Tepuk tangan kembali menggema, kali ini lebih meriah. Luna menatap Bian dengan mata berkaca-kaca, tidak mampu berkata apa-apa selain tersenyum. Ia mengambil mikrofon kecil yang disodorkan salah satu tamu, mencoba menguasai dirinya."Terima kasih, Mas Bian," katanya, suaranya sedikit bergetar tetapi tetap penuh ketulusan. "Kamu selalu tahu bagaimana caranya membuatku merasa istimewa. Aku tidak pernah meminta apa-apa selain cinta darimu, dan kamu memberiku lebih dari itu. Kamu memberiku keluarga, kebahagiaan, dan cinta yang tak pernah habis. Aku juga mencintaimu, lebih dari apa yang bisa aku ungkapkan dengan kata-kata."Seketika suasana terasa semakin emosional. Beberapa tamu bahkan terlihat menyeka air mata mereka, terharu oleh keintiman yang mereka saksikan. Dengan senyuman yang tak pernah lepas dari wajahnya, Bian menggenggam tangan Luna lebih erat. "Ayo kita potong kuenya," katanya, membawa mereka kembali ke momen yang lebih santai.Setelah mereka memotong kue bersama, suasana berub
"Bersiaplah, hari ini kamu harus menikah dengan Bian Sagara." Luna membelalakan matanya, tidak dapat menyembunyikan rasa terkejut setelah mendengar ucapan sang Ayah dengan nada tenang dan santai. Seakan-akan hal yang pria ucapkan itu bukanlah masalah besar. Luna merasa ulang tahunnya yang ke 23, hari ini begitu menyedihkan. Bukan mendapat surprise spesial, dirinya justru malah mendapatkan kejutan berupa kekecewaan dan penghianatan. Luna memergoki kekasihnya, Juan, sedang bercumbu mesra dengan Ana, saudari tirinya sendiri. Dan kini Luna diminta menikah dengan pria yang tidak pernah ia kenal. “Kenapa aku harus menikah dengannya?” ujar Luna merasa heran. "Aku menggelapkan uang perusahaan sebesar lima Millyar." Satu kalimat yang meluncur dari mulut ayahnya sudah cukup menjelaskan situasi mendadak ini. Dan Luna bukan wanita bodoh. Dia tahu artinya dirinya dijual. Hubungannya dengan sang ayah memang tidak baik, terutama sejak perselingkuhan ayahnya dengan ibu tiri yang mengakiba
Bian memutar kursi rodanya dan menatap Luna dengan ekspresi datar. Dalam keadaan diam seperti itu, Bian tetap nampak mengintimidasi dan tentu saja angkuh. Sialnya, keangkuhan yang dia tunjukkan justru membuatnya semakin menawan. "Kamu hanya alat penebusan hutang! Berani sekali kamu meminta keuntungan," Suara berat Bian membuat Luna kembali tersadar dari lamunannya. Ekpresi pria itu masih sama, datar, tapi dengan sorot mata yang tajam menusuk. "Tuan, Anda pastinya sudah terbiasa berbisnis. Mengenai hutang ayahku, itu akan dianggap lunas begitu aku menjadi pengantinmu. Namun, bagaimana setelah pernikahan? Bukankah aku seumur hidup akan menjadi istri Anda yang harus membantu mengurus setiap keperluan? Rasanya baru adil jika aku juga mendapat keuntungan untuk itu,” Bian tidak bersuara, ia hanya menaikan sebelah alis sebagai reaksi atas ucapan Luna. Bian tidak menyangka bahwa wanita yang akan dijual kepadanya ternyata cukup cerdik. Wanita itu tahu cara bernegosiasi dan memantik ego
