Luna mondar-mandir di kamar, gelisah menunggu kedatangan Bian. Setelah ultimatum keras yang diberikan Bian, Luna langsung bergegas masuk ke kamar dan membersihkan dirinya, memastikan tidak ada aroma orang lain yang bisa tercium oleh Bian yang terkenal dengan indera penciuman tajamnya. Sudah satu jam berlalu sejak Luna selesai mandi. Rambut panjangnya bahkan sudah kering, tapi Bian belum juga menampakkan dirinya. Luna duduk di tepi tempat tidur, kemudian bangkit lagi, tak bisa menenangkan kegelisahannya. Ia memandang pintu kamar yang tertutup rapat dengan penuh harap dan cemas, berharap Bian segera datang. Waktu terus berlalu, jarum jam bergerak tanpa henti hingga mencapai tengah malam. Bian masih belum muncul. Rasa takut dan cemas terus menghantui pikiran Luna, membuatnya tidak bisa tenang. Namun, tubuhnya yang lelah akhirnya menyerah, dan tanpa disadari, Luna tertidur di sofa, menunggu kedatangan Bian. Ketika matahari pagi menyusup masuk melalui celah-celah tirai, Luna terbangun d
Bukan sehari dua hari Bian mengabaikan Luna, tetapi sudah berhari-hari, dan kini memasuki hari keempat. Selama itu, Bian seolah-olah tak ingin berada di dekatnya. Dia memutuskan untuk tidur di kamar terpisah, membuat jarak semakin jelas di antara mereka. Setiap kali Luna mencoba menemani Bian saat terapi, Bian dengan tegas menolaknya. Bahkan ketika Luna dengan sepenuh hati menyiapkan sarapan, makan siang, dan makan malam, Bian selalu menemukan alasan untuk menghindari momen-momen tersebut. Luna yang sudah empat hari ini tidak pergi ke kampus demi memperbaiki hubungan mereka, merasa semakin putus asa. Setiap kali dia mencoba mendekat, Bian seolah membuat tembok yang tak bisa ditembus, dan perlahan-lahan, kesepian mulai merayapi hati Luna. Luna, merasa bosan dan terisolasi setelah empat hari diabaikan oleh Bian, memutuskan untuk mendatangi gimnasium tempat Bian biasanya berlatih. Ketika Luna tiba, gimnasium tampak sunyi kecuali untuk suara yang dihasilkan oleh Bian sesuai instruksi
Dengan menahan malu dan amarah, Luna meninggalkan gimnasium. Matanya terasa perih menahan tangis. Bian baru saja mengusirnya, membuatnya merasa ditolak mentah-mentah. Ia ingin marah, tetapi tidak memiliki cukup keberanian untuk meluapkan perasaannya. Setelah mengganti pakaiannya, Luna langsung menuju dapur. Seperti biasa, para pelayan menyambutnya dengan ramah. Luna tertawa getir melihat perlakuan itu. Di sini, di hadapan para pelayan, ia diperlakukan layaknya seorang Nyonya rumah, tetapi dalam hatinya, ia merasa tidak ada bedanya dengan para pelayan. Setidaknya, begitulah yang Luna rasakan. "Tinggalkan aku sendiri," pintanya dengan suara pelan. Luna ingin membuat kue, memasak makan siang, dan melakukan banyak hal di dapur untuk mengalihkan perasaan jengkelnya. Dia membuka buku resep mendiang ibunya, mencari inspirasi. Banyak resep yang ingin dia coba, termasuk beberapa yang dia temukan setelah menonton acara memasak di televisi. Luna tidak sadar berapa lama dia sudah berada di da
"Dude..." Julian mencoba untuk meredakan ketegangan, tetapi Bian memotongnya dengan nada penuh otoritas. "Pergilah, Julian!" suaranya dingin dan tajam, memerintahkan tanpa memberi ruang untuk Julian mendebatnya. Julian melirik Luna yang tampak ciut di hadapan Bian. Ekspresi takut jelas terpampang di wajah Luna, membuat Julian ragu sejenak. Namun, dia tahu Bian tidak suka dibantah, sehingga dengan berat hati, Julian mengangguk pelan dan berdiri untuk pergi. Bian tidak mengalihkan tatapannya dari Luna, bahkan setelah Julian meninggalkan ruangan. Matanya membara dengan emosi yang sulit diartikan, membuat Luna merasa kecil di hadapannya. Aura dingin Bian menekan, menyelimuti ruangan dengan ketegangan yang pekat. Dia tak perlu berkata apa-apa lagi untuk membuat Luna merasa bersalah dan takut. Tatapan itu sudah cukup untuk membuatnya merasa terpojok, seakan menelanjangi setiap tindakannya, seolah Bian bisa melihat langsung ke dalam pikirannya. Setelah beberapa detik yang terasa sep
