Luna merasakan dingin menjalari kulitnya saat tubuhnya terikat pada kursi di sebuah ruangan kecil tanpa jendela. Dinding-dinding kusam dan lampu redup di atasnya membuat suasana semakin mencekam. Ya, Luna sudah dipindahkan dari kamar sebelumnya. Jantungnya berdetak kencang, tapi bukan karena ketakutan, melainkan karena sesuatu yang asing merayapi tubuhnya. Pada awalnya, Luna hanya merasa pusing—seolah gravitasi menariknya lebih kuat dari biasanya. Namun, saat menit-menit berlalu, perasaan aneh mulai menguasainya. Salah satu anak buah Bryan, pria dengan wajah dingin dan senyum kejam, mendekatinya sambil membawa jarum suntik. "Kamu akan merasa lebih tenang sebentar lagi," ucapnya dengan nada mengejek. Luna tidak sempat mengelak ketika pria itu menyuntikkan cairan ke lengannya. Awalnya, ia tidak paham apa yang telah disuntikkan ke dalam tubuhnya, namun tidak lama setelah itu, tubuhnya mulai merespons dengan cara yang tidak biasa. Kepalanya semakin berat, dan pandangannya kabur. Panas m
Di ruangan yang sunyi itu, suara langkah Bryan terdengar jelas. Ia mendekati Luna dengan tatapan yang penuh niat buruk. Matanya yang gelap berkilat dengan kepuasan, ia benar-benar menikmati permainan yang ia ciptakan. Bian, yang masih berdiri di balik kaca, menatap dengan napas berat, mencoba menenangkan gejolak di dalam dirinya. Amarah yang meledak-ledak mengalir dalam nadinya, namun ia sadar bahwa emosi yang tidak terkendali hanya akan membawa malapetaka.Bryan berhenti tepat di depan Luna, mengamati tubuhnya yang mulai gemetar akibat efek obat yang bekerja di dalam tubuhnya. Keringat membasahi dahi Luna, wajahnya yang pucat semakin terlihat lemah dan tak berdaya. Suara napasnya terdengar berat dan terputus-putus, tubuhnya berusaha melawan obat yang menguasai pikirannya.“Kamu tahu, Bian,” suara Bryan menggema di ruangan itu, suaranya tenang namun penuh dengan ancaman. “Aku selalu suka melihat orang berjuang melawan takdir. Seperti Inara. Dia juga mencoba melawanku, tetapi lihat bag
Bryan mendekat dengan senyum licik mendekat, menyentuhnya seolah Luna adalah mainan yang bisa diperlakukan sesuka hati. Bian tahu bahwa ini adalah titik terendah dalam hidupnya. Rasa tak berdaya menghantamnya keras.“Bryan, hentikan,” Bian berusaha menenangkan suaranya, meskipun jelas ada getaran di sana. Bryan tidak berhenti, bahkan senyumnya semakin melebar, dia menikmati setiap detik penderitaan yang dialami Bian.“Apa, Bian? Kamu ingin aku berhenti?” Bryan berkata dengan nada mengejek, matanya masih terpaku pada Luna yang sudah nyaris pingsan. “Kenapa aku harus mendengarkanmu?”Bian menatap Luna dengan rasa sakit yang mendalam. Dia tahu bahwa permohonan sederhana tidak akan pernah cukup untuk menghentikan pria seperti Bryan. Dia harus merendahkan dirinya. Dengan langkah berat, Bian perlahan jatuh ke lututnya. Pandangannya terarah lurus ke lantai, rasa malu dan hina membakar hatinya, tapi dia tidak punya pilihan lain.“Bryan,” kata Bian dengan suara bergetar. “Aku mohon... aku moh
Di luar vila yang gelap, Julian, Rafael, dan Adam bersembunyi di balik pohon-pohon besar, mengamati setiap gerakan penjaga Bryan. Mereka sudah berjam-jam memantau, menunggu momen yang tepat untuk menyerang. Sekilas, vila itu tampak tenang, namun mereka tahu di dalam, Bian dan Luna terperangkap dalam bahaya yang lebih dari sekadar fisik.“Kita tak punya banyak waktu,” bisik Julian, mengintip melalui teropong yang digenggamnya erat. “Aku melihat beberapa penjaga berpindah posisi. Mereka mungkin segera menyadari kehadiran kita.”Rafael mengangguk, menyandarkan tubuhnya di balik pohon. “Kita harus bertindak cepat. Kita tak tahu apa yang sedang terjadi di dalam, tapi Bian pasti membutuhkan kita sekarang.”Adam, yang berdiri paling dekat dengan pagar vila, mengecek senjata di tangannya. Matanya tajam, penuh konsentrasi. “Kita tidak bisa menunggu lebih lama lagi. Semakin lama kita di sini, semakin besar risiko Bryan melakukan sesuatu yang tidak terduga.”Julian menurunkan teropongnya dan mem
