Hari ini cukup mengduk-aduk emosi bagi Luna. Ciuman, perbincangan layaknya teman, keintiman, harusnya hal tersebut bisa membuat Bian lebih terbuka padanya. Luna sudah maju selangkah demi selangkah, membuka diri kepada Bian, tapi pria itu tetap menutup diri. Bian tidak tahu jika ciuman dadakan tadi hampir membuatnya pingsan. Luna memegang bibirnya, masih bisa merasakan debaran jantungnya yang kacau karena masih merasakan Bian ada di sana. Apakah ikatan pernikahan yang sakral itu memang seperti ini? Setelah menyaksikan keserakahan dan keargonan ayahnya, diperlengkap dengan kebusukan Juan yang nyaris memperkosanya, dia tidak yakin dia akan mempercayai pria lagi. Tapi bersama Bian, tanpa sadar dia justru menunggu saat-saat terapi bersama Bian.Setelah makan malam, Bian meninggalkannya, Nathan mengumumkan ada telepon untuknya.Siapa kira-kira yang menghubunginya? Kenapa harus pergi menjauh ke ruangan khusus. Luna menemukan dirinya mulai penasaran. Bukan hanya tentang Bian secara personal,
Luna mulai mempersiapkan masa depannya dengan semangat yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Di waktu-waktu senggangnya, ia duduk di depan meja dengan buku catatan dan pena, atau kadang-kadang laptop, merancang café impiannya. Ia membayangkan tempat itu akan menjadi perpaduan antara kenyamanan dan elegansi, di mana orang-orang bisa bersantai sambil menikmati hidangan lezat dan suasana yang hangat. Dengan uang lima miliar yang kini ada di tangannya, Luna merasa semua itu mungkin. Dia membuat sketsa tata letak ruangan, memilih palet warna yang lembut, dan menuliskan ide-ide menu yang unik dan menggoda. Luna ingin kafenya berbeda, tempat di mana setiap sudutnya menceritakan kisah dan mencerminkan kepribadian serta perjalanan hidupnya. Ia juga mulai memikirkan hal-hal praktis, seperti lokasi yang tepat, target pasar, dan bagaimana cara menarik pelanggan. Luna tahu, kesuksesan café ini akan menjadi simbol dari kebebasan dan kemandiriannya, sesuatu yang ia bangun sendiri dari awal. Bag
"Kamu mengikuti saya, Luna?" Adam tiba-tiba berhenti dan berbalik. Untung refleks Luna cepat, jika tidak, bisa-bisa dia menabrak punggung pria itu. "Oh, bukan, Pak, bukan..." sambil menggoyang-goyangkan kedua telapak tangannya. "Lalu?" tanya Adam sambil menelusuri penampilan Luna yang sederhana namun menawan. Hari itu, Luna mengenakan blouse putih polos yang dipadukan dengan rok panjang warna navy. Gaya busananya simpel dan sopan, sangat sesuai dengan suasana kampus. Meski tanpa banyak hiasan, pakaian itu menonjolkan keanggunan alami Luna. Sepasang flat shoes yang nyaman melengkapi penampilannya, memberi kesan elegan tanpa usaha berlebih. Adam kembali menatap Luna, kali ini dengan alis yang terangkat, seakan menunggu penjelasan. "Ini, Pak, aku..." Adam geleng-geleng kepala, lalu menghela napas panjang sebelum melanjutkan. "Ini sudah tahun kedua kita bertemu, dan sepertinya tidak banyak yang berubah. Pertemuan pertama kita di semester empat, kamu sering absen, dan sekalinya hadir,
Luna tiba di sebuah taman kanak-kanak. Mobil yang dikemudikan Adam berhenti di depan gerbang sekolah, dan ia memberi isyarat agar Luna turun dan mengikutinya. Luna ragu sejenak, lalu akhirnya mengikuti Adam keluar dari mobil. Mereka berjalan melewati halaman yang dipenuhi dengan anak-anak kecil yang sedang bermain, tapi Luna merasa canggung dan asing di tempat itu. Tak lama kemudian, beberapa guru dan orang tua murid lainnya menyusul di belakang Saka, membawa seorang bocah yang sedang meraung dan menangis keras. Wajah anak itu basah oleh air mata, sementara tangannya menggenggam pipinya yang memerah. "Ini sudah keterlaluan! Anakmu lagi-lagi berkelahi dan sekarang lihat apa yang dia lakukan pada anakku!" seru orang tua murid dengan nada tinggi, membuat perhatian semua orang tertuju pada mereka. Adam segera berjongkok di depan Saka, mencoba menenangkan putranya yang terlihat ketakutan. "Saka, apa yang terjadi?" tanyanya dengan lembut, meskipun wajahnya jelas menunjukkan ketegang
"Apa Luna sudah hamil?" wajah ibu Bian di layar ponsel terlihat begitu serius ketika membahas hal ini. "Kami baru satu bulan menikah," jawabnya cuek. "Tidak semudah itu membuat seseorang hamil." Ini hanya sekedar alasan Bian saja tentunya. Fakta sebenarnya adalah karena ia tidak yakin bisa membuat Luna hamil. Ereksinya tidak bertahan lama, dan libidonya sering tidak tertebak. Kadang ia bergairah, terkadang tubuhnya tidak memberi reaksi apa-apa. Namun, ibunya tidak terpengaruh. Dia menatap Bian dengan tatapan penuh makna. "Ingat Bian perusahaan keluarga ini membutuhkan penerus." Bian menghela napas berat. "Apa Ibu bahkan tak ingat bahwa aku masih dalam pemulihan kesehatan?" "Tapi waktu tidak menunggu, Bian," ibunya mendesak. "Banyak yang ingin melengsermu. Ingat perjuangan Ayahmu. Dia sudah tiada dan kamu tidak bisa terus-menerus menunda tanggung jawab ini." "Aku akan mempertimbangkannya," nada Bian terdengar tegas. Membuat Ibunya hanya bisa mengangguk dan mengalihkan pembicaraan.
