Dengan menahan malu dan amarah, Luna meninggalkan gimnasium. Matanya terasa perih menahan tangis. Bian baru saja mengusirnya, membuatnya merasa ditolak mentah-mentah. Ia ingin marah, tetapi tidak memiliki cukup keberanian untuk meluapkan perasaannya. Setelah mengganti pakaiannya, Luna langsung menuju dapur. Seperti biasa, para pelayan menyambutnya dengan ramah. Luna tertawa getir melihat perlakuan itu. Di sini, di hadapan para pelayan, ia diperlakukan layaknya seorang Nyonya rumah, tetapi dalam hatinya, ia merasa tidak ada bedanya dengan para pelayan. Setidaknya, begitulah yang Luna rasakan. "Tinggalkan aku sendiri," pintanya dengan suara pelan. Luna ingin membuat kue, memasak makan siang, dan melakukan banyak hal di dapur untuk mengalihkan perasaan jengkelnya. Dia membuka buku resep mendiang ibunya, mencari inspirasi. Banyak resep yang ingin dia coba, termasuk beberapa yang dia temukan setelah menonton acara memasak di televisi. Luna tidak sadar berapa lama dia sudah berada di da
"Dude..." Julian mencoba untuk meredakan ketegangan, tetapi Bian memotongnya dengan nada penuh otoritas. "Pergilah, Julian!" suaranya dingin dan tajam, memerintahkan tanpa memberi ruang untuk Julian mendebatnya. Julian melirik Luna yang tampak ciut di hadapan Bian. Ekspresi takut jelas terpampang di wajah Luna, membuat Julian ragu sejenak. Namun, dia tahu Bian tidak suka dibantah, sehingga dengan berat hati, Julian mengangguk pelan dan berdiri untuk pergi. Bian tidak mengalihkan tatapannya dari Luna, bahkan setelah Julian meninggalkan ruangan. Matanya membara dengan emosi yang sulit diartikan, membuat Luna merasa kecil di hadapannya. Aura dingin Bian menekan, menyelimuti ruangan dengan ketegangan yang pekat. Dia tak perlu berkata apa-apa lagi untuk membuat Luna merasa bersalah dan takut. Tatapan itu sudah cukup untuk membuatnya merasa terpojok, seakan menelanjangi setiap tindakannya, seolah Bian bisa melihat langsung ke dalam pikirannya. Setelah beberapa detik yang terasa sep
Luna lelah setelah mengalami pukulan emosi dari Bian, jadi dia tidak peduli apakah Bian akan tidur di kamar atau tidak. Ia menarik selimut, memejamkan mata, menolak untuk membayangkan ciuman kasar yang dilakukan Bian padanya. Keesokan paginya, Luna memutuskan untuk pergi tanpa berpamitan. Diam-diam dia mengambil kunci mobil dan mengemudi sendiri. Dia belanja, menonton, makan dan juga mencari lokasi yang bagus untuk memulai usaha bisnisnya. Sedangkan di sisi lain, Bian yang turun untuk sarapan, menyadari sosok Luna yang tidak ada. Ia kemudian meminta Nathan untuk mengecek CCTV. "Berdasarkan CCTV, nyonya pergi sekitar jam tujuh pagi. Menyetir sendiri." Nathan mengumumkan dengan nada gugup. Sudut bibir Bian terangkat dan tangannya mengepal. Padahal kemarin Bian sudah memberikan hukuman untuk Luna, mengapa gadis itu masih juga berani terhadapnya. "Selamat pagi," Julian muncul tanpa menyadari ketegangan yang sedang terjadi di ruang makan. "Tidurmu nyenyak?" Bian mendengus. "Duduklah
