"Kamu tidak perlu melakukan apa pun, Mas."Hiburan yang ia butuhkan hanya dorongan semangat dari seorang teman. Tapi Luna tidak akan bisa mendapatkan hal itu dari seorang Bian, yang berstatus sebagai suaminya. Hubungan yang hambar ini sudah cukup membuatnya tertekan, ditambah lagi ancaman dari keluarganya, membuatnya semakin tertekan. Lagi pula, Bian tidak harus tahu apa masalahnya karena sepertinya Bian juga tidak tertarik untuk mengetahui hal itu. Dan Bian bukan tipikal yang menurut Luna akan dengan senang hati meluangkan waktu beberapa menit untuk saling berbagi kisah. Dan Luna, kamu juga bukan orang yang mudah untuk berbagi kisahmu dengan siapa pun, jadi jangan mengeluh! Batin Luna."Apa yang kamu lakukan hari ini?" Tanya Bian meski dia sudah tahu apa saja yang sudah dilakukan istrinya."Aku pergi makan siang."Bian menganggukkan kepala tanpa melepaskan tatapannya dari Luna. "Dengan?""Teman," sahut Luna singkat tanpa berani menatap wajah pria itu.Bian tidak bertanya lagi. Dia n
"Kudengar Inara kembali." Julian datang mengunjungi Bian. Keduanya berbincang di ruang kerja pria itu untuk menghindari gangguan apa pun. "Seperti biasanya jangkauan beritamu sangat cepat.""Kenapa dia kembali?"Bian juga mempertanyakan hal itu berulang kali dalam hatinya. Kenapa setelah sekian tahun Inara muncul? Kenapa butuh dua tahun untuk memberitahu tentang perihal kehamilannya. Bian mengangkat kedua bahunya. "Jika kau penasaran, kau bisa bertanya padanya."Julian mendengus, "Ada kau, kenapa aku harus bertanya padanya.""Dia juga bekerja di perusahaan."Julian bersiul. "Wow, apakah dia sedang berusaha memikatmu lagi, Kawan?"Bian tidak menanggapi. "Luna sudah tahu?""Bahwa dia mantan kekasihku? Ya.""Apa reaksinya?"Bian mengerutkan keningnya. Mencoba mengingat reaksi istrinya saat Inara muncul di rumah mereka. Luna tidak menunjukkan reaksi apa pun selain memilih pergi. Luna sangat pintar menyembunyikan apa yang sedang dia rasakan. Baru tadi malam Bian melihat Luna serapuh itu
Luna berdiri di depan pintu kamar yang ada di lantai dua, pikirannya berkecamuk. Ia mengingat peringatan Nathan tentang larangan yang diberikan Bian, namun rasa penasaran begitu kuat menariknya. “Hanya mengintip sedikit...,” gumamnya pelan. Dengan perlahan, Luna membuka pintu kamar itu dan melangkah masuk. Ruangan tersebut persis seperti apa yang dikatakan Inara. Sebuah kamar luas dengan desain elegan dan modern. Jendela besar yang menghadap ke pemandangan kota, perpustakaan kecil di sudut ruangan, serta kamar mandi yang mewah. Ini jelas bukan sekadar kamar biasa—ini adalah kamar yang dirancang dengan penuh perhitungan, sesuai impian seseorang.Dan impian itu... milik Inara.Hati Luna terasa sakit. Rasanya seperti setiap sudut ruangan berbisik, mengingatkannya bahwa ini adalah dunia Inara. Dunia yang pernah menjadi bagian dari hidup Bian, cinta pertamanya, wanita yang pernah mendominasi hatinya. Perasaan iri dan kecewa membanjiri dirinya. Ia merasa seperti penyusup di rumahnya sendir
Luna merasakan setiap kata yang diucapkan Inara seperti duri yang menusuk hatinya. "Untuk saat ini." Kalimat itu berulang di kepalanya, menggetarkan perasaan yang dia coba redam sejak pertama kali melihat Inara. Namun, dia tidak ingin mundur. Ini bukan hanya tentang Inara yang kembali, tapi juga tentang mempertahankan apa yang seharusnya miliknya sekarang—Bian, suaminya. "Kau mungkin cinta pertama Bian," Luna menatap tajam, tak ingin tampak lemah. "Tapi aku adalah orang yang ada di sisinya sekarang." Inara hanya tersenyum kecil, seperti seseorang yang merasa yakin bahwa segala sesuatunya akan berjalan sesuai keinginannya. "Waktu akan menjawab semuanya, Luna. Kadang, seseorang hanya butuh waktu untuk menyadari apa yang sebenarnya mereka inginkan." Luna menelan ludah, jantungnya berdebar lebih cepat. "Jika kamu berpikir Bian akan kembali padamu, kau salah. Aku tidak akan membiarkan itu terjadi." "Apakah kamu yakin?" Inara mendekat, suaranya nyaris berbisik. "Kamu tahu betapa kuatnya
