Bian melaju dengan kecepatan tinggi, napasnya berat, pikirannya terfokus hanya pada satu hal-Luna. Vila Bryan adalah tempat terakhir yang diketahui dari informasi yang dia terima. Adrenalinnya memuncak ketika mobilnya berhenti di depan vila besar tiga lantai yang dikelilingi pagar tinggi. Namun, sebelum dia bisa mendekat lebih jauh, beberapa pria muncul dari bayangan, menutup jalan masuk. Anak buah Bryan, berpakaian hitam dan membawa senjata. Bian tidak memperlambat langkahnya. Tatapan matanya dingin, penuh determinasi. Dia tahu dia harus bertindak cepat. "Kamu tidak diizinkan masuk," ujar salah satu pria besar itu, berdiri tegap di hadapan Bian, menahan langkahnya. Pria itu berusaha terlihat intimidatif, Bian hanya menatapnya tanpa gentar. "Aku tidak di sini untuk bernegosiasi," jawab Bian tenang, seakan tidak terpengaruh dengan ancaman yang dilayangkan padanya. Tanpa basa-basi, dia melancarkan serangan. Satu tinju kuat menghantam wajah pria itu, membuatnya tersentak mundur. Pr
Bryan memberikan isyarat pada anak buahnya untuk menggeledah Bian dengan teliti. Tidak ada ponsel, tidak ada senjata—Bian benar-benar bersih. Ya, Bian meninggalkan ponselnya sebelum dia masuk. Mereka menggiringnya ke sebuah ruangan khusus yang masih berada di dalam bangunan yang sama, tetapi tersembunyi di balik pintu rahasia. Pintu itu tidak bisa dimasuki sembarangan; hanya dengan memasukkan kode tertentu barulah terbuka. Bian memperhatikan setiap detail—ini bukan tempat biasa. Bryan jelas sudah menyiapkan segalanya dengan cermat, mengatur anak buahnya di setiap sudut seperti jebakan yang dirancang untuk mengurungnya. Bian mengandalkan ketenangannya, meskipun amarah di dalam hatinya sudah mendidih. Ia berharap Julian, Rafael, dan Adam, yang berada di luar, mampu mengikuti rencana dan menyerbu tempat ini. Namun, dalam situasi saat ini, dia hanya bisa mengamati dan bersabar.Setibanya mereka di ruangan itu, Bian dibuat terkejut. Ruangannya dipenuhi dengan kaca dari lantai hingga langi
Luna merasakan dingin menjalari kulitnya saat tubuhnya terikat pada kursi di sebuah ruangan kecil tanpa jendela. Dinding-dinding kusam dan lampu redup di atasnya membuat suasana semakin mencekam. Ya, Luna sudah dipindahkan dari kamar sebelumnya. Jantungnya berdetak kencang, tapi bukan karena ketakutan, melainkan karena sesuatu yang asing merayapi tubuhnya. Pada awalnya, Luna hanya merasa pusing—seolah gravitasi menariknya lebih kuat dari biasanya. Namun, saat menit-menit berlalu, perasaan aneh mulai menguasainya. Salah satu anak buah Bryan, pria dengan wajah dingin dan senyum kejam, mendekatinya sambil membawa jarum suntik. "Kamu akan merasa lebih tenang sebentar lagi," ucapnya dengan nada mengejek. Luna tidak sempat mengelak ketika pria itu menyuntikkan cairan ke lengannya. Awalnya, ia tidak paham apa yang telah disuntikkan ke dalam tubuhnya, namun tidak lama setelah itu, tubuhnya mulai merespons dengan cara yang tidak biasa. Kepalanya semakin berat, dan pandangannya kabur. Panas m
