Bian duduk di ruang tamu rumah Adam dengan pandangan tegas namun tenang. Adam, yang menduga akan kedatangan tamu tidak diundang, juga berusaha bersikap santai walau sebenarnya dia dongkol pada pria itu. Ia berusaha menahan kejengkelannya itu karena ia tahu bahwa Bian bukan tipe orang yang datang tanpa tujuan jelas. "Jadi, Luna pernah mengalami kecelakaan?" Bian membuka percakapan, suaranya rendah tapi penuh tekanan. Adam mengangguk pelan, masih menimbang bagaimana menjelaskan semuanya. "Ya, benar. Sebenarnya, kecelakaan itu tidak terlalu parah, tapi cukup untuk membuatnya harus dirawat di rumah sakit selama beberapa hari. Aku sempat menemani Luna saat itu," Adam menghela napas panjang, merasa berat untuk melanjutkan. "Tapi ada hal lain yang terjadi..." Bian mengangkat alis, pandangannya semakin tajam. "Hal lain? Apa maksudmu?" "Dia berlari padamu saat melihat beritamu di televisi." Bian tersenyum samar, Luna peduli padanya dan dia justru membiarkan Luna salah faham padanya.
Luna terbangun perlahan, kelopak matanya terasa berat, dan kepalanya berdenyut kencang. Pandangannya masih kabur, dan tubuhnya terasa lemah, seluruh energinya terserap habis. Dia mengerang pelan, mencoba memfokuskan diri. Begitu matanya mulai jelas, dia menyadari bahwa dia berada di sebuah ruangan yang asing—sebuah kamar kecil dengan tirai tebal dan cahaya redup yang membuat suasana semakin suram."Di mana aku?" Luna berbisik lemah, matanya berkeliling, mencari petunjuk. Dia tidak mengenali tempat ini. Dengan hati-hati, dia berusaha bangkit, rasa sakit dan kelelahan masih mendera tubuhnya. Namun, ia harus mengetahui di mana dia berada dan bagaimana dia bisa sampai di sini.Saat Luna mencoba meraih kursi di samping ranjang untuk menopang tubuhnya yang lemah, samar-samar dia mendengar suara dari luar kamar. Suara itu terdengar serius, berbicara pelan namun jelas. Luna menajamkan telinganya, mencoba memahami apa yang sedang dibicarakan.Lalu, satu suara terdengar lebih jelas—suara yang t
"Kamu bisa menurunkan beberapa meter lagi," pinta Luna pada pria itu."Bisa saja mereka masih mengejar kita. Aku akan menurunkanmu di tempat aman."Luna ingin melayangkan protes, tapi ia tetap memilih diam karena kemungkinan besar mereka memang dikejar. Akhirnya dia hanya diam. Mobil melaju semakin jauh, meninggalkan jejak ketegangan di belakang. Luna duduk diam di kursi penumpang, berusaha menenangkan dirinya. Sesekali, dia melihat ke arah pria di sebelahnya yang menyetir dengan tenang, namun ekspresi wajahnya tetap serius. Pria itu tidak banyak bicara sejak mereka meninggalkan para pengejar, tapi Luna bisa merasakan perhatian darinya ketika dia melihat kaki Luna yang terluka.“Kamu bisa menurunkanku di sini,” kata Luna dengan suara lemah, ketika mobil mulai melintasi area yang lebih tenang, jauh dari jalan utama. Dia merasa cukup aman sekarang, dan lebih baik pergi sendiri daripada menambah masalah bagi orang asing ini.Pria itu menatapnya sekilas, kemudian kembali fokus ke jalan. “
Bian tiba di depan rumah Juan, matanya menyala dengan campuran amarah dan kekhawatiran. Beberapa menit lalu, anak buahnya melapor bahwa Luna ada di sini, namun saat dia masuk, rumah itu sepi. Luna sudah tidak ada. Jantung Bian berdebar semakin kencang, pikirannya penuh dengan ketakutan akan apa yang bisa saja terjadi pada istrinya yang sedang mengandung anak mereka. Dia masuk lebih dalam, melihat sekeliling dengan panik, hingga akhirnya bertemu dengan Juan yang berdiri santai di ujung ruangan. Juan tersenyum tipis, jelas menikmati kekacauan yang terjadi. "Ada apa? Apa yang kamu lakukan di sini?" Berlakon seolah dia tidak tahu apa-apa. Bian menatap Juan dengan tatapan penuh kebencian, menghampirinya dengan langkah cepat. “Di mana Luna?!” Juan hanya mengangkat bahu, tetap bersikap tenang seolah-olah tidak ada yang salah. "Kenapa kamu bertanya padaku?" Kata-kata Juan membuat Bian kehilangan kendali. Tanpa peringatan, Bian langsung menerjang ke arah Juan, mendorong pria itu keras k
