Ana dan Juan saling berpandangan setelah mendengar percakapan antara Adam dan Saka. "Luna sedang dirawat di sini," Ana mengumumkan seolah Juan tidak mengerti apa yang dibicarakan Adam dan putranya. "Aku juga mendengarnya, Ana." Lama-lama dia bosan pada wanita ini. Terlalu agresif dan terlalu memonopoli. Dia tidak suka. Ya, dari awal Juan memang tidak suka pada Ana. Dia hanya ingin memanfaatkan wanita itu. Dia hanya kebablasan sampai membuatnya hamil. Juan sebenarnya lebih menyukai Luna yang tulus. Tapi, bersama Luna karirnya tidak akan berkembang, justru akan berakhir begitu saja. Juan tak menyangka ternyata bersama Ana juga sama saja. Keluarga wanita itu jatuh bangkrut. Sehingga, Ia sudah membuat rencana untuk meninggalkan wanita murahan ini. "Apa kita masuk ke kamar Luna saja?" bisik Ana, mencoba mengalihkan perhatian Juan. Juan hanya mengangguk, mengiyakan. Mereka berjalan menuju kamar Luna. Begitu tiba di depan pintu, Ana menarik napas panjang sebelum mengetuk pintu pel
Di sebuah kafe remang, Inara duduk berhadapan dengan seorang pria yang mengenakan setelan gelap. Senyumnya dingin dengan tatapan penuh perhitungan. Pria itu mengaduk kopinya dengan tenang, seperti tak tergesa-gesa. "Jadi, kamu berhasil masuk ke rumah Bian?" tanyanya dengan nada yang tenang tapi penuh arti, menatap Inara seolah menanti informasi penting. Inara mengangguk perlahan, senyumnya tipis namun licik. "Ya, aku berhasil masuk. Meskipun Luna ada di sana, aku berhasil memanfaatkan situasi. Dia bahkan tidak tahu aku menemukan sesuatu yang lebih penting dari sekadar kenangan masa lalu kami." Pria itu berhenti mengaduk kopinya, alisnya terangkat penasaran. "Apa yang kamu temukan, Inara?" Inara mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan, suaranya merendah, "Sebuah dokumen. Sesuatu yang bisa menghancurkan Bian. Perjanjian bisnis yang dia sembunyikan. Jika informasi ini bocor, itu bisa merusak reputasinya." Pria itu tersenyum puas, tapi sebelum dia bisa menjawab, pria lain yang b
"Jadi ada yang sedang ingin bermain-main denganku," ucap Bian tenang saat Nathan melaporkan bahwa mereka kehilangan dokumen penting perusahaan. Di lantai dua, daerah terlarang bagi siapa pun. "Dan secara kebetulan CCTV rumah ini juga rusak," sambungnya masih dengan intonasi yang sama. Dokumen rahasia yang ditemukan Inara di rumah Bian adalah sebuah kontrak bisnis lama yang berhubungan dengan kesepakatan penting antara perusahaan Bian dan sebuah perusahaan besar lainnya. Namun, isi dari dokumen tersebut ternyata mengungkapkan bahwa kesepakatan itu tidak sah secara hukum karena ada manipulasi dalam proses negosiasi awal. Dokumen itu mengandung klausul kecurangan keuangan. Dalam kesepakatan tersebut, Bian atau perusahaannya diduga terlibat dalam penggelapan pajak atau aliran dana gelap untuk memuluskan proyek besar yang menjadi landasan kesuksesan perusahaan saat ini. Kontrak ini menunjukkan bahwa perusahaan telah menghindari pembayaran kewajiban finansial yang seharusnya, menempatkan
Luna membuka matanya perlahan, penglihatannya buram sejenak sebelum akhirnya fokus pada sosok di depannya. Adam duduk di kursi samping tempat tidurnya, kepala sedikit tertunduk seolah berusaha melawan kantuk. Ada lingkaran gelap di bawah matanya, tanda bahwa dia mungkin sudah berjam-jam menunggui Luna.Luna menarik napas panjang, merasa perih di dadanya. Seharusnya ini bukan Adam. Seharusnya yang duduk di sana, menjaga dan menungguinya dengan penuh perhatian, adalah Bian—suaminya. Pikiran itu membuat hatinya semakin sakit. Bian bahkan tidak mencarinya, padahal dia sudah meninggalkan rumah sejak malam sebelumnya. Di mana Bian sekarang? Dan kenapa dia merasa lebih terlindungi oleh Adam daripada oleh suaminya sendiri?Perlahan, Luna bergerak di tempat tidur, mencoba bangkit, tapi tubuhnya masih terasa lemah. Gerakan itu membuat Adam tersentak dari kantuknya. Dia segera berdiri, matanya langsung menatap Luna dengan penuh perhatian."Luna, kamu sudah bangun," ucap Adam lembut, mendekat den
