"Bersiaplah, hari ini kamu harus menikah dengan Bian Sagara."
Luna membelalakan matanya, tidak dapat menyembunyikan rasa terkejut setelah mendengar ucapan sang Ayah dengan nada tenang dan santai. Seakan-akan hal yang pria ucapkan itu bukanlah masalah besar. Luna merasa ulang tahunnya yang ke 23, hari ini begitu menyedihkan. Bukan mendapat surprise spesial, dirinya justru malah mendapatkan kejutan berupa kekecewaan dan penghianatan. Luna memergoki kekasihnya, Juan, sedang bercumbu mesra dengan Ana, saudari tirinya sendiri. Dan kini Luna diminta menikah dengan pria yang tidak pernah ia kenal. “Kenapa aku harus menikah dengannya?” ujar Luna merasa heran. "Aku menggelapkan uang perusahaan sebesar lima Millyar." Satu kalimat yang meluncur dari mulut ayahnya sudah cukup menjelaskan situasi mendadak ini. Dan Luna bukan wanita bodoh. Dia tahu artinya dirinya dijual. Hubungannya dengan sang ayah memang tidak baik, terutama sejak perselingkuhan ayahnya dengan ibu tiri yang mengakibatkan ibu Luna memutuskan untuk bunuh diri. Namun, Luna tidak menyangka bahwa ayahnya tega menjualnya. Luna mengernyitkan keningnya mencoba mengingat nama Bian Sagara. Sepertinya ia cukup sering mendengar nama itu di berita maupun majalah bisnis. Pria yang selama ini tinggal di Italia, mengikuti jejak ibunya. Dikenal memiliki kekuasaan sebagai pemilik perusahaan raksasa juga memiliki koneksi politik yang kuat baik di dalam negeri maupun internasional. Seperti apa rupanya, tidak penah terpampang di media. Keberhasilannya dalam memimpin perusahaan membuat Bian Sagara menjadi salah satu individu paling berpengaruh di dunia bisnis dan politik. Hanya saja, kesuksesannya sangat berbanding terbalik dengan rumor kepribadiannya yang terkenal buruk. "Ana akan segera bertunangan dengan Juan, dan kita tidak punya pilihan. Bian Sagara membutuhkan istri. Dan kamu harus menanggung hutang dengan menjadi istrinya! Jika kamu menolak, jangan salahkan aku yang akan membakar semua peninggalan ibumu dan memindahkan makamnya ke tempat yang tidak akan kamu ketahui" Sikap arogansi dan ancaman dari Gunawan, ayahnya semakin membuat Luna tidak berdaya. Dan di sinilah Luna akhirnya berada, di sebuah restaurant menunggu Bian Sagara yang akan menikahinya. Di meja lain, ada Juan dan Ana yang menertawakan nasib Luna yang miris. Keduanya bahkan tidak terlihat bersalah sama sekali pada Luna. Dua puluh menit berlalu, namun Bian belum datang juga. Keterlambatan pria itu menambah alasan bagi Luna untuk mempercayai rumor yang mengatakan bahwa Bian Sagara memiliki kepribadian yang begitu buruk. Tidak lama kemudian beberapa pria berpakaian serba hitam dengan postur tubuh tinggi tegap, masing-masing mengambil posisi dengan wajah tanpa ekspresi. Luna langsung bisa menebak jika para pria itu adalah para pengawal. "Dia sudah datang," Gunawan mengumumkan seraya berdiri untuk menyambut. Luna menolehkan kepalanya ke arah pintu, dalam hati dirinya berharap bahwa Bian bukan seorang pria tua mesum dengan kepala botak dan berperut buncit. Luna terperangah begitu melihat seorang pria yang duduk di kursi roda. Pria itu memiliki wajah tegas dengan garis-garis maskulin yang jelas. Aura yang menawan dan berkarisma memancar dari tubuhnya, mampu membuat semua orang merasa terintimidasi dengan kehadirannya. Mendadak Luna merasa merinding saat matanya bertatapan dengan mata Bian. Dengan susah payah Luna menarik napas. Ia khawatir bahwa ia akan dijadikan budak oleh Bian yang terlihat kejam. "Jadi, inikah calon pengantin tebusan yang dijual oleh ayahnya sendiri?" Suara Bian terdengar sinis, dingin, dan angkuh, menyatu dalam satu nada yang membuat Luna semakin merinding. Detik itu, Luna tahu bahwa dirinya memang tidak lebih berharga dari segepok uang. Hidupnya sedang berada di puncak komedi tertinggi. Luna mengepalkan kedua tangannya, berusaha untuk tetap terlihat tenang. Dirinya tidak boleh terlihat sebagai mangsa yang mudah ditindas. Melirik sekilas ke arah Luna, Bian berkata kepada asistennya, Nathan. "Aku ingin pengantinku di dandan