Bryan berdiri di tepi ranjang, memandangi wajah Luna yang terlelap. Dia terlihat begitu damai, nyaris tak tersentuh oleh kegaduhan yang sedang berputar di sekitar kehidupannya. Cahaya lembut dari lampu di sudut ruangan menerpa wajah Luna, menonjolkan keindahan alami yang seakan membuat Bryan terpesona sejenak. Wajahnya tenang, bibirnya sedikit terbuka, napasnya teratur—sama sekali tak menunjukkan bahwa ia berada di tengah bahaya.Luna sedang dalam pengaruh obat bius. Bryan tidak ingin ada drama histeris untuk beberapa saat lamanya. Luna adalah tawanannya.Tawanannya yang cantik. Bryan menatapnya dengan kekaguman yang dingin. Dia memang cantik, lebih cantik daripada yang pernah diceritakan oleh siapa pun. Ada sesuatu yang membuatnya berbeda. Tapi kecantikan itu tak akan menghentikannya dari menggunakan Luna sebagai alat untuk menghancurkan Bian. Seorang pria yang berdiri di dekat pintu memecah keheningan dengan nada ragu. "Apa tidak masalah memancing Bian dengan cara seperti ini?"Bry
Bryan mengambil ponselnya dengan senyum tipis di bibirnya, jari-jarinya lincah mengetik nomor Bian. Ketika panggilan tersambung, ia menunggu suara Bian di ujung sana. “Bian,” sapanya dengan nada santai, seolah mereka adalah teman lama yang sedang berbincang. "Aku yakin kamu sudah bisa menebak siapa musuhmu sebenarnya sekarang, bukan? Aku suka pria pintar sepertimu."Bian mendengus pelan dari seberang telepon, namun tidak berkata apa-apa.Bryan melanjutkan, dengan suara yang lebih tajam dan penuh ancaman. “Dengar, Bian. Aku tahu kamu punya koneksi, antek, dan segala macam alat untuk mencariku. Tapi jika kamu membawa mereka ke sini... Aku tidak akan segan-segan mematahkan satu persatu jari istrimu. Luna mungkin akan menangis, tapi kamu tahu, itu akan membuat segalanya lebih menarik. Dan Bian, aku bukan pria yang penuh belas kasih.Ada jeda singkat. Bryan bisa mendengar napas Bian di seberang sana, tapi pria itu tetap tenang. Sampai akhirnya Bian tertawa pelan, suaranya begitu dingin hi
Luna terbangun dengan kepala yang masih sedikit berdenyut. Matanya berkedip-kedip, mencoba menyesuaikan diri dengan ruangan asing yang dia lihat. Ketika pandangannya akhirnya fokus, dia melihat seorang pria duduk di dekatnya dengan senyum misterius di wajahnya. "Hai," suara Bryan terdengar tenang, hampir seperti menyapa teman lama. "Tidurmu nyenyak?" Luna tidak menanggapi sapaan itu. Matanya segera beralih ke sudut ruangan, tempat dua pria berdiri tegak dengan ekspresi dingin, lengkap dengan senjata di tangan mereka. Jantung Luna berdegup lebih cepat. Naluri bertahannya langsung aktif. "Siapa kamu sebenarnya?" Luna akhirnya bersuara, suaranya terdengar tenang, meskipun ada ketakutan yang jelas di matanya. "Dan kenapa ada pria bersenjata di sini?" Bryan tertawa kecil, seolah pertanyaan itu menghiburnya. “Bryan Sagara,” jawabnya santai. Luna terdiam sejenak, mengulang nama itu di dalam benaknya. Sagara. Nama itu terdengar sangat familiar. "Apa hubunganmu dengan Bian Sagara?" Mel
Begitu Bryan melangkah keluar dari kamar, pintu berderit pelan dan seorang pria lain masuk. Luna menoleh dan matanya langsung membelalak, penuh keterkejutan. Nathan—pria yang selama ini menjadi asisten setia Bian, yang selama ini dia percayai—berdiri di depan pintu dengan ekspresi tenang, seolah-olah tidak ada yang salah."Nathan?" Luna berbisik, suaranya hampir tidak keluar karena tenggorokannya tercekat. Tidak ada yang lebih mengejutkan daripada melihat seseorang yang seharusnya berada di pihak Bian, sekarang berdiri di depan musuh.Nathan menatapnya tanpa ekspresi, tetapi ada sesuatu di balik tatapannya yang membuat Luna mulai takut. Dia berjalan perlahan mendekati Luna, seolah-olah pertemuan ini hanyalah rutinitas biasa. "Kamu... kamu bersama mereka?" Luna bertanya, dia penasaran mendengar jawaban Nathan meski dia sudah bisa menebak. Dia masih berusaha mencerna kenyataan yang tiba-tiba terbuka di hadapannya.Nathan berhenti beberapa langkah dari tempat Luna duduk, matanya mena