Bian memasuki kamar dengan tubuh berkeringat setelah sesi terapinya. Luna, yang sedang duduk di tepi ranjang, langsung berdiri dan menghampirinya. "Aku ingin mandi." Luna terkejut mendengar permintaan langsung itu, tapi dia segera mengangguk. Dia bergegas mengambil handuk dari kamar mandi dan kembali ke Bian. "Aku akan menyiapkan air untukmu." Bian hanya menganggukkan kepala. Tidak berapa lama, Luna muncul kembali, mendorong kursi rodanya menuju kamar mandi. Luna menunggu perintah selanjutnya, mengamati Bian yang tanpa merasa malu melepaskan kaos yang melekat di tubuhnya, memperlihatkan kulit dan ototnya yang benar-benar sehat dan bugar. Bian melemparkan kaosnya begitu saja dan kini hanya tersisa celana pendek ketat di sana, mempertontonkan kaki panjang telanjang, terhampar nyata di hadapannya. Semalam dia tidak melepaskan celana Bian karena Nathan datang di waktu yang tepat. Sekarang, siapa yang akan menyelamatkannya. Haruskah ia membantu Bian melepaskannya? Membayangka
Luna menelan salivanya dengan gugup. Dirinya tidak menyangka bahwa perkataannya yang sok menantang itu justru malah akan menjadi bumerang bagi dirinya sendiri. Tiba-tiba sebuah ketukan di pintu terdengar. "Ketukan penyelamat," Luna bergumam sambil menghela napas lega. Bian mendengar gumaman Luna dan menoleh padanya dengan alis terangkat. "Ketukan penyelamat?" Luna langsung menutup mulutnya dengan tangan, wajahnya memerah. "Ah, maafkan aku... Maksudku, aku tidak bermaksud..." Bian tidak langsung menjawab, hanya memandangi Luna dengan tatapan datar yang sulit ditebak. "Masuk," bersamaan dengan perintah Bian. Julian membuka pintu dan melambai dengan santai. "Maaf, mengganggu waktunya. Nathan sudah berangkat ke kantor jadi aku berinisiatif untuk menemuimu kemari." "Hai, perkenalkan aku Julian, dokter dan juga terapis suamimu." Mengabaikan Bian, Julian kini justru mengajak Luna berkenalan. Luna melirik Bian, meminta persetujuan apakah dia boleh menyambut uluran tangan pria
"Apa yang harus kulakukan?" tanya Luna pada Julian, berusaha mengabaikan hatinya yang bereaksi berlebihan."Sebenarnya Bian tidak membutuhkan terapis lagi. Hanya saja dia masih membutuhkan pijatan dan latihan teratur dalam beberapa minggu ke depan untuk memastikan kesembuhannya sepenuhnya. Dan harus ada orang yang mengawasi hal itu."Luna dan Julian tampak berdiskusi, sementara Bian menatap keduanya dengan tatapan menusuk, menghujam seperti laser.Luna menelan ludah, "Maksudmu, aku harus memijatnya setiap hari?" Bayangan ia harus menyentuh tubuh Bian setiap hari membuat bulu kuduknya berdiri."Kenapa? Apakah itu pikiran yang terlalu menjijikkan untukmu, Luna?""Tidak... Tidak... Tentu saja tidak. Hanya saja aku tidak pernah benar-benar memijat orang." Wajahnya merona saat mengatakan hal itu. Jangan sampai Bian tahu apa yang mengotori otaknya."Bukan perkara sulit," Julian menengahi. "Aku akan mengajarkan tekhnik dasarnya padamu. Jika kamu memang bekerja cekatan dengan tanganmu, ini ti
Luna bisa merasakan jantungnya berpacu bagaikan kereta api, karena ini aneh. Ini lebih dari sekadar aneh.Kedua tangannya goyah ketika ditempatkan di atas punggung Bian yang telanjang dan ia menarik napas dalam-dalam, berdoa semoga pria itu tidak bisa menebak betapa gugup dirinya. Berdoa semoga dirinya tidak canggung ketika mulai melakukan persis seperti yang diajarkan Julian kepadanya. Tidak sulit, katanya kepada diri sendiri. Pijat memang suatu keterampilan, pekerjaan yang dilakukan oleh ribuan orang setiap hari.Meskipun bayangan akan menyentuh kulit Bian membuat mulutnya kering karena takut, tampaknya Luna tidak mungkin menghindarinya. Bian berjanji akan memberikan uangnya. Mereka sudah sepakat. Ini akan menjadi pengalaman pertamanya menyentuh seorang pria? la menurunkan kedua tangannya ke kulit mengilap itu dan berusaha mengalihkan pikirannya tentang cafe yang akan dia bangun.Pertama-tama yang harus dia lakukan adalah menyelesaikan kuliahnya sebelum membangun cafe. Bukan waktu