Di ruangan yang sunyi itu, suara langkah Bryan terdengar jelas. Ia mendekati Luna dengan tatapan yang penuh niat buruk. Matanya yang gelap berkilat dengan kepuasan, ia benar-benar menikmati permainan yang ia ciptakan. Bian, yang masih berdiri di balik kaca, menatap dengan napas berat, mencoba menenangkan gejolak di dalam dirinya. Amarah yang meledak-ledak mengalir dalam nadinya, namun ia sadar bahwa emosi yang tidak terkendali hanya akan membawa malapetaka.Bryan berhenti tepat di depan Luna, mengamati tubuhnya yang mulai gemetar akibat efek obat yang bekerja di dalam tubuhnya. Keringat membasahi dahi Luna, wajahnya yang pucat semakin terlihat lemah dan tak berdaya. Suara napasnya terdengar berat dan terputus-putus, tubuhnya berusaha melawan obat yang menguasai pikirannya.“Kamu tahu, Bian,” suara Bryan menggema di ruangan itu, suaranya tenang namun penuh dengan ancaman. “Aku selalu suka melihat orang berjuang melawan takdir. Seperti Inara. Dia juga mencoba melawanku, tetapi lihat bag
Bryan mendekat dengan senyum licik mendekat, menyentuhnya seolah Luna adalah mainan yang bisa diperlakukan sesuka hati. Bian tahu bahwa ini adalah titik terendah dalam hidupnya. Rasa tak berdaya menghantamnya keras.“Bryan, hentikan,” Bian berusaha menenangkan suaranya, meskipun jelas ada getaran di sana. Bryan tidak berhenti, bahkan senyumnya semakin melebar, dia menikmati setiap detik penderitaan yang dialami Bian.“Apa, Bian? Kamu ingin aku berhenti?” Bryan berkata dengan nada mengejek, matanya masih terpaku pada Luna yang sudah nyaris pingsan. “Kenapa aku harus mendengarkanmu?”Bian menatap Luna dengan rasa sakit yang mendalam. Dia tahu bahwa permohonan sederhana tidak akan pernah cukup untuk menghentikan pria seperti Bryan. Dia harus merendahkan dirinya. Dengan langkah berat, Bian perlahan jatuh ke lututnya. Pandangannya terarah lurus ke lantai, rasa malu dan hina membakar hatinya, tapi dia tidak punya pilihan lain.“Bryan,” kata Bian dengan suara bergetar. “Aku mohon... aku moh
Di luar vila yang gelap, Julian, Rafael, dan Adam bersembunyi di balik pohon-pohon besar, mengamati setiap gerakan penjaga Bryan. Mereka sudah berjam-jam memantau, menunggu momen yang tepat untuk menyerang. Sekilas, vila itu tampak tenang, namun mereka tahu di dalam, Bian dan Luna terperangkap dalam bahaya yang lebih dari sekadar fisik.“Kita tak punya banyak waktu,” bisik Julian, mengintip melalui teropong yang digenggamnya erat. “Aku melihat beberapa penjaga berpindah posisi. Mereka mungkin segera menyadari kehadiran kita.”Rafael mengangguk, menyandarkan tubuhnya di balik pohon. “Kita harus bertindak cepat. Kita tak tahu apa yang sedang terjadi di dalam, tapi Bian pasti membutuhkan kita sekarang.”Adam, yang berdiri paling dekat dengan pagar vila, mengecek senjata di tangannya. Matanya tajam, penuh konsentrasi. “Kita tidak bisa menunggu lebih lama lagi. Semakin lama kita di sini, semakin besar risiko Bryan melakukan sesuatu yang tidak terduga.”Julian menurunkan teropongnya dan mem
"Tapi jika diperhatikan," Bryan dengan lancang menyentuh dagu Luna. "Istrimu lumayan cantik. Aku tergoda dengannya. Bagaimana ini, Bian?" senyuman licik terpancar di wajahnya. Luna, yang tubuhnya semakin lemah karena obat perangsang, hanya bisa menatapnya dengan mata penuh ketakutan. "Apa sebaiknya aku bersenang-senang dengannya? Hm, kurasa aku tertarik padanya." Bryan memiringkan kepala, berniat ingin mencium Luna. Luna takut, tapi dia tidak tahu cara menghindar karena dirinya juga di bawah pengaruh obat perangsang."Bryan! Tunggu!" seru Bian dengan suara serak. Bryan menghentikan aksinya, berbalik menatap Bian dengan alis terangkat. "Apa lagi, Bian? Sudah puas memohon dan merendahkan dirimu di hadapanku? Atau kamu punya rencana lain yang lebih menghibur? Istrimu, jika dijual, kuyakin harganya akan lebih tinggi dari Inara.""Aku akan membunuhmu sebelum hal itu terjadi," sahut Bian sinis.Bryan melepaskan tawanya. "Ah, akhirnya kamu menunjukkan emosimu."Bian menghela napas dalam-da