Luna merasakan napas Bian yang hangat di lehernya, membuat detak jantungnya terasa semakin kencang. Tubuh Luna masih merasakan ketegangan yang baru saja terjadi. Perasaannya campur aduk-kaget, tentu saja, tapi lebih dari itu. Apa yang ia rasakan saat ini begitu sulit untuk dijelaskan. "Aku menemukan jawaban atas pertanyaanku," bisik Bian lembut di telinga Luna, bibirnya menyentuh lembut kulit telinga Luna. Luna menggeliat sedikit, dan Bian merasakan kesenangan yang aneh dari reaksi itu. "Aku harap aku tidak menyakitimu," Ucapan Bian pelan namun terdengar tegas, seakan mengakui bahwa permainannya tadi cukup kasar. Luna sendiri tak tahu harus berkata apa. la terbaring telentang di bawah tubuh Bian yang besar, merasakan berat tubuh pria itu di atasnya. Tangannya masih memeluk erat tubuh Bian, takut terjatuh, seolah dirinya sedang terbang, mengambang di antara kenyataan dan mimpi. Bian perlahan menarik kepalanya, menatap wajah Luna dengan saksama. la suka cara Luna menatapnya, mata ya
Bian awalnya tersenyum saat melihat foto-foto Luna saat kecil, namun senyum itu memudar ketika ia melihat Ana, serta kepastian bahwa Ana adalah putri biologis Gunawan. Kenyataan tentang ketidakadilan yang dialami Luna selama ini membuat amarah Bian mendidih. Terutama juga karena Bian kini sudah tau bahwa Ana yang telah mengirimkannya foto Luna yang sedang berduaan dengan Adam saat itu. "Nathan," panggil Bian dengan nada dingin, sikapnya berubah drastis. Nathan segera mendekat, merasakan ketegangan yang kembali hadir dalam diri Tuannya. "Lengserkan Gunawan dari perusahaan. Pastikan dia tidak diterima di mana pun setelah ini," perintah Bian tegas. Nathan mengangguk, paham tanpa perlu banyak bertanya, dan segera pergi untuk melaksanakan perintah. Bian akan memastikan bahwa siapa pun, terutama Gunawan tidak akan pernah menyakiti Luna. Bian kembali ke kamar dan menemukan Luna sudah tertidur lelap. Tubuhnya meringkuk di bawah selimut, wajahnya tenang, polos, dan damai, kontras
Ucapan Bian pagi tadi membuat Luna selalu terngiang-ngiang. Sebab itu, selesai pelajaran di kampus, Luna langsung pulang ke rumah. Sore ini, Luna memilih untuk menyiapkan makan malam dan memutuskan bertanya pada pelayan apa makanan kesukaan Tuan mereka. "Maaf, Nyonya, kami tidak tahu. Tuan Bian memakan semua makanan tanpa pernah melayangkan protes." "Hm, jadi dia tidak pemilih." "Hanya saja, tadi pagi Tuan meminta untuk menyiapkan roti dengan selai stroberi dan menyingkirkan blueberi. Serta menyiapkan salmon." "Dia meminta khusus?" "Ya, semuanya harus siap sebelum Nyonya bangun." Mendengar hal itu, hati Luna merasa hangat. Luna tidak tahu apakah Bian memang memberi perhatian khusus padanya atau tidak. Luna sudah lama tidak mendapatkan perhatian dari siapa pun, sejak kepergiaan ibunya. Sehingga perhatian kecil pun sangat berarti bagi Luna. "Baiklah kalau begitu, aku akan menyiapkan makan malam. Kalian bisa mengerjakan yang lain." "Tapi, Nyonya..." "Tidak apa-apa, dia
Semenjak mendengar ucapan Bian yang terdengar begitu ambigu. Luna tidak bisa tidak memikirkannya. Apa yang sebenarnya Bian maksud dengan menyukainya? Apakah itu tubuhnya atau hal lain? Yang membuat Luna merasa kesal adalah setelah mengatakan hal itu, Bian berbalik badan dan kembali meninggalkan Luna tanpa penjelasan lebih lanjut. Luna memberenggut kesal kembali memikirkan hal itu. Ia mencoba mengalihkan pikirannya kepada hal lain. Luna bersyukur hari ini adalah akhir pekan dan artinya ia tidak perlu masuk kuliah. Ini adalah waktu yang sempurna untuk bermalas-malasan. Pagi ini Bian juga tidak berusaha membangunkannya, seolah memberikan kesempatan bagi Luna untuk beristirahat. Namun, tak lama kemudian Luna mendengar suara seorang wanita. Luna memutuskan untuk turun dan mengecek suara siapa itu. Mata Luna membulat, langkahnya bahkan terhenti. Luna tidak dapat memercayai penglihatannya sendiri saat ini. Di ruang tamu, Bian sedang berpelukan dengan seorang wanita cantik yang tidak di
