Bryan mendekat dengan senyum licik mendekat, menyentuhnya seolah Luna adalah mainan yang bisa diperlakukan sesuka hati. Bian tahu bahwa ini adalah titik terendah dalam hidupnya. Rasa tak berdaya menghantamnya keras.“Bryan, hentikan,” Bian berusaha menenangkan suaranya, meskipun jelas ada getaran di sana. Bryan tidak berhenti, bahkan senyumnya semakin melebar, dia menikmati setiap detik penderitaan yang dialami Bian.“Apa, Bian? Kamu ingin aku berhenti?” Bryan berkata dengan nada mengejek, matanya masih terpaku pada Luna yang sudah nyaris pingsan. “Kenapa aku harus mendengarkanmu?”Bian menatap Luna dengan rasa sakit yang mendalam. Dia tahu bahwa permohonan sederhana tidak akan pernah cukup untuk menghentikan pria seperti Bryan. Dia harus merendahkan dirinya. Dengan langkah berat, Bian perlahan jatuh ke lututnya. Pandangannya terarah lurus ke lantai, rasa malu dan hina membakar hatinya, tapi dia tidak punya pilihan lain.“Bryan,” kata Bian dengan suara bergetar. “Aku mohon... aku moh
Di luar vila yang gelap, Julian, Rafael, dan Adam bersembunyi di balik pohon-pohon besar, mengamati setiap gerakan penjaga Bryan. Mereka sudah berjam-jam memantau, menunggu momen yang tepat untuk menyerang. Sekilas, vila itu tampak tenang, namun mereka tahu di dalam, Bian dan Luna terperangkap dalam bahaya yang lebih dari sekadar fisik.“Kita tak punya banyak waktu,” bisik Julian, mengintip melalui teropong yang digenggamnya erat. “Aku melihat beberapa penjaga berpindah posisi. Mereka mungkin segera menyadari kehadiran kita.”Rafael mengangguk, menyandarkan tubuhnya di balik pohon. “Kita harus bertindak cepat. Kita tak tahu apa yang sedang terjadi di dalam, tapi Bian pasti membutuhkan kita sekarang.”Adam, yang berdiri paling dekat dengan pagar vila, mengecek senjata di tangannya. Matanya tajam, penuh konsentrasi. “Kita tidak bisa menunggu lebih lama lagi. Semakin lama kita di sini, semakin besar risiko Bryan melakukan sesuatu yang tidak terduga.”Julian menurunkan teropongnya dan mem
"Tapi jika diperhatikan," Bryan dengan lancang menyentuh dagu Luna. "Istrimu lumayan cantik. Aku tergoda dengannya. Bagaimana ini, Bian?" senyuman licik terpancar di wajahnya. Luna, yang tubuhnya semakin lemah karena obat perangsang, hanya bisa menatapnya dengan mata penuh ketakutan. "Apa sebaiknya aku bersenang-senang dengannya? Hm, kurasa aku tertarik padanya." Bryan memiringkan kepala, berniat ingin mencium Luna. Luna takut, tapi dia tidak tahu cara menghindar karena dirinya juga di bawah pengaruh obat perangsang."Bryan! Tunggu!" seru Bian dengan suara serak. Bryan menghentikan aksinya, berbalik menatap Bian dengan alis terangkat. "Apa lagi, Bian? Sudah puas memohon dan merendahkan dirimu di hadapanku? Atau kamu punya rencana lain yang lebih menghibur? Istrimu, jika dijual, kuyakin harganya akan lebih tinggi dari Inara.""Aku akan membunuhmu sebelum hal itu terjadi," sahut Bian sinis.Bryan melepaskan tawanya. "Ah, akhirnya kamu menunjukkan emosimu."Bian menghela napas dalam-da
"Kita harus segera pergi."Bryan menatap penuh curiga. "Kamu bermain api, Bian. Jangan pikir aku akan begitu mudah percaya padamu."Bian tersenyum kecil, berusaha menunjukkan bahwa dia tenang meskipun situasi sebenarnya jauh dari itu. "Kamu sudah menyiksaku dengan cukup banyak, Bryan. Tidak ada lagi yang bisa kulakukan kecuali memberikan apa yang kamu inginkan. Jika aku mencoba berbohong, aku tahu kamu akan menghancurkan segalanya, termasuk Luna."Mata Bryan menyipit, tanda bahwa dia masih belum sepenuhnya percaya. Namun, kesombongan yang selama ini membuatnya berada di puncak kriminalitasnya juga menjadi kelemahannya. Dia berpikir bahwa semua orang akhirnya akan tunduk di bawah kekuasaannya. Bian tahu itu, dan dia akan memanfaatkan rasa percaya diri Bryan ini."Kamu benar," ujar Bryan akhirnya, mengibaskan tangannya ke arah anak buahnya. "Kalian mundur. Beri kami ruang. Jangan ada yang mencoba bergerak sebelum aku perintahkan."Anak buah Bryan tampak ragu, namun tak berani membantah