"Kita harus segera pergi."Bryan menatap penuh curiga. "Kamu bermain api, Bian. Jangan pikir aku akan begitu mudah percaya padamu."Bian tersenyum kecil, berusaha menunjukkan bahwa dia tenang meskipun situasi sebenarnya jauh dari itu. "Kamu sudah menyiksaku dengan cukup banyak, Bryan. Tidak ada lagi yang bisa kulakukan kecuali memberikan apa yang kamu inginkan. Jika aku mencoba berbohong, aku tahu kamu akan menghancurkan segalanya, termasuk Luna."Mata Bryan menyipit, tanda bahwa dia masih belum sepenuhnya percaya. Namun, kesombongan yang selama ini membuatnya berada di puncak kriminalitasnya juga menjadi kelemahannya. Dia berpikir bahwa semua orang akhirnya akan tunduk di bawah kekuasaannya. Bian tahu itu, dan dia akan memanfaatkan rasa percaya diri Bryan ini."Kamu benar," ujar Bryan akhirnya, mengibaskan tangannya ke arah anak buahnya. "Kalian mundur. Beri kami ruang. Jangan ada yang mencoba bergerak sebelum aku perintahkan."Anak buah Bryan tampak ragu, namun tak berani membantah
Tepuk tangan kembali menggema, kali ini lebih meriah. Luna menatap Bian dengan mata berkaca-kaca, tidak mampu berkata apa-apa selain tersenyum. Ia mengambil mikrofon kecil yang disodorkan salah satu tamu, mencoba menguasai dirinya."Terima kasih, Mas Bian," katanya, suaranya sedikit bergetar tetapi tetap penuh ketulusan. "Kamu selalu tahu bagaimana caranya membuatku merasa istimewa. Aku tidak pernah meminta apa-apa selain cinta darimu, dan kamu memberiku lebih dari itu. Kamu memberiku keluarga, kebahagiaan, dan cinta yang tak pernah habis. Aku juga mencintaimu, lebih dari apa yang bisa aku ungkapkan dengan kata-kata."Seketika suasana terasa semakin emosional. Beberapa tamu bahkan terlihat menyeka air mata mereka, terharu oleh keintiman yang mereka saksikan. Dengan senyuman yang tak pernah lepas dari wajahnya, Bian menggenggam tangan Luna lebih erat. "Ayo kita potong kuenya," katanya, membawa mereka kembali ke momen yang lebih santai.Setelah mereka memotong kue bersama, suasana berub
Luna terus menelusuri setiap halaman buku jurnal yang diberikan Bian kemarin. Tulisan tangan suaminya terasa seperti suara dari hatinya sendiri, mengalir dengan kejujuran dan kerinduan yang tak terbendung. Setiap kata menggambarkan perjalanan emosional seorang pria yang berusaha keras mencari istri yang hilang, menanggung penyesalan yang mendalam atas kegagalannya selama setahun penuh. Air mata membasahi pipinya, tetapi senyumnya tetap bertahan. Ini bukan tangisan sedih; ini adalah tangisan karena cinta yang begitu nyata, begitu tulus.Ketika pintu kamar mereka terbuka, Luna mendongak, mendapati sosok Bian berdiri di sana. Cahaya dari luar ruangan menyinari pria itu, menegaskan aura ketenangan yang selalu menyelimutinya. "Hei, aku memberikan jurnal ini bukan untuk membuatmu menangis, Sayang," ujarnya, melangkah masuk dan langsung duduk di depannya. Dengan lembut, ia mengusap pipi Luna, menghapus jejak air mata yang masih tersisa. Sentuhan itu bukan hanya lembut, tetapi juga penuh ci