dengan secantik mungkin," titahnya. "Aku belum mengatakan aku bersedia, Tuan. Jika aku menikah denganmu, apa keuntungan yang akan aku dapatkan?"Bian memutar kursi rodanya dan menatap Luna dengan ekspresi datar. Dalam keadaan diam seperti itu, Bian tetap nampak mengintimidasi dan tentu saja angkuh. Sialnya, keangkuhan yang dia tunjukkan justru membuatnya semakin menawan. "Kamu hanya alat penebusan hutang! Berani sekali kamu meminta keuntungan," Suara berat Bian membuat Luna kembali tersadar dari lamunannya. Ekpresi pria itu masih sama, datar, tapi dengan sorot mata yang tajam menusuk. "Tuan, Anda pastinya sudah terbiasa berbisnis. Mengenai hutang ayahku, itu akan dianggap lunas begitu aku menjadi pengantinmu. Namun, bagaimana setelah pernikahan? Bukankah aku seumur hidup akan menjadi istri Anda yang harus membantu mengurus setiap keperluan? Rasanya baru adil jika aku juga mendapat keuntungan untuk itu,” Bian tidak bersuara, ia hanya menaikan sebelah alis sebagai reaksi atas ucapan Luna. Bian tidak menyangka bahwa wanita yang akan dijual kepadanya ternyata cukup cerdik. Wanita itu tahu cara bernegosiasi dan memantik ego
"Selamat atas pernikahanmu," Juan mengulurkan tangan yang diabaikan Luna begitu saja. Mendadak Luna merasa muak melihat Juan. Apa yang dulu membuatnya jatuh cinta kepada Juan? Ah! Tentu saja mulut manisnya yang membuatnya akhirnya terperdaya. "Ck! Kamu pengantin terburuk yang pernah kulihat. Wajahmu terlihat seperti badut," Ana tersenyum meremehkan. Luna tidak menyangka bahwa pasangan penghianat itu masih berani menghampiri dirinya ketika sedang menunggu mobil milik Bian yang akan menjemputnya. Ana menarik tangan Luna dan meletakkannya di perutnya. "Kamu merasakannya? Ya, ada benih Juan di sini. Kami akan memiliki anak." Luna menarik tangannya dari perut Ana, “Kamu hanya mendapatkan pria bekas, jadi aku tidak perduli” Ana tersenyum kecut mendengar jawaban Luna, " Setidaknya aku menikah dengan pria yang aku cintai. Bukan dengan seorang pria kejam!" Luna tidak berkomentar, tidak ingin membuang waktu melakukan pembelaan. Disaat Ana baru saja hendak menghina Luna lagi. Suara
Luna semakin gugup. Detik itu ia menyadari bahwa hidupnya terjerumus di dalam sangkar pria kejam. "Aku akan mandi. Segera." Luna beranjak, melangkah cepat. Saat melewati Bian, Luna justru malah terkilir dan terjatuh di atas pangkuan Bian dalam posisi duduk menyamping dan tanpa sengaja mencium leher Bian. "Ma-maaf, aku.." "Leher bukan titik pusat yang bisa merangsangku, Luna." Bisik pria itu dengan nada sensual di telinga Luna yang membuatnya bergidik ngeri. "Berhenti mengembuskan napasmu di sana." Dengan langkah cepat, Luna bangkit dan melangkahkan kakinya menjauhi Bian. "Kamu mempunyai waktu sepuluh menit untuk membersihkan diri." Luna masih gemetar meski ia sudah berada di kamar mandi, menutup rapat pintu toilet tersebut lalu berjongkok, memainkan kukunya yang dipotong rapi. Tabiat yang biasa ia lakukan saat ia merasa gugup. "Jangan menangis... Jangan menangis, Luna. Ini bukan apa-apa. Kamu sudah terbiasa melewati kehidupan yang tidak beruntung seperti ini." "Dua me
"Oh... Aku..." Luna bingung harus memberi jawaban apa atas pertanyaan menyudutkan itu. Dia merasa malu karen memang diam-diam terpesona dengan tubuh Bian. "Aku..." Ucapannya terhenti di udara saat ketukan di pintu menginterupsi, menyelamatkannya dari kewajiban untuk menjelaskan. "Masuk." Bian memberi perintah. Nathan berdiri di ambang pintu. Menatap Luna sebelum mengalihkannya pada Bian. "Ada panggilan untuk Anda, Tuan." "Ambilkan pakaianku," titahnya pada Luna. Tanpa kata, Luna memasangkan bajunya. Lalu Nathan melintasi ruangan untuk membantu Bian mendorong kursi roda. "Istirahatlah, tidak usah menungguku." Luna tidak menjawab. Dalam hati dia berharap pria itu memiliki urusan yang banyak agar mereka tidak perlu melewati malam ini bersama. "Ibuku?" Bian bertanya pada Nathan setelah mereka keluar dari kamar. "Ya." Mereka memasuki ruang kerja pria itu. Nathan segera menghubungi Nyonya Sagara. Di layar muncul wajah Nyonya Sagara, wanita anggun dengan tatapan tegas. "
