"Selamat pagi," sapa Sarena dengan ceria saat Bian dan Luna turun untuk sarapan. "Pagi," jawab Luna dengan senyum hangat. Dalam beberapa minggu terakhir, hubungannya dengan Sarena memang semakin dekat. Sarena adalah gadis yang cantik, ceria, dan menyenangkan. Luna merasa Sarena adalah saudara perempuan yang selama ini dirinya harapkan. Karena memang hubungannya dengan Ana tidak pernah baik sejak dulu. Luna dan Sarena sering menghabiskan waktu bersama, terutama saat merawat anggrek di rumah kaca. Dari Sarena, Luna mendengar kisah yang mirip dengan yang pernah diceritakan oleh Julian tentang Bian—tentang ketegasan pria itu, kadang bahkan mendekati kejam. Tidak ada informasi baru yang ia dapatkan tentang suaminya. "Tidurmu nyenyak?" tanya Luna sambil duduk di sebelah Sarena. "Ya, cukup nyenyak. Kamu juga sepertinya sangat menikmati malammu," jawab Sarena dengan kerlingan mata menggoda, bergantian menatap Luna dan Bian sebelum tersenyum simpul. "Wajahmu tampak berbinar." Luna tersipu
Sarena menyeret tangan Luna memasuki sebuah klub bernama Vortex. Dari luar, bangunan itu sudah mengesankan dengan lampu neon yang berkedip-kedip dalam warna-warna mencolok, memberi tahu siapa pun yang lewat bahwa tempat ini bukan untuk yang berjiwa lemah. Begitu mereka masuk, Luna langsung disambut oleh suara musik yang menggema, dentuman bass yang mengguncang lantai, dan kilatan lampu strobe yang memecah kegelapan. Semua itu menciptakan atmosfer yang serba cepat dan sedikit menyesakkan bagi Luna. Di dalam, aroma campuran minuman keras, asap rokok, dan parfum mahal tercium kuat. Orang-orang di sekitar tampak tenggelam dalam dunia mereka sendiri, sebagian besar sudah dalam keadaan mabuk atau setengah mabuk. Mereka berdansa dengan penuh semangat, tubuh mereka bergerak seirama musik yang menggelegar, sementara beberapa lainnya berkerumun di bar, berbicara terlalu keras agar bisa saling mendengar. Luna merasa ragu dan tak nyaman. Matanya menatap sekitar, melihat wajah-wajah yang kebanya
Luna menghubungi Miya, satu-satunya orang yang bisa ia minta tolong. “Maaf sudah mengganggu tidurmu,” ucap Luna penuh sesal saat Miya muncul dengan wajah cemberut dan penasaran. Hari sudah hampir tengah malam. “Terima kasih sudah bersedia datang.” Miya memutar bola matanya. “Aku pikir aku salah dengar saat kamu bilang kamu di klub. Astaga, Luna, kamu benar-benar ya, mau belajar jadi liar?” Luna menggelengkan kepala. “Tempat ini mengerikan. Jalan cepat menuju neraka. Pak Adam ada di sana. Tolong antarkan dia sampai selamat.” “Kamu harus membayar mahal untuk ini,” kata Miya sambil menerima kunci mobil Adam yang berhasil Luna ambil dari kantong pria itu. “Nomor ponsel Nathan, aku akan memberikannya,” sahut Luna. “Oke. Lalu, kamu?” “Aku akan menyetir. Adik iparku sudah pingsan di sana.” Miya menoleh ke dalam mobil. Sarena duduk terkulai dengan rambut acak-acakan yang menutupi wajahnya. “Hais...mengapa ada orang-orang yang suka mabuk,” kata Miya sinis. Luna tidak menyangkal kata-