“Sikapmu mencurigakan!” Luna tertawa ringan saat ia memukul lembut dada suaminya, namun segera menyerah dalam pelukannya. Dekapan Bian selalu berhasil meredakan segala kekhawatiran yang memenuhi pikirannya. Hangat, nyaman—seolah seluruh dunia berhenti berputar, memberikan mereka momen yang hanya milik mereka berdua. Luna menyandarkan kepalanya di dada Bian, merasakan detak jantungnya yang stabil, menenangkan. Tidak ada tempat ternyaman selain berada di sisinya, seolah Bian adalah oksigen yang ia butuhkan untuk bertahan hidup. Membayangkan hidup tanpa pria itu terasa tak mungkin lagi, dan setiap kali ada keraguan yang muncul, ia segera tenggelamkan dalam ketenangan pelukannya.“Kamu tahu aku mencintaimu,” bisik Bian di telinga Luna, suaranya rendah namun penuh keyakinan, mengirimkan getaran lembut yang langsung menusuk ke dalam hati Luna. Bian tidak perlu bersuara keras untuk menunjukkan betapa ia sangat menyayangi istrinya—bisikan itu saja sudah cukup untuk mengukir janji tanpa kata-
“Kita tidak bisa mencampuri hubungan mereka,” ucap Bian, suaranya tenang namun penuh ketegasan. Dia telah mendengar cerita sebenarnya dari Luna—bagaimana Julian tidak menyentuh Sarena sama sekali, bagaimana situasi rumit itu hanyalah bayang-bayang dari ketidakpastian. Tetapi justru karena dia mengetahui kebenarannya, Bian merasa tidak berhak mengambil peran dalam keputusan yang hanya bisa diambil oleh Sarena sendiri. Hatinya berat, namun ia tahu apa yang harus dilakukan.“Sarena sudah jauh lebih dewasa. Dia pasti bisa menyikapi semua ini,” lanjutnya, seolah kata-kata itu diucapkan untuk menenangkan diri sendiri lebih dari sekadar memberi penegasan kepada istrinya. Dia ingin yang terbaik untuk Sarena, tanpa intervensi yang malah akan mengaburkan pilihan yang sebenarnya. Tapi, sebagai kakak, ada kekhawatiran yang tak bisa sepenuhnya ditepiskan. Ia tahu apa yang telah dilewati Julian, dan sebentuk kasih yang tak terucap tumbuh di hatinya.“Biarkan dia yang mengambil keputusan, Luna.” D
“Mas…” panggilan lembut Luna meluncur, berusaha menuntut perhatian suaminya yang tengah tenggelam di depan layar laptop. Ada kelembutan sekaligus sedikit tuntutan dalam suaranya, seolah mengingatkan bahwa ia tidak suka diabaikan.Bian menoleh dengan cepat, menyadari bahwa istrinya menginginkan sesuatu lebih dari sekadar jawaban biasa. Senyuman manisnya muncul, memupus segala letih yang terasa. “Ya, Luna, ada apa? Kamu butuh sesuatu, Sayang?” tanyanya dengan nada penuh perhatian.Luna tersenyum kecil, meski seulas kekhawatiran berbayang di matanya. “Tidak, Mas. Aku hanya ingin berbincang.” Kata-katanya sederhana, tetapi tersirat sebuah keinginan untuk didengar dan dimengerti. “Mas sedang sibuk atau bagaimana?” Ia tak ingin mengganggu, tetapi ia juga membutuhkan suaminya untuk bersamanya, sepenuhnya.Bian menatapnya dengan tatapan lembut penuh kasih sayang, mendengar nada halus yang menyiratkan beban dalam kalimat Luna. Meski pekerjaannya belum selesai, ia tak akan pernah meninggalkan i
Luna meremas tangan Sarena dengan lembut, mencoba meyakinkannya untuk terus bercerita. Tatapan penasaran yang dalam terpancar dari matanya, tak dapat disembunyikan oleh ekspresi tenangnya. “Lalu, apa sebenarnya masalahnya?” desaknya lagi, penuh rasa ingin tahu. Mengapa Sarena terlihat begitu sedih padahal ia dan Julian saling mencintai? Bukankah dua orang yang saling mencintai seharusnya menikah dan hidup bahagia?Namun, di dalam hatinya, Luna tahu bahwa pernyataannya itu tak sepenuhnya benar. Pernikahannya dengan Bian tidak dimulai dari cinta sejati; mereka menikah karena keputusan keluarga yang berujung pada pernikahan yang dipaksakan. Namun, seiring berjalannya waktu, cinta perlahan tumbuh di antara mereka. Takdir telah menenun kisah mereka dengan cara yang tak terduga, membawa mereka dari konflik menuju kedamaian, dari kecurigaan menjadi kepercayaan. Sekarang, mereka berada di tempat yang disebut dengan "akhir bahagia" – titik di mana cinta mereka telah melewati segala ujian."Aku
