Inara berdiri di depan pintu kamar yang dulu seharusnya menjadi miliknya dan Bian. Matanya menyipit, dipenuhi amarah dan dendam. "Jika aku tidak bisa memilikimu, maka aku akan menghancurkan segalanya. Kalian harus membayar atas semua hinaan yang pernah dilontarkan ibumu padaku, pada orang tuaku." sambil meremas gagang pintu dengan penuh tekad.Pelan-pelan, dia menyelinap masuk, napasnya terdengar tenang namun hatinya bergolak. "Aku butuh sesuatu yang lebih besar dari dokumen-dokumen itu,""Skandal itu mungkin akan menjatuhkannya, tapi aku butuh senjata yang akan membuatnya benar-benar tidak bisa bangkit lagi."Inara segera menuju meja di sudut ruangan, matanya mencari-cari sesuatu yang bisa ia gunakan. Ia tersenyum licik ketika melihat sebuah laci rahasia di bawah meja. "Tentu saja, Bian selalu punya sesuatu yang dia sembunyikan. Sejak dulu, dia selalu berpikir bahwa aku takkan pernah tahu," Inara tertawa kecil sambil mengotak-atik laci itu.Tepat seperti yang dia duga, laci tersebut
Inara berdiri di sudut ruangan, diam-diam memandang Bian yang duduk dengan kepala tertunduk di sofa. Senyum licik menghiasi wajahnya, hatinya dipenuhi kegirangan melihat pria yang dulu ia puja kini tampak begitu lemah. "Akhirnya, Bian. Akhirnya kamu merasakan bagaimana rasanya berada di posisi terendah," pikir Inara sambil meresapi momen itu. "Aku tidak suka melihatmu begini, tapi aku harus melakukannya." Bian, di sisi lain, berada di puncak keputusasaan. Kepalanya berdenyut keras seiring dengan kebingungan dan kemarahan yang bercampur aduk dalam dirinya. Ia merasa perhitungannya meleset—kesalahan fatal yang membuatnya jatuh dalam posisi ini. "Sial," pikirnya. "Aku terlalu besar kepala. Aku mengira semua bisa aku atasi dengan mudah, bahwa mereka hanyalah ancaman kecil." Namun kenyataan berkata lain. Lawannya bergerak jauh lebih cepat dan lebih cerdik dari yang ia bayangkan. Selama ini, ia selalu mengira pamannya yang menjadi ancaman terbesar—musuh dalam selimut yang selalu menginca
Bian melepas menjauh dari Inara, senyum puas terpatri di wajahnya saat melihat tatapan Inara yang bergejolak. Napas wanita itu bahkan masih memburu, karena sesuatu yang tidak terpuaskan. Bian mengalihkan pandangannya, matanya tiba-tiba bertemu dengan Luna, yang berdiri di ambang pintu. Seketika, waktu seolah berhenti. Mata Bian membelalak, melihat bagaimana Luna berdiri terpaku, wajahnya pucat, dan matanya penuh luka yang mendalam. Lutut Luna tampak bergetar, seolah hampir tidak sanggup menopang tubuhnya. "Luna..." Bian berbisik, suaranya serak, penuh penyesalan yang terlambat. Luna menelan ludah, mencoba mengendalikan air mata yang sudah menggantung di kelopak matanya. Hatinya hancur berkeping-keping, melihat suaminya begitu mudah terjerat dalam pelukan wanita lain. Sia-sia ia khawatir, mencemaskan Bian, berusaha mempertahankan rasa cintanya, namun ternyata Bian tidak pernah benar-benar peduli. Bian hanya berdiri di sana, wajahnya tetap datar, tak menunjukkan rasa bersalah ata
"Luna, tenanglah. Jangan membuat keributan," Gunawan berkata datar, tidak sedikit pun terlihat menyesal."Tenang? Bagaimana aku bisa tenang?" Luna menatapnya penuh kemarahan. "Ana mencuri barang-barangku di rumah sakit! Aku sakit, dan kalian di sini malah menertawakan hal itu. Apa kamu benar-benar sebegitu tidak pedulinya padaku, Ayah?"Gunawan menghela napas berat, menatap Luna tanpa emosi. "Kamu selalu berlebihan, Luna. Ana hanya bermain-main. Lagipula, Bian bisa menggantikan semua itu dengan mudah, bukan? Kamu hidup nyaman sekarang."Luna terkejut mendengar kata-kata ayahnya. "Ini bukan hanya tentang uang, Ayah! Apakah Ayah benar-benar tidak peduli?"Ana menyeringai sinis. "Oh, Luna. Selalu dramatis. Uang dan harta itu hal kecil, toh Bian sudah memecat Ayah, jadi kami juga butuh sesuatu untuk bertahan hidup, kan?""Dan aku kalian jadikan mesin uang?" Luna menggertakkan giginya. "Kalian memeras aku karena Bian memecat Ayah dari perusahaan? Di mana harga diri kalian?"Gunawan tetap t