Luna lelah setelah mengalami pukulan emosi dari Bian, jadi dia tidak peduli apakah Bian akan tidur di kamar atau tidak. Ia menarik selimut, memejamkan mata, menolak untuk membayangkan ciuman kasar yang dilakukan Bian padanya. Keesokan paginya, Luna memutuskan untuk pergi tanpa berpamitan. Diam-diam dia mengambil kunci mobil dan mengemudi sendiri. Dia belanja, menonton, makan dan juga mencari lokasi yang bagus untuk memulai usaha bisnisnya. Sedangkan di sisi lain, Bian yang turun untuk sarapan, menyadari sosok Luna yang tidak ada. Ia kemudian meminta Nathan untuk mengecek CCTV. "Berdasarkan CCTV, nyonya pergi sekitar jam tujuh pagi. Menyetir sendiri." Nathan mengumumkan dengan nada gugup. Sudut bibir Bian terangkat dan tangannya mengepal. Padahal kemarin Bian sudah memberikan hukuman untuk Luna, mengapa gadis itu masih juga berani terhadapnya. "Selamat pagi," Julian muncul tanpa menyadari ketegangan yang sedang terjadi di ruang makan. "Tidurmu nyenyak?" Bian mendengus. "Duduklah
Luna merasakan napas Bian yang hangat di lehernya, membuat detak jantungnya terasa semakin kencang. Tubuh Luna masih merasakan ketegangan yang baru saja terjadi. Perasaannya campur aduk-kaget, tentu saja, tapi lebih dari itu. Apa yang ia rasakan saat ini begitu sulit untuk dijelaskan. "Aku menemukan jawaban atas pertanyaanku," bisik Bian lembut di telinga Luna, bibirnya menyentuh lembut kulit telinga Luna. Luna menggeliat sedikit, dan Bian merasakan kesenangan yang aneh dari reaksi itu. "Aku harap aku tidak menyakitimu," Ucapan Bian pelan namun terdengar tegas, seakan mengakui bahwa permainannya tadi cukup kasar. Luna sendiri tak tahu harus berkata apa. la terbaring telentang di bawah tubuh Bian yang besar, merasakan berat tubuh pria itu di atasnya. Tangannya masih memeluk erat tubuh Bian, takut terjatuh, seolah dirinya sedang terbang, mengambang di antara kenyataan dan mimpi. Bian perlahan menarik kepalanya, menatap wajah Luna dengan saksama. la suka cara Luna menatapnya, mata ya
Bian awalnya tersenyum saat melihat foto-foto Luna saat kecil, namun senyum itu memudar ketika ia melihat Ana, serta kepastian bahwa Ana adalah putri biologis Gunawan. Kenyataan tentang ketidakadilan yang dialami Luna selama ini membuat amarah Bian mendidih. Terutama juga karena Bian kini sudah tau bahwa Ana yang telah mengirimkannya foto Luna yang sedang berduaan dengan Adam saat itu. "Nathan," panggil Bian dengan nada dingin, sikapnya berubah drastis. Nathan segera mendekat, merasakan ketegangan yang kembali hadir dalam diri Tuannya. "Lengserkan Gunawan dari perusahaan. Pastikan dia tidak diterima di mana pun setelah ini," perintah Bian tegas. Nathan mengangguk, paham tanpa perlu banyak bertanya, dan segera pergi untuk melaksanakan perintah. Bian akan memastikan bahwa siapa pun, terutama Gunawan tidak akan pernah menyakiti Luna. Bian kembali ke kamar dan menemukan Luna sudah tertidur lelap. Tubuhnya meringkuk di bawah selimut, wajahnya tenang, polos, dan damai, kontras
Ucapan Bian pagi tadi membuat Luna selalu terngiang-ngiang. Sebab itu, selesai pelajaran di kampus, Luna langsung pulang ke rumah. Sore ini, Luna memilih untuk menyiapkan makan malam dan memutuskan bertanya pada pelayan apa makanan kesukaan Tuan mereka. "Maaf, Nyonya, kami tidak tahu. Tuan Bian memakan semua makanan tanpa pernah melayangkan protes." "Hm, jadi dia tidak pemilih." "Hanya saja, tadi pagi Tuan meminta untuk menyiapkan roti dengan selai stroberi dan menyingkirkan blueberi. Serta menyiapkan salmon." "Dia meminta khusus?" "Ya, semuanya harus siap sebelum Nyonya bangun." Mendengar hal itu, hati Luna merasa hangat. Luna tidak tahu apakah Bian memang memberi perhatian khusus padanya atau tidak. Luna sudah lama tidak mendapatkan perhatian dari siapa pun, sejak kepergiaan ibunya. Sehingga perhatian kecil pun sangat berarti bagi Luna. "Baiklah kalau begitu, aku akan menyiapkan makan malam. Kalian bisa mengerjakan yang lain." "Tapi, Nyonya..." "Tidak apa-apa, dia