Sinar matahari menyeruak dan membuat Luna terbangun dari tidurnya. Luna menatap Bian yang sedang memakai jam tangannya. Bian bangun lebih awal lagi dari Luna. Jam berapa pria itu pulang, dia pun tak tahu. Yang jelas sekarang Bian sudah mengenakan pakaian rapi dan sudah terlihat segar dan menawan. "Bagaimana acara semalam? Siapa yang menang?" Hah? Luna terkejut mendengar pertanyaan Bian. Mengapa dia bertanya siapa yang menang? Apa dia tahu apa yang terjadi tadi malam? "Ada masalah?" Bian mendekati Luna. Kali ini tatapannya berusaha menyelidiki sikap diamnya Luna. Luna buru-buru menggeleng. "Kutebak, Sarena pasti pemenangnya. Dia memang tahu cara menghabiskan uang. Apa yang kamu beli?" Luna menghela nafas lega begitu menyadari maksud pertanyaan Bian adalah mengenai acara berbelanjanya dengan Sarena. "Ya. Dia belanja banyak. Aku hanya belanja beberapa barang." Luna beranjak dari tempat tidur. Berjalan menuju kantong belanjaan yang diletakkan di sudut ruangan. Ia mengintip
"Terima kasih sudah mengantarku." Ya, pada akhirnya Bian bersikeras untuk mengantar Luna ke kampus. Dan sekarang mereka sudah sampai. Luna akhirnya berbohong pada Bian dan mengatakan bahwa tidak ada apa pun yang terjadi padanya semalam. Bian tidak menyahut. Sepenjang perjalanan mereka hanya saling diam. Meski berusaha menghindar untuk menatap wajah Bian, Luna tetap saja diam-diam melirik tangan Bian saat menarik tuas mobil. Bagaimana jari-jari Bian yang panjang mengepal di sana. Ini pertama kalinya dia melihat Bian menyetir. Dan ini pertama kalinya mereka berduaan di mobil. Bagi Luna ini sangat intim. Jantungnya berkhianat, dia berdebar. "Sebaiknya aku turun. Kelasku akan dimulai sebentar lagi." Saat Luna hendak turun, Luna baru menyadari bahwa Bian masih mengunci pintu mobil, Luna otomatis tidak bisa keluar dari sana. Luna menoleh, bertanya dalam diam. Bian mencondongkan tubuhnya. Mata Luna melebar sebelum akhirnya terpejam secara naluri. Beberapa detik Luna menunggu, na
"Apa kau tidak memikirkan pandangan orang lain jika sampai mengetahui istri seorang Bian Sagara dekat dengan pria lain?" tanya Bian dengan nada tegas dan dingin, hampir seperti sebuah peringatan. Kata-katanya membuat Luna terdiam. Dia tahu Bian sedang marah, dan memilih untuk tidak memperkeruh suasana. Sepanjang perjalanan pulang, keheningan menyelimuti mereka berdua. Luna merasa campuran antara kesal dan dongkol. Baru saja tiba di kampus, sudah harus pulang lagi. Namun, di balik rasa kesalnya, ada ketakutan yang menjalar. Bian tampak sangat marah, dan Luna tidak berani menambah masalah dengan membuka percakapan lebih lanjut. Sesampainya di rumah, Luna berencana untuk langsung menuju kamar, menghindari perdebatan atau konflik yang mungkin terjadi. Namun, ketika dia baru saja hendak naik ke lantai atas, langkahnya terhenti. Sarena, yang kebetulan sedang menuruni tangga, datang dari arah berlawanan. "Kalian berdua, cepat duduk!" suara Bian terdengar dari ruang tamu. Nada suaranya jel
Luna memandangi wajah Sarena dengan cermat, mencoba mencari kejujuran di sana. Namun, ekspresi adik iparnya terlihat bingung, seolah tidak mengerti maksud pertanyaan Luna. Hal itu semakin membuat Luna curiga bahwa Sarena sedang mengelak. Di dalam hatinya, Luna yakin ia tidak salah dengar tadi malam. Nama Inara jelas disebut sebagai kekasih Bian, dan itu cukup mengguncang hatinya. "Sarena, tadi malam kamu menyebut seseorang bernama Inara," kata Luna, suaranya pelan namun serius. "Kamu bilang dia adalah kekasih Bian." Sarena mengerutkan kening, mencoba mengingat sesuatu. Namun, tatapannya masih tampak bingung. "Inara?" gumamnya, seolah mengulangi nama itu untuk mencoba memicu ingatannya. "Aku tidak ingat menyebutkan nama itu. Siapa dia?" Luna menghela napas dalam-dalam, merasa sedikit frustrasi. "Kamu bilang Inara adalah kekasih Bian. Kamu bahkan menyebutnya dengan cukup jelas tadi malam." Mendengar penegasan itu, Sarena tampak terkejut. "Aku bilang begitu?" tanyanya, lebih kepada