"Selamat atas pernikahanmu," Juan mengulurkan tangan yang diabaikan Luna begitu saja. Mendadak Luna merasa muak melihat Juan. Apa yang dulu membuatnya jatuh cinta kepada Juan? Ah! Tentu saja mulut manisnya yang membuatnya akhirnya terperdaya. "Ck! Kamu pengantin terburuk yang pernah kulihat. Wajahmu terlihat seperti badut," Ana tersenyum meremehkan. Luna tidak menyangka bahwa pasangan penghianat itu masih berani menghampiri dirinya ketika sedang menunggu mobil milik Bian yang akan menjemputnya. Ana menarik tangan Luna dan meletakkannya di perutnya. "Kamu merasakannya? Ya, ada benih Juan di sini. Kami akan memiliki anak." Luna menarik tangannya dari perut Ana, “Kamu hanya mendapatkan pria bekas, jadi aku tidak perduli” Ana tersenyum kecut mendengar jawaban Luna, " Setidaknya aku menikah dengan pria yang aku cintai. Bukan dengan seorang pria kejam!" Luna tidak berkomentar, tidak ingin membuang waktu melakukan pembelaan. Disaat Ana baru saja hendak menghina Luna lagi. Suara
Luna semakin gugup. Detik itu ia menyadari bahwa hidupnya terjerumus di dalam sangkar pria kejam. "Aku akan mandi. Segera." Luna beranjak, melangkah cepat. Saat melewati Bian, Luna justru malah terkilir dan terjatuh di atas pangkuan Bian dalam posisi duduk menyamping dan tanpa sengaja mencium leher Bian. "Ma-maaf, aku.." "Leher bukan titik pusat yang bisa merangsangku, Luna." Bisik pria itu dengan nada sensual di telinga Luna yang membuatnya bergidik ngeri. "Berhenti mengembuskan napasmu di sana." Dengan langkah cepat, Luna bangkit dan melangkahkan kakinya menjauhi Bian. "Kamu mempunyai waktu sepuluh menit untuk membersihkan diri." Luna masih gemetar meski ia sudah berada di kamar mandi, menutup rapat pintu toilet tersebut lalu berjongkok, memainkan kukunya yang dipotong rapi. Tabiat yang biasa ia lakukan saat ia merasa gugup. "Jangan menangis... Jangan menangis, Luna. Ini bukan apa-apa. Kamu sudah terbiasa melewati kehidupan yang tidak beruntung seperti ini." "Dua me
"Oh... Aku..." Luna bingung harus memberi jawaban apa atas pertanyaan menyudutkan itu. Dia merasa malu karen memang diam-diam terpesona dengan tubuh Bian. "Aku..." Ucapannya terhenti di udara saat ketukan di pintu menginterupsi, menyelamatkannya dari kewajiban untuk menjelaskan. "Masuk." Bian memberi perintah. Nathan berdiri di ambang pintu. Menatap Luna sebelum mengalihkannya pada Bian. "Ada panggilan untuk Anda, Tuan." "Ambilkan pakaianku," titahnya pada Luna. Tanpa kata, Luna memasangkan bajunya. Lalu Nathan melintasi ruangan untuk membantu Bian mendorong kursi roda. "Istirahatlah, tidak usah menungguku." Luna tidak menjawab. Dalam hati dia berharap pria itu memiliki urusan yang banyak agar mereka tidak perlu melewati malam ini bersama. "Ibuku?" Bian bertanya pada Nathan setelah mereka keluar dari kamar. "Ya." Mereka memasuki ruang kerja pria itu. Nathan segera menghubungi Nyonya Sagara. Di layar muncul wajah Nyonya Sagara, wanita anggun dengan tatapan tegas. "
Luna buru-buru memejamkan mata begitu mendengar suara. Itu pasti Bian dan Nathan. Dugaannya tidak meleset sama sekali. Nathan membantu Bian untuk berbaring di atas ranjang. "Selamat malam, Tuan," kata pria itu. "Istirahatlah," Bian menyahut. Luna menahan napas saat mendengar pintu ditutup. Detik berikutnya, Luna hampir menjerit saat tangan Bian dengan manisnya melingkar di perutnya. Jantungnya jedag jedug dengan ritme tidak teratur. Sekujur tubuhnya seolah terbakar tatkala merasakan hembusan hangat napas Bian lehernya. Apa-apaan ini! Bian memeluknya juga membenamkan kepalanya di ceruk leher Luna. Luna semakin merasa tidak nyaman. Pelukan dan hembusan napas Bian memberikan reaksi berlebihan kepadanya. Perlahan, ia lepaskan tangan Bian dari perutnya lalu kemudian ia menjauhkan kepala dari hembusan napas suaminya. Tidak ada nada protes dari Bian, artinya Bian sudah tertidur. Luna bernapas lega, tapi kemudian ia dibuat kaget lagi. Pria ini benar-benar sangat hobi membuatnya sen
