Luna merasakan setiap kata yang diucapkan Inara seperti duri yang menusuk hatinya. "Untuk saat ini." Kalimat itu berulang di kepalanya, menggetarkan perasaan yang dia coba redam sejak pertama kali melihat Inara. Namun, dia tidak ingin mundur. Ini bukan hanya tentang Inara yang kembali, tapi juga tentang mempertahankan apa yang seharusnya miliknya sekarang—Bian, suaminya. "Kau mungkin cinta pertama Bian," Luna menatap tajam, tak ingin tampak lemah. "Tapi aku adalah orang yang ada di sisinya sekarang." Inara hanya tersenyum kecil, seperti seseorang yang merasa yakin bahwa segala sesuatunya akan berjalan sesuai keinginannya. "Waktu akan menjawab semuanya, Luna. Kadang, seseorang hanya butuh waktu untuk menyadari apa yang sebenarnya mereka inginkan." Luna menelan ludah, jantungnya berdebar lebih cepat. "Jika kamu berpikir Bian akan kembali padamu, kau salah. Aku tidak akan membiarkan itu terjadi." "Apakah kamu yakin?" Inara mendekat, suaranya nyaris berbisik. "Kamu tahu betapa kuatnya
Luna turun dengan langkah yang berat, hatinya seakan dihantam oleh kenyataan yang baru saja disampaikan Inara. Napasnya terasa semakin berat ketika kakinya menapaki anak tangga terakhir. Suara samar dari ruang tamu menarik perhatiannya, membuat Luna penasaran dan tanpa sadar melangkah ke arah suara tersebut. Di ujung lorong, matanya langsung menangkap pemandangan yang menusuk hatinya lebih dalam. Bian berdiri dekat dengan Inara, begitu dekat hingga hanya beberapa inci memisahkan mereka. Inara berbicara pelan, tapi jelas terlihat bahwa dia berbicara dengan nada lembut dan akrab, jauh lebih intim daripada yang pernah Luna lihat sebelumnya. Tangan Inara bergerak pelan, menyentuh lengan Bian dengan keakraban yang menusuk hati Luna, seakan mereka masih memiliki koneksi yang tidak bisa diputus oleh waktu. Luna menahan napas,. Wajah suaminya tidak menunjukkan perlawanan atau ketidaknyamanan. Bahkan, senyuman kecil yang terulas di bibirnya terasa seperti penghianatan. Dalam sekejap, dunia L
"Menyukai?" Luna jelas bingung bercampur takut. Adam tersenyum simpul, kemudian berkata, "Tidak usah merasa terbebani begitu, Luna. Saya tidak menuntut kamu harus memiliki perasaan yang sama." "Ta-tapi, Pak?" "Ya, saya tahu kamu sudah menikah. Saya tidak akan melewati batas." Luna tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Ini pernyataan yang mengejutkan. Adam pria yang sangat menawan. Luna tidak bisa memungkiri hal itu. Selain menawan, dibalik sikapnya yang kaku selama ini, Adam pria yang lembut dan penuh perhatian. Sangat berbanding terbalik dengan sikap tegas menjengkelkan yang ia tunjukkan di kampus. Luna masih berusaha mencerna yang terjadi, saat suara pelayan terdengar. Pesanan mereka datang. "Makanlah sebelum kamu pulang." Adam mengisi piring Luna dengan nasi, lalu memberikannya pada wanita itu. "Terima kasih, Pak," suara Luna terdengar canggung. "Jangan jadi canggung begitu hanya karena mendengar perasaan saya. Bersikaplah seperti biasa, Luna." Bagaimana mau bersikap
Setelah memastikan Luna tertidur, Bian perlahan meninggalkan kamar dengan hati-hati, berusaha tidak membuat suara yang bisa membangunkannya. Dia menatap wajah Luna yang tenang dalam tidurnya, meski hatinya tahu ada badai emosi yang sedang bergejolak di balik kesunyian itu. Tanpa bisa menahan beban yang menghimpit pikirannya, Bian pergi ke ruang kerjanya, berharap suasana di sana bisa memberinya sedikit ketenangan. Begitu pintu ruang kerja tertutup, dia menarik napas panjang, lalu meraih ponselnya. Nomor ibunya terpampang di layar, dan meskipun berat, ia menekan tombol panggil. Tidak butuh waktu lama bagi ibunya untuk menjawab. "Bian? Kenapa menelepon malam-malam begini?" suara sang ibu terdengar di seberang sana. "Aku butuh bicara," jawab Bian datar, tanpa basa-basi. "Tentang Inara." Sejenak, ada jeda hening di seberang sana, sebelum ibunya akhirnya menjawab. "Apa maksudmu? Apa yang terjadi dengan Inara?" Bian menghela napas panjang, mempersiapkan dirinya untuk mengungkapkan