"Kamu sudah tidur?" Bian memasuki kamar, menanggalkan satu persatu yang dia kenakan. Mulai dari jam tangan, jas, dasi dan membuka kemejanya hingga hanya kaos putih bersih yang melekat di sana. Luna yang sebenarnya belum tidur, memilih untuk diam. Berlakon seolah dia sudah tertidur lelap. Bian memasuki kamar mandi. Bersih-bersih sebelum tidur sudah menjadi kebiasaan pria itu. Bian keluar tidak berapa lama. Pria itu sudah mengenakan celana piyama longgar tanpa atasan. Ranjang merengsek saat dia duduk di sisi yang kosong. Kemudian dia menarik selimut, masuk ke dalamnya.Luna masih enggan untuk menjawab. Namun, dirinya mulai sedikit tersentak begitu mendapati sentuhan hangat di wajahnya. Bahkan hembusan nafas pria itu terasa di ceruk leher Luna. Membuatnya merasa geli, hingga akhirnya ia semakin merasakan bahwa wajah Bian kian mendekat ke wajahnya. Luna membuka matanya, "Apa yang mau Mas lakukan?" Luna dapat melihat wajah Bian yang cukup dekat dengan wajahnya. Pria itu berusaha meny
Tepuk tangan kembali menggema, kali ini lebih meriah. Luna menatap Bian dengan mata berkaca-kaca, tidak mampu berkata apa-apa selain tersenyum. Ia mengambil mikrofon kecil yang disodorkan salah satu tamu, mencoba menguasai dirinya."Terima kasih, Mas Bian," katanya, suaranya sedikit bergetar tetapi tetap penuh ketulusan. "Kamu selalu tahu bagaimana caranya membuatku merasa istimewa. Aku tidak pernah meminta apa-apa selain cinta darimu, dan kamu memberiku lebih dari itu. Kamu memberiku keluarga, kebahagiaan, dan cinta yang tak pernah habis. Aku juga mencintaimu, lebih dari apa yang bisa aku ungkapkan dengan kata-kata."Seketika suasana terasa semakin emosional. Beberapa tamu bahkan terlihat menyeka air mata mereka, terharu oleh keintiman yang mereka saksikan. Dengan senyuman yang tak pernah lepas dari wajahnya, Bian menggenggam tangan Luna lebih erat. "Ayo kita potong kuenya," katanya, membawa mereka kembali ke momen yang lebih santai.Setelah mereka memotong kue bersama, suasana berub
Luna terus menelusuri setiap halaman buku jurnal yang diberikan Bian kemarin. Tulisan tangan suaminya terasa seperti suara dari hatinya sendiri, mengalir dengan kejujuran dan kerinduan yang tak terbendung. Setiap kata menggambarkan perjalanan emosional seorang pria yang berusaha keras mencari istri yang hilang, menanggung penyesalan yang mendalam atas kegagalannya selama setahun penuh. Air mata membasahi pipinya, tetapi senyumnya tetap bertahan. Ini bukan tangisan sedih; ini adalah tangisan karena cinta yang begitu nyata, begitu tulus.Ketika pintu kamar mereka terbuka, Luna mendongak, mendapati sosok Bian berdiri di sana. Cahaya dari luar ruangan menyinari pria itu, menegaskan aura ketenangan yang selalu menyelimutinya. "Hei, aku memberikan jurnal ini bukan untuk membuatmu menangis, Sayang," ujarnya, melangkah masuk dan langsung duduk di depannya. Dengan lembut, ia mengusap pipi Luna, menghapus jejak air mata yang masih tersisa. Sentuhan itu bukan hanya lembut, tetapi juga penuh ci