"Bagaimana?" Julian menghampiri Luna yang menyiram tanaman. Luna sampai terkejut, tidak menyadari kehadiran pria itu. "Julian! Untung aku tidak menyirammu." Julian tertawa, "Matikan dulu keranmu sebelum kamu benar-benar melakukannya." Luna pun melakukan apa yang diminta Julian, memutar keran hingga aliran air berhenti, lalu mereka berdua duduk di bangku taman. "Jadi?" tanya Julian. "Jadi apa?" Luna mengerutkan keningnya. Hubungannya dengan Julian semakin dekat akhir-akhir ini. Bian juga tidak pernah mempermasalahkan itu lagi. Entah Bian yang sudah bertambah dewasa, dengan mulai mempercayai Luna atau karena pria itu adalah Julian. Apa pun alasnnya, yang penting hubungan pertemanannya dengan Julian adalah hal yang juga ia syukuri saat ini. Julian teman yang asik diajak bicara. Pria itu juga pintar, banyak merekomendasikan peluang bisnis walau Luna tidak memberitahu Julian tentang impiannya. "Hubunganmu dengan Bian." "Seperti yang kamu lihat," Luna mengangkat kedua bahunya, men
Tepuk tangan kembali menggema, kali ini lebih meriah. Luna menatap Bian dengan mata berkaca-kaca, tidak mampu berkata apa-apa selain tersenyum. Ia mengambil mikrofon kecil yang disodorkan salah satu tamu, mencoba menguasai dirinya."Terima kasih, Mas Bian," katanya, suaranya sedikit bergetar tetapi tetap penuh ketulusan. "Kamu selalu tahu bagaimana caranya membuatku merasa istimewa. Aku tidak pernah meminta apa-apa selain cinta darimu, dan kamu memberiku lebih dari itu. Kamu memberiku keluarga, kebahagiaan, dan cinta yang tak pernah habis. Aku juga mencintaimu, lebih dari apa yang bisa aku ungkapkan dengan kata-kata."Seketika suasana terasa semakin emosional. Beberapa tamu bahkan terlihat menyeka air mata mereka, terharu oleh keintiman yang mereka saksikan. Dengan senyuman yang tak pernah lepas dari wajahnya, Bian menggenggam tangan Luna lebih erat. "Ayo kita potong kuenya," katanya, membawa mereka kembali ke momen yang lebih santai.Setelah mereka memotong kue bersama, suasana berub
Luna terus menelusuri setiap halaman buku jurnal yang diberikan Bian kemarin. Tulisan tangan suaminya terasa seperti suara dari hatinya sendiri, mengalir dengan kejujuran dan kerinduan yang tak terbendung. Setiap kata menggambarkan perjalanan emosional seorang pria yang berusaha keras mencari istri yang hilang, menanggung penyesalan yang mendalam atas kegagalannya selama setahun penuh. Air mata membasahi pipinya, tetapi senyumnya tetap bertahan. Ini bukan tangisan sedih; ini adalah tangisan karena cinta yang begitu nyata, begitu tulus.Ketika pintu kamar mereka terbuka, Luna mendongak, mendapati sosok Bian berdiri di sana. Cahaya dari luar ruangan menyinari pria itu, menegaskan aura ketenangan yang selalu menyelimutinya. "Hei, aku memberikan jurnal ini bukan untuk membuatmu menangis, Sayang," ujarnya, melangkah masuk dan langsung duduk di depannya. Dengan lembut, ia mengusap pipi Luna, menghapus jejak air mata yang masih tersisa. Sentuhan itu bukan hanya lembut, tetapi juga penuh ci