Luna buru-buru memejamkan mata begitu mendengar suara. Itu pasti Bian dan Nathan. Dugaannya tidak meleset sama sekali. Nathan membantu Bian untuk berbaring di atas ranjang. "Selamat malam, Tuan," kata pria itu. "Istirahatlah," Bian menyahut. Luna menahan napas saat mendengar pintu ditutup. Detik berikutnya, Luna hampir menjerit saat tangan Bian dengan manisnya melingkar di perutnya. Jantungnya jedag jedug dengan ritme tidak teratur. Sekujur tubuhnya seolah terbakar tatkala merasakan hembusan hangat napas Bian lehernya. Apa-apaan ini! Bian memeluknya juga membenamkan kepalanya di ceruk leher Luna. Luna semakin merasa tidak nyaman. Pelukan dan hembusan napas Bian memberikan reaksi berlebihan kepadanya. Perlahan, ia lepaskan tangan Bian dari perutnya lalu kemudian ia menjauhkan kepala dari hembusan napas suaminya. Tidak ada nada protes dari Bian, artinya Bian sudah tertidur. Luna bernapas lega, tapi kemudian ia dibuat kaget lagi. Pria ini benar-benar sangat hobi membuatnya sen
Pagi itu, sinar matahari masuk ke kamar melalui celah tirai, perlahan mengusir kegelapan malam. Luna membuka mata dan merasakan kehangatan di sisi tubuhnya. Dia menoleh dan melihat Bian masih tertidur di sampingnya, wajahnya terlihat lebih lembut saat tertidur. Luna terpesona sejenak, membiarkan matanya menjelajahi setiap detail wajah suaminya. Sulit untuk mengabaikannya. Pipinya tampak halus, dengan sedikit bayangan di bawah mata yang menunjukkan kelelahan. Hidungnya tampak tegas namun tidak terlalu tajam, memberikan keseimbangan yang sempurna pada wajahnya. Alisnya tebal dan hitam, melengkung indah, menciptakan ekspresi tenang yang jarang terlihat ketika dia terjaga. Bulu matanya yang panjang dan lentik menambah keanggunan wajahnya, membuatnya tampak lebih lembut dan damai. Rahang Bian terlihat kokoh dan maskulin, memberikan kesan kekuatan dan keteguhan yang kontras dengan kelembutan di fitur lainnya. Bibirnya yang sedikit terbuka menunjukkan kelembutan dan ketenangan yang berb
"Bagaimana perasaanmu setelah menjadi seorang suami?" Alih-alih langsung melakukan terapi, Bian dan Julian justru masih berbincang-bincang. Bian melirik sahabatnya itu sekilas, lalu memalingkan wajah, menatap kosong ke kejauhan. "Apa kamu dan dia?" "Kami belum melakukannya." Bian tahu apa yang dimaksud oleh Julian. Julian terkekeh mendengar jawabannya dan Bian mendengus tidak suka. "Malam pengantin berlalu begitu saja?" Julian menaik turunkan alisnya. Nadanya sengaja menggoda Bian. "Kita bisa mulai?" Bian tidak ingin membahas masalah ranjangnya dengan orang lain, terutama Julian, orang yang memaparkan kemungkinan yang ia alami. Mereka pernah merangsang hasrat seksualnya dengan menonton hal berkonten dewasa. Bian tidak merasakan apa-apa sama sekali. "Kamu dan Luna tidur satu ranjang?" "Apa kamu pernah melihat ada pengantin baru yang tidur di tempat terpisah." "Aku memang tidak pernah melihat, tapi hal semacam itu sering terjadi. Kau tidak pernah mendengarnya?" "Aku tid
Bian memasuki kamar dengan tubuh berkeringat setelah sesi terapinya. Luna, yang sedang duduk di tepi ranjang, langsung berdiri dan menghampirinya. "Aku ingin mandi." Luna terkejut mendengar permintaan langsung itu, tapi dia segera mengangguk. Dia bergegas mengambil handuk dari kamar mandi dan kembali ke Bian. "Aku akan menyiapkan air untukmu." Bian hanya menganggukkan kepala. Tidak berapa lama, Luna muncul kembali, mendorong kursi rodanya menuju kamar mandi. Luna menunggu perintah selanjutnya, mengamati Bian yang tanpa merasa malu melepaskan kaos yang melekat di tubuhnya, memperlihatkan kulit dan ototnya yang benar-benar sehat dan bugar. Bian melemparkan kaosnya begitu saja dan kini hanya tersisa celana pendek ketat di sana, mempertontonkan kaki panjang telanjang, terhampar nyata di hadapannya. Semalam dia tidak melepaskan celana Bian karena Nathan datang di waktu yang tepat. Sekarang, siapa yang akan menyelamatkannya. Haruskah ia membantu Bian melepaskannya? Membayangka