Luna memandangi wajah Sarena dengan cermat, mencoba mencari kejujuran di sana. Namun, ekspresi adik iparnya terlihat bingung, seolah tidak mengerti maksud pertanyaan Luna. Hal itu semakin membuat Luna curiga bahwa Sarena sedang mengelak. Di dalam hatinya, Luna yakin ia tidak salah dengar tadi malam. Nama Inara jelas disebut sebagai kekasih Bian, dan itu cukup mengguncang hatinya. "Sarena, tadi malam kamu menyebut seseorang bernama Inara," kata Luna, suaranya pelan namun serius. "Kamu bilang dia adalah kekasih Bian." Sarena mengerutkan kening, mencoba mengingat sesuatu. Namun, tatapannya masih tampak bingung. "Inara?" gumamnya, seolah mengulangi nama itu untuk mencoba memicu ingatannya. "Aku tidak ingat menyebutkan nama itu. Siapa dia?" Luna menghela napas dalam-dalam, merasa sedikit frustrasi. "Kamu bilang Inara adalah kekasih Bian. Kamu bahkan menyebutnya dengan cukup jelas tadi malam." Mendengar penegasan itu, Sarena tampak terkejut. "Aku bilang begitu?" tanyanya, lebih kepada
"Kamu sudah tidur?" Bian memasuki kamar, menanggalkan satu persatu yang dia kenakan. Mulai dari jam tangan, jas, dasi dan membuka kemejanya hingga hanya kaos putih bersih yang melekat di sana. Luna yang sebenarnya belum tidur, memilih untuk diam. Berlakon seolah dia sudah tertidur lelap. Bian memasuki kamar mandi. Bersih-bersih sebelum tidur sudah menjadi kebiasaan pria itu. Bian keluar tidak berapa lama. Pria itu sudah mengenakan celana piyama longgar tanpa atasan. Ranjang merengsek saat dia duduk di sisi yang kosong. Kemudian dia menarik selimut, masuk ke dalamnya.Luna masih enggan untuk menjawab. Namun, dirinya mulai sedikit tersentak begitu mendapati sentuhan hangat di wajahnya. Bahkan hembusan nafas pria itu terasa di ceruk leher Luna. Membuatnya merasa geli, hingga akhirnya ia semakin merasakan bahwa wajah Bian kian mendekat ke wajahnya. Luna membuka matanya, "Apa yang mau Mas lakukan?" Luna dapat melihat wajah Bian yang cukup dekat dengan wajahnya. Pria itu berusaha meny
Luna terbangun saat sinar matahari menerpa wajahnya. Ia merasa sedikit hangat dan nyaman karena ada sesuatu yang melingkar di perutnya. Saat kesadarannya pulih sepenuhnya, dia sadar itu adalah tangan Bian. "Bagaimana aku bisa sampai di sini?" Membayangkan Bian mengangkatnya ke atas ranjang, hatinya menghangat. Perlahan, Luna berbalik dan menemukan Bian masih tertidur lelap. Sudah lama ia tidak melihat wajah suaminya dengan puas, tanpa beban, tanpa rasa canggung atau jaga jarak. Luna memanfaatkan momen ini untuk benar-benar memandangi Bian. Wajah Bian terlihat sangat tenang dalam tidurnya. Garis-garis wajahnya yang biasanya tegas kini terlihat lebih lembut, memberikan kesan hangat yang jarang muncul dalam kesehariannya. Rambutnya sedikit berantakan, tetapi justru membuatnya tampak lebih natural dan mendekati sisi pria yang Luna jarang lihat. Tanpa sadar, jemari Luna bergerak, ingin menyentuh pipi Bian. Namun, dia menahan diri, khawatir akan membangunkannya. Perlahan, ia menar
"Dia sudah tidur lagi," Luna mengamati wajah Bian yang kembali terlelap setelah meminum obat. Menjelang sore, Luna turun dari kamar. Ia harus menemui Sarena sebelum gadis itu juga ikut merajuk padanya. Sampai di ruang utama, dia tidak menemukan Sarena sama sekali. Saat ia hendak mencarinya ke dapur. Bel rumah berbunyi. Dia bisa saja mengabaikannya dan membiarkan pelayan membuka pintu untuknya. Tapi, dia tidak melakukannya. Luna berlari kecil menuju pintu. Dibukanya kedua daun pintu yang besar itu. Sulit menentukan wanita mana yang lebih terkejut ketika saling melihat. Tamu itu yang lebih dahulu membuka suara dan bertanya pada Luna. "Siapa kamu?" Wanita itu menegakkan tubuhnya. Kulit yang membalut tulang wajahnya yang klasik sangat halus sehingga tidak tampak garis atau kerut sama sekali. Dengan dingin wanita itu berkata, "Aku bertanya padamu." "Bukankah aku yang seharusnya bertanya, siapa kamu?" Luna menolak untuk menjawab siapa dirinya. Dia mengamati wanita itu. Pakaiannya