Luna turun dengan langkah yang berat, hatinya seakan dihantam oleh kenyataan yang baru saja disampaikan Inara. Napasnya terasa semakin berat ketika kakinya menapaki anak tangga terakhir. Suara samar dari ruang tamu menarik perhatiannya, membuat Luna penasaran dan tanpa sadar melangkah ke arah suara tersebut. Di ujung lorong, matanya langsung menangkap pemandangan yang menusuk hatinya lebih dalam. Bian berdiri dekat dengan Inara, begitu dekat hingga hanya beberapa inci memisahkan mereka. Inara berbicara pelan, tapi jelas terlihat bahwa dia berbicara dengan nada lembut dan akrab, jauh lebih intim daripada yang pernah Luna lihat sebelumnya. Tangan Inara bergerak pelan, menyentuh lengan Bian dengan keakraban yang menusuk hati Luna, seakan mereka masih memiliki koneksi yang tidak bisa diputus oleh waktu. Luna menahan napas,. Wajah suaminya tidak menunjukkan perlawanan atau ketidaknyamanan. Bahkan, senyuman kecil yang terulas di bibirnya terasa seperti penghianatan. Dalam sekejap, dunia L
"Menyukai?" Luna jelas bingung bercampur takut. Adam tersenyum simpul, kemudian berkata, "Tidak usah merasa terbebani begitu, Luna. Saya tidak menuntut kamu harus memiliki perasaan yang sama." "Ta-tapi, Pak?" "Ya, saya tahu kamu sudah menikah. Saya tidak akan melewati batas." Luna tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Ini pernyataan yang mengejutkan. Adam pria yang sangat menawan. Luna tidak bisa memungkiri hal itu. Selain menawan, dibalik sikapnya yang kaku selama ini, Adam pria yang lembut dan penuh perhatian. Sangat berbanding terbalik dengan sikap tegas menjengkelkan yang ia tunjukkan di kampus. Luna masih berusaha mencerna yang terjadi, saat suara pelayan terdengar. Pesanan mereka datang. "Makanlah sebelum kamu pulang." Adam mengisi piring Luna dengan nasi, lalu memberikannya pada wanita itu. "Terima kasih, Pak," suara Luna terdengar canggung. "Jangan jadi canggung begitu hanya karena mendengar perasaan saya. Bersikaplah seperti biasa, Luna." Bagaimana mau bersikap
Setelah memastikan Luna tertidur, Bian perlahan meninggalkan kamar dengan hati-hati, berusaha tidak membuat suara yang bisa membangunkannya. Dia menatap wajah Luna yang tenang dalam tidurnya, meski hatinya tahu ada badai emosi yang sedang bergejolak di balik kesunyian itu. Tanpa bisa menahan beban yang menghimpit pikirannya, Bian pergi ke ruang kerjanya, berharap suasana di sana bisa memberinya sedikit ketenangan. Begitu pintu ruang kerja tertutup, dia menarik napas panjang, lalu meraih ponselnya. Nomor ibunya terpampang di layar, dan meskipun berat, ia menekan tombol panggil. Tidak butuh waktu lama bagi ibunya untuk menjawab. "Bian? Kenapa menelepon malam-malam begini?" suara sang ibu terdengar di seberang sana. "Aku butuh bicara," jawab Bian datar, tanpa basa-basi. "Tentang Inara." Sejenak, ada jeda hening di seberang sana, sebelum ibunya akhirnya menjawab. "Apa maksudmu? Apa yang terjadi dengan Inara?" Bian menghela napas panjang, mempersiapkan dirinya untuk mengungkapkan
Luna berdiri di ambang pintu ruang kerja, tangannya gemetar tak terkendali. Setiap kata yang baru saja diucapkan Bian berdengung di kepalanya. Dia tidak pernah membayangkan akan mendengar kalimat seperti itu dari suaminya—dari orang yang dia cintai. Ia benci mengakui hal ini, ya dia jatuh hati pada suaminya yang dingin dan cuek. “Masa depan yang mana, Ibu? Kita hanya membutuhkannya untuk melahirkan seorang anak untukku.” Kata-kata itu menyayat lebih tajam daripada apa pun yang pernah dia dengar. Seolah-olah dirinya, keberadaannya, semua yang dia perjuangkan selama ini, tidak lebih dari alat untuk mencapai tujuan yang tidak pernah dia bayangkan. Luna merasa seakan-akan udara di ruangan itu hilang. Dadanya sesak, matanya berair. Tangis yang dia coba tahan kini meluap tanpa bisa dia kendalikan. Jantungnya berdegup kencang, dan tubuhnya mulai bergetar hebat, seolah seluruh dunianya runtuh. "Aku... hanya alat," bisiknya, suaranya begitu lirih, nyaris tak terdengar. Kakinya melemah, d