Tiba-tiba, suara tembakan terdengar dari arah luar vila. Bryan tersentak kaget. Matanya menyipit menatap murka. "Apa ini?!" pekiknya, mulai menyadari ada yang tidak beres.Seketika itu juga, suasana berubah menjadi kacau. Anak buah Bryan yang masih berada di dalam ruangan segera berlari keluar untuk memeriksa keadaan, tetapi sebelum mereka sempat mencapai pintu, tembakan kedua terdengar, lebih dekat kali ini. Salah satu anak buah Bryan tumbang, membuat semua yang tersisa panik.Bian memanfaatkan kekacauan itu. Saat Bryan kehilangan fokus, Bian bergerak cepat. Dengan sebuah pukulan keras, dia menghantam Bryan tepat di wajah, membuat pria itu tersungkur ke lantai. "Ini untuk Luna," geram Bian dengan suara rendah namun penuh amarah.Bryan terkejut, wajahnya memerah oleh darah yang mengalir dari bibirnya. "Berani kamu, keparat!" teriaknya sambil mencoba bangkit. Namun, Bian tidak memberinya kesempatan untuk melawan. Sebelum Bryan bisa berdiri, Bian menerjangnya lagi, menendangnya di perut
Bian segera bergegas menuju tempat Luna ditahan. Kepalanya penuh dengan kekhawatiran, apalagi saat ia mengingat bagaimana Luna terlihat tak berdaya ketika Bryan mulai mengancamnya. Di dalam hati, Bian tidak bisa membiarkan Luna terluka lebih parah lagi."Luna!" Bian memanggilnya dengan suara tegas namun cemas, saat dia mencapai ruangan tempat Luna berada. Luna terlihat terbaring di sudut ruangan, tubuhnya menggigil dan matanya setengah terpejam. Efek dari obat yang disuntikkan mulai terlihat jelas. Nafas Luna tersengal, dan matanya berusaha tetap fokus, namun gagal."Luna, bertahanlah," ujar Bian sambil berlutut di sampingnya. Dengan lembut, dia membelai pipi Luna, mencoba membangunkannya. "Luna, dengar aku. Kamu harus tetap sadar."Luna membuka matanya, namun pandangannya kosong. Tubuhnya terasa berat, seakan-akan seluruh ototnya kehilangan kekuatan. Namun, saat mendengar suara Bian, ada secercah kesadaran yang kembali. "Bian...," bisiknya lemah."Ya, ini aku. Aku di sini sekarang. K
Bian bergegas keluar dari kantor polisi, pikirannya kacau. Langkah kakinya cepat, melewati para wartawan yang masih mencoba mengajukan pertanyaan padanya. Mereka berteriak-teriak, meminta pernyataan resmi tentang penyergapan yang baru saja terjadi. Semua itu tidak penting baginya saat ini. Hanya satu hal yang ada dalam benaknya: Luna."Inara dan Nathan," pikir Bian, wajahnya tegang. Mereka berhasil melarikan diri dalam kekacauan. Tidak ada waktu untuk memikirkan mereka saat itu. Namun, dampak dari pelarian mereka segera terasa. Berita tentang penyergapan vila Bryan kini menjadi headline di seluruh media. Dan laporan medisnya setelah kecelakan yang tersebar, dia nyatakan impoten. Sesuatu yang sangat pribadi, sekarang menjadi konsumsi publik. Bian merasakan amarahnya memuncak, tapi di balik itu semua ada perasaan bersalah yang mendalam.Selama berjam-jam, dia terjebak memberikan pernyataan kepada polisi, menjelaskan setiap detail. Setiap detik yang terbuang adalah siksaan. Wartawan ter
Bian menatap Luna dengan cemas, menggenggam tangannya seolah-olah itu adalah satu-satunya hal yang bisa menyatukan mereka saat ini. Dia telah menyaksikan betapa hancurnya Luna, dan rasa bersalahnya semakin dalam setiap detiknya. Namun, saat dia mencoba berbicara lagi, Luna tiba-tiba menarik tangannya dengan gerakan cepat.“Bian,” ucap Luna, suaranya datar namun tegas. “Aku ingin kita berpisah.”Kata-kata itu menghantam Bian seperti pukulan keras di dada. Dia terdiam, tidak percaya dengan apa yang baru saja dia dengar. “Apa... apa maksudmu, Luna?”Luna menatapnya dengan mata yang penuh luka, tapi juga dipenuhi dengan ketegasan. “Pernikahan ini tidak ada gunanya lagi. Aku tidak bisa melanjutkannya. Aku tidak bisa terus hidup seperti ini.”Bian mencoba menahan napas, merasakan kepanikan mulai menguasainya. “Luna, jangan bicara seperti itu. Aku tahu aku telah melakukan kesalahan, tapi kita bisa memperbaikinya. Aku bisa memperbaikinya. Tolong, beri aku kesempatan.”Luna tertawa kecil, tawa