"Kamu tidak bisa ke sana," Luna menghentikan Irana yang hendak melangkah menuju lantai dua. Selain Bian memang tidak ada di sana, seingat Luna, lantai dua terlarang untuk siapa pun. "Maaf?" Luna tahu Inara mengerti maksudnya. "Kamu tidak diijinkan naik ke atas," tegas Luna yang langsung membuat wajah Inara masam. "Aku ingin bertemu Bian." "Dia sedang istirahat. Dan aku tidak ingin ada yang mengganggu ketenangannya." Inara terlihat tidak suka dengan apa yang Luna katakan. Wanita itu kembali melayangkan tatapan menilai padanya. Dan terlihat di wajah Inara jika dia merasa lebih hebat dari Luna. Inara menoleh ke arah Sarena, seolah meminta dukungan. Sarena terlihat sedikit tegang, tetapi akhirnya menganggukkan kepala. "Apa yang dikatakan Luna benar. Bian butuh istirahat." Sarena tidak menjelaskan bahwa Bian sedang sakit. Bisa-bisa Inara langsung menerobos masuk ke dalam kamar. Inara mendesah, tampak kesal, tetapi akhirnya mengangkat kedua bahunya dengan ekspresi menyera
"Rumah ini sesuai inginku." Kata itu terus terngiang di telinga Luna. Luna berjalan tanpa tujuan, membiarkan kakinya membawa dirinya sejauh mungkin dari rumah. Saat sebuah mobil menekan klakson dengan nyaring, Luna terlonjak kaget, dan berbalik dengan niat untuk meluapkan amarahnya. Namun, begitu melihat Saka tersenyum padanya, kemarahan yang hendak meluap itu segera mereda. “Onty Luna, mau kemana?” tanya Saka, dengan nada yang lembut namun penuh keceriaan. Ayah dari bocah itu keluar dari mobil. Adam tersenyum padanya, Luna membalasnya dengan canggung mengingat pertemuan terakhir mereka. "Hai," sapa Adam dengan santai. "Kamu mau kemana?" Adam menoleh ke kiri dan ke kanan untuk melihat siapa gerangan teman Luna. Mungkin saja Bian muncul entah darimana. "Eum, itu, Pak..." "Onty ikut kami saja. Saka dan Papa mau cari makan."Sekarang apa yang Bian dan Inara lakukan di rumah impian mereka? Batin Luna. "Bagaimana? Kamu mau ikut?" Pertanyaan Adam menyentakkan lamunannya. "Ah, ya, b
Mendengar apa yang dikatakan pelayan, Luna bisa menduga jika hubungan Bian dan wanita itu cukup intens. Pelayan sampai mengenal dan tahu kebiasaannya. Saat Luna kembali ke ruang utama, Bian tidak ada di sana. Inara pun demikian. Ia kembali ke kamar, tidak berniat untuk mencari keberadaan keduanya. Ia butuh air dingin untuk meredamkan otak dan hatinya yang panas. "Kamu belum menjawab pertanyaanku," Bian masuk ke dalam kamar saat Luna baru saja masuk ke dalam selimut. Kenapa dia baru muncul sekarang? Kenapa tidak mengejarku dari tadi. Sibuk dengan Inara? Luna menatapnya, tapi tidak berniat untuk menjawab pertanyaan yang dimaksud Bian. Seingatnya, dia sudah menjawab apa pun yang ditanyakan Bian padanya. "Kamu dengar aku, Luna." Pria itu berjalan mendekati ranjang. "Aku lelah, aku mau tidur." "Tidak, sebelum kamu menjawab pertanyaanku." "Pertanyaan yang mana yang kamu maksud, Mas?" Nadanya ketus tidak bersahabat. Tidak peduli apakah Bian akan marah padanya atau tidak. "Darimana
Luna benar-benar tidak mengerti sebagai apa dirinya di mata Bian. Terkadang sikap manis Bian membuatnya terbuai. Namun, di saat ia terbuai dan merasa hubungan mereka mulai dekat, Bian tiba-tiba menjaga jarak.Luna menatap Bian yang tertidur lelap, sementara dia tidak bisa memejamkan mata sejak perdebatan mereka yang berujung bercinta gila-gilaan.Perlahan Luna turun dari ranjang. Keluar dari kamar menuju dapur. Mendadak perutnya sangat lapar. Ruang keluarga masih terang benderang. Rupanya ada Sarena yang masih menonton sambil rebahan menikmati popcorn.Luna berjalan mendekatinya. Sarena langsung duduk tersenyum canggung."Belum tidur?" Tanya Luna sambil mengambil beberapa butir popcorn yang disodorkan Sarena padanya. "Belum mengantuk. Kamu kenapa belum tidur?"Luna mengangkat kedua bahunya, "Aku sedikit gelisah.""Karena Inara?" Tebak Sarena."Kamu berbohong padaku," Luna menatap Sarena dengan kecewa. Gadis itu menutupi kebenaran tentang Inara yang dia ungkapkan saat mabuk. "Maafka