Pagi itu, sinar matahari masuk ke kamar melalui celah tirai, perlahan mengusir kegelapan malam. Luna membuka mata dan merasakan kehangatan di sisi tubuhnya. Dia menoleh dan melihat Bian masih tertidur di sampingnya, wajahnya terlihat lebih lembut saat tertidur. Luna terpesona sejenak, membiarkan matanya menjelajahi setiap detail wajah suaminya. Sulit untuk mengabaikannya. Pipinya tampak halus, dengan sedikit bayangan di bawah mata yang menunjukkan kelelahan. Hidungnya tampak tegas namun tidak terlalu tajam, memberikan keseimbangan yang sempurna pada wajahnya. Alisnya tebal dan hitam, melengkung indah, menciptakan ekspresi tenang yang jarang terlihat ketika dia terjaga. Bulu matanya yang panjang dan lentik menambah keanggunan wajahnya, membuatnya tampak lebih lembut dan damai. Rahang Bian terlihat kokoh dan maskulin, memberikan kesan kekuatan dan keteguhan yang kontras dengan kelembutan di fitur lainnya. Bibirnya yang sedikit terbuka menunjukkan kelembutan dan ketenangan yang berb
Tepuk tangan kembali menggema, kali ini lebih meriah. Luna menatap Bian dengan mata berkaca-kaca, tidak mampu berkata apa-apa selain tersenyum. Ia mengambil mikrofon kecil yang disodorkan salah satu tamu, mencoba menguasai dirinya."Terima kasih, Mas Bian," katanya, suaranya sedikit bergetar tetapi tetap penuh ketulusan. "Kamu selalu tahu bagaimana caranya membuatku merasa istimewa. Aku tidak pernah meminta apa-apa selain cinta darimu, dan kamu memberiku lebih dari itu. Kamu memberiku keluarga, kebahagiaan, dan cinta yang tak pernah habis. Aku juga mencintaimu, lebih dari apa yang bisa aku ungkapkan dengan kata-kata."Seketika suasana terasa semakin emosional. Beberapa tamu bahkan terlihat menyeka air mata mereka, terharu oleh keintiman yang mereka saksikan. Dengan senyuman yang tak pernah lepas dari wajahnya, Bian menggenggam tangan Luna lebih erat. "Ayo kita potong kuenya," katanya, membawa mereka kembali ke momen yang lebih santai.Setelah mereka memotong kue bersama, suasana berub
Luna terus menelusuri setiap halaman buku jurnal yang diberikan Bian kemarin. Tulisan tangan suaminya terasa seperti suara dari hatinya sendiri, mengalir dengan kejujuran dan kerinduan yang tak terbendung. Setiap kata menggambarkan perjalanan emosional seorang pria yang berusaha keras mencari istri yang hilang, menanggung penyesalan yang mendalam atas kegagalannya selama setahun penuh. Air mata membasahi pipinya, tetapi senyumnya tetap bertahan. Ini bukan tangisan sedih; ini adalah tangisan karena cinta yang begitu nyata, begitu tulus.Ketika pintu kamar mereka terbuka, Luna mendongak, mendapati sosok Bian berdiri di sana. Cahaya dari luar ruangan menyinari pria itu, menegaskan aura ketenangan yang selalu menyelimutinya. "Hei, aku memberikan jurnal ini bukan untuk membuatmu menangis, Sayang," ujarnya, melangkah masuk dan langsung duduk di depannya. Dengan lembut, ia mengusap pipi Luna, menghapus jejak air mata yang masih tersisa. Sentuhan itu bukan hanya lembut, tetapi juga penuh ci
