"Adam Abimanyu." Bian mengucapkan nama itu dengan pelan, hampir seperti berbisik. Setiap suku kata terdengar seperti mantra yang memanggil rasa sakit dari dalam dirinya. Ada nada kemarahan yang samar namun jelas dalam suaranya, seolah nama itu saja sudah cukup untuk menyalakan api di dadanya. Matanya menyipit, memperlihatkan kilatan kebencian yang terpendam, sementara bibirnya mengerut, menahan emosi yang ingin meledak. Nama itu bergema di ruang kecil antara mereka, menggantung berat di udara. Bian menatap lurus ke arah pintu kamar yang tertutup, tempat ia menghukum Luna di sana, seolah berharap bisa menembus penghalang fisik dan menyaksikan kebenaran yang tersembunyi di baliknya. Kecurigaan melintas di wajahnya; kecurigaan yang kuat, nyaris menggerogoti ketenangannya yang biasanya tak tergoyahkan. Nama Adam Abimanyu seolah menjadi pemicu yang membangkitkan semua perasaan negatif yang pernah dia rasakan—kebencian, kemarahan, dan ketidakpercayaan. "Siapa dia?"Setelah mendapat infor
Luna hanya bisa menahan napas sepanjang mereka mandi. Bagaimana tidak menahan napas, bukannya memandikan Bian, justru dia yang sedang dimandikan pria itu. Bian tepat berada di belakangnya, menggosok punggungnya dengan gerakan lembut, namun sangat menyiksa bagi Luna. Ia belum pernah seintim ini dengan seorang pria. Kulitnya yang bertemu dengan kulit Bian terasa terbakar, panas membara. Ini benar-benar hukuman yang paling menyiksa. Bian tidak mendengarkan beberapa protes yang dia layangkan. Seolah pria itu tuli dan hanya fokus pada tubuh Luna, membersihkannya dengan banyak sabun. "Aku kedinginan." Luna berharap Bian masih punya hati dan kali ini mau mendengarkannya. Dalam hati dia berjanji tidak akan menyembunyikan apa pun darI Bian. Bian tidak memberikan respon apa-apa. Dia terus menggosok punggung Luna dengan gerakan melingkar."Mas, aku kedinginan."Gerakan tangannya berhenti. Body brush disingkirkan dari tubuhnya. "Ambilkan handuk."Artinya dia harus berdiri lagi dan mempertonton
Setelah mengompres kaki Luna, Bian menghubungi Julian. Hanya kepada pria itu dia bisa berdiskusi apa saja karena Julian mengetahui kelemahannya. "Bagaimana, apa setelah mendapat pijatan dari Luna, kakimu langsung bisa berjalan?" seloroh pria itu dari seberang telepon. "Pijatannya tidak seajaib itu." Bian mencoba membayangkan saat Luna memijat tubuhnya, sensasi itu sudah tidak ada lagi. Sial! "Apa yang kau rasakan?" Bian merenung mempertimbangkan apakah ia perlu mengungkapkan semua yang ia alami. "Libidoku bereaksi saat dia memijatku." Pada akhirnya dia tidak akan bisa menyembunyikan apa pun dari Julian. Terdengar siulan yang disusul dengan gelak tawa. "Bagus, Dude. Artinya kamu masih ampuh." "Tubuhku tidak memberi reaksi saat kami sedang mandi," serunya segera sebelum Julian mengambil kesimpulan dengan enteng. "Kamu dan Luna mandi bersama?" "Ada yang salah dengan itu?" Bian mulai jengkel. Inilah yang tidak dia sukai jika ia mencoba untuk terbuka. Akan ada banyak perta
"Kamu bukan tukang masak." Kata sambutan yang diterima Luna begitu ia bergabung dengan Bian di meja makan. Pancake buatannya sudah tersaji begitu juga beberapa menu lainnya yang dia buat. Setengah jam waktu yang ditoleransi Bian berlalu sampai satu jam. Luna mengamati wajah Bian, tidak menunjukkkan ekpresi apa-apa selain wajah datar. Sulit menebak jalan pikiran dan juga perasaan Bian. Luna sudah belajar berhari-hari dan belum menemukan kuncinya."Aku istrimu," sahut Luna setenang mungkin sambil duduk di kursi yang ditarik Nathan untuknya. "Aku sudah mandi," Luna mengumumkan sambil tersenyum. "Tidak ada aroma dapur. Yang ada aroma kue." Luna mengambil piring berisi pancake buatannya. "Pancake cokelat pisang dengan topping sirup maple dan taburan kacang almond." Pancake tersebut tampak menggiurkan, dengan cokelat yang sedikit meleleh dan pisang yang terlihat segar. Luna telah memikirkan dengan cermat perpaduan rasa yang dia harapkan bisa menyenangkan Bian, meskipun tidak mudah mempre
