"Apa maksudmu dengan foto-foto itu?" Luna menghubungi Ana dengan suara berbisik sambil matanya terus mengawasi Bian yang masih terlelap. Terdengar tawa renyah Ana di seberang telepon. "Aku tahu kamu tidak bodoh, Luna. Kamu jelas mengerti dengan maksudku. Jika kamu penasaran, aku bisa mengirim yang lainnya padamu. Coba bayangkan bagaimana reaksi suamimu? Kutebak, suamimu tidak tahu keliaranmu ini, bukan? Astaga, Luna... Kenapa kamu berani sekali. Well, kamu memang sangat liar." "Kamu pikir aku takut dengan ancaman, Ana?" "Ah, aku justru senang mendengar betapa kamu sangat bernyali. Ya sudah, selamat malam. Juan sedang menuntut perhatianku." Ana memutuskan sambungan telepon. Luna masih bergeming, menatap layar ponselnya, seolah fotonya dan Adam masih ada di sana. Sebelum kembali naik ke atas ranjang, Luna menonaktifkan ponselnya. Dia takut Ana mengusiknya dan mengirim foto-foto lain dan Bian melihatnya. Begitu ia naik ke ranjang, Bian langsung memeluk perutnya. Dan jika Ana ber
"Apa yang kamu inginkan?" Luna langsung bertanya tanpa basa-basi begitu ia sampai di tempat ia dan Gunawan berjanji. Luna bisa saja mengabaikan pesan dari Gunawan, tapi ia yakin ayahnya akan terus mendesak jika inginnya tidak dipenuhi. "Duduklah dulu," kata Gunawan sambil menyentakkan dagu ke arah kursi yang ada di hadapannya. Meski desakan ingin melayangkan kata-kata sengit, Luna tetap menuruti ingin Gunawan. Meja mereka sudah penuh dengan sisa bekas makanan. Rupanya mereka sudah makan siang tanpa repot-repot menunggunya. "Lagi pula, kita sudah lama tidak bertemu," kata wanita yang duduk di sampingnya. Ibu Ana. "Dan sangat tidak mungkin kalian mengajakku bertemu karena sangat merindukanku," sarkasnya dengan ekspresi wajah masam yang tidak berusaha ia sembunyikan. Ia yakin ada sebab lain, selain rindu tentunya. Ibu tirinya tertawa sinis, balik menatapnya dengan jengkel. "Apa kamu sudah merasa hebat setelah menikah dengan Bian Sagara sehingga kamu kehilangan sopan santunmu."
Bian sedang sibuk memeriksa dokumen yang menumpuk. Setelah benar-benar pulih, dia mulai sibuk lagi mengurus perusahaan. Gunawan benar-benar banyak melakukan kecurangan selama dia fokus pada kesehatannya. Keputusan tepat memang memecat pria serakah itu. Terlalu fokus, sampai ketukan di pintu tidak ia dengar sama sekali. Mencium aroma yang familier, akhirnya ia mendongak. Inara muncul dengan wajah sumringah. "Hai," sapa wanita itu dengan riang gembira. "Kejutan," imbuhnya dengan semangat. Ya, Bian memang sedikit terkejut dan agak bingung kenapa Inara ada di sana. "Apa yang kamu lakukan di sini?" Bian bertanya dengan nada dan ekspresi yang sama datarnya walau beberapa detik lalu dia sempat terkejut melihat kehadiran wanita itu. "Bekerja," sahut Inara, masih dengan nada sumringah. Dia berjalan anggun mendekati Bian. "Ini hari pertamaku, bagaimana jika nanti kita makan siang bersama." "Aku sibuk." "Jam makan siang harusnya istirahat," Inara mengusap pundak Bian. "Sudah dua tahu
Bian menatap kosong hasil USG yang ditinggalkan Inara di atas mejanya. Kemudian dia memasukkannya ke dalam laci. Ini kejutan yang jelas sangat tidak ia harapkan sama sekali. Nathan muncul di ruangannya. Mengumumkan bahwa Inara memang diterima melalui prosedur yang ditetapkan perusahaan. "Kamu bahkan melewatkan hal ini?" "Menyeleksi karyawan, bukan pekerjaanku, Tuan, kecuali Anda memberi perintah khusus." Bian tidak mendebat Nathan tentang hal itu. Asistennya itu benar adanya. Hanya saja tidak pernah ia duga Inara akan muncul lagi dan justru melibatkan diri dalam kehidupannya. "Awasi dia." "Baik, Tuan." Bian kembali melanjutkan pekerjaannya. Tapi, Nathan masih bergeming di sana. Bian mengangkat kepala, menatap asistennya itu dengan heran. "Sepertinya masih ada hal yang ingin kamu laporkan?" Bian mengetukkan jemarinya di atas meja. "Ini tentang istri Anda, Tuan." Bian terdiam sejenak, ketukan jarinya di meja juga berhenti. "Lanjutkan," katanya kemudian. "Sekitar jam satu
