Ucapan Bian pagi tadi membuat Luna selalu terngiang-ngiang. Sebab itu, selesai pelajaran di kampus, Luna langsung pulang ke rumah. Sore ini, Luna memilih untuk menyiapkan makan malam dan memutuskan bertanya pada pelayan apa makanan kesukaan Tuan mereka. "Maaf, Nyonya, kami tidak tahu. Tuan Bian memakan semua makanan tanpa pernah melayangkan protes." "Hm, jadi dia tidak pemilih." "Hanya saja, tadi pagi Tuan meminta untuk menyiapkan roti dengan selai stroberi dan menyingkirkan blueberi. Serta menyiapkan salmon." "Dia meminta khusus?" "Ya, semuanya harus siap sebelum Nyonya bangun." Mendengar hal itu, hati Luna merasa hangat. Luna tidak tahu apakah Bian memang memberi perhatian khusus padanya atau tidak. Luna sudah lama tidak mendapatkan perhatian dari siapa pun, sejak kepergiaan ibunya. Sehingga perhatian kecil pun sangat berarti bagi Luna. "Baiklah kalau begitu, aku akan menyiapkan makan malam. Kalian bisa mengerjakan yang lain." "Tapi, Nyonya..." "Tidak apa-apa, dia
Semenjak mendengar ucapan Bian yang terdengar begitu ambigu. Luna tidak bisa tidak memikirkannya. Apa yang sebenarnya Bian maksud dengan menyukainya? Apakah itu tubuhnya atau hal lain? Yang membuat Luna merasa kesal adalah setelah mengatakan hal itu, Bian berbalik badan dan kembali meninggalkan Luna tanpa penjelasan lebih lanjut. Luna memberenggut kesal kembali memikirkan hal itu. Ia mencoba mengalihkan pikirannya kepada hal lain. Luna bersyukur hari ini adalah akhir pekan dan artinya ia tidak perlu masuk kuliah. Ini adalah waktu yang sempurna untuk bermalas-malasan. Pagi ini Bian juga tidak berusaha membangunkannya, seolah memberikan kesempatan bagi Luna untuk beristirahat. Namun, tak lama kemudian Luna mendengar suara seorang wanita. Luna memutuskan untuk turun dan mengecek suara siapa itu. Mata Luna membulat, langkahnya bahkan terhenti. Luna tidak dapat memercayai penglihatannya sendiri saat ini. Di ruang tamu, Bian sedang berpelukan dengan seorang wanita cantik yang tidak di
"Bagaimana?" Julian menghampiri Luna yang menyiram tanaman. Luna sampai terkejut, tidak menyadari kehadiran pria itu. "Julian! Untung aku tidak menyirammu." Julian tertawa, "Matikan dulu keranmu sebelum kamu benar-benar melakukannya." Luna pun melakukan apa yang diminta Julian, memutar keran hingga aliran air berhenti, lalu mereka berdua duduk di bangku taman. "Jadi?" tanya Julian. "Jadi apa?" Luna mengerutkan keningnya. Hubungannya dengan Julian semakin dekat akhir-akhir ini. Bian juga tidak pernah mempermasalahkan itu lagi. Entah Bian yang sudah bertambah dewasa, dengan mulai mempercayai Luna atau karena pria itu adalah Julian. Apa pun alasnnya, yang penting hubungan pertemanannya dengan Julian adalah hal yang juga ia syukuri saat ini. Julian teman yang asik diajak bicara. Pria itu juga pintar, banyak merekomendasikan peluang bisnis walau Luna tidak memberitahu Julian tentang impiannya. "Hubunganmu dengan Bian." "Seperti yang kamu lihat," Luna mengangkat kedua bahunya, men
Luna menatap Bian dengan pandangan serius. Mencoba menebak maksud pertanyaan Bian. Apakah suaminya itu sedang menggodanya atau bagaimana. Pada akhirnya dia tidak bisa menebak. "Bukan begitu, Mas," jawabnya pelan. "Bunga-bunga itu tidak bisa berbicara, tidak bisa memberi jawaban atas pikiran-pikiranku. Tapi mereka juga tak pernah memberi pertanyaan yang tak bisa kujawab." Bian menatap Luna, sedikit terkejut dengan jawabannya. "Jadi, kamu lebih suka sesuatu yang tidak banyak bertanya?" Luna tersenyum tipis. "Tidak, aku hanya menghargai keindahan dan keheningan mereka. Sama seperti aku menghargai percakapan dengan orang-orang di sekitarku." Bian menukikkan alisnya, matanya menyipit sedikit, mencoba menangkap maksud di balik kata-kata Luna. "Apakah itu sindiran halus karena aku jarang meluangkan waktu untuk berbincang denganmu?" Luna menahan senyum yang lebih lebar. "Bukan sindiran, Mas. Hanya sebuah pengingat bahwa percakapan itu penting, terutama ketika ada banyak hal yang tidak bi