“Sikapmu mencurigakan!” Luna tertawa ringan saat ia memukul lembut dada suaminya, namun segera menyerah dalam pelukannya. Dekapan Bian selalu berhasil meredakan segala kekhawatiran yang memenuhi pikirannya. Hangat, nyaman—seolah seluruh dunia berhenti berputar, memberikan mereka momen yang hanya milik mereka berdua. Luna menyandarkan kepalanya di dada Bian, merasakan detak jantungnya yang stabil, menenangkan. Tidak ada tempat ternyaman selain berada di sisinya, seolah Bian adalah oksigen yang ia butuhkan untuk bertahan hidup. Membayangkan hidup tanpa pria itu terasa tak mungkin lagi, dan setiap kali ada keraguan yang muncul, ia segera tenggelamkan dalam ketenangan pelukannya.“Kamu tahu aku mencintaimu,” bisik Bian di telinga Luna, suaranya rendah namun penuh keyakinan, mengirimkan getaran lembut yang langsung menusuk ke dalam hati Luna. Bian tidak perlu bersuara keras untuk menunjukkan betapa ia sangat menyayangi istrinya—bisikan itu saja sudah cukup untuk mengukir janji tanpa kata-
“Kita tidak bisa mencampuri hubungan mereka,” ucap Bian, suaranya tenang namun penuh ketegasan. Dia telah mendengar cerita sebenarnya dari Luna—bagaimana Julian tidak menyentuh Sarena sama sekali, bagaimana situasi rumit itu hanyalah bayang-bayang dari ketidakpastian. Tetapi justru karena dia mengetahui kebenarannya, Bian merasa tidak berhak mengambil peran dalam keputusan yang hanya bisa diambil oleh Sarena sendiri. Hatinya berat, namun ia tahu apa yang harus dilakukan.“Sarena sudah jauh lebih dewasa. Dia pasti bisa menyikapi semua ini,” lanjutnya, seolah kata-kata itu diucapkan untuk menenangkan diri sendiri lebih dari sekadar memberi penegasan kepada istrinya. Dia ingin yang terbaik untuk Sarena, tanpa intervensi yang malah akan mengaburkan pilihan yang sebenarnya. Tapi, sebagai kakak, ada kekhawatiran yang tak bisa sepenuhnya ditepiskan. Ia tahu apa yang telah dilewati Julian, dan sebentuk kasih yang tak terucap tumbuh di hatinya.“Biarkan dia yang mengambil keputusan, Luna.” D
“Mas…” panggilan lembut Luna meluncur, berusaha menuntut perhatian suaminya yang tengah tenggelam di depan layar laptop. Ada kelembutan sekaligus sedikit tuntutan dalam suaranya, seolah mengingatkan bahwa ia tidak suka diabaikan.Bian menoleh dengan cepat, menyadari bahwa istrinya menginginkan sesuatu lebih dari sekadar jawaban biasa. Senyuman manisnya muncul, memupus segala letih yang terasa. “Ya, Luna, ada apa? Kamu butuh sesuatu, Sayang?” tanyanya dengan nada penuh perhatian.Luna tersenyum kecil, meski seulas kekhawatiran berbayang di matanya. “Tidak, Mas. Aku hanya ingin berbincang.” Kata-katanya sederhana, tetapi tersirat sebuah keinginan untuk didengar dan dimengerti. “Mas sedang sibuk atau bagaimana?” Ia tak ingin mengganggu, tetapi ia juga membutuhkan suaminya untuk bersamanya, sepenuhnya.Bian menatapnya dengan tatapan lembut penuh kasih sayang, mendengar nada halus yang menyiratkan beban dalam kalimat Luna. Meski pekerjaannya belum selesai, ia tak akan pernah meninggalkan i
Luna meremas tangan Sarena dengan lembut, mencoba meyakinkannya untuk terus bercerita. Tatapan penasaran yang dalam terpancar dari matanya, tak dapat disembunyikan oleh ekspresi tenangnya. “Lalu, apa sebenarnya masalahnya?” desaknya lagi, penuh rasa ingin tahu. Mengapa Sarena terlihat begitu sedih padahal ia dan Julian saling mencintai? Bukankah dua orang yang saling mencintai seharusnya menikah dan hidup bahagia?Namun, di dalam hatinya, Luna tahu bahwa pernyataannya itu tak sepenuhnya benar. Pernikahannya dengan Bian tidak dimulai dari cinta sejati; mereka menikah karena keputusan keluarga yang berujung pada pernikahan yang dipaksakan. Namun, seiring berjalannya waktu, cinta perlahan tumbuh di antara mereka. Takdir telah menenun kisah mereka dengan cara yang tak terduga, membawa mereka dari konflik menuju kedamaian, dari kecurigaan menjadi kepercayaan. Sekarang, mereka berada di tempat yang disebut dengan "akhir bahagia" – titik di mana cinta mereka telah melewati segala ujian."Aku