“Sikapmu mencurigakan!” Luna tertawa ringan saat ia memukul lembut dada suaminya, namun segera menyerah dalam pelukannya. Dekapan Bian selalu berhasil meredakan segala kekhawatiran yang memenuhi pikirannya. Hangat, nyaman—seolah seluruh dunia berhenti berputar, memberikan mereka momen yang hanya milik mereka berdua. Luna menyandarkan kepalanya di dada Bian, merasakan detak jantungnya yang stabil, menenangkan. Tidak ada tempat ternyaman selain berada di sisinya, seolah Bian adalah oksigen yang ia butuhkan untuk bertahan hidup. Membayangkan hidup tanpa pria itu terasa tak mungkin lagi, dan setiap kali ada keraguan yang muncul, ia segera tenggelamkan dalam ketenangan pelukannya.“Kamu tahu aku mencintaimu,” bisik Bian di telinga Luna, suaranya rendah namun penuh keyakinan, mengirimkan getaran lembut yang langsung menusuk ke dalam hati Luna. Bian tidak perlu bersuara keras untuk menunjukkan betapa ia sangat menyayangi istrinya—bisikan itu saja sudah cukup untuk mengukir janji tanpa kata-
“Kita tidak bisa mencampuri hubungan mereka,” ucap Bian, suaranya tenang namun penuh ketegasan. Dia telah mendengar cerita sebenarnya dari Luna—bagaimana Julian tidak menyentuh Sarena sama sekali, bagaimana situasi rumit itu hanyalah bayang-bayang dari ketidakpastian. Tetapi justru karena dia mengetahui kebenarannya, Bian merasa tidak berhak mengambil peran dalam keputusan yang hanya bisa diambil oleh Sarena sendiri. Hatinya berat, namun ia tahu apa yang harus dilakukan.“Sarena sudah jauh lebih dewasa. Dia pasti bisa menyikapi semua ini,” lanjutnya, seolah kata-kata itu diucapkan untuk menenangkan diri sendiri lebih dari sekadar memberi penegasan kepada istrinya. Dia ingin yang terbaik untuk Sarena, tanpa intervensi yang malah akan mengaburkan pilihan yang sebenarnya. Tapi, sebagai kakak, ada kekhawatiran yang tak bisa sepenuhnya ditepiskan. Ia tahu apa yang telah dilewati Julian, dan sebentuk kasih yang tak terucap tumbuh di hatinya.“Biarkan dia yang mengambil keputusan, Luna.” D
“Mas…” panggilan lembut Luna meluncur, berusaha menuntut perhatian suaminya yang tengah tenggelam di depan layar laptop. Ada kelembutan sekaligus sedikit tuntutan dalam suaranya, seolah mengingatkan bahwa ia tidak suka diabaikan.Bian menoleh dengan cepat, menyadari bahwa istrinya menginginkan sesuatu lebih dari sekadar jawaban biasa. Senyuman manisnya muncul, memupus segala letih yang terasa. “Ya, Luna, ada apa? Kamu butuh sesuatu, Sayang?” tanyanya dengan nada penuh perhatian.Luna tersenyum kecil, meski seulas kekhawatiran berbayang di matanya. “Tidak, Mas. Aku hanya ingin berbincang.” Kata-katanya sederhana, tetapi tersirat sebuah keinginan untuk didengar dan dimengerti. “Mas sedang sibuk atau bagaimana?” Ia tak ingin mengganggu, tetapi ia juga membutuhkan suaminya untuk bersamanya, sepenuhnya.Bian menatapnya dengan tatapan lembut penuh kasih sayang, mendengar nada halus yang menyiratkan beban dalam kalimat Luna. Meski pekerjaannya belum selesai, ia tak akan pernah meninggalkan i
Luna meremas tangan Sarena dengan lembut, mencoba meyakinkannya untuk terus bercerita. Tatapan penasaran yang dalam terpancar dari matanya, tak dapat disembunyikan oleh ekspresi tenangnya. “Lalu, apa sebenarnya masalahnya?” desaknya lagi, penuh rasa ingin tahu. Mengapa Sarena terlihat begitu sedih padahal ia dan Julian saling mencintai? Bukankah dua orang yang saling mencintai seharusnya menikah dan hidup bahagia?Namun, di dalam hatinya, Luna tahu bahwa pernyataannya itu tak sepenuhnya benar. Pernikahannya dengan Bian tidak dimulai dari cinta sejati; mereka menikah karena keputusan keluarga yang berujung pada pernikahan yang dipaksakan. Namun, seiring berjalannya waktu, cinta perlahan tumbuh di antara mereka. Takdir telah menenun kisah mereka dengan cara yang tak terduga, membawa mereka dari konflik menuju kedamaian, dari kecurigaan menjadi kepercayaan. Sekarang, mereka berada di tempat yang disebut dengan "akhir bahagia" – titik di mana cinta mereka telah melewati segala ujian."Aku