“Sikapmu mencurigakan!” Luna tertawa ringan saat ia memukul lembut dada suaminya, namun segera menyerah dalam pelukannya. Dekapan Bian selalu berhasil meredakan segala kekhawatiran yang memenuhi pikirannya. Hangat, nyaman—seolah seluruh dunia berhenti berputar, memberikan mereka momen yang hanya milik mereka berdua. Luna menyandarkan kepalanya di dada Bian, merasakan detak jantungnya yang stabil, menenangkan. Tidak ada tempat ternyaman selain berada di sisinya, seolah Bian adalah oksigen yang ia butuhkan untuk bertahan hidup. Membayangkan hidup tanpa pria itu terasa tak mungkin lagi, dan setiap kali ada keraguan yang muncul, ia segera tenggelamkan dalam ketenangan pelukannya.“Kamu tahu aku mencintaimu,” bisik Bian di telinga Luna, suaranya rendah namun penuh keyakinan, mengirimkan getaran lembut yang langsung menusuk ke dalam hati Luna. Bian tidak perlu bersuara keras untuk menunjukkan betapa ia sangat menyayangi istrinya—bisikan itu saja sudah cukup untuk mengukir janji tanpa kata-
“Kita tidak bisa mencampuri hubungan mereka,” ucap Bian, suaranya tenang namun penuh ketegasan. Dia telah mendengar cerita sebenarnya dari Luna—bagaimana Julian tidak menyentuh Sarena sama sekali, bagaimana situasi rumit itu hanyalah bayang-bayang dari ketidakpastian. Tetapi justru karena dia mengetahui kebenarannya, Bian merasa tidak berhak mengambil peran dalam keputusan yang hanya bisa diambil oleh Sarena sendiri. Hatinya berat, namun ia tahu apa yang harus dilakukan.“Sarena sudah jauh lebih dewasa. Dia pasti bisa menyikapi semua ini,” lanjutnya, seolah kata-kata itu diucapkan untuk menenangkan diri sendiri lebih dari sekadar memberi penegasan kepada istrinya. Dia ingin yang terbaik untuk Sarena, tanpa intervensi yang malah akan mengaburkan pilihan yang sebenarnya. Tapi, sebagai kakak, ada kekhawatiran yang tak bisa sepenuhnya ditepiskan. Ia tahu apa yang telah dilewati Julian, dan sebentuk kasih yang tak terucap tumbuh di hatinya.“Biarkan dia yang mengambil keputusan, Luna.” D
“Mas…” panggilan lembut Luna meluncur, berusaha menuntut perhatian suaminya yang tengah tenggelam di depan layar laptop. Ada kelembutan sekaligus sedikit tuntutan dalam suaranya, seolah mengingatkan bahwa ia tidak suka diabaikan.Bian menoleh dengan cepat, menyadari bahwa istrinya menginginkan sesuatu lebih dari sekadar jawaban biasa. Senyuman manisnya muncul, memupus segala letih yang terasa. “Ya, Luna, ada apa? Kamu butuh sesuatu, Sayang?” tanyanya dengan nada penuh perhatian.Luna tersenyum kecil, meski seulas kekhawatiran berbayang di matanya. “Tidak, Mas. Aku hanya ingin berbincang.” Kata-katanya sederhana, tetapi tersirat sebuah keinginan untuk didengar dan dimengerti. “Mas sedang sibuk atau bagaimana?” Ia tak ingin mengganggu, tetapi ia juga membutuhkan suaminya untuk bersamanya, sepenuhnya.Bian menatapnya dengan tatapan lembut penuh kasih sayang, mendengar nada halus yang menyiratkan beban dalam kalimat Luna. Meski pekerjaannya belum selesai, ia tak akan pernah meninggalkan i
Luna meremas tangan Sarena dengan lembut, mencoba meyakinkannya untuk terus bercerita. Tatapan penasaran yang dalam terpancar dari matanya, tak dapat disembunyikan oleh ekspresi tenangnya. “Lalu, apa sebenarnya masalahnya?” desaknya lagi, penuh rasa ingin tahu. Mengapa Sarena terlihat begitu sedih padahal ia dan Julian saling mencintai? Bukankah dua orang yang saling mencintai seharusnya menikah dan hidup bahagia?Namun, di dalam hatinya, Luna tahu bahwa pernyataannya itu tak sepenuhnya benar. Pernikahannya dengan Bian tidak dimulai dari cinta sejati; mereka menikah karena keputusan keluarga yang berujung pada pernikahan yang dipaksakan. Namun, seiring berjalannya waktu, cinta perlahan tumbuh di antara mereka. Takdir telah menenun kisah mereka dengan cara yang tak terduga, membawa mereka dari konflik menuju kedamaian, dari kecurigaan menjadi kepercayaan. Sekarang, mereka berada di tempat yang disebut dengan "akhir bahagia" – titik di mana cinta mereka telah melewati segala ujian."Aku