Luna berdiri di ambang pintu ruang kerja, tangannya gemetar tak terkendali. Setiap kata yang baru saja diucapkan Bian berdengung di kepalanya. Dia tidak pernah membayangkan akan mendengar kalimat seperti itu dari suaminya—dari orang yang dia cintai. Ia benci mengakui hal ini, ya dia jatuh hati pada suaminya yang dingin dan cuek. “Masa depan yang mana, Ibu? Kita hanya membutuhkannya untuk melahirkan seorang anak untukku.” Kata-kata itu menyayat lebih tajam daripada apa pun yang pernah dia dengar. Seolah-olah dirinya, keberadaannya, semua yang dia perjuangkan selama ini, tidak lebih dari alat untuk mencapai tujuan yang tidak pernah dia bayangkan. Luna merasa seakan-akan udara di ruangan itu hilang. Dadanya sesak, matanya berair. Tangis yang dia coba tahan kini meluap tanpa bisa dia kendalikan. Jantungnya berdegup kencang, dan tubuhnya mulai bergetar hebat, seolah seluruh dunianya runtuh. "Aku... hanya alat," bisiknya, suaranya begitu lirih, nyaris tak terdengar. Kakinya melemah, d
Bian keluar dari kamar mandi dengan handuk di tangan, mengusap rambutnya yang basah. Ketika ia mendongak dan menoleh ke tempat tidur, tempat Luna seharusnya berada, keningnya langsung mengernyit heran. Tempat itu kosong. "Luna?" panggilnya, suaranya sedikit lebih keras dari biasanya. Ia memeriksa kamar, berharap Luna hanya pergi sebentar, mungkin ke dapur atau ke kamar mandi lain. Tapi setelah beberapa saat, dia mulai merasa ada yang tidak beres. Pikirannya mulai berputar cepat. Tanpa menunggu lebih lama, Bian segera berlari menuruni tangga. Setiap sudut rumah ia periksa dengan cepat, namun Luna tidak ada di mana pun. Hatinya merasa cemas. "Luna!" teriaknya, suaranya menggema di seluruh rumah. Tidak ada jawaban. Dia bergegas keluar dari rumah, menuju gerbang depan, matanya memindai sekeliling dengan cemas. "Luna!" Bian terus memanggil nama istrinya dengan harapan Luna akan muncul dari tempat persembunyian, tapi tidak ada tanda-tanda kehadirannya. Jantungnya berdegup lebih kenc
Karena panik, Luna tidak menyadari bahwa langkah kakinya telah membawanya ke jalan raya. Tanpa berpikir panjang, ia menyeberang, namun sebuah cahaya terang dari mobil yang melaju cepat menghantam pandangannya. Bunyi klakson mobil memekik keras, disertai suara rem yang mencicit, tapi mobil itu sudah terlalu dekat. Tubuh Luna terpaku sejenak, seperti dunia melambat di sekitarnya. Ia menutup matanya, bersiap menerima benturan. Tidak ada benturan atau hantaman sama sekali. Namun kepalanya pusing, tubuhnya terasa ringan, dan pandangannya kabur. “Luna!” Terdengar suara memanggilnya, suara yang terdengar begitu panik, Luna mengenali suara ini. Dia berusaha mengangkat kepala, menatap dengan pandangan yang buram. Di hadapannya, seorang pria keluar dari mobil dengan tergesa-gesa. Adam—pengemudi mobil yang hampir menabraknya. "Luna, kamu tidak apa-apa?" Adam bersujud di sampingnya, wajahnya penuh kecemasan. "Saya hampir saja menabrakmu. Kamu bisa dengar saya?" tangannya bergetar saat ia
Sementara itu, Bian duduk di dalam mobilnya di depan rumah, menatap kosong ke arah jalan yang gelap. Matanya tampak lelah, tapi pikirannya terus berputar. Bayangan Luna yang hilang tanpa jejak sejak tadi malam menghantuinya. Setiap sudut kota sudah ia datangi, bahkan dirinya juga sudah menghubungi pengawal untuk ikut mencari Luna, namun tetap saja, tidak ada tanda-tanda keberadaan istrinya. Bian menghela napas panjang, rasa bersalah semakin menguasainya. Kilasan perdebatan dengan ibunya, penampakan Inara yang mabuk, dan tindakan spontan yang membuat semuanya semakin kacau membuat hatinya menjadi tidak tenang. Bian kini baru menyadari bahwa dirinya takut kehilangan Luna. Ponselnya bergetar di kursi samping, suara pesan masuk menginterupsi lamunannya. Dia meraih ponsel itu dengan ragu. Ada pesan dari ibunya. "Bian, ingat tujuan kita. Jangan biarkan dirimu terjebak dengan perasaan. Kamu harus fokus, jangan lengah, karena musuh akan memanfaatkan hal itu." Bian memandang pesan itu