"Luna!!"Panggilan itu langsung membuat Luna menoleh. Dia mengenali suara itu. Miya, sahabatnya."Jadi kamu sungguh sudah menikah?"Manik Luna membeliak, ia mengira pernikahan antara dirinya dan Bian dirahasiakan."Bagaimana kamu tahu?""Jadi itu memang benar?" Miya semakin histeris. "Kamu sungguh mengkhianati Juan demi pria tua kaya raya yang sekarat."Wajah Luna berubah masam. Dirinya difitnah. "Aku tidak berkhianat dan tidak aku tidak menikah dengan pria tua." Melainkan pria lumpuh yang pesonanya ampun-ampunan, ia menambahkan dalam hati. "Jadi kamu menikah dengan siapa?" Miya menelisik mobil mahal yang ada di hadapan mereka. Gadis itu semakin mendekat dan mengintip ke dalam kaca. "Pasti bukan orang sembarangan. Jadi, kamu sungguh meninggalkan keluargamu saat sedang terpuruk." "Siapa yang menyebarkan gosip itu padamu? Ana?""Siapa lagi." Miya menegakkan tubuhnya, berbalik menghadap Luna. "Aku tidak akan termakan ucapannya. Omong-omong, kenapa suamimu tidak mau turun? Wajahnya buru
"Apa yang kau lakukan? Lepaskan aku!" Luna meronta, tidak terima Juan tiba-tiba menariknya dari kursi dan membawanya ke luar kelas. "Apa kamu tuli, Juan?!"Juan tidak menjawab, terus saja ia menarik Luna hingga gadis itu kesulitan menyamakan langkah mereka."Juan, aku sedang berbicara kepadamu!"Tidak hanya mendadak tuli, sepertinya Juan juga terserang panas dalam akut sehingga pria itu enggan berbicara.Brak... Bruk..."Akh!!" Luna meringis begitu Luna mendorong tubuh Juan ke dinding. Pria itu ternyata membawanya ke ruang lab yang sudah tidak terpakai. Ruangan itu penuh debu dan barang-barang rusak. Beberapa patung anatomi tergeletak begitu saja membuat suasana di ruangan itu sedikit mistis."Bagaimana malam pertamamu? Dia menyentuhmu? Di mana? Di sini."Juan menyusurkan jemarinya di leher Luna. Luna segera menepisnya dengan kasar."Singkirkan tanganmu!" Juan menyemburkan tawanya, namun wajah pria itu terlihat gusar. "Kenapa? Apa karena kamu sudah terbuai dengan sentuhan si lumpuh i
"Harimu buruk?"Bian menyambut kedatangan Luna di ruang utama. Mengamati penampilan Luna dari atas ke bawah. Dahinya sedikit mengernyit saat menyadari Luna mengenakan pakaian yang berbeda saat istrinya itu pergi ke kampus.Menyadari apa yang sedang diperhatikan Bian, Luna segera berkata, "Aku mengganti pakaianku." Alih-alih membawa Luna ke toko baju, Adam justru membawanya ke resto. Selain dosen, Adam ternyata seorang pengusaha kuliner. Dia meminjam salah satu baju karyawannya untuk Luna. Menurut Adam caranya lebih praktis.Bian mengangkat tatapannya, kembali ke wajah Luna. "Kebetulan aku cukup senggang untuk mendengar penjelasanmu."Luna tidak ingin menjelaskan apa pun. Kejadian hari ini cukup mengerikan untuk dibahas ulang."Aku lelah, aku mau mandi."Luna melewati Bian begitu saja, dan di detik selanjutnya dia sudah menemukan dirinya berada di atas pangkuan Bian. Luna terdiam sejenak, terkejut oleh tindakan Bian yang tiba-tiba. Dalam jarak sedekat ini, ia bisa mencium aroma after
"Adam Abimanyu." Bian mengucapkan nama itu dengan pelan, hampir seperti berbisik. Setiap suku kata terdengar seperti mantra yang memanggil rasa sakit dari dalam dirinya. Ada nada kemarahan yang samar namun jelas dalam suaranya, seolah nama itu saja sudah cukup untuk menyalakan api di dadanya. Matanya menyipit, memperlihatkan kilatan kebencian yang terpendam, sementara bibirnya mengerut, menahan emosi yang ingin meledak. Nama itu bergema di ruang kecil antara mereka, menggantung berat di udara. Bian menatap lurus ke arah pintu kamar yang tertutup, tempat ia menghukum Luna di sana, seolah berharap bisa menembus penghalang fisik dan menyaksikan kebenaran yang tersembunyi di baliknya. Kecurigaan melintas di wajahnya; kecurigaan yang kuat, nyaris menggerogoti ketenangannya yang biasanya tak tergoyahkan. Nama Adam Abimanyu seolah menjadi pemicu yang membangkitkan semua perasaan negatif yang pernah dia rasakan—kebencian, kemarahan, dan ketidakpercayaan. "Siapa dia?"Setelah mendapat infor