Luna tersenyum lembut sambil mendekat ke Felicia, gadis kecil yang tampak sibuk dengan pensil warna di tangan. "Hai, Felicia..." sapanya, duduk di sebelah gadis kecil itu. "Apa yang sedang kamu buat, Sayang?" tanyanya dengan hangat, matanya tertuju pada kertas penuh warna di hadapan Felicia.Felicia menoleh dengan senyum lebar. "Ini Ibu, sedang memakai baju pengantin! Dan ini Ayah Julian," jawabnya penuh antusias, telunjuk mungilnya menunjuk tiap karakter yang ia gambar. Matanya berbinar dengan bangga, seolah-olah memperkenalkan dunia imajinasinya kepada Luna.Luna tertawa kecil, matanya menelusuri gambar yang terlihat penuh cinta. "Dan ini kamu, ya?" ujarnya, menunjuk pada sosok kecil di antara gambar Sarena dan Julian. Felicia mengangguk dengan bersemangat, matanya menyorot kebahagiaan murni anak-anak."Hm, kalau ini?" Luna menunjukkan objek kecil di samping mereka yang mirip dengan keranjang bayi. Alisnya terangkat penasaran.Felicia tersenyum ceria, tatapannya polos namun mengandu
Setelah masalah Julian dan Sarena selesai, sesuai janjinya pada sahabatnya, Bian, dia membawa adik sahabatnya itu pulang. Dia akan melamar Sarena di hadapan sahabatnya, meminta restu Bian dan Luna.Julian dan Sarena kembali memasuki rumah, membawa serta Felicia yang menggenggam tangan mereka dengan erat. Begitu tiba di ruang tamu, Luna menyambut dengan senyum lebar, matanya berkilau penuh kegembiraan saat melihat adiknya akhirnya kembali. “Ah... akhirnya kamu pulang,” ucap Luna, memeluk Sarena erat-erat. "Aku sangat merindukanmu."Sarena balas memeluk, bibirnya melengkung lembut. “Aku juga merindukanmu, Luna. Sangat rindu. Ah... comelnya.” Sarena menoel pipi bayi tembem yang ada di gendongan Luna. Dia mengambil alih Mikayla dan menciumnya. "Adik bayinya lucu 'kan," ia menunjukkannya pada Felicia. Felicia mengangguk dan dengan malu-malu menyentuh pipi Mikayla."Hai, Felicia, selamat datang," Luna merentangkan tangannya, memeluk gadis kecil itu. Sarena sudah pernah membahas tentang Feli
Sarena menarik napas dalam, suaranya berubah lembut dan penuh kenangan ketika ia mulai bercerita. "Felicia… dia kebahagiaanku, Julian. Dia seperti sinar matahari yang muncul setelah badai, yang menghangatkan dan memberi arti baru dalam hidupku." Kata-katanya mengalir dengan tulus, mengisyaratkan seberapa besar perasaan dan perjuangannya selama ini. Di dalam setiap kata, Sarena menanamkan makna dari cinta seorang ibu yang tanpa syarat, sebuah cinta yang ia pilih dengan seluruh hatinya, walau penuh pengorbanan. Sorot matanya berkabut saat ia memandang Julian, mengungkapkan cinta dan kerinduan yang begitu dalam.Julian menggenggam tangan Sarena dengan lembut, merasakan beban yang selama ini ia bawa sebagai pria yang tiba-tiba diberi kesempatan kedua untuk mengenal putrinya. "Sekarang, dia juga bagian dari kehidupanku," ucapnya dengan suara bergetar, nyaris berbisik, seolah mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa kehadiran Felicia nyata, bahwa ini bukan mimpi belaka. "Kita akan merawat