Luna tersenyum lembut sambil mendekat ke Felicia, gadis kecil yang tampak sibuk dengan pensil warna di tangan. "Hai, Felicia..." sapanya, duduk di sebelah gadis kecil itu. "Apa yang sedang kamu buat, Sayang?" tanyanya dengan hangat, matanya tertuju pada kertas penuh warna di hadapan Felicia.Felicia menoleh dengan senyum lebar. "Ini Ibu, sedang memakai baju pengantin! Dan ini Ayah Julian," jawabnya penuh antusias, telunjuk mungilnya menunjuk tiap karakter yang ia gambar. Matanya berbinar dengan bangga, seolah-olah memperkenalkan dunia imajinasinya kepada Luna.Luna tertawa kecil, matanya menelusuri gambar yang terlihat penuh cinta. "Dan ini kamu, ya?" ujarnya, menunjuk pada sosok kecil di antara gambar Sarena dan Julian. Felicia mengangguk dengan bersemangat, matanya menyorot kebahagiaan murni anak-anak."Hm, kalau ini?" Luna menunjukkan objek kecil di samping mereka yang mirip dengan keranjang bayi. Alisnya terangkat penasaran.Felicia tersenyum ceria, tatapannya polos namun mengandu
Setelah masalah Julian dan Sarena selesai, sesuai janjinya pada sahabatnya, Bian, dia membawa adik sahabatnya itu pulang. Dia akan melamar Sarena di hadapan sahabatnya, meminta restu Bian dan Luna.Julian dan Sarena kembali memasuki rumah, membawa serta Felicia yang menggenggam tangan mereka dengan erat. Begitu tiba di ruang tamu, Luna menyambut dengan senyum lebar, matanya berkilau penuh kegembiraan saat melihat adiknya akhirnya kembali. “Ah... akhirnya kamu pulang,” ucap Luna, memeluk Sarena erat-erat. "Aku sangat merindukanmu."Sarena balas memeluk, bibirnya melengkung lembut. “Aku juga merindukanmu, Luna. Sangat rindu. Ah... comelnya.” Sarena menoel pipi bayi tembem yang ada di gendongan Luna. Dia mengambil alih Mikayla dan menciumnya. "Adik bayinya lucu 'kan," ia menunjukkannya pada Felicia. Felicia mengangguk dan dengan malu-malu menyentuh pipi Mikayla."Hai, Felicia, selamat datang," Luna merentangkan tangannya, memeluk gadis kecil itu. Sarena sudah pernah membahas tentang Feli
Sarena menarik napas dalam, suaranya berubah lembut dan penuh kenangan ketika ia mulai bercerita. "Felicia… dia kebahagiaanku, Julian. Dia seperti sinar matahari yang muncul setelah badai, yang menghangatkan dan memberi arti baru dalam hidupku." Kata-katanya mengalir dengan tulus, mengisyaratkan seberapa besar perasaan dan perjuangannya selama ini. Di dalam setiap kata, Sarena menanamkan makna dari cinta seorang ibu yang tanpa syarat, sebuah cinta yang ia pilih dengan seluruh hatinya, walau penuh pengorbanan. Sorot matanya berkabut saat ia memandang Julian, mengungkapkan cinta dan kerinduan yang begitu dalam.Julian menggenggam tangan Sarena dengan lembut, merasakan beban yang selama ini ia bawa sebagai pria yang tiba-tiba diberi kesempatan kedua untuk mengenal putrinya. "Sekarang, dia juga bagian dari kehidupanku," ucapnya dengan suara bergetar, nyaris berbisik, seolah mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa kehadiran Felicia nyata, bahwa ini bukan mimpi belaka. "Kita akan merawat