Jantung Luna berdetak kencang. “Dimana dompetku? Ponselku?” gumamnya, mencoba mengingat kapan terakhir kali ia memegangnya. Perasaan tidak nyaman mulai merayap. Bagaimana dia akan bertahan hidup. Ia pemberian Bian atas persetujuannya menikah dengan pria itu raib. Uang yang akan dia gunakan untuk membeli kafe. Sekarang, dia tidak punya apa-apa lagi.Dia meremas ujung selimut, tubuhnya terasa lemas lagi—bukan karena sakit fisik, tetapi karena perasaan takut dan bingung yang tiba-tiba melandanya. Luna merasakan kepanikannya semakin meningkat. Dia mengingat-ingat setiap momen sejak dia tiba di rumah sakit, mencoba mengingat kapan terakhir kali dia memegang dompet dan ponselnya. Namun, pikirannya terasa kabur.Dia menatap pintu, berharap Adam segera kembali. Tapi pikiran negatif mulai menguasainya—apakah seseorang telah mencurinya? Dan kalau iya, siapa yang melakukannya?Dia bangkit dari tempat tidur dengan gemetar, berjalan menuju jendela, mencoba menarik napas dalam-dalam untuk menenang
Inara berdiri di depan pintu kamar yang dulu seharusnya menjadi miliknya dan Bian. Matanya menyipit, dipenuhi amarah dan dendam. "Jika aku tidak bisa memilikimu, maka aku akan menghancurkan segalanya. Kalian harus membayar atas semua hinaan yang pernah dilontarkan ibumu padaku, pada orang tuaku." sambil meremas gagang pintu dengan penuh tekad.Pelan-pelan, dia menyelinap masuk, napasnya terdengar tenang namun hatinya bergolak. "Aku butuh sesuatu yang lebih besar dari dokumen-dokumen itu,""Skandal itu mungkin akan menjatuhkannya, tapi aku butuh senjata yang akan membuatnya benar-benar tidak bisa bangkit lagi."Inara segera menuju meja di sudut ruangan, matanya mencari-cari sesuatu yang bisa ia gunakan. Ia tersenyum licik ketika melihat sebuah laci rahasia di bawah meja. "Tentu saja, Bian selalu punya sesuatu yang dia sembunyikan. Sejak dulu, dia selalu berpikir bahwa aku takkan pernah tahu," Inara tertawa kecil sambil mengotak-atik laci itu.Tepat seperti yang dia duga, laci tersebut
Inara berdiri di sudut ruangan, diam-diam memandang Bian yang duduk dengan kepala tertunduk di sofa. Senyum licik menghiasi wajahnya, hatinya dipenuhi kegirangan melihat pria yang dulu ia puja kini tampak begitu lemah. "Akhirnya, Bian. Akhirnya kamu merasakan bagaimana rasanya berada di posisi terendah," pikir Inara sambil meresapi momen itu. "Aku tidak suka melihatmu begini, tapi aku harus melakukannya." Bian, di sisi lain, berada di puncak keputusasaan. Kepalanya berdenyut keras seiring dengan kebingungan dan kemarahan yang bercampur aduk dalam dirinya. Ia merasa perhitungannya meleset—kesalahan fatal yang membuatnya jatuh dalam posisi ini. "Sial," pikirnya. "Aku terlalu besar kepala. Aku mengira semua bisa aku atasi dengan mudah, bahwa mereka hanyalah ancaman kecil." Namun kenyataan berkata lain. Lawannya bergerak jauh lebih cepat dan lebih cerdik dari yang ia bayangkan. Selama ini, ia selalu mengira pamannya yang menjadi ancaman terbesar—musuh dalam selimut yang selalu menginca
Bian melepas menjauh dari Inara, senyum puas terpatri di wajahnya saat melihat tatapan Inara yang bergejolak. Napas wanita itu bahkan masih memburu, karena sesuatu yang tidak terpuaskan. Bian mengalihkan pandangannya, matanya tiba-tiba bertemu dengan Luna, yang berdiri di ambang pintu. Seketika, waktu seolah berhenti. Mata Bian membelalak, melihat bagaimana Luna berdiri terpaku, wajahnya pucat, dan matanya penuh luka yang mendalam. Lutut Luna tampak bergetar, seolah hampir tidak sanggup menopang tubuhnya. "Luna..." Bian berbisik, suaranya serak, penuh penyesalan yang terlambat. Luna menelan ludah, mencoba mengendalikan air mata yang sudah menggantung di kelopak matanya. Hatinya hancur berkeping-keping, melihat suaminya begitu mudah terjerat dalam pelukan wanita lain. Sia-sia ia khawatir, mencemaskan Bian, berusaha mempertahankan rasa cintanya, namun ternyata Bian tidak pernah benar-benar peduli. Bian hanya berdiri di sana, wajahnya tetap datar, tak menunjukkan rasa bersalah ata