detik lalu dia sempat terkejut melihat kehadiran wanita itu. "Bekerja," sahut Inara, masih dengan nada sumringah. Dia berjalan anggun mendekati Bian. "Ini hari pertamaku, bagaimana jika nanti kita makan siang bersama." "Aku sibuk." "Jam makan siang harusnya istirahat," Inara mengusap pundak Bian. "Sudah dua tahu
Bian menatap kosong hasil USG yang ditinggalkan Inara di atas mejanya. Kemudian dia memasukkannya ke dalam laci. Ini kejutan yang jelas sangat tidak ia harapkan sama sekali. Nathan muncul di ruangannya. Mengumumkan bahwa Inara memang diterima melalui prosedur yang ditetapkan perusahaan. "Kamu bahkan melewatkan hal ini?" "Menyeleksi karyawan, bukan pekerjaanku, Tuan, kecuali Anda memberi perintah khusus." Bian tidak mendebat Nathan tentang hal itu. Asistennya itu benar adanya. Hanya saja tidak pernah ia duga Inara akan muncul lagi dan justru melibatkan diri dalam kehidupannya. "Awasi dia." "Baik, Tuan." Bian kembali melanjutkan pekerjaannya. Tapi, Nathan masih bergeming di sana. Bian mengangkat kepala, menatap asistennya itu dengan heran. "Sepertinya masih ada hal yang ingin kamu laporkan?" Bian mengetukkan jemarinya di atas meja. "Ini tentang istri Anda, Tuan." Bian terdiam sejenak, ketukan jarinya di meja juga berhenti. "Lanjutkan," katanya kemudian. "Sekitar jam satu