Mengingat semua perlakuan ayahnya yang kasar dan tidak adil, Luna merasakan napasnya mulai kasar. Dia tidak pernah istimewa di mata siapa pun. Jika dia cukup istimewa, ayahnya tidak mungkin memberikan kejutan pahit di hari ulang tahunnya, dengan menjualnya. Jika dia cukup istimewa, harta yang diwariskan ibunya padany tidak mungkin disita dan jika dia cukup istimewa, ayahnya tidak akan tega melihatnya kelaparan dan terpaksa makan roti kering sementara ayahnya lebih dari mampu membeli sepotong roti yang lebih layak untuknya. Kadang ia bertanya-tanya, apakah dia seburuk itu atau ayahnya yang memang sekejam itu?Luna membungkuk tegang karena terlalu sakit, tapi matanya kering dan seperti terbakar. Ketegarannya berangsung sirna. Sekarang ia menyadari betapa kesepiannya dirinya. "Ibuku tersenyum sebelum memutuskan untuk meneguk racun yang entah sejak kapan dia siapkan. Kenapa ibuku begitu bahagia melakukan itu di hadapanku. Jika dia bisa tersenyum saat ingin meninggalkan, lantas ada apa d
Bian keluar dari kamar mandi dan terlihat sangat segar. Harusnya Luna sudah terbiasa, tapi tetap saja ia merasakan jantungnya berteriak-teriak seolah berencana untuk memecahkan gendang telinganya. "Aku ingin istirahat sebentar." Luna langsung membantunya berdiri, memegang bahu Bian, berat pria itu bertumpu ke tubuhnya. Sekarang tubuh Bian sangat familier baginya seperti tubuhnya sendiri, seolah Bian bagian dari dirinya. Tiba-tiba Luna merasakan dorongan ingin menempelkan pipi di kepala Bian yang berpotongan rambut tidak rata. Keinginan untuk merasakan kehalusan rambut Bian begitu kuat, meski Luna berusaha untuk menepisnya. Namun, kepala Bian seolah-olah memanggil menggodanya. Dengan hati-hati, Luna memindahkan tangannya dari bahu Bian ke helaian rambutnya, merasakan teksturnya. "Rambutmu sepertinya perlu dirapikan," katanya dengan lembut berharap Bian tidak menyadari debaran jantungnya yang semakin kencang. "Kalau begitu, silakan pangkas rambutku." "Kamu mempercayaiku
"Siap?"Bian menelan ludah. Tatapannya bergeser dari Luna ke palang, lalu kembali ke wanita itu."Aku tidak yakin.""Ini bukan masalah besar, Mas. Berdiri saja, jangan mencoba berjalan dulu. Biarkan kakimu terbiasa menopang bobotmu. Ayo, Mas, kamu pasti bisa!" Luna memamerkan senyum terbaiknya.Bian menatap senyum tersebut, yang berhasil menjadi mantara. Ia mengeraskan rahang dan mengulurkan tangan ke palang. Setelah menggenggam palang kuat-kuat, dia menarik tubuhnya bangkit dari atas kursi roda.Upaya mengangkat bobot berjalan mudah dengan menggunakan kekuatan bahu dan tangan. Bian mulai pucat dan peluhnya mulai menetes di wajahnya saat Luna mulai memposisikan kaki Bian dengan mantap di bawah tubuh."Sekarang, Mas," kata Luna dengan lembut. "Lepaskan tanganmu dari tugas menyanggah tubuh. Biarkan kakimu yang menopang. Kamu mungkin akan jatuh, jangan khawatirkan hal itu. Kata Julian, semua pasien jatuh ketika tiba di fase terapi ini."Bian menelan ludah, napasnya berat. Ia tidak yakin
Luna merasakan aliran panas yang menjalar ke wajahnya, tapi dia dengan cepat menenangkan diri. Sebuah senyum bermain di sudut bibirnya, dan matanya yang secerah madu memandang Bian dengan tajam namun lembut. Ciuman tadi cukup mengejutkan baginya, disusul dengan pernyataan yang terdengar seperti pujian membuat jantungnya berdebar kencang tidak karuan."Apa kamu juga tersesat, Mas Bian?" tanya Luna, suaranya terdengar menggoda namun cerdas. Dia mencondongkan tubuhnya sedikit lebih dekat, namun bukannya memberikan ciuman seperti yang mungkin diharapkan Bian, Luna menatapnya dengan intens, seolah-olah sedang mengajaknya bermain dalam permainan yang hanya mereka berdua yang tahu aturannya.Luna tersenyum, kali ini lebih dalam. "Pastikan saja, jika kamu tersesat, kamu tidak akan pernah ingin menemukan jalan keluar."Bian terdiam sejenak, terpesona oleh cara Luna merespons. Ada sesuatu dalam nada suaranya, sebuah ketegasan yang lembut, yang membuat Bian menyadari bahwa Luna bukan hanya seka