Luna melangkah keluar dari rumah itu dengan langkah goyah yang semakin berat. Jantungnya berdetak kencang, tetapi bukan karena rasa marah, melainkan perasaan hampa yang semakin membesar di dalam dadanya. Udara sore yang seharusnya menyejukkan justru membuatnya merasa semakin sesak.Tubuhnya mulai kehilangan tenaga, lututnya gemetar, dan kepalanya terasa begitu pusing. Suara-suara di sekitarnya seolah menghilang, hanya menyisakan keheningan yang menyakitkan. Pandangannya semakin kabur, dunia di sekitarnya mulai berputar, dan yang ia rasakan hanyalah kelelahan yang begitu mendalam."Apa... apa yang terjadi padaku?" bisiknya lemah, tangan gemetar mencoba meraih sesuatu untuk bersandar, tapi semuanya terasa jauh.Tiba-tiba, tubuhnya terasa begitu ringan—dan dalam sekejap, semuanya berubah menjadi gelap.Dia jatuh. Tapi sebelum tubuhnya menyentuh tanah, Juan yang sejak tadi diam-diam mengikutinya segera berlari, menangkap tubuh Luna sebelum dia terhempas ke jalan. "Luna!" Juan memeluk tub
Inara melangkah masuk ke dalam ruangan eksklusif di sebuah kafe mewah, tempat pertemuan rahasia ini diadakan. Ia mengenakan mantel tebal yang menutupi sebagian besar tubuhnya, sementara topi dan kacamata hitam menyamarkan wajahnya. Di sudut ruangan, duduk dua pria yang sudah menunggunya—Bryan Sagara dan Lucas, sepupu Bian.Bryan Sagara, pria berwajah dingin dengan sorot mata tajam, merupakan anak lain dari ayah Bian yang keberadaannya selalu disembunyikan. Bryan terlahir dari wanita yang merupakan simpanan ayahnya. Hanya karena ibunya merupakan simpanan, keberadaan ibunya dan Bryan disembunyikan seperti aib. Hal itu memicu kemarahan Bryan. Setiap ayahnya muncul dan Bian di televisi, saling merangkul dengan bangga, di sana Bryan merasakan dendamnya semakin mengkarat.Bryan mengatur strategi sejak sejak dini. Dan selama puluhan tahun dia memendam dendam ini dan sekarang ia merasa saatnya untuk menjatuhkan Bian dan merebut haknya dan adiknya. Ya, Bryan mempunyai seorang adik laki-laki. A
Bian terlihat tenang meski sedang mendengarkan para musuhnya berdiskusi tentang hal yang akan mereka lakukan pada Luna. Dia, Julian, dan Rafael berada di ruanganny, memantau dengan cermat percakapan yang terjadi antara Inara, Bryan, dan Lucas melalui perangkat penyadap yang Bian pasang pada Inara. Suara Bryan yang dingin terdengar jelas di telinga mereka, membuat suasana semakin berat.Julian adalah yang pertama bicara, suaranya datar namun penuh ketidakpastian. “Bryan Sagara? Siapa pria itu, Bian? Kamu pernah dengar namanya?”Bian mengerutkan kening, mencoba mengingat. "Tidak pernah. Aku tidak tahu siapa dia. Sama sekali." Ada nada frustasi dalam suaranya. "Hanya saja, dia memakai nama belakang yang sama denganku. Ini membuatku menduga-duga. Harusnya, aku kenal setiap orang yang berurusan dengan keluargaku, tapi dia… bukan siapa-siapa.”Rafael, yang duduk dengan tenang, mendengarkan setiap kata, akhirnya angkat bicara. "Dari apa yang dia katakan, jelas dia punya dendam terhadapmu, Bi
Berita tentang dokumen palsu yang disiarkan di televisi menjadi topik panas. Di layar, seorang reporter dengan wajah serius menyampaikan laporan tentang konspirasi yang terungkap di sebuah perusahaan besar, menyebutkan bahwa dokumen-dokumen terkait transaksi penting ternyata telah dipalsukan. Bian tampak jelas dalam laporan itu, meskipun tidak disebutkan langsung sebagai korban, tetapi sebagai seseorang yang telah mengetahui hal tersebut lebih awal dan memanipulasi situasi demi keuntungan perusahaan.Di sebuah ruangan gelap dengan hanya cahaya dari televisi, Bryan Sagara menatap layar dengan wajah merah padam. Tangannya mengepal di sandaran kursi, jemarinya bergetar menahan amarah yang memuncak. Matanya memancarkan kemarahan dan kebencian yang mendalam, sementara berita itu terus bergulir, menguak setiap bagian dari strategi yang ternyata telah dipersiapkan Bian dengan rapi.“Bodoh! Kita sudah dijebak…” Bryan menggeram, suaranya serak menahan luapan emosinya. Dia berdiri, lalu menghan