Luna tersenyum lembut sambil mendekat ke Felicia, gadis kecil yang tampak sibuk dengan pensil warna di tangan. "Hai, Felicia..." sapanya, duduk di sebelah gadis kecil itu. "Apa yang sedang kamu buat, Sayang?" tanyanya dengan hangat, matanya tertuju pada kertas penuh warna di hadapan Felicia.Felicia menoleh dengan senyum lebar. "Ini Ibu, sedang memakai baju pengantin! Dan ini Ayah Julian," jawabnya penuh antusias, telunjuk mungilnya menunjuk tiap karakter yang ia gambar. Matanya berbinar dengan bangga, seolah-olah memperkenalkan dunia imajinasinya kepada Luna.Luna tertawa kecil, matanya menelusuri gambar yang terlihat penuh cinta. "Dan ini kamu, ya?" ujarnya, menunjuk pada sosok kecil di antara gambar Sarena dan Julian. Felicia mengangguk dengan bersemangat, matanya menyorot kebahagiaan murni anak-anak."Hm, kalau ini?" Luna menunjukkan objek kecil di samping mereka yang mirip dengan keranjang bayi. Alisnya terangkat penasaran.Felicia tersenyum ceria, tatapannya polos namun mengandu
Setelah masalah Julian dan Sarena selesai, sesuai janjinya pada sahabatnya, Bian, dia membawa adik sahabatnya itu pulang. Dia akan melamar Sarena di hadapan sahabatnya, meminta restu Bian dan Luna.Julian dan Sarena kembali memasuki rumah, membawa serta Felicia yang menggenggam tangan mereka dengan erat. Begitu tiba di ruang tamu, Luna menyambut dengan senyum lebar, matanya berkilau penuh kegembiraan saat melihat adiknya akhirnya kembali. “Ah... akhirnya kamu pulang,” ucap Luna, memeluk Sarena erat-erat. "Aku sangat merindukanmu."Sarena balas memeluk, bibirnya melengkung lembut. “Aku juga merindukanmu, Luna. Sangat rindu. Ah... comelnya.” Sarena menoel pipi bayi tembem yang ada di gendongan Luna. Dia mengambil alih Mikayla dan menciumnya. "Adik bayinya lucu 'kan," ia menunjukkannya pada Felicia. Felicia mengangguk dan dengan malu-malu menyentuh pipi Mikayla."Hai, Felicia, selamat datang," Luna merentangkan tangannya, memeluk gadis kecil itu. Sarena sudah pernah membahas tentang Feli
Sarena menarik napas dalam, suaranya berubah lembut dan penuh kenangan ketika ia mulai bercerita. "Felicia… dia kebahagiaanku, Julian. Dia seperti sinar matahari yang muncul setelah badai, yang menghangatkan dan memberi arti baru dalam hidupku." Kata-katanya mengalir dengan tulus, mengisyaratkan seberapa besar perasaan dan perjuangannya selama ini. Di dalam setiap kata, Sarena menanamkan makna dari cinta seorang ibu yang tanpa syarat, sebuah cinta yang ia pilih dengan seluruh hatinya, walau penuh pengorbanan. Sorot matanya berkabut saat ia memandang Julian, mengungkapkan cinta dan kerinduan yang begitu dalam.Julian menggenggam tangan Sarena dengan lembut, merasakan beban yang selama ini ia bawa sebagai pria yang tiba-tiba diberi kesempatan kedua untuk mengenal putrinya. "Sekarang, dia juga bagian dari kehidupanku," ucapnya dengan suara bergetar, nyaris berbisik, seolah mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa kehadiran Felicia nyata, bahwa ini bukan mimpi belaka. "Kita akan merawat