Bian memuntahkan sumpah serapah dalam deretan bahasa Itali saat ia memberikan laporan pada Julian tentang apa yang dia rasakan saat berenang bersama Luna. Terdengar gelak tawa puas dari seberang telepon. "Jadi maksudmu, sesaat gairahmu menyergapmu dan sesaat kemudian gairah itu hilang tidak bersisa." Bian kembali ingin menyumpah, tapi dia memilih untuk menahan diri. Saat dia dan Luna mandi bersama, dia tidak merasakan apa pun. Berbeda jika saat Luna memijatnya, juga saat mereka berenang tadi. "Libidoku seperti sedang mempermainkanku," katanya dengan nada jengkel yang membuat tawa Julian kembali mengudara. "Kalau begitu, kau bisa memancingnya dengan meminta Luna mengenakan bikini setiap hari." "Luna tidak mengenakan bikini." "Jadi apa yang dikenakannya?" "Kenapa aku harus menjelaskan kepadamu apa yang dikenakan istriku?" Lagi dan lagi Julian tertawa mendengar kejengkelannya. "Setidaknya kita tahu bahwa kamu masih memiliki gairah walau tidak terlalu ampuh. Saranku, coba kamu
Putaran kedua, Bian mulai main serius. Luna tidak bisa dipandang sebelah mata. Ia harus menang. Dan akhirnya putaran kedua Bian mendapatkan apa yang dia inginkan."Kamu masih virgin?"Manik Luna membeliak seketika. Sopakah bertanya begitu. "Aku bukan pria yang menuntut istriku harus perawan." Penekanan itu seolah menuntut agar Luna berkata jujur apa adanya."Darimana kebijaksanaan ini berasal. Dari banyaknya wanita yang kamu tiduri?""Anggap saja seperti itu. Jadi?"Bian mengamati wajah Luna dengan seksama. Bian tidak tahu apa alasan kegelisahan yang dia rasakan sekarang. Apakah karena dia sangat menunggu jawaban Luna atau karena keyakinannya bahwa Luna tidak akan memberikan jawaban yang artinya gadis itu akan melepaskan salah satu benda yang melekat di tubuhnya. Dan dari yang Bian amati, tidak ada yang menempel di tubuh Luna selain pakaiannya, kecuali memang..."Jangan lakukan itu!"Terlambat. Luna sudah melepaskan cincin kawinnya. "Aku menolak untuk menjawab.""Jangan melepaskannya
Bian duduk di kursi dekat jendela, menikmati ketenangan malam. Pintu kamar mandi terbuka, dan Luna keluar dengan langkah lembut. Rambut panjangnya yang basah mengkilap terurai hingga punggung, memberikan kilauan di bawah cahaya lampu kamar. Ia mengeringkan rambutnya dengan handuk putih yang kontras dengan warna rambutnya yang gelap. Luna mengenakan pakaian tidur sutra berwarna pastel, berpotongan sederhana namun tetap memancarkan kelembutan. Gaun tidur itu mengalir dengan lembut mengikuti lekuk tubuhnya, menonjolkan kesan feminin dan anggun. Kainnya yang halus membelai kulitnya, memberikan kesan nyaman namun elegan. Sambil berjalan menuju meja rias, Luna meletakkan handuk di kursi dan mengambil sisir. Ia mulai menyisir rambutnya dengan gerakan yang penuh perhatian, memastikan setiap helai rambut tertata rapi. Luna tampak fokus pada aktivitasnya, sesekali mengamati pantulan dirinya di cermin. Bian, yang duduk di kursi, memperhatikan setiap gerakan Luna dengan seksama. Tatapannya taj
Mengingat semua perlakuan ayahnya yang kasar dan tidak adil, Luna merasakan napasnya mulai kasar. Dia tidak pernah istimewa di mata siapa pun. Jika dia cukup istimewa, ayahnya tidak mungkin memberikan kejutan pahit di hari ulang tahunnya, dengan menjualnya. Jika dia cukup istimewa, harta yang diwariskan ibunya padany tidak mungkin disita dan jika dia cukup istimewa, ayahnya tidak akan tega melihatnya kelaparan dan terpaksa makan roti kering sementara ayahnya lebih dari mampu membeli sepotong roti yang lebih layak untuknya. Kadang ia bertanya-tanya, apakah dia seburuk itu atau ayahnya yang memang sekejam itu?Luna membungkuk tegang karena terlalu sakit, tapi matanya kering dan seperti terbakar. Ketegarannya berangsung sirna. Sekarang ia menyadari betapa kesepiannya dirinya. "Ibuku tersenyum sebelum memutuskan untuk meneguk racun yang entah sejak kapan dia siapkan. Kenapa ibuku begitu bahagia melakukan itu di hadapanku. Jika dia bisa tersenyum saat ingin meninggalkan, lantas ada apa d