Hari yang buruk, benar-benar sangat buruk menurut Luna. Dia tahu dia sedang diperas, tapi tidak ada yang bisa dia lakukan selain mengikuti kemauan keluarganya yang tidak tahu diri. Jika Ana berani meminta 500 juta, dia yakin jika Gunawan akan meminta lebih daripada itu. Dan dia akan semakin tidak berdaya jika Gunawan mengancam akan memindahkan makam ibunya. Jika seperti ini, bisa-bisa dia tidak akan mampu mewujudkan impiannya untuk membangun kafe. Di tengah dilema yang menyerangnya, ponselnya berdering. Panggilan dari Adam. "Halo, Luna?" "Iya, Pak." "Tidak masuk lagi hari ini?" "Maaf, Pak, saya ada urusan mendadak. Mungkin minggu depan saya baru bisa masuk." "Bagaiman dengan proposalmu, sudah direvisi." "Sudah, Pak," bohongnya. Padahal belum direvisi sama sekali. "Eum, omong-omong soal bangunan yang ingin kamu beli, apa kamu sudah menemukannya?" "Belum, Pak. Belum ada yang cocok dari yang kita lihat kemarin." "Nah, saya ingin mengabari bahwa teman saya ingin
"Kamu tidak perlu melakukan apa pun, Mas."Hiburan yang ia butuhkan hanya dorongan semangat dari seorang teman. Tapi Luna tidak akan bisa mendapatkan hal itu dari seorang Bian, yang berstatus sebagai suaminya. Hubungan yang hambar ini sudah cukup membuatnya tertekan, ditambah lagi ancaman dari keluarganya, membuatnya semakin tertekan. Lagi pula, Bian tidak harus tahu apa masalahnya karena sepertinya Bian juga tidak tertarik untuk mengetahui hal itu. Dan Bian bukan tipikal yang menurut Luna akan dengan senang hati meluangkan waktu beberapa menit untuk saling berbagi kisah. Dan Luna, kamu juga bukan orang yang mudah untuk berbagi kisahmu dengan siapa pun, jadi jangan mengeluh! Batin Luna."Apa yang kamu lakukan hari ini?" Tanya Bian meski dia sudah tahu apa saja yang sudah dilakukan istrinya."Aku pergi makan siang."Bian menganggukkan kepala tanpa melepaskan tatapannya dari Luna. "Dengan?""Teman," sahut Luna singkat tanpa berani menatap wajah pria itu.Bian tidak bertanya lagi. Dia n
"Kudengar Inara kembali." Julian datang mengunjungi Bian. Keduanya berbincang di ruang kerja pria itu untuk menghindari gangguan apa pun. "Seperti biasanya jangkauan beritamu sangat cepat.""Kenapa dia kembali?"Bian juga mempertanyakan hal itu berulang kali dalam hatinya. Kenapa setelah sekian tahun Inara muncul? Kenapa butuh dua tahun untuk memberitahu tentang perihal kehamilannya. Bian mengangkat kedua bahunya. "Jika kau penasaran, kau bisa bertanya padanya."Julian mendengus, "Ada kau, kenapa aku harus bertanya padanya.""Dia juga bekerja di perusahaan."Julian bersiul. "Wow, apakah dia sedang berusaha memikatmu lagi, Kawan?"Bian tidak menanggapi. "Luna sudah tahu?""Bahwa dia mantan kekasihku? Ya.""Apa reaksinya?"Bian mengerutkan keningnya. Mencoba mengingat reaksi istrinya saat Inara muncul di rumah mereka. Luna tidak menunjukkan reaksi apa pun selain memilih pergi. Luna sangat pintar menyembunyikan apa yang sedang dia rasakan. Baru tadi malam Bian melihat Luna serapuh itu
Luna berdiri di depan pintu kamar yang ada di lantai dua, pikirannya berkecamuk. Ia mengingat peringatan Nathan tentang larangan yang diberikan Bian, namun rasa penasaran begitu kuat menariknya. “Hanya mengintip sedikit...,” gumamnya pelan. Dengan perlahan, Luna membuka pintu kamar itu dan melangkah masuk. Ruangan tersebut persis seperti apa yang dikatakan Inara. Sebuah kamar luas dengan desain elegan dan modern. Jendela besar yang menghadap ke pemandangan kota, perpustakaan kecil di sudut ruangan, serta kamar mandi yang mewah. Ini jelas bukan sekadar kamar biasa—ini adalah kamar yang dirancang dengan penuh perhitungan, sesuai impian seseorang.Dan impian itu... milik Inara.Hati Luna terasa sakit. Rasanya seperti setiap sudut ruangan berbisik, mengingatkannya bahwa ini adalah dunia Inara. Dunia yang pernah menjadi bagian dari hidup Bian, cinta pertamanya, wanita yang pernah mendominasi hatinya. Perasaan iri dan kecewa membanjiri dirinya. Ia merasa seperti penyusup di rumahnya sendir