Hari ini cukup mengduk-aduk emosi bagi Luna. Ciuman, perbincangan layaknya teman, keintiman, harusnya hal tersebut bisa membuat Bian lebih terbuka padanya. Luna sudah maju selangkah demi selangkah, membuka diri kepada Bian, tapi pria itu tetap menutup diri. Bian tidak tahu jika ciuman dadakan tadi hampir membuatnya pingsan. Luna memegang bibirnya, masih bisa merasakan debaran jantungnya yang kacau karena masih merasakan Bian ada di sana. Apakah ikatan pernikahan yang sakral itu memang seperti ini? Setelah menyaksikan keserakahan dan keargonan ayahnya, diperlengkap dengan kebusukan Juan yang nyaris memperkosanya, dia tidak yakin dia akan mempercayai pria lagi. Tapi bersama Bian, tanpa sadar dia justru menunggu saat-saat terapi bersama Bian.Setelah makan malam, Bian meninggalkannya, Nathan mengumumkan ada telepon untuknya.Siapa kira-kira yang menghubunginya? Kenapa harus pergi menjauh ke ruangan khusus. Luna menemukan dirinya mulai penasaran. Bukan hanya tentang Bian secara personal,
Luna mulai mempersiapkan masa depannya dengan semangat yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Di waktu-waktu senggangnya, ia duduk di depan meja dengan buku catatan dan pena, atau kadang-kadang laptop, merancang café impiannya. Ia membayangkan tempat itu akan menjadi perpaduan antara kenyamanan dan elegansi, di mana orang-orang bisa bersantai sambil menikmati hidangan lezat dan suasana yang hangat. Dengan uang lima miliar yang kini ada di tangannya, Luna merasa semua itu mungkin. Dia membuat sketsa tata letak ruangan, memilih palet warna yang lembut, dan menuliskan ide-ide menu yang unik dan menggoda. Luna ingin kafenya berbeda, tempat di mana setiap sudutnya menceritakan kisah dan mencerminkan kepribadian serta perjalanan hidupnya. Ia juga mulai memikirkan hal-hal praktis, seperti lokasi yang tepat, target pasar, dan bagaimana cara menarik pelanggan. Luna tahu, kesuksesan café ini akan menjadi simbol dari kebebasan dan kemandiriannya, sesuatu yang ia bangun sendiri dari awal. Bag
"Kamu mengikuti saya, Luna?" Adam tiba-tiba berhenti dan berbalik. Untung refleks Luna cepat, jika tidak, bisa-bisa dia menabrak punggung pria itu. "Oh, bukan, Pak, bukan..." sambil menggoyang-goyangkan kedua telapak tangannya. "Lalu?" tanya Adam sambil menelusuri penampilan Luna yang sederhana namun menawan. Hari itu, Luna mengenakan blouse putih polos yang dipadukan dengan rok panjang warna navy. Gaya busananya simpel dan sopan, sangat sesuai dengan suasana kampus. Meski tanpa banyak hiasan, pakaian itu menonjolkan keanggunan alami Luna. Sepasang flat shoes yang nyaman melengkapi penampilannya, memberi kesan elegan tanpa usaha berlebih. Adam kembali menatap Luna, kali ini dengan alis yang terangkat, seakan menunggu penjelasan. "Ini, Pak, aku..." Adam geleng-geleng kepala, lalu menghela napas panjang sebelum melanjutkan. "Ini sudah tahun kedua kita bertemu, dan sepertinya tidak banyak yang berubah. Pertemuan pertama kita di semester empat, kamu sering absen, dan sekalinya hadir,
Luna tiba di sebuah taman kanak-kanak. Mobil yang dikemudikan Adam berhenti di depan gerbang sekolah, dan ia memberi isyarat agar Luna turun dan mengikutinya. Luna ragu sejenak, lalu akhirnya mengikuti Adam keluar dari mobil. Mereka berjalan melewati halaman yang dipenuhi dengan anak-anak kecil yang sedang bermain, tapi Luna merasa canggung dan asing di tempat itu. Tak lama kemudian, beberapa guru dan orang tua murid lainnya menyusul di belakang Saka, membawa seorang bocah yang sedang meraung dan menangis keras. Wajah anak itu basah oleh air mata, sementara tangannya menggenggam pipinya yang memerah. "Ini sudah keterlaluan! Anakmu lagi-lagi berkelahi dan sekarang lihat apa yang dia lakukan pada anakku!" seru orang tua murid dengan nada tinggi, membuat perhatian semua orang tertuju pada mereka. Adam segera berjongkok di depan Saka, mencoba menenangkan putranya yang terlihat ketakutan. "Saka, apa yang terjadi?" tanyanya dengan lembut, meskipun wajahnya jelas menunjukkan ketegang