Luna tersenyum lembut sambil mendekat ke Felicia, gadis kecil yang tampak sibuk dengan pensil warna di tangan. "Hai, Felicia..." sapanya, duduk di sebelah gadis kecil itu. "Apa yang sedang kamu buat, Sayang?" tanyanya dengan hangat, matanya tertuju pada kertas penuh warna di hadapan Felicia.Felicia menoleh dengan senyum lebar. "Ini Ibu, sedang memakai baju pengantin! Dan ini Ayah Julian," jawabnya penuh antusias, telunjuk mungilnya menunjuk tiap karakter yang ia gambar. Matanya berbinar dengan bangga, seolah-olah memperkenalkan dunia imajinasinya kepada Luna.Luna tertawa kecil, matanya menelusuri gambar yang terlihat penuh cinta. "Dan ini kamu, ya?" ujarnya, menunjuk pada sosok kecil di antara gambar Sarena dan Julian. Felicia mengangguk dengan bersemangat, matanya menyorot kebahagiaan murni anak-anak."Hm, kalau ini?" Luna menunjukkan objek kecil di samping mereka yang mirip dengan keranjang bayi. Alisnya terangkat penasaran.Felicia tersenyum ceria, tatapannya polos namun mengandu
Setelah masalah Julian dan Sarena selesai, sesuai janjinya pada sahabatnya, Bian, dia membawa adik sahabatnya itu pulang. Dia akan melamar Sarena di hadapan sahabatnya, meminta restu Bian dan Luna.Julian dan Sarena kembali memasuki rumah, membawa serta Felicia yang menggenggam tangan mereka dengan erat. Begitu tiba di ruang tamu, Luna menyambut dengan senyum lebar, matanya berkilau penuh kegembiraan saat melihat adiknya akhirnya kembali. “Ah... akhirnya kamu pulang,” ucap Luna, memeluk Sarena erat-erat. "Aku sangat merindukanmu."Sarena balas memeluk, bibirnya melengkung lembut. “Aku juga merindukanmu, Luna. Sangat rindu. Ah... comelnya.” Sarena menoel pipi bayi tembem yang ada di gendongan Luna. Dia mengambil alih Mikayla dan menciumnya. "Adik bayinya lucu 'kan," ia menunjukkannya pada Felicia. Felicia mengangguk dan dengan malu-malu menyentuh pipi Mikayla."Hai, Felicia, selamat datang," Luna merentangkan tangannya, memeluk gadis kecil itu. Sarena sudah pernah membahas tentang Feli
Sarena menarik napas dalam, suaranya berubah lembut dan penuh kenangan ketika ia mulai bercerita. "Felicia… dia kebahagiaanku, Julian. Dia seperti sinar matahari yang muncul setelah badai, yang menghangatkan dan memberi arti baru dalam hidupku." Kata-katanya mengalir dengan tulus, mengisyaratkan seberapa besar perasaan dan perjuangannya selama ini. Di dalam setiap kata, Sarena menanamkan makna dari cinta seorang ibu yang tanpa syarat, sebuah cinta yang ia pilih dengan seluruh hatinya, walau penuh pengorbanan. Sorot matanya berkabut saat ia memandang Julian, mengungkapkan cinta dan kerinduan yang begitu dalam.Julian menggenggam tangan Sarena dengan lembut, merasakan beban yang selama ini ia bawa sebagai pria yang tiba-tiba diberi kesempatan kedua untuk mengenal putrinya. "Sekarang, dia juga bagian dari kehidupanku," ucapnya dengan suara bergetar, nyaris berbisik, seolah mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa kehadiran Felicia nyata, bahwa ini bukan mimpi belaka. "Kita akan merawat