Luna mondar-mandir di kamar, gelisah menunggu kedatangan Bian. Setelah ultimatum keras yang diberikan Bian, Luna langsung bergegas masuk ke kamar dan membersihkan dirinya, memastikan tidak ada aroma orang lain yang bisa tercium oleh Bian yang terkenal dengan indera penciuman tajamnya. Sudah satu jam berlalu sejak Luna selesai mandi. Rambut panjangnya bahkan sudah kering, tapi Bian belum juga menampakkan dirinya. Luna duduk di tepi tempat tidur, kemudian bangkit lagi, tak bisa menenangkan kegelisahannya. Ia memandang pintu kamar yang tertutup rapat dengan penuh harap dan cemas, berharap Bian segera datang. Waktu terus berlalu, jarum jam bergerak tanpa henti hingga mencapai tengah malam. Bian masih belum muncul. Rasa takut dan cemas terus menghantui pikiran Luna, membuatnya tidak bisa tenang. Namun, tubuhnya yang lelah akhirnya menyerah, dan tanpa disadari, Luna tertidur di sofa, menunggu kedatangan Bian. Ketika matahari pagi menyusup masuk melalui celah-celah tirai, Luna terbangun d
Bukan sehari dua hari Bian mengabaikan Luna, tetapi sudah berhari-hari, dan kini memasuki hari keempat. Selama itu, Bian seolah-olah tak ingin berada di dekatnya. Dia memutuskan untuk tidur di kamar terpisah, membuat jarak semakin jelas di antara mereka. Setiap kali Luna mencoba menemani Bian saat terapi, Bian dengan tegas menolaknya. Bahkan ketika Luna dengan sepenuh hati menyiapkan sarapan, makan siang, dan makan malam, Bian selalu menemukan alasan untuk menghindari momen-momen tersebut. Luna yang sudah empat hari ini tidak pergi ke kampus demi memperbaiki hubungan mereka, merasa semakin putus asa. Setiap kali dia mencoba mendekat, Bian seolah membuat tembok yang tak bisa ditembus, dan perlahan-lahan, kesepian mulai merayapi hati Luna. Luna, merasa bosan dan terisolasi setelah empat hari diabaikan oleh Bian, memutuskan untuk mendatangi gimnasium tempat Bian biasanya berlatih. Ketika Luna tiba, gimnasium tampak sunyi kecuali untuk suara yang dihasilkan oleh Bian sesuai instruksi
Dengan menahan malu dan amarah, Luna meninggalkan gimnasium. Matanya terasa perih menahan tangis. Bian baru saja mengusirnya, membuatnya merasa ditolak mentah-mentah. Ia ingin marah, tetapi tidak memiliki cukup keberanian untuk meluapkan perasaannya. Setelah mengganti pakaiannya, Luna langsung menuju dapur. Seperti biasa, para pelayan menyambutnya dengan ramah. Luna tertawa getir melihat perlakuan itu. Di sini, di hadapan para pelayan, ia diperlakukan layaknya seorang Nyonya rumah, tetapi dalam hatinya, ia merasa tidak ada bedanya dengan para pelayan. Setidaknya, begitulah yang Luna rasakan. "Tinggalkan aku sendiri," pintanya dengan suara pelan. Luna ingin membuat kue, memasak makan siang, dan melakukan banyak hal di dapur untuk mengalihkan perasaan jengkelnya. Dia membuka buku resep mendiang ibunya, mencari inspirasi. Banyak resep yang ingin dia coba, termasuk beberapa yang dia temukan setelah menonton acara memasak di televisi. Luna tidak sadar berapa lama dia sudah berada di da