"Tapi jika diperhatikan," Bryan dengan lancang menyentuh dagu Luna. "Istrimu lumayan cantik. Aku tergoda dengannya. Bagaimana ini, Bian?" senyuman licik terpancar di wajahnya. Luna, yang tubuhnya semakin lemah karena obat perangsang, hanya bisa menatapnya dengan mata penuh ketakutan. "Apa sebaiknya aku bersenang-senang dengannya? Hm, kurasa aku tertarik padanya." Bryan memiringkan kepala, berniat ingin mencium Luna. Luna takut, tapi dia tidak tahu cara menghindar karena dirinya juga di bawah pengaruh obat perangsang."Bryan! Tunggu!" seru Bian dengan suara serak. Bryan menghentikan aksinya, berbalik menatap Bian dengan alis terangkat. "Apa lagi, Bian? Sudah puas memohon dan merendahkan dirimu di hadapanku? Atau kamu punya rencana lain yang lebih menghibur? Istrimu, jika dijual, kuyakin harganya akan lebih tinggi dari Inara.""Aku akan membunuhmu sebelum hal itu terjadi," sahut Bian sinis.Bryan melepaskan tawanya. "Ah, akhirnya kamu menunjukkan emosimu."Bian menghela napas dalam-da
"Kita harus segera pergi."Bryan menatap penuh curiga. "Kamu bermain api, Bian. Jangan pikir aku akan begitu mudah percaya padamu."Bian tersenyum kecil, berusaha menunjukkan bahwa dia tenang meskipun situasi sebenarnya jauh dari itu. "Kamu sudah menyiksaku dengan cukup banyak, Bryan. Tidak ada lagi yang bisa kulakukan kecuali memberikan apa yang kamu inginkan. Jika aku mencoba berbohong, aku tahu kamu akan menghancurkan segalanya, termasuk Luna."Mata Bryan menyipit, tanda bahwa dia masih belum sepenuhnya percaya. Namun, kesombongan yang selama ini membuatnya berada di puncak kriminalitasnya juga menjadi kelemahannya. Dia berpikir bahwa semua orang akhirnya akan tunduk di bawah kekuasaannya. Bian tahu itu, dan dia akan memanfaatkan rasa percaya diri Bryan ini."Kamu benar," ujar Bryan akhirnya, mengibaskan tangannya ke arah anak buahnya. "Kalian mundur. Beri kami ruang. Jangan ada yang mencoba bergerak sebelum aku perintahkan."Anak buah Bryan tampak ragu, namun tak berani membantah
Tiba-tiba, suara tembakan terdengar dari arah luar vila. Bryan tersentak kaget. Matanya menyipit menatap murka. "Apa ini?!" pekiknya, mulai menyadari ada yang tidak beres.Seketika itu juga, suasana berubah menjadi kacau. Anak buah Bryan yang masih berada di dalam ruangan segera berlari keluar untuk memeriksa keadaan, tetapi sebelum mereka sempat mencapai pintu, tembakan kedua terdengar, lebih dekat kali ini. Salah satu anak buah Bryan tumbang, membuat semua yang tersisa panik.Bian memanfaatkan kekacauan itu. Saat Bryan kehilangan fokus, Bian bergerak cepat. Dengan sebuah pukulan keras, dia menghantam Bryan tepat di wajah, membuat pria itu tersungkur ke lantai. "Ini untuk Luna," geram Bian dengan suara rendah namun penuh amarah.Bryan terkejut, wajahnya memerah oleh darah yang mengalir dari bibirnya. "Berani kamu, keparat!" teriaknya sambil mencoba bangkit. Namun, Bian tidak memberinya kesempatan untuk melawan. Sebelum Bryan bisa berdiri, Bian menerjangnya lagi, menendangnya di perut
Bian segera bergegas menuju tempat Luna ditahan. Kepalanya penuh dengan kekhawatiran, apalagi saat ia mengingat bagaimana Luna terlihat tak berdaya ketika Bryan mulai mengancamnya. Di dalam hati, Bian tidak bisa membiarkan Luna terluka lebih parah lagi."Luna!" Bian memanggilnya dengan suara tegas namun cemas, saat dia mencapai ruangan tempat Luna berada. Luna terlihat terbaring di sudut ruangan, tubuhnya menggigil dan matanya setengah terpejam. Efek dari obat yang disuntikkan mulai terlihat jelas. Nafas Luna tersengal, dan matanya berusaha tetap fokus, namun gagal."Luna, bertahanlah," ujar Bian sambil berlutut di sampingnya. Dengan lembut, dia membelai pipi Luna, mencoba membangunkannya. "Luna, dengar aku. Kamu harus tetap sadar."Luna membuka matanya, namun pandangannya kosong. Tubuhnya terasa berat, seakan-akan seluruh ototnya kehilangan kekuatan. Namun, saat mendengar suara Bian, ada secercah kesadaran yang kembali. "Bian...," bisiknya lemah."Ya, ini aku. Aku di sini sekarang. K