"Bagaimana?" Kata bagaimana sepertinya menjadi favorit Julian. Bian dan Julian sedang duduk di ruang utama. Menunggu Luna dan Sarena turun. "Apa? Kakiku? Kurasa sudah cukup kuat untuk menendang bokongmu." Bian tahu kemana arah pertanyaan Julian, dia hanya tidak ingin memberikan kepuasan pada Julian dengan menjawab rasa penasaran pria itu. "Hubunganmu dengan Luna." Julian mendengus. "Baik," sahut Bian ringan. Julian memutar bola matanya. Dia tahu bukan hal yang mudah untuk mengorek informasi dari Bian, tapi tetap saja ia penasaran. "Terlihat jelas dari caramu cemburu pada bunga-bunga itu," seloroh Julian dengan nada meledek. "Apakah kamu dan dia?" "Berhentilah mengorek informasi hal yang sangat pribadi, Julian." "Aku doktermu," Julian membela diri. Seolah ini memang demi kemajuan kesehatan Bian. "Kalau begitu tanyakan tentang kesehatanku, bukan kisah asmaraku. Kecuali kamu adalah konsultan cinta." "Itulah yang sedang kutanyakan, Brother. Kesehatan organ vitalmu," tandas Juli
Saat mereka turun dari mobil dan melangkah menuju restoran mewah, Luna merasakan sentuhan tangan Bian yang masih erat menggenggam tangannya. Ada kehangatan yang menular dari tangan Bian ke tangannya, membuatnya merasa lebih tenang dan nyaman. Luna tidak bisa menghentikan tatapannya dari tangan Bian yang diletakkan di atas tangannya, seolah menyampaikan rasa aman yang selama ini ia rindukan. Perasaan aneh dan campur aduk memenuhi benaknya. Di satu sisi, ia merasa seperti seorang putri yang sedang diantar oleh pangerannya ke sebuah acara penting. Di sisi lain, ada ketegangan yang membuncah dalam dirinya, seperti ia sedang berjalan di ambang batas antara mimpi dan kenyataan. Bian yang biasanya dingin, malam ini memperlakukannya dengan lembut dan penuh perhatian, sesuatu yang jarang Luna dapatkan. Beberapa pasang mata langsung tertuju pada mereka saat Bian dan Luna memasuki restoran mewah. Bian memang menawan dalam balutan jas hitam yang pas di tubuhnya, dengan potongan modern yang m
Belakangan ini Luna merasa sikap Bian semakin terasa melembut. Entah karena pria itu memang bahagia telah sembuh dan dapat kembali berjalan juga kembali mengurus pekerjaannya di kantor atau karena ada sesuatu lainnya. Namun, hal itu juga membuat suasana hati Luna semakin membaik. Sebab itu, di akhir pekan ini Luna memutuskan untuk mengunjungi taman belakang setelah hampir seminggu dirinya tidak pernah ke taman karena cukup sibuk dengan urusan kuliahnya. Luna baru melangkah memasuki area taman, namun matanya langsung tertuju pada sebuah rumah kaca yang terletak di sudut. Dalam benaknya, Luna bertanya-tanya sejak kapan ada rumah kaca di taman. Luna semakin melangkah mendekat dan masuk ke dalam rumah kaca itu. Senyum Luna mengembang begitu melihat hamparan bunga anggrek yang terlihat indah. Bukan hanya anggrek, tetapi juga ada beberapa jenis bunga lainnya yang sangat menawan, dengan kelopak bunga yang tebal, berwarna-warni, dan bercorak unik. Ada yang berwarna putih murni dengan sembu
Luna bangun lebih pagi hari ini. Bahkan matahari belum menyapa. Mungkin bawaan hati yang girang akhir-akhir ini. Saat ia membuka mata, hal pertama yang dia lihat adalah Bian. Pemandangan yang jarang terjadi. Biasanya, Bian selalu bangun lebih awal darinya. Menemukan Bian di sisinya dalam keadaan terlelap membuat jantungnya berdegup kencang. Ini imun baginya, tapi juga siksaan. Luna menopangkan kepalanya di salah satu tangannya, menatap wajah Bian yang masih terlelap. Senyum lembut menghiasi wajahnya mendengar dengkuran halus yang keluar dari mulut dan hidung suaminya. Luna duduk bersila, menatap wajah Bian dengan seksama. Jarang-jarang momen seperti ini terjadi dan ia akan memanfaatkannya. "Jika sedang tertidur begini, dia terlihat seperti malaikat tampan," gumam Luna sambil membungkuk mendekatkan wajahnya. "Bagaimana bisa dia tidak memiliki pori-pori di wajahnya? Ah, aku iri sekali. Pasti dia sangat rajin merawat wajahnya." Luna menurunkan tatapannya dari wajah Bian dan berhenti